Penyusun
REFERAT
Penyusun
Menyetujui :
LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................5
KASUS.....................................................................................................................5
1.1.5 Planning...........................................................................................11
1.2.5 Planning...........................................................................................17
BAB 2....................................................................................................................18
PENDAHULUAN.................................................................................................18
BAB 3....................................................................................................................19
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................19
3.1 Anatomi...................................................................................................19
3.2 Definisi....................................................................................................23
3.3 Etiologi....................................................................................................23
3.4 Epidemiologi...........................................................................................24
3.5 Embriologi...............................................................................................25
3.6 Patogenesis..............................................................................................25
3.7 Patoanatomi.............................................................................................27
3.8 Klasifikasi................................................................................................28
3.9 Diagnosis.................................................................................................32
3.9.1 Anamnesa.........................................................................................32
3.10 Tatalaksana..........................................................................................36
3.10.2 Operatif............................................................................................38
3.11 Komplikasi...........................................................................................41
3.13 Prognosis..............................................................................................45
BAB 4....................................................................................................................46
KESIMPULAN......................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47
BAB 1
KASUS
1.1 KASUS 1
Usia : 3.5tahun
Alamat : Probolinggo
Keluhan Utama
Kedua kaki pasien pernah di gips mulai usia 17 hari. Dilakukan pemasangan gips
9x setiap minggu ganti gips. Berhenti di usia sekitar 3 bulan karena merasa tidak
ada perubahan dan kendala biaya. Pasien juga pernah mengunakan sepatu besi
mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun tetapi jarang dipakai karena pasien rewel ketika
dipasangkan.
Riwayat allergi
Riwayat pengobatan
Tidak ada
Riwayat prenatal
Selama hamil ibu pasien kontrol ke bidan tidak pernah ke dokter dan USG
Riwayat perinatal
Pasien lahir spontan per vaginam cukup bulan di bidan dengan berat badan lahir
2700g
Riwayat postnatal
Pasien dapat merangkak usia 15 bulan, dapat berdiri dan berjalan usia 19 bulan
Posterior crease 1 1
Medial Crease 1 1
Cavus 1 1
Poor muscle 0 0
condition
Total Score 19 16
Pirani Score
Kanan 15 derajat
Kiri 9 derajat
Kanan: 14 derajat
Kiri 31 derajat
Kesimpulan:
1.1.5 Planning
1.1.5.1 Terapi
Pembedahan
Posteromedial release
1.1.5.2 Monitoring
Usia : 3 tahun
Alamat : Probolinggo
Keluhan Utama
Pasien sudah pernah di operasi sebanyak 2 kali saat usia 3 bulan dan 8 bulan.
Sebelum di operasi pasien memakai gips sebanyak 8 kali dan setelah operasi
sebanyak 5 kali.
Riwayat allergi
Riwayat pengobatan
Tidak ada
Riwayat prenatal
Riwayat perinatal
Pasien lahir dengan section cesar /atas indikasi BSC di RS Wonolangan/ 9 bulan/
BBLR 3.8 kg
Riwayat postnatal
Pasien dapat merangkak usia 15 bulan, dapat berdiri dan berjalan usia 19 bulan
Extremitas: Pedis dextra et sinistra forefoot adduksi dan supinasi, midfoot cavus,
hindfoot varus (inverisi dan adduksi), plantar flexi
1.2.3.3 Status Lokalis
D D
S S
Posterior crease 1 1
Medial Crease 1 1
Cavus 1 1
Poor muscle 0 0
condition
Total Score 19 16
Pirani Score
Kanan 9 derajat
Kiri 3 derajat
Kanan: 30 derajat
Kiri 32 derajat
Kesimpulan:
1.2.5 Planning
1.2.5.1 Terapi
Pembedahan
Posteromedial release
1.2.5.2 Monitoring
PENDAHULUAN
Talipes equinovarus (clubfoot) berasal dari kata Latin yaitu talus berarti
pergelangan kaki (ankle), pes berarti kaki, equinus berarti fleksi plantaris (horse-
like), dan varus berarti terbalik dan adduksi. Literatur medis untuk talipes
equinovarus diperkenalkan pertama kali oleh Hippocrates pada 400 SM, yang
menyadari bahwa hal ini dapat terjadi kongenital dan bermanifestasi defek yang
terisolasi saat lahir tanpa adanya malformasi pada organ lain (80% kasus)
sehingga mencetuskan konsep istilah congenital talipes equino-varus (CTEV)
idiopatik (Kusuma, 2020).
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai 'club-
foot' adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering
ditemui. CTEV dimasukkan dalam terminologi "sindromik" bila kasus ini
ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari
sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri tapa didampingi gambaran klinik
lain, dan sering disebut sebagai CTEV "idiopatik". CTEV sindromik sering
menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun
spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk yang paling sering ditemui adalah CTEV
"idiopatik", dimana pada bentuk yang kedua ini ekstremitas superior dalam
keadaan normal (Mason, 2013).
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
a. Struktur tulang
Kaki terdiri dari 26 buah tulang, terdiri dari : 14 falang, 5 metatarsal dan 7
tarsal. Kaki dapat dibagi menjadi 3 segmen fungsional :
Struktur yang berjalan dibelakang malleolus medialis dari medial kelateral adalah:
Artikulatio talocruralis
- Lig. tibionavikularis
- Lig. calcancotibialis
- Lig. talotibialis anterior dan posterior
ii. Sisi lateral:
- Lig. talofibularis anterior dan posterior
- Lig. Calcaneofibulari
Gerak sendi : plantar fleksi, dorsofleksi, sedikit abduksi dan adduksi pergelangan
kaki
Artikulatio talotarsalis
Terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi keduanya
merupakan 1 kesatuan, yaitu:
- Lig. tibionavikularis
- Lig. Calcanconaviculare plantaris
- Lig. bifurcatum: pars calcaneonavicularis (medial) dan pars
calcaneocuboid (lateral) berbentuk huruf V
Gerak sendi ini : inversi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki
Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan permukaan sendi distal pada
os cuneiformis I-II
Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah: lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi
Gerak sendi : fleksi-ekstensi sendi metacarpal, abduksi-adduksi sendi metacarpal
Artculatio interfalangeal
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
Gerak sendi : fleksi-ekstensi interfalang, abduksi-adduksi interfalang
3.3 Etiologi
3.4 Epidemiologi
Inisiasi limb bud embrio dimulai dengan terjadinya ekspresi gen homeobox
(Hox) pada sel-sel mesoderm paraksial primitif yang dikontrol dari sinyaling
faktor pertumbuhan fibroblas (fibroblast growth factor/FGF). Adanya ekspresi T-
box tran- scription factor (Tbx4) nantinya akan menentukan pembentukan
ekstremitas ba- gian bawah dari lateral plate mesoderm yaitu jaringan-jaringan
ikat ekstremitas, seperti kartilago, tulang, tendon, dan otot- otot jaringan ikat.
Ekspresi Tbx4 dalam membentuk area kaki diatur oleh homeo- domain containing
transcription factor Pitx1 yang bekerja bersama dengan faktor transkrpsi Pitx2.
Pitx1 diekspresikan pada lateral plate mesoderm di regio posterior tubuh dan
merupakan penentu utama identitas kaki belakang (hindlimb) (Basit, 2018).
3.6 Patogenesis
Gen kolagen juga sering dihubungkan dengan CTEV. Fokus utama pada
penelitian genetik telah mendapatkan bahwa terdapat hubungan dengan COL9A1
dan COL1A1. COL9A1 mengkode satu dari tiga rantai kolagen tipe IX, yaitu
komponen kartilago hialin, sedangkan COL1A1 mengkode rantai pro-alfa 1
kolagen tipe 1, yaitu sebuah komponen yang terdapat di hampir semua jaringan
ikat yang banyak pada tulang dan tendon. Pada tahun 2008, telah dilaporkan
bahwa terdapat ekspresi yang tinggi COL1A1 pada pasien dengan CTEV
dibandingkan dengan pasien normal (Pavone et al, 2018).
Gen GLI3 ialah gen yang mengkode protein zinc tipe C2H2. Suatu
penelitian pada tahun 2005 menunjukkan adanya mutase gen yang berhubungan
dengan kejadian CTEV. Pada tahun 2009, penelitian lain melaporkan adanya
interaksi langsung antara rendahnya ekspresi gen HoxD13 dapat menyebabkan
peningkatan kadar gen GLI3 selama pembentukan ekstremitas yang dipikirkan
merupakan kunci penyebab pada patogenesis CTEV (Pavone et al, 2018).
Mutasi gen T-box terutama TBX3 dan TBX4, bekerja menekan faktor
transkripsi yang berperan penting selama embriogenesis dan morfogenesis.
Seperti halnya dengan gen yang telah disebutkan, gen ini juga termasuk kandidat
kemungkinan menyebabkan CTEV. Gen-gen tersebut ditemukan memiliki
ketidakseimbangan transmisi pada pasien CTEV (Pavone et al, 2018).
3.7 Patoanatomi
Talus lebih kecil dari normal, dengan deviasi medial dan plantar pada
caput dan collum Permukaan anteromedial berartikulasi dengan navicular,
sedangkan permukaan anterolateral tidak tertutup. Paradoksnya, talus diputar
secara eksternal di dalam ankle mortise. Calcaneus adduksi dan inversi di bawah
talus dan memiliki sisi displastik, dan sustentaculum tali kurang berkembang.
Navicular diratakan dan bergeser ke medial terhadap kepala talar dan dalam kasus
parah berartikulasi dengan maleolus medial. Kuboid bergeser ke medial dan
terbalik terhadap talus, dengan obliquity pada sendi kalkaneokuboid. Pada sendi
pergelangan kaki, tibia berartikulasi hanya dengan bagian paling posterior talus,
dan pada kelainan parah, tuberositas posterior kalkaneus dapat menyentuh
permukaan posterior tibia (Aroojis et al, 2020).
Secara global, sistem klasifikasi yang paling sering digunakan pada CTEV
ialah klasifikasi Dimeglio dan klasifikasi Pirani. Sistem klasifikasi Dimeglio
menjelaskan berdasarkan koreksi yang diperoleh setelah dilakukan kekuatan
reduksi ringan pada kaki yang mengalami deformitas. Pada sistem klasifikasi ini
terdapat 4 parameter yang dinilai yaitu: 1) deviasi equinus pada sisi sagital; 2)
deviasi varus pada sisi frontal; 3) derotasi pada sekitar talus ke calcaneoforefoot
block; dan 4) adduksi kaki depan pada sisi horizontal. Nilai maksimal yang
diperoleh berjumlah 16 untuk kaki yang paling kaku. Terdapat tambahan 4 poin
untuk penilaian bila terdapat 4 tanda kegawatan: lipatan plantar, lipatan medial,
retraksi cavus, dan fibrosis otot (Cosma and Vasilescu, 2014).
Gambar 3. 3 Klasifikasi Dimeglio
Gambar 3. 4 Contoh kasus Klasifikasi Dimeglio
Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang
sederhana, menilai skor kontraktur pada midfoot dan hindfoot yang terdiri
dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable
dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin. Tiga variable pada
midfoot meliputi medial crease, curved lateral border, lateral head of talus
dan tiga variable pada hindfoot meliputi posterior crease, empty heel, rigid
equinus (Africa Clubfoot Training Project, 2017).
Mediaal crease
Perbaiki posisi kaki dengan memegang digiti 2 dan nilai adanya lipatan
pada medial telapak kaki
Skor 0 terdapat beberapa lipatan halus
Skor 0,5 dua atau 3 lipatan sedang
Skor 1 lipatan dalam dengan dasar tidak dapat tervisualisasi
Curved lateral border
Lihat dari plantar kaki, letakan bolpen pada tepi lateral calcaneus. Nilai
titik dimana tepi lateral kaki deviasi dari garis lurus.
Skor 0 tepi lateral kaki lurus tanpa deviasi (kecuali phalangs)
Skor 0,5 tepi lateral kaki deviasi pada metatarsal
Skor 1 tepi lateral kaki deviasi pada sendi calkaneokuboi
Lateral head talus
Palpasi caput talus pada posisi kaki belum di koreksi (mempermudah
untuk menemukan talus). Posisi palpasi dipertahankan dan koreksi posisi
kaki
Skor 0 jika talus dapat kembali turun dibawah naviculare
Skor 0,5 jika talus dapat bergerak parsial tetapi tidak kembali turun
dibawah naviculare sepenuhnya
Skor 1 jika talus tidak dapat bergerak sama seklai
Posterior crease
Koreksi equinus (Plantarflexi) dan nilai adanya lipatan pada posterior
dekat tumit kaki
Skor 0 terdapat beberapa lipatan halus
Skor 0,5 dua atau 3 lipatan sedang
Skor 1 lipatan dalam dengan dasar tidak dapat tervisualisasi
Empty Heel
Koreksi posisi kaki dan nilai seberapa teballapisan tumit antara jari
pemeriksa dan kalkaneus pasien
Skor 0 palpasi clcaneus mudah tidak jauh dari kulit. Seperti meraba dagu
Skor 0,5 palpasi calcaneus bisa teraba melalui lapisan daging. Seperti
merba ujung hidung
Skor 1 palpasi calcaneus susah hingga tidak dapat teraba tertutup lapisan
jaringan. Seperti meraba bagian telapak tangan dibawah basis ibu jari
Rigid equinus
Koreksi equinus (plantar fleksi) dengan berusaha dorsofleksikan kaki
pasien
Skor 0 dapat dorsofleksi melewati plantigrade
Skor 0,5 dapat dorsofleksi hingga plantigrade ( atau ≥90°)
Skor 1 dorsofleksi tidak mencapai plantigrade atau (<90°)
Gambar 3. 5 Klasifikasi Pirani
3.9 Diagnosis
Riwayat CTEV yang idipoatik atau CTEV bilateral pada orang tua atau
dalam keluarga dapat dijadikan patokan dalam kasus CTEV idiopatik (Krakow,
2018).
Diagnosis CTEV pada masa prenatal bisa terlihat pada sekitar usia
kehamilan 20 minggu dengan ditemukan adanya anomali saat pemeriksaan USG
antenatal (Singer et al, 2020). Diagnosis menggunakan ultrasound selama masa
prenatal dapat ditegakan jika permukaan plantar pedis secara presisten terletak di
bidang (plane) yg sama dengan tibia dan fibula (Krakow, 2018).
Jika CTEV tidak teridentifikasi saat prenatal maka pilihan cara melahirkan
dan waktu melahirkan tidak akan berubah. Penemuan pada ultrasound dan MRI
tidak berkorelasi dengan derajat keparahan CTEV dan tidak dapat digunakan
sebagai patokan terapi, berhubung tidak adanya pilihan tatalaksana pada masa
prenatal yang tersedia (Krakow, 2018).
Jika kondisi ini ditemukan saat skriining antenatal konseling dan diskusi
informasi dokter-pasien berhubungan dengan diagnosis, tatalaksana dan prognosis
penting. Hal ini dapat mempersiapkan orang tua pasien secara emosional maupun
praktikal nantinya (Singer et al, 2020).
Diagnosis awal CTEV bayi baru lahir dibuat secara klinis. Radiografi
memiliki nilai yang terbatas karena sangat sedikit osifikasi pada tulang kaki pada
usia ini, membuat interpretasi menjadi sulit. Radiografi simulated weightbearing
anteroposterior and a maximum dorsiflexion lateral (‘Turco’s view’) dapat
berguna dalam menentukan waktu operasi pada anak yang lebih tua. Pada posisi
anteroposterior, sudut talokalkaneal (‘Kite’s angle’) biasanya berukuran 20–40°
pada kaki normal, tetapi <20° pada CTEV. Pada posisi lateral, sudut talocalcaneal
biasanya 25-50 °, tetapi <25°pada CTEV karena talus dan calcaneus menunjukan
peningkaan ‘parallelism’ (Foster and Davis, 2017).
eksternal hingga posisi 70o untuk memastikan alignment kalkaneus sudah sesuai.
Perawatan diperlukan untuk mengenali kaki fleksibel dengan hindfoot yang sangat
ketat karena ada potensi menyebabkan hindfoot menembus sendi midtarsal.
Koreksi biasanya membutuhkan rata-rata lima gips dan, setelah dikoreksi, kaki
difiksasi dalam gips lebih lanjut selama 3 minggu. Setelah koreksi total dengan
gips serial, deformitas harus difiksasi menggunakan foot abduction brace (FAB)
untuk mencegah kekambuhan. Penggunaan FAB dipertahankan selama 3 bulan
penuh waktu (selama 23 jam per hari) kemudian dilanjutkan dengan waktu tidur
siang dan malam selama 4 tahun (Bowyer, 2018).
Gambar 3. 9 Gips serial dengan metode Ponsetti (Bowyer, 2018).
Tingkat kekambuhan setelah pengobatan Ponseti dikaitkan dengan
kepatuhan penggunaan FAB, dan pemasangan yang terampil sangat penting. Saat
anak tumbuh, ukuran sepatu bot perlu diperbesar dan lebar palang harus ditambah,
sehingga jarak internal dari setiap tumit sesuai dengan jarak luar dari bahu ke
bahu. Sepatu bot harus ditahan pada abduksi 70o; untuk kasus unilateral, kaki
Gambar 3. 11 Skin incisions dan release tendon dan ligamen pada saat operasi.
A. Insisi kulit untuk PMR. B . Insisi kulit untuk memisahkan tendon abductor
hallucis C. Insisi kulit untuk memisahkan plantar fascia.
Gambar 3. 12 X-ray. Foto kiri: Dorsifleksi membaik sampai batas tertentu setelah
Z lengthening of the Achilles dan tendon tibialis posterior Foto kanan:
Dorsofleksi penuh dicapai setelah release sendi pergelangan kaki posterior,
ligamen calcaneofibular dan ligamen talofibular posterior.
Setelah itu, dilakukan manipulasi sendi tarsal. Kaki dikoreksi dengan
menahan kalkaneus pada posisi netral dan abduksi forefoot dalam posisi supinasi.
Setelah koreksi berhasil dicapai, dilanjutkan dengan pemasangan 3 K-wires,
dengan mentransfiksasi pertama sendi kalkaneokuboid, dilanjutkan dengan
talonavikular kemudian pergelangan kaki. Kemudian dilakukan penjahitan tendon
Achilles dan tendon tibial posterior. K-wires akan dilepas 4 minggu setelah
operasi, dan kaki pasien kemudian akan diimobilisasi menggunakan cast selama 6
minggu setelah operasi pelepasan K-wires. Follow-up setelah operasi dilakukan
dengan foto x-ray kaki posisi AP dan lateral serta x-ray kaki lateral dalam posisi
dorsifleksi maksimal dan fleksi plantar maksimal (Machida et al, 2017).
Gambar 3. 13 Koreksi dan insersi 3 K-wires pada saat pembedahan. a dan b Kaki
dikoreksi dengan menahan kalkaneus pada posisi netral, dan abduksi forefoot
dalam posisi supinasi. c. Saat koreksi tercapai, 3 K-wires dipasang. Sendi
calcaneocuboid ditusuk terlebih dahulu sambil mempertahankan koreksi.
Gambar 3. 14 Radiografi diperoleh setelah operasi. a. AP view. b. Lateral view
3.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dibagi atas komplikasi non operatif dan
operatif (Laloan and Lengkong, 2020)
Flat top talus diduga terjadi secara iatrogenik, namun durasi dari manipulasi
dan pemasangan casting lebih dari 3 bulan dapat juga menyebabkan kelainan ini.
Perlu diketahui bahwa deformitas ini sebenarnya sudah terdapat sejak lahir. Flat
top talus dapat disalah-diagnosis karena posisi x-ray lateral pasien CTEV sering
memperlihatkan talus pada posisi proyeksi oblik, sehingga menunjukkan
gambaran flat talar dome (Laloan and Lengkong, 2020).
Rocker bottom
Dorsal bunion
Dorsal bunion ini ditandai oleh adanya peninggian pada metatarsal I dan
muskulus fleksor halusis brevis yang berkontraksi pada tampakan pemeriksaan
fisik (Laloan and Lengkong, 2020).
Distal bowing
Fraktur
overcorrection
nonunion of triple arthrodeses
slough atau jaringan nekrotik
infeksi luka
Overcorrection
Slough atau jaringan nekrotik pada bagian anterior sendi pergelangan kaki
yang terjadi akibat kesalahan dalam peng-aplikasian plaster setelah operasi, dimana
plester menumpuk pada bagian anterior pergelangan kaki dan akan terjadi pene-kanan
pada daerah tersebut (Laloan and Lengkong, 2020).
Infeksi luka
Infeksi luka jarang terjadi, hanya sebesar <1% setelah operasi (Laloan and
Lengkong, 2020).
Sebagai diagnosis banding dari CTEV ialah congenital vertical talus (CVT),
postural clubfoot atau positional talipes, dan metatarsus adductus. Congenital
vertical talus merupakan deformitas kekakuan kaki yang ditandai dengan adanya
dislokasi sendi talonavikular dan posisi tulang navikular berada pada bagian
dorsal. Sekitar 50% kasus mempunyai hubungan dengan artrogriposis dan
anomali kromosom seperti trisomi 18. Perbedaan dengan CTEV adalah CVT tidak
akan terkoreksi maksimal hanya dengan imobilisasi menggunakan cast, namun
lebih membutuhkan operasi rekonstruksi minor maupun mayor (Aydin et al,
2012). Pada pemeriksaan fisik, pasien CVT dapat menunjukkan Persian slipper
foot yang sering dikaitkan dengan Freeman-Sheldon syndrome. Pada palpasi,
talus dapat teraba berada ke arah medial. Posisi forefoot terlihat abduksi dan
dorsifleksi sedangkan posisi hindfoot terlihat equinovalgus (Mckie and Radomisli,
2010).
Metatarsus adductus (MA) yang dikenal juga sebagai metatarsus varus atau
metatarsus adductovarus, merupakan deformitas bentuk melintang dimana
metatarsal berdeviasi ke arah medial. Pada MA umumnya tidak ditemukan adanya
deformitas lain, namun sangat berkorelasi dengan hallux valgus (HV). Dengan
adanya MA maka risiko berkembang kearah HV meningkat 3- 4 kali lipat
(Varacallo, 2019).
3.13 Prognosis
BAB 4
KESIMPULAN
Aroojis, A., Pirani, S., Banskota, B., Banskota, A.K. and Spiegel, D.A., 2020.
Clubfoot etiology, pathoanatomy, basic Ponseti technique, and Ponseti in
older patients. In Global orthopedics (pp. 383-396). Springer, Cham.
Aydın, A., Atmaca, H., & Müezzinoğlu, Ü. S. (2012). Bilateral congenital vertical
talus with severe lower extremity external rotational deformity: treated by
reverse Ponseti technique. The Foot, 22(3), 252-254.
BNS, R. C., Kaewpornsawan, K., Wongsiridej, P., BNS, S. S., & BNS, S. M.
(2014). The effectiveness of parent manipulation on newborns with
postural clubfoot: a randomized controlled Trial. J Med Assoc Thai, 97(9),
S68-S72.
Bowyer G, Uglow M. The ankle and foot. In: Apley and Solomon’s system of
orthopaedics and trauma. 10th ed. Boca Raton: CRC Press; 2018. p. 614-7.
Cosma, D., & Vasilescu, D. E. (2015). A clinical evaluation of the Pirani and
Dimeglio idiopathic clubfoot classifications. The Journal of Foot and
Ankle Surgery, 54(4), 582-585.
El Batti, S., Solla, F., Clément, J. L., Rosello, O., Oborocianu, I., Chau, E., &
Rampal, V. (2016). Initial treatment of congenital idiopathic clubfoot:
Prognostic factors. Orthopaedics & Traumatology: Surgery & Research,
102(8), 1081-1085.
Foster, A., & Davis, N. (2017). Congenital talipes equinovarus (clubfoot). Surgery
(Oxford), 25(4), 171-175.
Gunalan, R., Mazelan, A., Lee, Y. P. B., & Saw, A. (2016). Pattern of
presentation and outcome of short-term treatment for idiopathic
clubfoot/CTEV with Ponseti method. Malaysian orthopaedic
journal, 10(3), 21.
Machida, J., Inaba, Y., & Nakamura, N. (2017). Management of foot deformity in
children. Journal of Orthopaedic Science, 22(2), 175-183.
Mckie, J., & Radomisli, T. (2010). Congenital vertical talus: a review. Clinics in
podiatric medicine and surgery, 27(1), 145-156.
Singer, A., Maya, I., Banne, E., Feldman, H. B., Vinkler, C., Shachar, S. B., &
Sagi-Dain, L. (2020). Prenatal clubfoot increases the risk for clinically
significant chromosomal microarray results–Analysis of 269 singleton
pregnancies. Early Human Development, 145, 105047.