Anda di halaman 1dari 27

RESPONSI

ILMU KULIT DAN KELAMIN

SKABIES

DISUSUN OLEH :
Mochamad Reza Fadillah

2019.04.200.01

BAGIAN ILMU KULIT & KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I STATUS PASIEN 3
1.1 Identitas Penderita 3
1.2 Anamnesa 3
1.3 Pemeriksaan Fisik 5
1.4 Diagnosa Banding 6
1.5 Pemeriksaan Penunjang 7
1.6 Resume 7
1.7 Diagnosa 7
1.8 Penatalaksanaan 7
1.9 Prognosis 8
BAB II TINJUAN PUSTAKA 9
2.1 Definisi 9
2.2 Epidemiologi 9
2.3 Sejarah 9
2.4 Etiologi 10
2.5 Patogenesis 13
2.6 Bentuk Skabies 13
2.7 Gejala Persisten 17
2.8 Diagnosis 18
2.9 Diagnosis Banding 21
2.10 Penatalaksanaan 22
2.11 Preventif 24
2.12 Prognosis 25
BAB 3 KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27

2
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. S
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Pelajar SMP (Pesantren)
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 22 November 2019
Pukul : 11.15 WIB

1.2 Anamnesa
 Keluhan Utama
Gatal pada kedua sela jari tangan - kaki serta dada dan lipatan paha.

 Keluhan Tambahan
Timbul bintik kemerahan yang semakin banyak dan Rasa gatal
pada bagian tubuh yang terdapat bintik kemerahan, terutama saat
malam hari

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL Surabaya pada
tanggal 22 November 2019 bersama kakaknya dengan keluhan
gatal pada kedua sela jari tangan dan sela jari kaki yang kemudian
muncul juga di dada dan lipatan paha (inguinal). Gatal sudah
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya muncul bintik
kemerahan di sela jari kaki, kemudian semakin bertambah
banyak, disusul dengan bintik kemerahan di sela jari tangan.
Semakin lama bintik merah juga muncul di lipatan paha kemudian
di dada. Bintik merah tersebut gatal dan gatal semakin parah pada
3
malam hari atau saat akan istirahat. Pasien mengaku sering
menggaruk daerah yang gatal.

Pasien sudah memeriksakan ke unit kesehatan sekolah dan


disarankan menggunakan salep skabies tetapi pasien tidak
menggunakannya secara teratur dan sekarang sudah habis tetapi.
Masih belum membaik.

Pasien sehari-hari tinggal di pondok bersama teman-


temannya. Satu kamar tidur dengan 12 orang, dengan beralas
karpet. Karpet tidur dibersihkan oleh petugas kebersihan setiap
seminggu sekali. Pasien juga mengaku mandi sehari 2x, dengan
saling bertukar handuk mandi. Teman-teman sekamarnya juga
memiliki keluhan yang sama.

 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma disangkal
 Riwayat penyakit yang sama disangkal
 Riwayat alergi terhadap makanan dan obat disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Keluarga tidak ada memiliki keluhan gatal yang sama

 Riwayat Psikososial
 Pasien mandi 2x sehari memakai sabun mandi dan
menggunakan air PDAM.
 Penderita tinggal di pondok pesantren, tidur beralaskan tikar
yang sama dan mengaku beberapa temannya dalam satu
kamar juga mengalami sakit yang sama.
 Makan – makanan yang di sediakan pondok

4
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Laju Respirasi : 24 x/menit
Suhu Tubuh : 36,5oC

Status Generalis
KepalaLeher : dbn
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

Status Dermatologis
1. Lokasi : Interdigiti manus sinistra et dextra
Efloresensi : Papul eritematous, dan erosi multiple. Ditemukan
terowongan.

2. Lokasi : Interdigiti pedis dextra et sinistra


Efloresensi : Papul eritematous multiple, Tidak ditemukan
terowongan.

5
3. Lokasi : Inguinal dekstra et sinistra
Efloresensi : Papul eritematous multiple, Tidak ditemukan
terowongan.
4. Lokasi : Thoraks
Efloresensi : Papul eritematous multiple, Tidak ditemukan
terowongan.

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Melakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan telur, feses
tungau, dan tungau dewasa dari Sarcoptes scabiei dari kerokan lesi dan
dilihat dengan mikroskop.

6
1.5 Resume
Seorang laki-laki berusia 14 tahun datang dengan keluhan gatal dan
bintil kemerahan pada kedua sela jari tangan kanan dan kiri, sela jari kaki
kanan dan kiri, lipatan paha, serta dada sejak 1 tahun yang lalu lalu. Gatal
yang dirasakan semakin parah pada malam hari atau saat beristirahat.
Penderita menggaruk daerah yang gatal. Beberapa teman di pondok
mengalami keluhan yang sama. Terdapat riwayat saling meminjam handuk
saat mandi. Pada status dermatologis terdapat papul eritematous, erosi
multiple pada interdigiti manus sinistra et dekstra, pedis sinistra et dekstra,
inguinal, serta thoraks.

1.6 Diagnosis Banding


 Skabies
 Prurigo
 Pedikulosis korporis

1.7 Diagnosa
Skabies dengan Infeksi sekunder

1.8 Penatalaksanaan
 Planning Diagnosa
 Melakukan kerok lesi.

7
 Melakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan
telur, feses tungau, dan tungau dewasa dari Sarcoptes
scabiei dari kerokan lesi dan dilihat dengan mikroskop.

 Planning Terapi
 Medikamentosa
o Permethrin 5% krim 30 g, dioleskan 1x malam hari di
seluruh tubuh kecuali wajah dan mandi / dicuci setelah 8
– 10 jam. Setelah pengolesan pertama belum sembuh,
maka dapat diulang kembali 1 Minggu kemudian.
o Loratadine 10 mg tablet, 1x sehari untuk mengurangi
rasa gatal.
o Gentamicin Salep 0,1% 5 g, dioles 2x sehari untuk
mencegah infeksi sekunder.
o Cefixime 100mg 2x sehari. Untuk mengatasi infeksi
sekunder
o Sulfur Soap 10%, digunakan 2x sehari untuk mandi.

 Non-medikamentosa
o Menjaga kebersihan tubuh
o Menjaga kebersihan pakaian dan tidak bertukar pakaian
dengan orang lain
o Pakaian, sprei, selimut, handuk harus direndam dan
dicuci dengan air panas
o Seluruh anggota keluarga dan teman yang kontak
dengan penderita harus diperiksa dan bila juga
menderita skabies, diobati secara bersamaan agar tidak
terjadi penularan.

1.9 Prognosis
Baik bila penderita melakukan pengobatan sesuai dengan petunjuk
dokter dan membersihkan lingkungan tempat tinggal yang ditengarai
menjadi fokus penyebaran penyakit (faktor predisposisi).

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh
tungau Sarcoptes scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia.1

2.2 Epidemiologi
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara
lain: sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual
yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan
dermografik serta ekologi. Prevalensi skabies diseluruh dunia dilaporkan
sekitar 300 juta kasus per tahun. Di Negara Asia seperti seperti India,
prevalensi skabies sebesar 20,4%. Prevalensi skabies pada anak berusia
10-12 tahun di Penang, Malaysia sebesar 31%. Prevalensi skabies di
Indonesia sebesar 4,60%-12,95% dan penyakit skabies ini menduduki
urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.1,2

2.3 Sejarah
Kepustakaan tertua mengenai skabies menyatakan bahwa orang
pertama yang menguraikan skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel
Malek ben Zohar yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di
Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut
“soab” yang hidup pada kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk
muncul binatang kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang. Pada tahun
1687, Giovan Cosimo Bonomo menulis surat kepada Fransisco Redi dan
menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat mengeluarkan “little
bladder of water” dari lesi skabies anaknya. Surat Bonomo ini kemudian
dilupakan orang dan pada tahun 1812 Gales melaporkan telah menemukan
Sarcoptes scabiei dan tungau yang ditemukannya dilukis oleh Meunir.
Sayangnya, penemuan Gales ini tidak dapat dibuktikan oleh ilmuwan
lainnya. Pada tahun 1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang
9
ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan
sebagai penipu. Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika
Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan
cara mendapatkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum. 3,4,6

2.4 Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang
lalu sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabieidan
Sarcoptes scabiei varian hominis.3 Sarcoptes scabiei termasuk kedalam
filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes.
Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis.1 Kutu ini khusus
menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit
manusia. Selain itu terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis.
Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang hewan seperti anjing, kucing,
lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan, beruang dan monyet. Sarcoptes
scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang pekerjaannya
berhubungan erat dengan hewan tersebut diatas, misalnya peternak,
gembala, dll. Gejalanya ringan, sementara, gatal kurang, tidak timbul
terowongan-terowongan, tidak ada infestasi besar dan lama serta biasanya
akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang
bersih.1,5,8

Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval,


punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukurannya, yang betina berkisar
antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih
kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai
4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada
yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat.1

10
Gambar 1. Tungau Scabies Betina1

Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara


cepat saat kontak kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap
dengan kecepatan 2,5 cm – 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum
ada studi mengenai waktu kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit
skabies namun dikatakan jika ada riwayat kontak dengan penderita, maka
terjadi peningkatan resiko tertular penyakit skabies.1

Penyebab utama gejala – gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes


scabiei betina. Bila tungau betina telah mengandung (hamil), ia membuat
terowongan pada lapisan tanduk kulit dimana ia meletakkan telurnya.
Siklus hidup tungau adalah setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau
betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum,
dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2
atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang
dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya
dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang
kaki.Larva ini dapat tinggal dalam terowongan tetapi dapat juga ke luar.
Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan
dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur
sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari.1

11
Gambar 2. Siklus Hidup Tungau Skabies

Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu yang lembab dan
pada suhu kamar (210C dengan kelembapan relatif 40-80%) tungau masih
dapat hidup di luar tubuh hospes selama 24-36 jam. Sarcoptes scabiei
varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian tubuh mana yang
akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan lembab, seperti
di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area sekitar
pusar dan penis. Pada bayi-bayi karena seluruh kulitnya tipis, telapak
tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang. Tungau biasanya
memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit. Selama
makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah
horizontal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beberapa ahli
memperlihatkan bahwa tungau skabies khususnya yang betina dewasa
secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit manusia
lipid tersebut diantaranya adalah asam lemak jenuh odd-chain-length
(misalnya pentanoic dan lauric) dan tak jenuh (misalnya oleic dan linoleic)
serta kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa
lipid yang terdapat pada kulit manusia dan beberapa mamalia dapat
mempengaruhi baik insiden infeksi maupun distribusi terowongan tungau di
tubuh. Bila telah terbentuk terowongan maka tungau dapat meletakkan telur
setiap hari. Tungau dewasa meletakkan baik telur maupun kotoran pada
12
terowongan dan analog dengan tungau debu, tampaknya enzim
pencernaan pada kotoran adalah antigen yang penting untuk menimbulkan
respons imun terhadap tungau skabies.1,5,8

2.5 Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies,
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi
disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang
memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat itu
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,
urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta
dan infeksi sekunder.1

Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan


gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta
adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit. Tungau skabies
menginduksi antibodi IgE dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
cepat. Lesi-lesi di sekitar terowongan terinfiltrasi oleh sel-sel radang. Lesi
biasanya berupa eksim atau urtika, dengan pruritus yang intens, dan
semua ini terkait dengan hipersensitivitas tipe cepat. Pada kasus skabies
yang lain, lesi dapat berupa urtika, nodul atau papul, dan ini dapat
berhubungan dengan respons imun kompleks berupa sensitisasi sel mast
dengan antibodi IgE dan respons seluler yang diinduksi oleh pelepasan
sitokin dari sel Th2 dan/atau sel mast. Di samping lesi yang disebabkan
oleh Sarcoptes scabiei secara langsung, dapat pula terjadi lesi-lesi akibat
garukan penderita sendiri. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,
krusta, dan infeksi sekunder.1,5,8

2.6 Bentuk Skabies


Terkadang diagnosis skabies sukar ditegakkan karena lesi kulit bisa
bermacam-macam. Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula
bentuk-bentuk khusus skabies antara lain:

13
2.6.1 Skabies Nodula
Bentuk ini sangat jarang dijumpai dan merupakan suatu bentuk
hipersensitivitas terhadap tungau skabies, dimana pada lesi tidak
ditemukan Sarcoptes scabiei. Lesi berupa nodul yang gatal, merah cokelat,
terdapat biasanya pada genitalis laki-laki, inguinal dan ketiak yang dapat
menetap selama berbulan-bulan. Untuk menyingkirkan dengan limfoma
kulit diperlukan biopsi. Bentuk ini juga terkadang mirip dengan beberapa
dermatitis atopik kronik. Apabila secara inspeksi, kerokan atau pun biopsi
tidak jelas, maka penegakan diagnosis dapat melalui adanya riwayat kontak
dengan penderita skabies atau lesi membaik denngan pengobatan khusus
untuk skabies.9

2.6.2 Skabies Incognito


Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga
memberi respons terhadap pengobatan steroid baik topikal maupun
sistemik. Pada kebanyakan kasus, skabies menjadi lebih parah dan
diagnosis menjadi lebih mudah ditegakkan. Tetapi pada beberapa kasus,
pengobatan steroid membuat diagnosis menjadi kabur, dan perjalanan
penyakit menjadi kronis dan meluas yang sulit dibedakan dengan bentuk
ekzema generalisata. Penderita ini tetap infeksius, sehingga diagnosis
dapat ditegakkan dengan adanya anggota keluarga lainnya. 10

2.6.3 Skabies Pada Bayi


Skabies pada bayi dapat menyebabkan gagal tumbuh atau menjadi
ekzema generalisata. Lesi dapat mengenai seluruh tubuh termasuk kepala,
leher, telapak tangan dan kaki. Pada anak-anak seringkali timbul vesikel
yang menyebar dengan gambaran suatu impetigo atau infeksi sekunder
oleh Staphylococcus aureusyang menyulitkan penemuan terowongan.1,5

2.6.4 Skabies Norwegia


Skabies jenis ini sering disebut juga skabies berkrusta (crusted
scabies) yang memiliki karakteristik lesi berskuama tebal yang penuh
dengan infestasi tungau. Istilah skabies Norwegia merujuk pada Negara
yang pertama mendeskripsikan kelainan ini yang kemudian diganti dengan
14
istilah skabies berkrusta. Bentuk lesi jenis skabies ini ditandai dengan
dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, pada kuku dan kepala.
Penyakit ini dikaitkan dengan penderita yang memiliki defek imunologis
misalnya usia tua, debilitas, disabilitas pertumbuhan, contohnya seperti
sindrom Down, juga pada penderita yang mendapat terapi imunosupresan.
Tidak seperti skabies pada umumnya, penyakit ini dapat menular melalui
kontak biasa. Masih belum jelas apakah hal ini disebabkan jumlah tungau
yang sangat banyak atau karena galur tungau yang berbeda. Studi lain
menunjukkan pula bahwa transmisi tidak langsung seperti lewat handuk
dan pakaian paling sering menyebabkan skabies berkrusta. Terapi yang
dapat diberikan selain skabisid adalah terapi suportif dan antibiotik. 1,10

2.6.5 Skabies Pada Penderita HIV/AIDS


Gejala skabies pada umumnya tergantung pada respons imun,
karena itu tidak mengherankan bahwa spektrum klinis skabies penderita
HIV berbeda dengan penderita yang memiliki status imun yang normal.
Meskipun data yang ada masih sedikit, tampaknya ada kecenderungan
bahwa penderita dengan AIDS biasanya menderita bentuk skabies
berkrusta (crusted scabies). Selain itu, skabies pada penderita AIDS
biasanya juga menyerang wajah, kulit, dan kuku dimana hal ini jarang
didapatkan pada penderita status imunologi yang normal.1,8

Gambar 3. Skabies berkrusta pada regio abdomen

Gambaran klinis yang tidak khas ini kadang membingungkan dengan


diagnosis penyakit Darier White atau keratosis folikularis yaitu suatu

15
penyakit dengan lesi popular yang berskuama pada area seboroik termasuk
badan, wajah, kulit kepala dan daerah lipatan. Skabies juga harus dipikirkan
sebagai diagnosis banding penderita AIDS dengan lesi psoriasiform, yang
terkadang didiagnosis sebagai ekzema. Pada penderita dengan status
imunologi yang normal, pruritus merupakan tanda khas, sedangkan pada
beberapa penderita AIDS, pruritus tidak terlalu dirasakan. Hal ini mungkin
disebabkan status imun yang berkurang dan kondisi ini berhubungan
dengan konversi penyakit menjadi bentuk lesi berkrusta.1,8

Seperti pada penderita umumnya, lesi skabies berkrusta pada


penderita AIDS mengandung tungau dalam jumlah besar dan sangat
menular. Beberapa kasus penularan nosokomial kepada penderita lain dan
juga petugas kesehatan pernah dilaporkan. Pada penderita AIDS, skabies
berkrusta juga berhubungan dengan bakteremia, yang biasanya
disebabkan oleh S. aureus, dan Streptococcus grup A, Streptococcus grup
lain bakteri gram negatif seperti Enterobacter cloacae dan Pseudomonas
aeroginosa. Sebagian ahli menyarankan pemberian antibiotika profilaksis
pada penderita AIDS dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan
sebagian lain menganjurkan tindakan yang tepat ada dengan pengawasan
ketat.1,8

Pengobatan skabies berkrusta pada penderita AIDS memerlukan


waktu yang lebih lama. Pada beberapa aplikasi lindane selama 6 minggu
dengan dosis seminggu sekali berhasil dengan baik, seperti halnya aplikasi
2 atau 3 kali dengan interval 48 atau 72 jam. Permetrin juga pernah dipakai
pada beberapa kasus. Selain itu, secara bersamaan dianjurkan
penggunaaan keratolitik seperti asam salisilat 6%. Akibat tebalnya krusta,
penetrasi topikal skabisid pada penderita AIDS terkadang tidak begitu baik.
Selain itu, jumlah tungau yang banyak juga membuat obat topikal kurang
efektif. Sehingga dianjurkan untuk penggunaan terapi skabisid orang yaitu
ivermektin.1,8

16
2.6.6 Skabies Pada Orang Bersih
Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan
jumlah yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara
teratur.1

2.7. Gejala Klinis


Ada 4 tanda kardinal:1
1. Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari yang
disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu
yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh angota keluarga terkena
infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat
penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala.
Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang
dicuriga berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus
atau berkelok, rata-rata 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung cairan). Jika ada
infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung leokosit).
4. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Gatal yang
hebat terutama pada malam sebelum tidur. Adanya tanda: papula
(bintil), pustula (bintil bernanah), ekskoriasi (bekas garukan).

Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal
pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan
lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit.1

17
Gambar 4. Tempat Predileksi Skabies

Gambar 5. Tungau Skabies pada Stratum Korneum

2.8 Diagnosis
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya
pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustule di

18
tempat predileksi, distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada
predileksi, adanya penyakit yang sama pada orang-orang sekitar.1

Terowongan terkadang sulit ditemukan, dan petunjuk yang lazim


adalah penyebaran yang khas. Diagnosa klinis apabila terdapat 2 dari
antara 4 tanda kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada identifikasi
mikroskopis adanya tungau, telur atau fecal pellet. Seringkali tungau tidak
dapat ditemukan ditemukan walau terdapat lesi skabies nodula yang klasik
di genitalia, atau ruam yang khas dengan riwayat gatal-gatal pada anggota
keluarga yang lain. Dari beberapa penelitian yang telah lama dilakukan
beberapa ahli menemukan bahwa dari sebagian besar penderita skabies
hanya dapat ditemukan sedikit tungau dari setiap penderita. 1,11

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau


melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain:1,11,12

1. Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau
papula menggunakan scalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada
kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca
penutup dan dengan pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat
tungau, telur atau fecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum


Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap
(kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan
tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat
keluar.

3. Epidermal shave biopsy


Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari
dan jari telunjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan scalpel
nomor yang 15 dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi
dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan dan
19
tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu
ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.

4. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau
puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop,
setelah diletakkan di gelas objek dan ditetesi minyak mineral.

5. Tes tinta Burowi


Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus
dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis
yang karakteristik, berbelok-belok, karena ada tinta yang masuk. Tes
ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita
yang non-kooperatif.

6. Tetrasiklin topikal
Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai.
Setelah dikeringkan selama 5 menit kemudian hapus larutan
tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke
dalam melalui stratum korneum dan terowongan akan tampak
dengan penyinaran lampu wood, sebagai garis linier berwarna
kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

7. Hapusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi
dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di
atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas
objek) dan diperiksa dengan mikroskop.

8. Biopsi plong (punch biopsy)


Biopsy berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau
atau telur. Jumlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya
sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang
meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi biopsy

20
mencukur epidermis adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan
tanpa anestetik local pada penderita yang tidak kooperatif.

Selain itu, alat lain yang dapat dipakai untuk diagnostik adalah
dermoskopi. Argenziano melaporkan bahwa alat ini cukup efektif.
Pembesaran gambar menunjukkan struktur triangular kecil berwarna gelap
yang berhubungan dengan bagian anterior tungau yang berpigmen, dan
suatu segmen linier haus di belakang segitiga yang mengandung
gelembung udara kecil, dimana kedua gambaran ini menyerupai “jet with
contrail” dan dianggap sebagai bentuk terowongan beserta telur dan fecal
pellet. Dilaporkan juga oleh Bezold bahwa penggunaan polymerase chain
reaction (PCR) untuk membuktikan adanya skabies pada penderita yang
secara klinis menunjukkan eczema atipikal. Skuama epidermal positif untuk
DNA Sarcoptes scabiei sebelum terapi dan menjadi negatif 2 minggu
setelah terapi. Dari berbagai cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit
merupakan cara yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang
paling memuaskan. Mengambil tungau dengan jarum memerlukan
keterampilan khusus dan jarang berhasil karena biasanya terowongan sulit
diidentifikasi dan letak tungau sulit diketahui. Swab kulit mudah dilakukan
tetapi memerlukan waktu lama karena dari 1 lesi harus dilakukan 6 kali
pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi.
Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif karena
biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi
sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat
dimasuki tinta atau salep.1,11,12

2.9 Diagnosis Banding


Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga
“The great imitator”. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua
dermatosis dengan keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis
kontak, prurigo, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-
neurotik, liken planus, gigitan serangga.1

21
2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Penatalaksanaan Secara Umum.
Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi
secara teratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah
digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air
panas. Demikian pula dengan anggota keluarga yang beresiko tinggi untuk
tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga harus dijaga kebersihannya dan
untuk sementara waktu menghindari terjadinya kontak langsung. Secara
umum meningkatkan kebersihan lingkungan maupun perorangan dan
meningkatkan status gizinya. 1

Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan:


1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi
pengobatan secara serentak.
2) Higiene perorangan: penderita harus mandi bersih, bila perlu
menggunakan sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi
pakaian yang akan dipakai harus disetrika.
3) Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei,
bantal, kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah
sinar matahari selama beberapa jam.

2.10.2 Penatalaksanaan Secara Khusus


Terapi topikal untuk skabies yang sering digunakan adalah sebagai
berikut:1,11-13
1. Belerang Endap (sulfur)
Biasanya diresepkan dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim dalam petrolatum. Sulfur dipakai saat malam hari
selama 3 malam dan dibersihkan secara menyeluruh 24 jam
terakhir. Kekurangannya adalah sulfur berbau, meninggalkan
noda dan berminyak, mengiritasi, membutuhkan pemakaian
berulang, namun relatif aman, efektif dan tepat untuk bayi berumur
kurang dari 2 bulan dan selama kehamilan atau menyusui.

22
2. Emulsi benzil benzoat 20-25%
Merupakan produk alamiah, disebut juga balsam Peru dan telah
dipergunakan lebih dari 60 tahun. Obat ini merupakan skabisid
kerja cepat yang efektif terhadap semua stadium namun tidak
dijual bebas di Amerika Serikat. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
Penggunaannya diberikan setiap malam selama 3 kali. Benzyl
benzoate memiliki keefektifan yang sama dengan lindane.

3. Gamma-benzen heksaklorida (Lindane 1%)


Merupakan pilihan terapi lini kedua rekomendasi CDC. kadarnya
1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif
terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi
iritasi. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala
diulangi seminggu kemudian.

4. Krotamiton 10% (Eurax)


Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat
pilihan, mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal.
Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. Kualitas krim ini
dibawah permetrin dan efektivitasnya setara dengan benzyl
benzoat atau sulfur.

5. Permetrin 5% (Elimite, Acticin)


Yaitu suatu skabisid berupa piretroid sintesis yang efektif pada
manusia dengan toksisitas rendah, bahkan dengan pemakaian
yang berlebihan sekalipun dan obat ini telah dipergunakan lebih
dari 20 tahun. Krim permetrin ditoleransi dengan baik, diserap
minimal dan tidak diabsorbsi sistemik, serta dimetabolisasi
dengan cepat. Obat ini merupakan terapi pilihan lini pertama
rekomendasi dari CDC untuk terapi tungau tubuh. Penggunaan
obat ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar 1% untuk terapi
tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau tubuh.
Studi menunjukkan penggunaan permethrin 1% untuk tungau
23
daerah kepala lebih baik dari lindane karena aman dan tidak
diabsorbsi secara sistemik. Cara pemakaiannya dengan dioleskan
pada seluruh area tubuh dari leher ke bawah dan dibilas setelah
8-14 jam. Bila diperlukan, pengobatan dapat diulang setelah 5-7
hari kemudian. Belum ada laporan terjadinya resistensi yang
signifikan tetapi beberapa studi menunjukkan adanya resistensi
permethrin 1% pada tungau kepala namun dapat ditangani
dengan pemberian permethrin 5%. Permetrin sebaiknnya tidak
digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan atau pada
wanita hamil dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa
obat ini merupakan drug of choice untuk wanita hamil. Dikatakan
bahwa permethrin memiliki angka kesembuhan hingga 97,8% jika
dibandingkan dengan penggunaan ivermectin yang memiliki
angka kesembuhan 70%. Tetapi penggunaan 2 dosis ivermectin
selama 2 minggu memiliki keefektifan sama dengan permethrin.
Efek samping yang sering timbul adalah rasa terbakar dan yang
jarang adalah dermatitis kontak dengan derajat ringan sampai
sedang.

2.11 Preventif
Usaha mencegah penyebaran penyakit skabies dapat dilakukan
dengan cara:1,2
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun
b. Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara
teratur minimal 2 kali dalam seminggu
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang
dicurigai terinfeksi skabies
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup

Departemen Kesehatan RI memberikan beberapa cara pencegahan


yaitu dengan dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas

24
kesehatan tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan
penderita skabies dan orang-orang yang kontak dengan penderita skabies,
meliputi:1,2
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. Laporan
kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang
dilakukan.
b. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok
sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah
Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan
yang efektif. Disinfeksi serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang
digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum
pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem pemanasan pada
proses pencucian dan pengeringan, hal ini dapat membunuh kutu
dan telur.

2.12 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta
syarat pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain
hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis yang baik.1

25
BAB III

KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei var. hominis. Tungau
Sarcoptes scabiei membuat terowongan pada lapisan tanduk kulit. Tungau
dapat menular melalui kontak langsung (seperti berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual) dan kontak tidak langsung (misalnya
melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk). Sarcoptes scabiei
menyebabkan reaksi kulit berupa eritem, papul atau vesikel pada kulit.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis adanya tanda-tanda
kardinal. Diagnosis pasti ditegakan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskopis melalui beberapa cara seperti kerokan kulit,
mengambil tungau dengan jarum, epidermal shave biopsy, kuretase
terowongan, tes tinta Burowi, tetrasiklin topikal, apusan kulit dan biopsi
plong (punch biopsy). Penatalaksanaan untuk skabies dapat dengan
pemberian krim permetrin (elimite, acticin) sediaan krim 1% untuk terapi
tungau pada kepala dan krim 5% untuk terapi tungau tubuh, dioleskan pada
area tubuh dan dibilas setelah 8-14 jam. Lesi-lesi yang memberikan rasa
gatal setelah tungau mati memerlukan pemberian antihistamin, dan jika
didapatkan superinfeksi oleh bakteri harus diberikan antibiotik. Untuk
menghindari infeksi berulang, seluruh kontak dekat dengan pasien harus
dieradikasi, seluruh kain, selimut, handuk dan pakaian harus dicuci dengan
air panas. Terapi harus tuntas bagi penderita dan keluarga penderita yang
memiliki gejala yang sama.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke 7.
Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.
2. Dewi AP. Hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian
skabies di pondok pesantren al-kautsar Pekanbaru. Jurnal Online Mahasiswa
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. 2015 Feb 14;2(1):628-37.
3. Thomas J, Christenson JK, Walker E, Baby KE, Peterson GM. Scabies-An ancient
itch that is still rampant today. Journal of clinical pharmacy and therapeutics. 2017
Dec;42(6):793-9.
4. Romani L, Steer AC, Whitfeld MJ, Kaldor JM. Prevalence of scabies and impetigo
worldwide: a systematic review. The Lancet infectious diseases. 2015 Aug
1;15(8):960-7.
5. Bernigaud C, Chosidow O. Scabies. La Revue du praticien. 2018 Jan;68(1):63-9.
6. Lynar S, Currie BJ, Baird R. Scabies and mortality. The Lancet Infectious
Diseases. 2017 Dec 1;17(12):1234.
7. Micali G, Lacarrubba F, Verzì AE, Chosidow O, Schwartz RA. Scabies: advances
in noninvasive diagnosis. PLoS neglected tropical diseases. 2016 Jun
16;10(6):e0004691.
8. Currie BJ, Hengge UR. Scabies. InTropical Dermatology 2017 (pp. 377-386).
Elsevier.
9. Echeverría-García B, Tardío JC, Freites A, Puente N, Borbujo J. Nodular scabies.
European Journal of Pediatric Dermatology. 2016 Oct 1;26(4).
10. Cohen PR. Concurrent Scabies Incognito and Crusted Scabies With Scalp Lesions
Masquerading as Erythrodermic Dermatitis. Journal of drugs in dermatology: JDD.
2019 Jan;18(1):105-.
11. Salavastru CM, Chosidow O, Boffa MJ, Janier M, Tiplica GS. European guideline
for the management of scabies. Journal of the European Academy of Dermatology
and Venereology. 2017 Aug;31(8):1248-53.
12. Engelman D, Steer AC. Diagnosis, treatment, and control of scabies: can we do
better?. The Lancet. Infectious diseases. 2018 Aug;18(8):822.
13. Rosumeck S, Nast A, Dressler C. Ivermectin and permethrin for treating scabies.
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2018(4).

27

Anda mungkin juga menyukai