Anda di halaman 1dari 26

RESPONSI

ILMU DERMATO-VENEROLOGI
“SKABIES”

Oleh :

Janette Alvina 2020.04.2.0091


Jihan Delima Harvina 2020.04.2.0092
Jocelyn Christabella 2020.04.2.0093

Pembimbing :

dr. Ita Puspitasari Dewi, Sp.KK, FINSDV, FAADV

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA


TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN
RESPONSI
“SKABIES”

Janette Alvina 2020.04.2.0091


Jihan Delima Harvina 2020.04.2.0092
Jocelyn Christabella 2020.04.2.0093

Menyetujui :
Dokter Pembimbing Klinik,

dr. Ita Puspitasari Dewi, Sp.KK, FINSDV, FAADV


DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN 2

DAFTAR ISI 3

DAFTAR GAMBAR 3

DAFTAR TABEL 4

BAB 1 4

KASUS 4

BAB 2 8

PENDAHULUAN 8

BAB 3 9

TINJAUAN PUSTAKA 9

2.1. Definisi 9

2.2. Epidemiologi 10

2.3. Etiologi dan Patogenesis 11

2.4. Cara Penularan 12

2.5. Faktor Resiko 12

2.6. Predileksi 13

2.7. Varian Skabies 14

2.8. Diagnosis 15

2.9. Diagnosa Banding 18

2.10. Komplikasi 18

2.11. Tata Laksana 18

2.12. Prognosis 24

DAFTAR PUSTAKA 24
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lokasi Predileksi Infestasi Skabies.......................................................14


Gambar 2 Skabies berkrusta..................................................................................15
Gambar 3 Skabies nodular.....................................................................................16

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tatalaksana medikamentosa skabies.........................................................19


a)
KASUS

1.1. Identitas pasien


Nama pasien : An VSF
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 13 tahun
Suku/ras : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status pernikahan : Belum menikah
Alamat : Rangkah 1/94
Tanggal datang ke poli : 28 desember 2021

1.2. Anamnesa:
Keluhan utama:
Telapak tangan terasa gatal pada malam hari dan cekit-cekit sejak 3 bulan yang
lalu.

Keluhan tambahan:
Sela jari kaki mulai terasa gatal 7 hari yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang:


Telapak tangan terasa gatal dan cekit cekit sejak 3 bulan yang lalu. Sela jari kaki
mulai terasa gatal 7 hari yang lalu. Gatal yang dirasakan memberat pada malam
hari. Rasa gatal berkurang jika digaruk tetapi setelah itu timbul rasa cekit cekit.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien mengalami gejala serupa dan datang ke poli kulit tanggal 16 Desember
2021 sudah diberi terapi krim permethrin 5% akan tetapi cara aplikasi tidak benar
hanya diaplikasikan pada lesi.
Riwayat keluarga:
Sekeluarga pasien mengalami gejala yang serupa. Ayah pasien sudah sembuh 2
bulan yang lalu. Ibu pasien mengalami gejala yang serupa dan 2 minggu lalu
sudah datang ke poli kulit untuk mendapat pengobatan. Adik pasien datang ke
poli anak untuk mendapat pengobatan di hari yang sama pasien datang ke poli
kulit.

Riwayat Alergi:
Riwayat alergi (-)

Riwayat Kebiasaan:
Pasien sering bermain ke rumah teman yang memiliki gejala serupa dan kontak
kulit dengan teman. Pasien tidur bersama ibunya. Pasien mandi sehari 2 kali.

1.3. Pemeriksaan fisik:


Keadaan umum : GCS 456, compos mentis
TB :139cm
BB : 29kg
Tanda vital
Tensi : 120/80mmHg
Nadi : 98x/menit
RR : 20x/menit
Temp : 36.7ºC

Status dermatologi:
Pada seluruh permukaan palmar dan interdigitalis manus dextra dan sinistra
terdapat makula hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas, multiple ±0.3cm dengan
skuama diatasnya. Terdapat papul hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas, multiple
±0.3cm dengan skuama diatasnya. Terdapat pustul multiple ±0.3cm.
Pada dorsum dan interdigitalis pedis dextra dan sinistra terdapat makula
hiperpigmentasi, berbatas tegas, multiple ±0.3cm dengan skuama diatasnya.
Terdapat papul hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas, multiple ±0.3cm
1.4. Pemeriksaan laboratrium dan penunjang:
Tidak dilakukan

1.5. Resume
Untuk mendiagnosis skabies dibutuhkan minimal 2 dari 4 tanda kardinal:
 Pasien mengeluh pruritis nocturnal.
 Keluarga dan teman dekat pasien mengalami penyakit yang sama.
 Effloresensi patognomonis berupa terowongan keabuan berbentuk garis
lurus/berkelok sudah tidak ada karena lesi sudah di manipulasi pasien di
garuk muncul infeksi sekunder ditemukan pustul dan skuama diatas papula
dan makula hiperpigmentasi.
 Pemeriksaan penunjang mikroskopis tidak dilakukan.

1.6. Diagnosis
Skabies

1.7. Planning
Terapi
Medikamentosa:
 Krim permethrin 5%
 Loratadine 1x10mg
 Nacl 0,9% dan kasa steril kompress sehari 2 kali sehabis mandi
 Krim mupirocin 2% oleskn sehari 2 kali sehabis mandi

Non medikamentosa:
 Edukasi pasien cara mengunakan permethrin dan kompres.
 Semua anggota keluarga atau orang seisi rumah yang kontak dengan
penderita harus diperiksa dan bila juga menderita skabies diobati
bersamaan agar tidak jadi penularan kembali
 Semua baju, alat tidur termasuk sprei, sarung bantal dan guling, handuk
dicuci dengan air panas.
 Sementara waktu baju pasien penederita skabies dicuci terpisah dengan
keluarga lainnya
 Alas tidur dijemur
 Jangan mengunakan sabun terlalu digosok dapat menyebabkan iritasi
b)
PENDAHULUAN

Penyakit berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit yang terjadi


pada sebuah kelompok masyarakat yang berhubungan, atau memiliki keterkaitan
erat dengan komponen lingkungan pada sebuah ruang, dimana masyarakat
tersebut bertempat tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu tertentu (Nisa dan
Rahmalia, 2019). Salah satu contoh penyakit berbasis lingkungan adalah penyakit
kulit. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit dan lain-
lain. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit adalah penyakit
skabies (Luthfa dan Nikmah, 2019).
Skabies (kudis) merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit
tungau Sarcoptes scabei yang mampu membuat terowongan dibawah kulit dan
ditularkan melaui kontak manusia . Parasit ini merupakan parasit obligat yang
seluruh sikl us hidupnya berlangsung pada manusia. Masa inkubasi pajanan
pertama terjadi tiga sampai enam minggu, sedangkan masa inkubasi pajanan
selanjutnya dapat berlangsung lebih cepat,yaitu satu sampai tiga hari (Merti, et al.,
2019).
Skabies merupakan masalah di seluruh dunia yang mempengaruhi semua
usia,ras, dan tingkat sosial ekonomi. Prevalensi sangat bervariasi dengan beberapa
negara terbelakang memiliki tingkat dari 4% sampai 100% dari populasi umum.
(Kang, et al., 2019) Di negara berkembang, populasi yang terkena termasuk anak-
anak, orang tua, dan individu dengan kondisi imunosupresi (C.M.Salavastru, et
al., 2017).
c)
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sinonim : The itch, sky-bees, gudik, budukan, gatal agogo.
(Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, et al., 2016)
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var, hominis, dan produknya. Ditandai gatal
pada malam hari, mengenai sekelompok orang, dengan tempat predileksi di
lipatan kulit yang tipis, hangat, dan lembab. Gejala klinis dapat terlihat polimorfik
tersebar di seluruh badan. (Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, et al., 2016)
Skabies dinyatakan sebagai penyakit kulit yang diabaikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2009 dan merupakan masalah kesehatan
yang signifikan di banyak negara berkembang. Individu yang terinfeksi
memerlukan identifikasi dan pengobatan segera karena kesalahan diagnosis dapat
menyebabkan wabah, morbiditas, dan peningkatan beban ekonomi. (Gilson &
Crane, 2021)

2.2. Epidemiologi
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain sosial
ekonomi yang rendah, higenitas yang buruk, hubungan seksual bersifat
promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologik.
Penyakit ini dapat dimasukkan dalam IMS (lnfeksi Menular Seksual).
(Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, et al., 2016)
Skabies adalah salah satu penyakit paling umum di dunia. Studi Global
Burden of Disease (GBD) 2016 memperkirakan prevalensi titik global skabies ada
di sekitar 147 juta, dengan 455 juta kasus insiden tahunan. (C.M.Salavastru, et al.,
2017) Skabies sangat lazim di wilayah geografis berikut: Afrika, Amerika Selatan,
Australia, dan Asia Tenggara. Ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda. Kasus di negara-negara tersebut berhubungan dengan morbiditas yang
signifikan akibat komplikasi dan infeksi sekunder. Ini mungkin termasuk abses,
limfadenopati, dan glomerulonefritis pasca-streptokokus. (Gilson & Crane, 2021)
Skabies merupakan masalah di seluruh dunia yang mempengaruhi semua
usia,ras, dan tingkat sosial ekonomi. Prevalensi sangat bervariasi dengan beberapa
negara terbelakang memiliki tingkat dari 4% sampai 100% dari populasi umum.
(Kang, et al., 2019) Di negara berkembang, populasi yang terkena termasuk anak-
anak, orang tua, dan individu dengan kondisi imunosupresi. Keadaan yang terkait
dengan populasi yang besar dan berkerumun sering menyebabkan transmisi
tinggi, dan wabah umum terjadi di sekolah, penjara, dan kamp untuk pengungsi.
(C.M.Salavastru, et al., 2017) Host yang terinfestasi biasanya menampung antara
3 sampai dengan 50 tungau betina yang bertelur, tetapi jumlahnya dapat sangat
bervariasi antar individu. (Kang, et al., 2019)

2.3. Etiologi dan Patogenesis


Tungau penyebab scabies adalah Sarcoptes scabiei var. Homini. Ini
termasuk filum arthropoda, ordo Acarina, kelas Arachnida, ordo Astigmata, dan
famili Sarcoptidae (Engelman, et al., 2019), penemunya adalah seorang ahli
biologi Diacinto Cestoni (1637-1718). Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei
var.hominis. Selain itu, terdapat S. scabiei yang lain, misalnya pada kambing dan
babi. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggung
cembung, bagian perut rata, dan mempunyai 8 kaki. Tungau ini translusen,
berwama putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330-
450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240
mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga
berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat. Siklus hidup
tungau ini sebagai berikut; setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit,
tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam
terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum komeum dengan kecepatan 2-3 milimeter
sehari sambil meletakkan telurnya 2 hingga 50 telur. Bentuk betina yang dibuahi
ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3
sampai 10 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat
tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidup mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8-12 hari. Aktivitas S.scabiei di dalam kulit menyebabkan rasa gatal
dan menimbulkan respons imunitas selular dan humeral serta mampu
meningkatkan lgE baik di serum maupun di kulit. Masa inkubasi berlangsung
lama 4-6 minggu. Skabies sangat menular, transmisi melalui kontak langsung dari
kulit ke kulit, dan tidak langsung melalui berbagai benda yang terkontaminasi
(seprei, sarung bantal, handuk dsb). Tungau skabies dapat hidup di luar tubuh
manusia selama 24-36 jam. Tungau dapat ditransmisi melalui kontak seksual,
walaupun menggunakan kondom, karena kontak melalui kulit di luar kondom.
Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah investasi. Pada saat itu, kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. (Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, et al.,
2016)

2.4. Cara Penularan


Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan,
tidur bersama, dan hubungan seksual.
Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei,
bantal, dan lain-lain. Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang
sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal juga Sarcoptes
scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada
mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan, misalnya anjing.
(Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, et al., 2016)
Meskipun terkadang dianggap sebagai penyakit menular seksual,
prevalensi yang juga tinggi pada anak-anak membuktikan bahwa kontak non-
seksual antara anak-anak dan anggota keluarga lainnya adalah juga cukup untuk
menularkan infestasi. Penularan melalui benda mati paling baik ditunjukkan
dengan skabies berkrusta tetapi jauh lebih kecil kemungkinannya terjadi pada host
normal. Skabies berkrusta sangat menular, dan siapa pun yang berkeliaran di
sekitar pasien ini berisiko mendapatkan infestasi.Tungau juga lazim terdapat di
lingkungan pribadi pasien skabies normal. Dalam satu penelitian, tungau hidup
ditemukan dari sampel debu yang diambil dari lantai kamar tidur, kursi empuk,
dan sofa di setiap ruangan tempat tinggal pasien. (Kang, et al., 2019)

2.5. Faktor Resiko


Berikut beberapa faktor resiko penularan skabies (Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia, 2017)
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal di
asrama atau pesantren
2. Higenitas yang buruk
3. Sosioekonomi rendah seperti di panti asuhan dan sebagainya
4. Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas

2.6. Predileksi
Biasanya, infestasi terjadi pada kulit tipis dan lipatan kulit (Micali et al.,
2016; Khan et al., 2020). Lokasi predeleksi tersering adalag aksila, areola,
interdigitalis, pergelangan tangan, siku, umbilikus, regio inguinal dan genital,
lipatan gluteal, regio sakral, fossa poplitea, dan pergelangan kaki. Regio yang
diduga bertanggung jawab atas kekambuhan adalah daerah subungual karena
sering kali tidak terjangkau obat (Nemecek et al., 2020)
Gambar 1 Lokasi Predileksi Infestasi Skabies

2.7. Varian Skabies


a. Skabies Norwegia (skabies berkrusta)
Dalam sejumlah kecil kasus, hiperinfestasi dapat terjadi menyebabkan
skabies berkrusta, di mana host dapat diinfestasi oleh jutaan tungau. Ini berbeda
dengan skabies klasik di mana host akan diinfestasi rata-rata 10-15 tungau. Faktor
patogen, seperti virulensi tungau skabies, tidak dianggap berperan (Chandler and
Fuller, 2019; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
Bentuk skabies ini ditandai dengan dermatosis hiperkeratotik berkrusta
pada tangan dan kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata.
Limfadenopati generalisata, eosinofilia darah tepi dan peningkatan kadar IgE
serum sering diamati, dan infeksi bakteri sekunder sering terjadi dan berhubungan
dengan kematian yang signifikan. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa gatalnya
sangat sedikit (Chandler and Fuller, 2019; Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2019).
Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi mental, gangguan psikosis,
kelemahan fisis seperti orang lanjut usia, dan imunosupresi, misalnya pada pasien
HIV lanjut atau keganasan.(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).

Gambar 2 Skabies berkrusta


Plak hiperkeratotik yang dihuni oleh ribuan tungau (Kang et al., 2019)

b. Skabies nodular
Manifestasi skabies nodular dihasilkan dari reaksi hipersensitivitas
terhadap tungau skabies dan produk lain yang dihasilkan tungau seperti scybala.
Hal ini ditandai dengan nodul pruritus persisten yang dapat tetap ada bahkan
setelah pengobatan infestasi awal (Yanes and Faith, 2018). Skabies nodular juga
dapat terjadi bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak,
atau pada pasien dengan imunokompremais (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2019).
Gambar 3 Skabies nodular
Nodul hiperpigmentasi yang gatal (Yanes and Faith, 2018)

2.8. Diagnosis
a. Anamnesa
Diagnosis skabies dicurigai dengan adanya pruritus yang berhubungan
dengan distribusi lesi yang khas dan riwayat epidemiologis. Biasanya
pasien mengeluh pruritus nokturnal yang intens. Pruritus biasanya muncul
4 sampai 6 minggu setelah infestasi awal, meskipun banyak pasien
mungkin tidak mengalami gejala selama 3 bulan dan beberapa pasien tidak
pernah peka. Dengan reinfestasi berikutnya, gejala berkembang dalam 2
hingga 3 hari (Kang et al., 2019).

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien menunjukkan ekskoriasi dan
dermatitis ekzema pada sela jari, sisi jari, pergelangan tangan dan telapak
tangan lateral, siku, aksila, skrotum, penis, labia, dan areola pada wanita
(Kang et al., 2019).
Kepala dan leher biasanya tidak terkena pada orang dewasa yang
sehat, tetapi pada bayi, orang tua, dan individu dengan gangguan sistem
kekebalan, semua permukaan kulit rentan. Nodul berkrusta dan indurasi
dapat dilihat pada bayi dan anak kecil di daerah intertriginosa serta pada
batang tubuh (Kang et al., 2019).
Pada skabies berkrusta, plak hiperkeratosis berkembang secara
difus pada daerah palmar dan plantar, dengan penebalan dan distrofi kuku
jari kaki dan kuku tangan. Meskipun, pasien dengan tipe krusta memiliki
beban tungau yang sangat besar, mereka hanya memiliki sedikit atau tanpa
gejala (Kang et al., 2019).
Lesi patognomonik adalah liang, yang merupakan struktur tipis,
seperti benang, linier, atau sering berbentuk J dengan panjang 1 sampai 10
mm. Ini adalah terowongan yang disebabkan oleh pergerakan tungau di
stratum korneum. Saat ini, liang paling baik terlihat di jaringan interdigital
dan pergelangan tangan; namun, mungkin sulit ditemukan pada tahap awal
kondisi, atau setelah pasien mengalami ekskoriasi lesi secara ekstensif.
Pada bayi dan anak kecil yang kurang efektif menggaruk, liang dapat
diidentifikasi pada telapak tangan dan telapak kaki serta area intertriginosa
dan batang tubuh (Kang et al., 2019).

c. Tanda cardinal
1. Pruritus nokturna : gatal pada malam hari yang disebabkan oleh
aktivita tugau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas
(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
2. Menyerang sekelompok orang (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2019).
3. Adanya terowongan (kunikulus) : pada tempat predileksi ditemukan
adanya terowongan berwarna putih atau keabuan dengan bentuk lurus
atau berkelok, dengan rata-rata panjang 1cm. Pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2019).
4. Menemukan tungau : hal ini merupakan hal yang paling menunjang
diagnosa. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau.
Selain ini dapat juga ditemukan telur dan kotoran tungau (Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).

d. Pemeriksaan penunjang
- Carilah mula-mula terowongan kemudian pada ujung yang tertihat papul
atau vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah
objek, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop
cahaya (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
- Dengan membuat biopsi irisan. Caranya: lesi dijepit dengan 2 jari
kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau dan diperiksa dengan
mikroskop cahaya (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
- Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewamaan hematoksilin
eosin (H.E) (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
- Dengan menempatkan setetes minyak mineral di atas burrow dan
kemudian menggores secara membujur dengan pisau bedah nomor 15
di sepanjang liang atau area kulit yang mencurigakan, berhati-hatilah
agar tidak menyebabkan pendarahan. Kerokan paling baik diambil dari
liang, papula, atau vesikel yang tidak mengalami ekskoriasi. Kerokan
kemudian diterapkan pada slide kaca dan diperiksa di bawah daya
rendah (Kang et al., 2019).
- Ink burrow test. Identifikasi liang dapat difasilitasi dengan
menggosokkan spidol hitam di area yang terkena. Setelah kelebihan
tinta dibersihkan dengan bantalan alkohol, liang tampak lebih gelap
daripada kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta di dalam liang (Kang
et al., 2019).
- Adhesive tape test. Untuk pengujian ini, pita perekat transparan – cukup
kuat – dipotong menjadi seukuran slide mikroskopis, ditekan dengan
kuat ke liang yang mencurigakan, ditarik dengan cepat, dan kemudian
dilekatkan pada slide. Pada pasien dengan kulit rapuh (dermatoporosis,
penyakit bulosa), prosedur ini dikontraindikasikan (Sunderkötter et al.,
2016).
- Dermoskopi : Dermoskopi juga disebut "dermatoskopi" dilakukan
dengan perangkat genggam (dermoscope) yang memungkinkan
pembesaran X10 dan tidak memerlukan "bantuan" komputer apa pun
(Micali et al., 2016). Temuan dermoskopik klasik adalah tanda “delta-
wing jet” dari bagian kepala dan tubuh skabies yang padat, telur, dan
liang (Kang et al., 2019).

2.9. Diagnosa Banding


Diagnosa banding (Kang et al., 2019) :
- Dermatitis atopic
- Pyoderma
- Dermatitis kontak
- Dermatitis insect bite
- Pediculosis corporis
2.10. Komplikasi
Impetiginisasi sekunder dapat terjadi dan glomerulonefritis pasca
streptokokus disebabkan oleh pioderma yang diinduksi skabies yang disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes. Limfangitis dan septikemia juga telah dilaporkan
pada skabies berkrusta. Terakhir, infestasi skabies juga dapat memicu pemfigoid
bulosa (Kang et al., 2019).

2.11. Tata Laksana


a. Medikamentosa
Penanganan skabies adalah kombinasi skabisida dan kontrol
fomite. Dengan semua terapi skabisida, aplikasi kedua biasanya seminggu
setelah perawatan awal, diperlukan untuk mengurangi kemungkinan
infestasi ulang dari fomite serta untuk membunuh nimfa yang telah
menetas karena lingkungan semiprotektif di dalam telur. Semua anggota
keluarga yang tinggal satu atap dan kontak erat harus diobati secara
bersamaan untuk mencegah infeksi ulang termasuk yang bergejala ringan
dan yang hanya karier. Scabisida topikal dioleskan semalaman ke seluruh
permukaan kulit dengan perhatian khusus pada lipatan jari tangan dan
kaki, celah bokong, pusar, dan di bawah kuku tangan dan kuku kaki. Pada
orang dewasa, tidak perlu diaplikasikan pada kulit kepala dan wajah.
Kebanyakan individu mengalami peerbaikan gejala dalam waktu 3 hari,
tetapi pasien harus diberitahu bahwa bahkan setelah terapi scabicidal yang
memadai, ruam dan pruritus dapat bertahan hingga 4 minggu. Rasa gatal
yang dialami selama periode ini biasanya disebut sebagai “postscabetic
itch” (Kang et al., 2019).

Tabel 1 Tatalaksana medikamentosa skabies


(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019).
Obat Skabisida Dosis Catatan
Krim Permethrin 5% - Dioleskan ke seluruh - Tatalaksana
tubuh dari leher medikamentosa yang
kebawah selama 8- paling sering
14 jam kemudian digunakan.
dibilas boleh diulang - Kehamilan kategori B
dalam 7 hari. - Mulai ada toleransi
- Pada ibu hamil dan
anak dibawah 2
tahun digunakan
hanya selama 2 jam
kemudian dibilas
boleh diulang dalam
7 hari
- Pada skabies
berkrusta gunakan
setiap hari selama 7
hari kemudian
seminggu 2 kali
sampai dengan
sembuh
Losio Lindane 1% - Oles dan diamkan 8 - “Black box”
jam, diulang dalam 7 Pengunaan tidak
hari dianjurkan pada bayi
prematur dan individu
dengan gangguan
kejang yang tidak
terkontrol, serta
penggunaan yang
hati-hati pada bayi,
anak-anak, dan orang
tua termasuk orang
yang beratnya kurang
dari 50 kg dan di atas
65 risiko tinggi
neurotoksisitas
Krim Crotamiton 10% - Oles dan diamkan 8 - Memiliki efek
jam, hari 1 2 3 dan 8 antipruritus
- Efektivitas rendah
dibandingkan terapi lain
Sulfur presipitatum 5- - Oles dan diamkan 8 - Preparat ini karena
10% jam, hari 1 2 3 tidak efektif terhadap
stadium telur, maka
penggunaan
dilakukan selama 3
hari berturut-turut.
- Kekurangan yang lain
ialah berbau dan
mengotori pakaian
serta kadang-kadang
menimbulkan iritasi.
- Aman dipakai untuk
neonatus dan ibu
hamil.
- Murah dan biasanya
digunakan di negara
dimana pengobatan
lain tidak tersedia
Losio Benzyl benzoate - Oles dan diamkan 24 - efektif terhadap
10% jam semua stadium,
diberikan setiap
malam selama 3 hari.
Obat ini sulit
diperoleh, sering
memberi iritasi, dan
kadang-kadang makin
gatal dan panas
setelah dipakai
- Tidak beredar di
Amerika Serikat
Ivermectin 200 µg/kg - Dikonsumsi per oral - Sangat efektif dengan
pada hari ke 1 dan 8 profil keamanan yang
- Pada pasien skabies baik; tidak dianjurkan
berkrusta pada hari untuk anak-anak yang
ke 1 2 8 9 dan 10 beratnya kurang dari
15 kg atau untuk
wanita hamil atau
menyusui
- Di luar negeri
dianjurkan pemakaian
iverrnectin (200
µg/kg) per oral,
terutama pasien yang
persisten atau resisten
terhadap permetrin.

 Obat simptomatis untuk meredakan gejala gatal


Antihistamin oral dapat digunakan untuk mengurangi pruritus. Dari
antihistamin H1, hidroksizin lebih efektif daripada difenhidramin dan
siproheptadin. Efek samping antihistamin H1 termasuk mengantuk, gangguan
fungsi kognitif, hipereksitabilitas, dan efek antikolinergik. Antihistamin generasi
kedua, seperti terfenadine, loratadine, dan astemizol, memiliki efek terbatas pada
sistem saraf pusat dan bersifat nonsedasi; mereka juga kurang berkhasiat dalam
pengobatan pruritus. Antihistamin topikal harus dihindari karena risiko reaksi
alergi lokal dan ketidakefektifan secara keseluruhan. Setelah pemberantasan
skabies, kortikosteroid topikal dapat digunakan, jika perlu, untuk mengontrol
pruritus (Leung, Lam and Leong, 2019).
 Tatalaksana infeksi sekunder
Terapi antibiotik diindikasikan untuk infeksi bakteri sekunder. Antibiotik
topikal, seperti mupirocin, asam fusidat, dan retapamulin dapat digunakan untuk
mengobati infeksi bakteri sekunder. Karena penggunaan antibiotik topikal dapat
menyebabkan resistensi bakteri dan kontak alergi, antibiotik topikal harus
digunakan dengan hati-hati. Infeksi bakteri sekunder yang parah mungkin
memerlukan pengobatan sistemik dengan kloksasilin, klindamisin, sefalosporin
generasi pertama atau kedua, atau makrolida yang paling efektif melawan S.
aureus (Leung, Lam and Leong, 2019).
 Tatalaksana skabies nodular
Tungau scabies pada scabies nodular dapat diberantas dengan skabisida. Nodul
yang bertahan setelah pengobatan topikal skabisida dapat diobati dengan aplikasi
topikal kortikosteroid poten. Nodul yang gagal diobati dengan kortikosteroid
topikal dapat diobati dengan injeksi kortikosteroid intralesi seperti triamcinolone,
prednisolon oral jangka pendek, atau krioterapi nitrogen cair (Leung, Lam and
Leong, 2019).
 Tatalaksana skabies berkrusta
Pada skabies berkrusta, kombinasi ivermectin oral dan skabisida topikal
dianjurkan karena obat oral tidak akan menembus ketebalan debris keratin di
bawah kuku (Leung, Lam and Leong, 2019).

b. Non-medikamentosa, edukasi dan preventif

Dalam upaya preventif, pertu dilakukan edukasi pada pasien tentang


penyakit skabies, perjalanan penyakit, penularan, cara eradikasi tungau skabies,
menjaga higiene pribadi, dan tata cara pengolesan obat (Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2019). Pemakaian obat secara benar dan kepada seluruh
orang yang kontak secara serempak (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia (PERDOSKI), 2017).
Setelah diberi obat topikal, pasien harus mengenakan pakaian bersih, dan
semua pakaian, sprei, sarung bantal dan guling , handuk, yang digunakan selama
minggu sebelumnya harus dicuci dengan air panas dan dikeringkan dengan suhu
tinggi (Kang et al., 2019). Tidak mengunakan peralatan pribadi secara bersama-
sama dan pakaian pasien dicuci secara terpisah hingga pasien sembuh (Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2017). Baju yang tidak dapat dicuci harus di dry-
clean, disetrika, dimasukkan ke dalam pengering pakaian tanpa dicuci, atau
disimpan dalam kantong plastik tertutup di tempat yang hangat selama 2 minggu
(Kang et al., 2019).
Pasien harus diedukasi bahwa mencuci kulit atau mandi secara berlebihan
dengan sabun yang keras akan memperburuk iritasi kulit mereka. Sebagai
gantinya dapat diberi antihistamin oral dan emolien. Lantai, karpet (baik di rumah
maupun di mobil), area bermain, dan perabot harus dibersihkan dan divakum
(Kang et al., 2019). Pasien harus disarankan untuk menghindari kontak seksual
sampai mereka dan pasangan seksual mereka telah menyelesaikan pengobatan
(C.M.Salavastru, et al., 2017).
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya eradikasi skabies nisa
melibatkan semua pihak. Bila infeksi menyebar di kalangan santri di sebuah
pesantren, dibutuhkan keterbukaan dan kerja sama dengan pengelola pesantren.
Bila sebuah barak militer tersebar infeksi mulai dari prajurit sampai komandan
barak harus membantu membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi
tempat penyebaran penyakit (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2017).

2.12. Prognosis

Prognosis skabies klasik baik dengan pengobatan yang tepat kecuali pada
pasien mengalami gangguan sistem imun. Individu immunocompromised
memiliki peningkatan risiko skabies berkrusta yang memiliki prognosis yang
kurang baik. Kebanyakan kekambuhan adalah hasil dari reinfestasi dari kontak
yang tidak diobati sering terjadi di pasien imunocompromised, asrama dan panti
asuhan (Leung, Lam and Leong, 2019; Trasia, 2021).
Konsekuensi psikososial penyakit kulit kronis memiliki efek langsung
pada pasien. Penelitian menunjukan bahwa pasien dengan skabies sering kali
dikucilkan. Pasien skabies mengalami stigma mengakibatkan mereka merasa malu
dan terasing dari masyarakat. Cara terbaik untuk mencegah hal ini adalah dengan
mengedukasi pasien untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepatuhan
pengobatan untuk pemulihan yang lebih cepat. Dapat juga disarankan untuk
memakai pakaian untuk menutupi lesi (Trasia, 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Chandler, D. J. and Fuller, L. C. (2019) ‘A Review of Scabies: An Infestation


More than Skin Deep’, Dermatology, 235, pp. 79–90. doi:
10.1159/000495290.
C.M.Salavastru, O.Chosidow, M.J.Boffa & etc, 2017. European Guideline For
The Management of Scabies. European Academy of Dermatology and
Venerology.
Engelman, D., Cantey, P. T., Marks, M. & etc, 2019. The Public Health Control
of Scabies : Priorities For Reasearch and Action.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2019) Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 7th edn. Edited by S. L. S. Menaidi, K. Bramono, and W.
Indriatami.
Gilson, R. L. & Crane, J. S., 2021. Scabies. PMC Europe.
Kang, S. et al. (2019) Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edn. McGraw-Hill
Education.
Khan, M. M. et al. (2020) ‘“The Management of Scabies Infection among the
Outdoor Patients of BIRDEM General Hospital, Dhaka, Bangladesh”’,
Saudi Journal of Medical and Pharmaceutical Sciences, 6(5), pp. 405–
415. doi: 10.36348/sjmps.2020.v06i05.003.
Leung, A. K. C., Lam, J. M. and Leong, K. F. (2019) ‘Scabies: A Neglected
Global Disease’, Current Pediatric Reviews, 16(1), pp. 33–42. doi:
10.2174/1573396315666190717114131.
Luthfa, I. and Nikmah, S.A., 2019. Perilaku Hidup Menentukan Kejadian
Skabies. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 9(1),
pp.35-41.
Merti, L.G.I.A., Mutiara, H., Suwandi, J.F. and Ayu, P.R., 2019. Hubungan
Skabies dengan Prestasi Belajar pada Santri Pondok Pesantren di Bandar
Lampung. MEDULA, medicalprofession journal of lampung
university, 8(2), pp.76-81.
Micali, G. et al. (2016) ‘Scabies: Advances in Noninvasive Diagnosis’, PLoS
Neglected Tropical Diseases, 10(6). doi: 10.1371/journal.pntd.0004691.
Nemecek, R. et al. (2020) ‘Application errors associated with topical treatment of
scabies: an observational study’, JDDG - Journal of the German Society of
Dermatology, 18(6), pp. 554–559. doi: 10.1111/ddg.14122.
Nisa, F.R. and Rahmalia, D., 2019. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Skabies pada Santri Putra di Pondok Pesantren Darurrahmah
Gunung Putri Bogor. Jurnal Untuk Masyarakat Sehat (JUKMAS), 3(1),
pp.16-23.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (2017) Panduan Praktik Klinik Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 1st edn.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) (2017)
Panduam Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan kelamin di
Indonesia. Jakarta.
Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda, S., Dr.dr.Aida S.D. Suriadiredja, S., dr.Aryani
Sudharmono, S. & etc, 2016. Skabies. In: S. Dr.dr.Sri Linuwih SW
Menaldi, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, pp. 138-139.
Sunderkötter, C., Feldmeier, H., Fölster‐Holst, R., Geisel, B., Klinke‐Rehbein, S.,
Nast, A., Philipp, S., Sachs, B., Stingl, J., Stoevesandt, J. and Hamm, H.,
2016. S1 guidelines on the diagnosis and treatment of scabies–short
version. JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen
Gesellschaft, 14(11), pp.1155-1167.
Trasia, R. F. (2021) ‘Scabies: Treatment, Complication, and Prognosis’, Cermin
Dunia Kedokteran, 48(12), pp. 704–707.
Yanes, D. A. and Faith, E. F. (2018) ‘Nodular scabies: A persistent nodular
eruption’, Dermatology Online Journal, 28(8), p. 18. doi:
10.5070/d3248041135.

Anda mungkin juga menyukai