Anda di halaman 1dari 31

RESPONSI

SKABIES

DISUSUN OLEH :
Jonathan Wibisono Tumali
NIM :
2015.04.2.0079

BAGIAN ILMU KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
BAB 1 STATUS PASIEN 1
1.1. Identitas Penderita 1
1.2. Anamnesa 1
1.3. Pemeriksaan Fisik 1
1.4. Diagnosa Banding 4
1.5. Pemeriksaan Penunjang 5
1.6. Resume 5
1.7. Diagnosa 6
1.8. Penatalaksanaan 6
1.9. Prognosis 7
BAB 2 SKABIES 8
2.1. Definisi 8
2.2. Epidemiologi 8
2.3. Sejarah 9
2.4. Etiologi 9
2.5. Patogenesis 12
2.6. Bentuk Skabies 13
2.7. Gejala Klinis 16
2.8. Diagnosis 18
2.9. Diagnosis Banding 21
2.10. Terapi 21
2.11. Preventif 24
2.12. Gejala Persisten 25
2.13. Prognosis 25
BAB 3 KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 29

i
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. IDENTITAS PENDERITA


Nama : An. A. F.
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kampung Malang 5/66, Surabaya
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 2 Mei 2017
1.2. ANAMNESA

Keluhan Utama
Bintil kemerahan dan luka pada kedua sela-sela jari tangan, lutut
kanan, tungkai bawah kanan bagian atas dan bawah, dan sela-sela jari kaki
kiri.
Keluhan Tambahan
Rasa gatal pada bagian tubuh yang terdapat bintil kemerahan,
terutama saat malam hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang ke poli kulit dan kelamin RSAL Surabaya pada
tanggal 2 Mei 2017 bersama dengan ibunya dengan keluhan muncul bintil
kemerahan pada kedua sela-sela jari tangan, lutut kanan, tungkai bawah
kanan bagian atas dan bawah, dan sela-sela jari kaki kiri yang sudah
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya muncul bintil kemerahan yang
menimbulkan rasa gatal di sela-sela jari tangan. Gatal yang dirasakan
semakin memberat pada malam hari. Semakin lama bintil kemerahan
menyebar pada bagian lutut kanan, tungkai bawah kanan bagian atas dan
bawah, dan sela-sela jari kaki kiri. Penderita sering menggaruk daerah
yang gatal terutama lutut kanan dan lama-lama timbul luka dan terdapat
nanah.
Pasien mengaku sudah pernah berobat di Puskesmas selama 3
minggu terakhir dengan salep yang digunakan 1 minggu 1 kali pada
tempat luka dan obat antigatal. Pasien mengaku gatalnya sudah berkurang
tapi luka – luka makin bertambah banyak.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi terhadap makanan (Ayam, Telur, Kacang, dan
Coklat) disangkal
 Riwayat penyakit yang sama disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat alergi di dalam keluarga disangkal.
 Riwayat Asma disangkal
 Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit dengan gejala yang
sama
Riwayat Psikososial
 Pasien mandi 2x sehari memakai sabun mandi antiseptik dan
menggunakan air bersih di pondok pesantren.
 Pasien merupakan siswa pondok pesantren.
 Pasien tidur satu kasur sendirian.
 Teman – teman pasien banyak yang mengalami gejala serupa.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Status Gizi : cukup
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 72 kali/menit, regular, isi cukup
Laju Respirasi : 20 kali/menit, reguler
Suhu Tubuh : 36,2 ºC

Status Generalis

2
Kepala -Leher :a/i/c/d=-/-/-/-
Pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris, Cor = dbn
Pulmo = ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : Soefl, bising usus (+) normal
Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), pembesaran KGB inguinal (-)

Status Dermatologis
1. Lokasi : Interdigiti manus dextra et sinitra
Efloresensi : Tampak papul eritematous multiple, ditemukan terowongan,
pustula, erosi dan krusta.

2. Lokasi : Genu dextra


Efloresensi : Makula, papul eritematous multiple, ditemukan
terowongan, pustula, krusta.

3
3. Lokasi : Cruris dextra
Efloresensi : Makula papula eritematous multiple disertai krusta
4. Lokasi : Dorsum pedis sinistra dan interdigiti pedis sinistra

Efloresensi : Makula papula eritematous multiple, pustula dan krusta

4
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan telur, feses tungau, dan
tungau dewasa dari Sarcoptes scabiei.

1.4. RESUME
 Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun datang dengan keluhan muncul
keluhan muncul bintil kemerahan pada kedua sela-sela jari tangan, lutut
kanan, tungkai bawah kanan bagian atas dan bawah, dan sela-sela jari kaki
kiri yang sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya muncul bintil
kemerahan yang menimbulkan rasa gatal di sela-sela jari tangan, terutama
pada malam hari kemudian menyebar ke anggota tubuh yang lain.
Penderita sering menggaruk daerah yang gatal terutama lutut kanan dan
lama-lama timbul luka dan terdapat nanah. Pasien sudah pernah berobat di
Puskesmas selama 3 minggu terakhir dengan obat salep dan obat antigatal.
 Pada status dermatologis, pada interdigiti manus dextra et sinistra, genu
dan cruris dextra, dorsum pedis sinistra dan interdigiti pedis sinistra
terdapat papul eritematous multiple, ditemukan terowongan, pustula dan
krusta.

1.5. DIAGNOSA

5
Scabies dengan infeksi sekunder

1.6. DIAGNOSA BANDING


Cutaneus Larva Migran
Pedikulosis Corporis
Pyoderma

1.7. PENATALAKSANAAN
 Planning Diagnosis
Mencari Sarcoptes Scabiei dewasa, larva, telur dari kerokan lesi dan
dilihat dengan kaca pembesar atau mikroskop oleh tenaga yang lebih
ahli.
Mencari penyebab infeksi sekunder dengan pemeriksaan gram.
 Planning Terapi
 Medikamentosa
o Permethrin 5% krim 30 g, dioleskan 1x malam hari di seluruh
tubuh kecuali wajah dan mandi / dicuci setelah 8 – 10 jam.
Setelah pengolesan pertama belum sembuh, maka dapat
diulang kembali 1 Minggu kemudian.
o Loratadine 10 mg tablet, 1x sehari untuk mengurangi rasa
gatal.
o Gentamicin Salep 0,1% 5 g, dioles 2x sehari pada bagian
yang bernanah untuk mengatasi infeksi sekunder.
o Cefixime 100mg 2x sehari. Untuk mengatasi infeksi sekunder
o Sulfur Soap 10%, digunakan 2x sehari untuk mandi.
 Non-medikamentosa
o Menjaga kebersihan tubuh
o Menjaga kebersihan pakaian dan tidak bertukar pakaian
dengan orang lain.
o Bekas pakaian, sprei, selimut, handuk harus direndam dan
dicuci dengan air panas

6
o Seluruh teman yang kontak dengan penderita harus diperiksa
dan bila juga menderita skabies, diobati secara bersamaan
agar tidak terjadi penularan.

1.8. PROGNOSIS
Baik bila penderita melakukan pengobatan sesuai dengan petunjuk dokter,
dan menjaga kebersihan.

7
BAB 2
SCABIES

2.1. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei var. hominis ke dalam epidermis.
Sarcoptes scabiei ini dapat ditemukan di dalam terowongan lapisan tanduk kulit
pada tempat-tempat predileksi. (Djuanda; dkk, 2010; Wolff K; dkk, 2008).

2.2. Epidemiologi
Prevalensi skabies diseluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per
tahun. (Desmawati dkk, 2015) Di beberapa Negara yang sedang berkembang,
prevalensi skabies sekitar 6-27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada
anak usia sekolah serta remaja. Menurut data Departemen Kesehatan RI
prevalensi skabies di puskesmas di seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,5-
12,9% dan menduduki urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit terbanyak. Di Divisi
Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr. Soetomo selama 6 tahun (1996
sampai 2001) skabies menduduki urutan ke-3 diantara 10 penyakit kulit terbanyak
(10,5-12,3%). Jumlah penderita skabies anak usia 1-14 tahun di Divisi
Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr. Soetomo tahun 2003 sebanyak 80
penderita. (Murtiastutik D,2005).
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain:
sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologi.
Cara penularan :
1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual)
2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal,
dan lain-lain.
Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabei betina yang sudah dibuahi
atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabei vay.

8
animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka
yang banyak memelihara binatang peliharaan misalnya anjing. (Djuanda; dkk,
2010)

2.3. Sejarah
Kepustakaan tertua mengenai skabies menyatakan bahwa orang pertama
yang menguraikan skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar
yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162.
Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut “soab” yang hidup pada kulit dan
menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk muncul binatang kecil yang sulit dilihat
dengan mata telanjang. (Sungkar S., 1995)
Pada tahun 1687, Giovan Cosimo Bonomo menulis surat kepada Fransisco
Redi dan menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat mengeluarkan “little
bladder of water” dari lesi skabies anaknya. (Sungkar S., 1995)
Surat Bonomo ini kemudian dilupakan orang dan pada tahun 1812 Gales
melaporkan telah menemukan Sarcoptes scabiei dan tungau yang ditemukannya
dilukis oleh Meunir. Sayangnya, penemuan Gales ini tidak dapat dibuktikan oleh
ilmuwan lainnya. Pada tahun 1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang
ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai
penipu. Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika Renucci seorang
mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau
dari penderita skabies dengan sebuah jarum. (Sungkar S., 1995)

2.4. Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu
sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabieidan Sarcoptes
scabiei varian hominis. (Makatutu, H., 1990) Sarcoptes scabiei termasuk kedalam
filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes. Pada
manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis . (Djuanda; dkk, 2010) Kutu ini
khusus menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit
manusia.Selain itu terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis. Sarcoptes
scabiei varian animalis menyerang hewan seperti anjing, kucing, lembu, kelinci,

9
ayam, itik, kambing, macan, beruang dan monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan
ini dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan
tersebut diatas, misalnya peternak, gembala, dll. Gejalanya ringan, sementara,
gatal kurang, tidak timbul terowongan-terowongan, tidak ada infestasi besar dan
lama serta biasanyaakan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi
yang bersih. (Makatutu, H., 1990)
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata.Tungau ini translusen, berwarna putih kotor
dan tidak bermata.Ukurannya, yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-
350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200
mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan
sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan
rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut
dan keempat berakhir dengan alat perekat. (Djuanda; dkk, 2010)

Gambar 1. Tungau Scabies Betina

Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat saat
kontak kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan 2,5
cm – 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum ada studi mengenai waktu
kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit skabies namun dikatakan jika ada
riwayat kontak dengan penderita, maka terjadi peningkatan resiko tertular
penyakit skabies. (Beggs, J. dkk, 2005)
Penyebab utama gejala – gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei
betina. Bila tungau betina telah mengandung (hamil), ia membuat terowongan
pada lapisan tanduk kulit dimana ia meletakkan telurnya. (Makatutu, H., 1990)

10
Siklus hidup tungau adalah setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah
dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan
lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki.Larva ini dapat tinggal dalam terowongan tetapi
dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2
bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai
dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. (Djuanda;
dkk, 2010)

Gambar 2. Siklus Hidup Tungau Skabies

Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu yang lembab dan pada suhu
kamar (210C dengan kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar
tubuh hospes selama 24-36 jam. (Murtiastutik D., 2005)
Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian
tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan
lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area
sekitar pusar dan penis. Pada bayi-bayi karena seluruh kulitnya tipis, telapak
tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang. (Makatutu, H., 1990)
Tungau biasanya memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah

11
kulit. Selama makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan
arah horizontal. (Beggs J. dkk, 2005) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
beberapa ahli memperlihatkan bahwa tungau skabies khususnya yang betina
dewasa secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit
manusia.lipid tersebut diantaranya adalah asam lemak jenuh odd-chain-length
(misalnya pentanoic dan lauric) dan tak jenuh(misalnya oleic dan linoleic) serta
kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa lipid yang
terdapat pada kulit manusia dan beberapa mamalia dapat mempengaruhi baik
insiden infeksi maupun distribusi terowongan tungau di tubuh.Bila telah terbentuk
terowongan maka tungau dapat meletakkan telur setiap hari. Tungau dewasa
meletakkan baik telur maupun kotoran pada terowongan dan analog dengan
tungau debu, tampaknya enzim pencernaan pada kotoran adalah antigen yang
penting untuk menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies. (Murtiastutik
D., 2005)

2.5. Patogenesis
Sarcoptes scabiei dapat menyebabkan reaksi kulit yang berbentuk eritem,
papul atau vesikel pada kulit dimana mereka berada. Timbulnya reaksi kulit
disertai perasan gatal. (Makatutu, H., 1990)
Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala
pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi
kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau maupun sekret yang
dihasilkan terowongan di bawah kulit. Tungau skabies menginduksi antibodi IgE
dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat.Lesi-lesi di sekitar
terowongan terinfiltrasi oleh sel-sel radang. Lesi biasanya berupa eksim atau
urtika, dengan pruritus yang intens, dan semua ini terkait dengan hipersensitivitas
tipe cepat. Pada kasus skabies yang lain, lesi dapat berupa urtika, nodul atau
papul, dan ini dapat berhubungan dengan respons imun kompleks berupa
sensitisasi sel mast dengan antibodi IgE dan respons seluler yang diinduksi oleh
pelepasan sitokin dari sel Th2 dan/atau sel mast. (Murtiastutik D., 2005)
Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara langsung,
dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri. (Makatutu, H., 1990)

12
Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder.
(Djuanda; dkk, 2010)

2.6. Bentuk Skabies


Terkadang diagnosis skabies sukar ditegakkan karena lesi kulit bisa
bermacam-macam. Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-
bentuk khusus skabies antara lain :

a. Skabies Nodula
Bentuk ini sangat jarang dijumpai dan merupakan suatu bentuk
hipersensitivitas terhadap tungau skabies, dimana pada lesi tidak
ditemukan Sarcoptes scabiei. Lesi berupa nodul yang gatal, merah cokelat,
terdapat biasanya pada genitalis laki-laki, inguinal dan ketiak yang dapat
menetap selama berbulan-bulan. Untuk menyingkirkan dengan limfoma
kulit diperlukan biopsi. Bentuk ini juga terkadang mirip dengan beberapa
dermatitis atopik kronik. Apabila secara inspeksi, kerokan atau pun biopsi
tidak jelas, maka penegakan diagnosis dapat melalui adanya riwayat
kontak dengan penderita skabies atau lesi membaik denngan pengobatan
khusus untuk skabies. (Murtiastutik D., 2005)

b. Skabies Incognito
Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga
memberi respons terhadap pengobatan steroid baik topikal maupun
sistemik. Pada kebanyakan kasus, skabies menjadi lebih parah dan
diagnosis menjadi lebih mudah ditegakkan. Tetapi pada beberapa kasus,
pengobatan steroid membuat diagnosis menjadi kabur, dan perjalanan
penyakit menjadi kronis dan meluas yang sulit dibedakan dengan bentuk
ekzema generalisata. Penderita ini tetap infeksius, sehingga diagnosis
dapat ditegakkan dengan adanya anggota keluarga lainnya. (Makatutu, H.,
1990; Murtiastutik D., 2005)

c. Skabies Pada Bayi


Skabies pada bayi dapat menyebabkan gagal tumbuh atau menjadi
ekzema generalisata.Lesi dapat mengenai seluruh tubuh termasuk kepala,

13
leher, telapak tangan dan kaki.Pada anak-anak seringkali timbul vesikel
yang menyebar dengan gambaran suatu impetigo atau infeksi sekunder
oleh Staphylococcus aureus yang menyulitkan penemuan terowongan.
(Makatutu, H., 1990; Murtiastutik D., 2005)

d. Skabies Norwegia
Skabies jenis ini sering disebut juga skabies berkrusta (crusted
scabies) yang memiliki karakteristik lesi berskuama tebal yang penuh
dengan infestasi tungau.Istilah skabies Norwegia merujuk pada Negara
yang pertama mendeskripsikan kelainan ini yang kemudian diganti dengan
istilah skabies berkrusta.Bentuk lesi jenis skabies ini ditandai dengan
dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, pada kuku dan kepala.
Penyakit ini dikaitkan dengan penderita yang memiliki defek imunologis
misalnya usia tua, debilitas, disabilitas pertumbuhan, contohnya seperti
sindrom Down, juga pada penderita yang mendapat terapi imunosupresan.
Tidak seperti skabies pada umumnya, penyakit ini dapat menular melalui
kontak biasa.Masih belum jelas apakah hal ini disebabkan jumlah tungau
yang sangat banyak atau karena galur tungau yang berbeda.Studi lain
menunjukkan pula bahwa transmisi tidak langsung seperti lewat handuk
dan pakaian paling sering menyebabkan skabies berkrusta. Terapi yang
dapat diberikan selain skabisid adalah terapi suportif dan antibiotik.
(Murtiastutik D., 2005)

Gambar 5. Skabies berkrusta pada regio abdomen

14
e. Skabies Pada Penderita HIV/AIDS
Gejala skabies pada umumnya tergantung pada respons imun, karena
itu tidak mengherankan bahwa spektrum klinis skabies penderita HIV
berbeda dengan penderita yang memiliki status imun yang
normal.Meskipun data yang ada masih sedikit, tampaknya ada
kecenderungan bahwa penderita dengan AIDS biasanya menderita bentuk
skabies berkrusta (crusted scabies).Selain itu, skabies pada penderita
AIDS biasanya juga menyerang wajah, kulit, dan kuku dimana hal ini
jarang didapatkan pada penderita status imunologi yang normal.
(Murtiastutik D., 2005)
Gambaran klinis yang tidak khas ini kadang membingungkan dengan
diagnosis penyakit Darier White atau keratosis folikularis yaitu suatu
penyakit dengan lesi popular yang berskuama pada area seboroik termasuk
badan, wajah, kulit kepala dan daerah lipatan. Skabies juga harus
dipikirkan sebagai diagnosis banding penderita AIDS dengan lesi
psoriasiform, yang terkadang didiagnosis sebagai ekzema. Pada penderita
dengan status imunologi yang normal, pruritus merupakan tanda khas,
sedangkan pada beberapa penderita AIDS, pruritus tidak terlalu dirasakan.
Hal ini mungkin disebabkan status imun yang berkurang dan kondisi ini
berhubungan dengan konversi penyakit menjadi bentuk lesi berkrusta.
(Murtiastutik D., 2005)
Seperti pada penderita umumnya, lesi skabies berkrusta pada
penderita AIDS mengandung tungau dalam jumlah besar dan sangat
menular. Beberapa kasus penularan nosokomial kepada penderita lain dan
juga petugas kesehatan pernah dilaporkan. Pada penderita AIDS, skabies
berkrusta juga berhubungan dengan bakteremia, yang biasanya disebabkan
oleh S. aureus, dan Streptococcus grup A, Streptococcus grup lain bakteri
gram negatif seperti Enterobacter cloacae dan Pseudomonas aeroginosa.
Sebagian ahli menyarankan pemberian antibiotika profilaksis pada
penderita AIDS dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan
sebagian lain menganjurkan tindakan yang tepat ada dengan pengawasan
ketat. (Murtiastutik D., 2005)

15
Pengobatan skabies berkrusta pada penderita AIDS memerlukan
waktu yang lebih lama.Pada beberapa aplikasi lindane selama 6 minggu
dengan dosis seminggu sekali berhasil dengan baik, seperti halnya aplikasi
2 atau 3 kali dengan interval 48 atau 72 jam.Permetrin juga pernah dipakai
pada beberapa kasus.Selain itu, secara bersamaan dianjurkan penggunaaan
keratolitik seperti asam salisilat 6%.Akibat tebalnya krusta, penetrasi
topikal skabisid pada penderita AIDS terkadang tidak begitu baik.Selain
itu, jumlah tungau yang banyak juga membuat obat topikal kurang efektif.
Sehingga dianjurkan untuk penggunaan terapi skabisid orang yaitu
ivermektin. (Murtiastutik D., 2005)

f. Skabies Pada Orang Bersih


Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan
jumlah yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara
teratur.

2.7. Gejala Klinis


Ada 4 tanda kardinal :
1. Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab
dan panas.
2. Penyakit ini menyerang secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh angota keluarga terkena infeksi. Begitu pula
dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar
tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal
keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena.
Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala.
Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok,
rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul
atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi
polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya

16
biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu :
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar,
lipat keitiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus,
bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi
dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

Gambar 6. Kelainan kulit pada sela-sela jari dan penis

Gambar 7. Kelainan kulit pada bagian punggung

Gambar 8. Kelainan kulit pada mammae


4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. (Djuanda; dkk,
2010)

17
Gambar 9. Tempat Predileksi Skabies

Gambar 10. Tungau Skabies pada Stratum Korneum

Terdapat berbagai variasi dalam gambaran klinis, mulai dari bentuk-bentuk


yang tidak khas pada orang-orang yang tingkat kebersihannya tinggi, berupa
papul-papul saja pada tempat predileksi. Tidak jarang terjadi infeksi sekunder
akibat garukan dengan kebersihan kuku yang kurang baik. Pada kasus-kasus yang
kebersihannya kurang baik dapat terlihat ektima, impetigo, selulitis, folikulitis,
dan furunkulosis. (Makatutu, H., 1990)

2.8 Diagnosis
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus
nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustule di tempat predileksi,
distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada predileksi, adanya
penyakit yang sama pada orang-orang sekitar. (Makatutu, H., 1990)
Terowongan terkadang sulit ditemukan, dan petunjuk yang lazim adalah
penyebaran yang khas. Diagnosa klinis apabila terdapat 2 dari antara 4 tanda
kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada identifikasi mikroskopis adanya
tungau, telur atau fecal pellet. Seringkali tungau tidak dapat dapat ditemukan
ditemukan walau terdapat lesi skabies nodula yang klasik di genitalia, atau ruam

18
yang khas dengan riwayat gatal-gatal pada anggota keluarga yang lain. Dari
beberapa penelitian yang telah lama dilakukan beberapa ahli menemukan bahwa
dari sebagian besar penderita skabies hanya dapat ditemukan sedikit tungau dari
setiap penderita. (Murtiastutik D., 2005)
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
(Murtiastutik D., 2005)
1. Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula
menggunakan scalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek,
diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup dan dengan
pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat tungau, telur atau fecal pellet.
2. Mengambil tungau dengan jarum
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali
pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.
3. Epidermal shave biopsy
Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari
telunjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan scalpel nomor yang 15
dilakukan sejajar dengan permukaan kulit.Biopsi dilakukan sangat
superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak perlu anestesi.
Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan
diperiksa dengan mikroskop.
4. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak
papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan
di gelas objek dan ditetesi minyak mineral.
5. Tes tinta Burowi
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang
karakteristik, berbelok-belok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak

19
sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-
kooperatif.
6. Tetrasiklin topikal
Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai.Setelah
dikeringkan selama 5 menit kemudian hapus larutan tersebut dengan
isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui stratum
korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu wood,
sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat
ditemukan.
7. Hapusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas
objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan
diperiksa dengan mikroskop.
8. Biopsi plong (punch biopsy)
Biopsy berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau
telur. Jumlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya sekitar 12,
sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang meradang. Secara
umum digunakan punch biopsy, tetapi biopsy mencukur epidermis adalah
lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik local pada
penderita yang tidak kooperatif.

Selain itu, alat lain yang dapat dipakai untuk diagnostik adalah dermoskopi.
Argenziano melaporkan bahwa alat ini cukup efektif. Pembesaran gambar
menunjukkan struktur triangular kecil berwarna gelap yang berhubungan dengan
bagian anterior tungau yang berpigmen, dan suatu segmen linier haus di belakang
segitiga yang mengandung gelembung udara kecil, dimana kedua gambaran ini
menyerupai “jet with contrail”dan dianggap sebagai bentuk terowongan beserta
telur dan fecal pellet. Dilaporkan juga oleh Bezold bahwa penggunaan
polymerase chain reaction (PCR) untuk membuktikan adanya skabies pada
penderita yang secara klinis menunjukkan eczema atipikal. Skuama epidermal

20
positif untuk DNA Sarcoptes scabiei sebelum terapi dan menjadi negatif 2 minggu
setelah terapi. (Murtiastutik D., 2005)
Dari berbagai cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang
paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan.
Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang
berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit
diketahui.Swab kulit mudah dilakukan tetapi memerlukan waktu lama karena dari
1 lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada
hampir seluruh lesi. Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil
positif karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi
infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat
dimasuki tinta atau salep. (Sungkar S., 1995)

2.9 Diagnosis Banding


Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga “The
great imitator”. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis
dengan keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo,
pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus,
gigitan serangga. (Djuanda; dkk, 2010; Sungkar S., 1995)

2.10. Terapi
Terapi skabies ini juga harus tuntas bagi penderita dan juga dilakukan bagi
keluarga penderita yang memiliki gejala yang sama karena skabies yang tidak
terobati biasanya memiliki hubungan dengan peningkatan kejadian pyoderma oleh
Streptococcus pyogenes. (McCarthy, J., 2004) Terdapat sejumlah terapi skabies
yang efektif dan pemilihannya tergantung pada biaya dan potensi toksiknya.
Terkadang penderita menggunakan obat lebih lama dari waktu yang dianjurkan,
sehingga mengetahui kuantitas obat yang tepat untuk diresepkan akan dapat
mencegah timbulnya iritasi akibat pemakaian obat yang berlebihan, yang pada
akhirnya disalahartikan sebagai kegagalan terapi. Skabisid topikal sebaiknya
dipakai di seluruh tubuh kecuali wajah. Obat harus segera dibersihkan secara
menyeluruh setelah periode waktu yang dianjurkan. Pagi hari setelah terapi,
pakaian, sprei, dan handuk dicuci menggunakan air panas. Tungau akan mati pada

21
suhu 130oC. Pasien dapat diberikan edukasi untuk meningkatkan kebersihan
lingkungan dan perorangan. (Murtiastutik D., 2005)
Penderita hendaknya diberikan pengertian bahwa meskipun penyakit telah
diobati secara adekuat, rasa gatal akan tetap ada sampai beberapa bulan. Seluruh
anggota keluarga yang memiliki gejala harus diterapi, termasuk pasangan seksual.
Para ahli merekomendasikan terapi untuk anggota keluarga bersifat simultan,
karena angka kesembuhan setelah 10 minggu lebih tinggi. (Murtiastutik D., 2005)
Terapi topikal untuk skabies yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1. Krim Permetrin (Elimite, Acticin), yaitu suatu skabisid berupa
piretroid sintesis yang efektif pada manusia dengan toksisitas rendah,
bahkan dengan pemakaian yang berlebihan sekalipun dan obat ini telah
dipergunakan lebih dari 20 tahun. Krim permetrin ditoleransi dengan
baik, diserap minimal dan tidak diabsorbsi sistemik, serta
dimetabolisasi dengan cepat. Obat ini merupakan terapi pilihan lini
pertama rekomendasi dari CDC untuk terapi tungau tubuh. Penggunaan
obat ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar 1% untuk terapi
tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau tubuh. Studi
menunjukkan penggunaan permethrin 1% untuk tungau daerah kepala
lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi secara
sistemik. Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh
dari leher ke bawah dan dibilas setelah 8-14 jam. Bila diperlukan,
pengobatan dapat diulang setelah 5-7 hari kemudian. Belum ada
laporan terjadinya resistensi yang signifikan tetapi beberapa studi
menunjukkan adanya resistensi permethrin 1% pada tungau kepala
namun dapat ditangani dengan pemberian permethrin 5%. Permetrin
sebaiknnya tidak digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan atau
pada wanita hamil dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa
obat ini merupakan drug of choice untuk wanita hamil. Dikatakan
bahwa permethrin memiliki angka kesembuhan hingga 97,8% jika
dibandingkan dengan penggunaan ivermectin yang memiliki angka
kesembuhan 70%. Tetapi penggunaan 2 dosis ivermectin selama 2
minggu memiliki keefektifan sama dengan permethrin. Efek samping

22
yang sering timbul adalah rasa terbakar dan yang jarang adalah
dermatitis kontak dengan derajat ringan sampai sedang. (Leone, P.,
2007)
2. Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), merupakan pilihan terapi
lini kedua rekomendasi CDC. Dalam beberapa studi memperlihatkan
keefektifan yang sama dengan permetrin. Studi lain menunjukkan
lindane kurang unggul dibanding permetrin. Lindane memiliki angka
penyembuhan hingga 98% dan diabsorbsi secara sistemik pada
penggunaan topikal terutama pada kulit yang rusak. Sediaan obat ini
biasanya sebanyak 60 mg. Cara pemakaiannya adalah dengan dioleskan
dan dibiarkan selama 8 jam. Sama seperti pada permetrin, kadang
diperlukan pengolesan ulang 1 minggu setelah terapi pertama. Salah
satu kekurangan obat ini adalah absorbsi secara sistemik terutama pada
bayi, anak dan orang dewasa dengan kerusakan kulit yang luas. Lindane
memiliki efek samping yaitu toksik pada sistem saraf pusat dengan
keluhan utama kejang. Lindane sebaiknya tidak digunakan untuk bayi,
anak dibawah 2 tahun, dermatitis yang meluas, wanita hamil atau
menyusui, penderita yang pernah mengalami kejang atau penyakit
neurologi lainnya. Sejak 1 januari 2002, Negara bagian California telah
meninggalkan pemakaian lindane. Belum ada laporan mengenai
toleransi yang signifikan terhadap pemakaian lindane. (Leone, P., 2007)
3. Sulfur, biasanya diresepkan sebagai sulfur presipitat (6%) dalam
petrolatum. Sulfur dipakai saat malam hari selama 3 malam dan
dibersihkan secara menyeluruh 24 jam terakhir. Kekurangannya adalah
sulfur berbau, meninggalkan noda dan berminyak, mengiritasi,
membutuhkan pemakaian berulang, namun relatif aman, efektif dan
tepat untuk bayi berumur kurang dari 2 bulan dan selama kehamilan
atau menyusui. (Leone, P., 2007)
4. Benzil benzoat 25%, merupakan produk alamiah, disebut juga balsam
Peru dan telah dipergunakan lebih dari 60 tahun.Obat ini merupakan
skabisid kerja cepat yang efektif terhadap semua stadium namun tidak
dijual bebas di Amerika Serikat. Penggunaannya diberikan setiap

23
malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi
dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai. Benzyl benzoate
memiliki keefektifan yang sama dengan lindane. (Leone, P., 2007)
5. Krim Krotamiton (Eurax) dianggap tidak cukup efektif untuk
mengobati skabies. Kualitas krim ini dibawah permetrin dan
efektivitasnya setara dengan benzyl benzoat atau sulfur. (Murtiastutik
D., 2005)
Penyakit yang serius akibat skabies jarang didapatkan, kecuali pada bayi dan
penderita skabies berkrusta. Tetapi pruritus dan infeksi yang ditimbulkan dapat
menjadi masalah dan memerlukan terapi khusus. Lesi dengan fecal pellet
terkadang memberi rasa gatal untuk beberapa saat setelah tungau mati.Hal ini
memerlukan pemberian antihistamin dan bila gatal tetap mengganggu dapat
diberikan steroid oral dalam waktu yang singkat.Bila didapatkan superinfeksi oleh
bakteri, antibiotic harus diberikan. Terdapat istilah acarofobia yaitu penderita
dengan delusi.Penderita mulai merasa bahwa pada kulit mereka masih terdapat
tungau meskipun telah diobati. Bila gangguan ini berkelanjutan maka diperlukan
pertolongan psikiater. (Murtiastutik D., 2005)

2.11. Preventif
Menurut Agoes (2009) mengatakan bahwa penyakit skabies sangat erat
kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik, oleh sebab itu
untuk mencegah penyebaran penyakit skabies dapat dilakukan dengan cara:
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun
b. Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara teratur
minimal 2 kali dalam seminggu
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi skabies
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup

2.12. Gejala Persisten

24
Semua pasien harus diberikan informasi bahwa bercak-bercak dan gatal
karena skabies tersebut mungkin akan menetap lebih dari 2 minggu setelah terapi
selesai. Ketika gejala dan tanda masih menetap lebih dari 12 minggu, terdapat
beberapa kemungkinan yang dapat dijelaskan diantaranya resistensi terapi,
kegagalan terapi, re-infeksi dari anggota keluarga lain atau teman sekamar, alergi
obat, atau perburukan gejala karena reaktivitas silang dengan antigen dari
penderita skabies lainnya. (Leone, P., 2007)
Respon yang buruk dan dugaan resistensi terhadap lindane pernah
dilaporkan di tempat lain. Kegagagalan terapi yang tidak berhubungan dengan
resistensi terapi bisa disebabkan karena kegagalan penggunaan terapi skabisid
topikal. Pasien dengan skabies berkrusta mungkin memiliki penetrasi obat
skabisid yang buruk kedalam lapisannya yang bersisik tersebut dan mungkin
karena tungau bersembunyi di lapisan yang sulit di penetrasi. (Leone, P., 2007)
Upaya untuk menghindari infeksi berulang, perlu direkomendasikan agar
seluruh kontak dekat dengan pasien harus dieradikasi. Seluruh kain, selimur,
pakaian harus dicuci jika memungkinkan selama penggunaan skabisid topikal.
Bahkan setelah terapi berhasil dan infeksi berulang telah dicegah, gejala mungkin
dapat memburuk karena terjadi dermatitis alergi.Komplikasi ini telah terlihat pada
penggunaan beberapa jenis skabisid topikal. Dan pada akhirnya, tungau rumah
tangga biasa mungkin masih dapat menyebabkan gejala yang menetap sebagai
akibat dari reaktivitas silang antara antigennya. (Leone, P., 2007)

2.13. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik. (Djuanda;
dkk, 2010)
BAB 3

KESIMPULAN

Skabies meruakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei var. hominis. Prevalensi skabies di

25
Indonesia sebesar 4,60%-12,95% dan penyakit skabies ini menduduki urutan ke 3
dari 12 penyakit kulit tersering.
Tungau Sarcoptes scabiei membuat terowongan pada lapisan tanduk kulit
dengan siklus hidup dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu 8-12
hari. Tungau dapat menular melalui kontak langsung (seperti berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual) dan kontak tidak langsung (misalnya
melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk).
Sarcoptes scabiei menyebabkan reaksi kulit berupa eritem, papul atau
vesikel pada kulit. Selain bentuk tersebut, terdapat pula bentuk skabies lainnya
antara lain : skabies nodula (gambaran klinisnya berupa nodul berpigmen yang
terasa gatal), skabies incognito (gambaran klinis kabur, kronis dan meluas karena
penggunaan steroid), skabies pada bayi (dapat menjadi eksema generalisata),
skabies norwegia atau skabies berkrusta (lesi berskuama tebal yang penuh dengan
infestasi tungau) dan skabies pada penderita HIV/AIDS (biasanya skabies
berkrusta dan menyerang wajah, kulit dan kuku).
Gejala klinis skabies meliputi 4 tanda kardinal yaitu :
1) Pruritus nokturnal
2) Menyerang manusia secara kelompok
3) Adanya terowongan pada tempat-tempat predileksi seperti sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae pada wanita, umbilikus, bokong, genitalia eksterna
pada pria, dan perut bagian bawah.
4) Menemukan tungau.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis adanya tanda-tanda
kardinal. Diagnosis pasti ditegakan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskopis melalui beberapa cara seperti kerokan kulit, mengambil
tungau dengan jarum, epidermal shave biopsy, kuretase terowongan, tes tinta
Burowi, tetrasiklin topikal, apusan kulit dan biopsi plong (punch biopsy).
Penatalaksanaan untuk skabies yang sering digunakan antara lain:
1) Krim permetrin (elimite, acticin), sediaan krim 1% untuk terapi tungau pada
kepala dan krim 5% untuk terapi tungau tubuh, dioleskan pada area tubuh
dan dibilas setelah 8-14 jam.

26
2) Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), sediaan 60 mg, dioleskan dan
dibiarkan selama 8 jam.
3) Sulfur presipitat 6%, dipakai pada malam hari selama 3 malam dan
dibersihkan secara menyeluruh 24 jam terakhir.
4) Benzil benzoat 25%. Dipakai setiap malam selama 3 kali.
5) Krim krotamiton (eurax). Mulai jarang digunakan karena dianggap tidak
cukup efektif.
Lesi-lesi yang memberikan rasa gatal setelah tungau mati memerlukan
pemberian antihistamin, dan jika didapatkan superinfeksi oleh bakteri harus
diberikan antibiotik. Untuk menghindari infeksi berulang, seluruh kontak dekat
dengan pasien harus dieradikasi, seluruh kain, selimut, handuk dan pakaian harus
dicuci dengan air panas. Terapi harus tuntas bagi penderita dan keluarga penderita
yang memiliki gejala yang sama.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko, R. Skabies. In : Djuanda, A. Hamzah, N. Aisah, S. Ilmu Penyakit


Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009 : 119-122

2. Makatutu, H. Penyakit Kulit Oleh Parasit Dan Insekta. In : Harahap, M.


Penyakit Kulit. Jakarta : PT Gramedia. 1990 : 100-104

3. Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.


1995 : 1-25

4. Beggs, J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA : Michigan


Department Of Community Health. 2005 : 4-6, 10

5. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual : Skabies. Edisi 1.


Surabaya : Airlangga University Press. 2005 : 202-208

6. Setyaningrum, T. Listiawan, M. Zulkarnain, I. Kadar Imunoglobulin E-


Spesifik Terhadap Tungau Debu Rumah Pada Penderita Skabies
Nonatopi Anak. Berkala Ilmu Kesehatan Dan Kelamin 2007 : 19 :
100

7. Ma’rufi, I. Keman, S. Notobroto, H. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang


Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri
di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan
Lingkungan 2005 : 2 : 11-17

8. Chosidow, O. Scabies. The New England Journal Of Medicine 2006 : 1718-


1727

9. Department Of Public Health. Scabies. USA : Department Of Public Health


Division Of Communicable Disease Control. 2008 : 1-3

10. McCarthy, J. Kemp, D. Walton, S. Currie, B. Review Scabies : More Than


Just An Irritation. Postgrad Medical Journal 2004 : 80 : 382-386

11. Cox, N. Permethrin Treatment In Scabies Infestasion : Important Of Correct


Formulation. British Medical Journals 2000 : 320 : 37-38

12. Fox, G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of
Family Practice 2006 : 55 : para. 26-27, 30

13. Johnston, G. Sladden, M. Scabies : Diagnosis And Treatment. British Medical


Journal 2005 : 331 : 619-622

28
14. Leone, P. Scabies And Pediculosis : An Update Of Treatment Regiments And
General Review. Oxford Journals 2007 : 44 : 154-159

29

Anda mungkin juga menyukai