Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL
Skabies
Oleh:
Herawati Salsabila
NIM. 1810029022
Pembimbing:
dr. Nancy Nora Sitohang, M.Ked (DV), Sp. DV
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang maha Esa karena atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus dengan judul Skabies. Tugas ini
disusun sebagai syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik di Stase Dermatologi dan
Venereologi. Penulisan tugas ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Vera Madonna L., M.Kes., M.Ked (DV)., Sp.DV selaku kepala
Laboratorium Dermatologi dan Venereologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
4. dr. Nancy Nora Sitohang, M.Ked (DV), Sp. DV selaku dosen pembimbing
klinik dan pembimbing dalam penyusunan tugas ini yang telah meluangkan
banyak waktu dan kesempatan dalam memberikan bimbingan.
5. Seluruh dosen pembimbing selama menjalani kepaniteraan klinik di
Laboratorium Dermatologi dan Venereologi yang telah memberikan banyak
waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta, keluarga, serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tugas ini. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
ii
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 LAPORAN KASUS 3
1.1 Anamnesis 3
1.1.1 Identitas Pasien 3
1.1.2 Keluhan Utama 3
1.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang 3
1.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu 4
1.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga 4
1.1.6 Riwayat Pengobatan 4
1.2. Pemeriksaan Fisik 4
1.2.1 Tanda Vital 4
1.2.2 Status Generalis 4
1.2.3 Status Dermatologis 5
1.3. Diagnosis Banding…………………………………………………….…...5
1.4. Diagnosis Kerja 5
1.5. Usulan Pemeriksaan Penunjang 6
1.6. Penatalaksanaan 6
1.6.1 Medikamentosa 6
1.7. Prognosis 7
BAB 3 PEMBAHASAN 8
DAFTAR PUSTAKA 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena skabies.
Prevalensi cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan terutama di daerah yang
padat penduduk. Menurut Departemen Kesehatan RI 2008 prevalensi skabies di
Indonesia sebesar 5,60-12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12
penyakit kulit. Tiyakusuma dalam penelitiannya di Pondok Pesantren As-Salam
Surakarta, menemukan prevalensi skabies 56,67 % pada tahun 2010. Skabies
merupakan penyakit kulit yang bersifat global13.
1
Penyebab skabies antara lain disebabkan oleh rendahnya faktor sosial
ekonomi, kebersihan yang buruk seperti mandi, pemakaian handuk, mengganti
pakaian dan melakukan hubungan seksual. Penyakit ini biasanya banyak
ditemukan di tempat seperti di asrama, panti asuhan, penjara, pondok pesantren
yang kurang terjaga personal hygienenya15.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
1.1 Anamnesis
1.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Usia : 29 tahun
Alamat : Kutai Barat
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Agama : Islam
3
1.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah mengalami hal yang serupa seperti keluhan
sekarang berulang kali. Pasien tidak memiliki riwayat sakit-sakit yang lain,
riwayat alergi juga tidak ditemukan baik pada makanan, obat, ataupun lingkungan
sekitar.
4
1.2.4 Status Dermatologis
Efloresensi : Papul eritema, makula eritema, erosi multipel pada regio digiti
manus bilateral, antebrachii bilateral, gluteal bilateral, dan
femoralis bilateral.
1.3. Diagnosis Banding
- Skabies
- Insect Bite
- Dermatitis atopi
- Urtikaria papular
- Prurigo nodularis
5
1.5. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun untuk lebih
memastikan diagnosis kerja, usulan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
yaitu:
Pemeriksaan dibawah mikroskop untuk melihat adanya kutu.
Pemeriksaan darah lengkap terutama untuk melihat penngkatan kadar
eusinofil
1.6. Penatalaksanaan
1.6.1 Non Medikamentosa
Mengedukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
Menjaga kebersihan diri
Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan direndam dengan air panas terlebih dahulu
sebelum dicuci, seprai penderita harus sering diganti dengan yang baru
maksimal tiga hari sekali.
Menghindari kontak langsung dengan penderita lain seperti berjabat
tangan dan tidur bersama
Kontrol kembali hari ke 7 pengobatan.
1.6.2 Medikamentosa
Permethrin cream 5% setelah mandi sore satu kali dioles ke permukaan
kulit seluruh tubuh, kemudian didiamkan minimal 10 jam, setelah itu
mandi seperti biasa.
Cetirizine hydrochloride tab 10 mg 1x1 tab peroral diminum di malam
hari.
1.7. Prognosis
o Quo ad Vitam : Bonam
o Quo ad Sanationam : Bonam
o Quo ad Kosmeticam : Bonam
6
BAB 3
PEMBAHASAN
7
bersentuhan dengan penderita, pada orang yang tinggal serumah atau satu tempat
tinggal dengan penderita sehari- harinya, maupun secara tidak langsung melalui
baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir penderita yang belum dibersihkan dan
masih terdapat tungau sarcoptesnya.2 Penyakit skabies ini sangat mudah sekali
menular dan sangat gatal terutama pada malam hari.3
Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa, tetapi dapat mengenai
semua umur. Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh
dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi, scabies diperkirakan lebih umum
terjadi pada anak-anak dan remaja, meskipun pada suatu penelitian menunjukkan
prevalensi yang lebih tinggi pada orang dewasa. Prevalensi skabies menurut
penelitian diseluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun.7,8
Skabies yang terjadi pada anak balita biasanya terdapat pada leher, kepala,
telapak tangan dan telapak kaki sehingga sering dikelirukan dengan gambaran
eksema atopik. Karena sifatnya yang sangat menular, maka skabies ini populer
dikalangan masyarakat padat. Distribusi epidemiologisnya kosmopolitan terutama
pada penduduk dengan keadaan sosial ekonomi rendah.4 Penyakit skabies
biasanya banyak ditemukan pada tempat dengan sanitasi buruk dan biasanya
menyerang manusia yang hidup secara berkelompok, seperti asrama, barak- barak
tentara, rumah tahanan, pesantren dan panti asuhan.6
Pada kasus ini pasien perempuan berusia 29 tahun, sesuai teori penyakit
skabies dapat mengenai semua umur. Dari anamnesis ditemukan pasien mengeluh
gatal semakin hebat di malam hari. Dan pasien juga mengatakan bahwa keluarga
yang satu rumah dengan pasien ada yang mengalami keluhan serupa. Keluhan
pasien ini sesuai dengan teori, berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa skabies
memiliki 4 tanda utama atau tanda kardinal antara lain adalah pruritus nokturna,
menyerang sekelompok orang, terdapat terowongan, dan ditemukannya tungau.3
Keluhan gatal lebih terasa semakin berat pada malam hari dan saat berkeringat
dikarenakan aktivitas tungau lebih tinggi pada suasana lembab dan suhu panas.
Keluhan gatal ini dikarenakan aktivitas S.scabiei menimbulkan respons imunitas
seluler dan humoral serta mampu meningkatkan IgE baik di serum maupun di
kulit.3
8
Adapun empat tanda kardinal gejala penyakit skabies yakni pruritus
nokturna, menyerang manusia secara berkelompok, adanya terowongan
(kunikulus) pada tempat- tempat predileksi, dan ditemukannya tungau. Diagnosis
dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut. Efluoresensinya
berupa papula, vesikel, urtika dan lain- lain, dengan garukan dapat timbul erosi,
eskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Biasanya terdapat gambaran lorong-lorong
rumah sarcoptes yang biasanya disebut kunikulus.3,5 Pada populasi yang memiliki
imunitas yang rendah atau pada usia tua akan lebih mudah terjadi bentuk yang
lebih berat dari skabies yang disebut Norwegian skabies atau skabies berkrusta
yang lebih menular dan susah untuk diobati.3
Predileksi dari skabies ialah biasanya pada axilla, areola mammae, sekitar
umbilikus, genital, bokong, pergelangan tangan bagian volar, sela-sela jari tangan,
siku flexor, telapak tangan dan telapak kaki.4,5
Dari pemeriksaan fisik status dermatologi didapatkan multiple papul eritema
pada digiti manus bilateral dan antebrachii bilateral. Hal ini sesuai dengan teori
yaitu papul, vesikel, urtika, dengan garukan dapat timbul erosi, eskoriasi, krusta,
dan infeksi sekunder pada skabies.
Pada pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini, karena
diagnosis skabies telah ditegakkan dari anamesis (terdapat 2 dari 4 tanda cardinal)
dan pemeriksaan fisik. Adapun cara yang bisa dilakukan sesuai dengan tinjauan
pustaka yakni: a) Carilah mula-mula terowongan, kemudian pada ujung yang
terlihat papul atau vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan diatas sebuah
kaca obyek, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop
cahaya. b) Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung di atas selembar
kertas putih dan dilihat dengan kaca pembesar. c) Dengan membuat biopsy irisan.
Caranya: lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau dan
diperiksa denga mikroskop cahaya. d) Dengan biopsi eksisional dan diperiksa
dengan pewarnaan H.E.3
Apabila diagnosis dari skabies tertunda, maka akan menunda perawatan dan
memperpanjang penderitaan serta meningkatkan risiko wabah atau penyebaran,
dimana sebagian besar penduduk berisiko terkena scabies. Terdapat beberapa
metode untuk mendiagnosis skabies diantaranya dengan Kalium Hidroksida
9
(KOH) dengan cara digores (scrapping) dari liang atau terowongan, dermoskopi,
pembesaran fotografi digital, biopsi kulit, dan presentasi klinik, termasuk papula
merah yang gatal dan ruam. Tujuan dari diagnosis ini adalah visualisasi secara
langsung tungau atau telur penyebab skabies. Visualisasi langsung dapat
dilakukan dengan preparasi KOH atau dengan biopsi terowongan yang
menunjukkan adanya tungau. Test KOH ini cukup spesifik namun kurang sensitif.
Biopsi hanya menunjukkan inflamasi sel dengan adanya sejumlah eosinofil,
edema, dan spongiosis epidermal. Dermoskopi dan pembesaran fotografi digital
merupakan metode yang baik untuk mendiagnosis skabies, meskipun kurang
definitif apabila dibandingkan dengan memvisualisasikan tungau pada KOH atau
biopsi. Dupuy dkk melaporkan sensitivitas dermoskopi sebesar 91% dan
spesifisitasnya sebesar 86% .12
10
dan tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah
seminggu sampai dengan 4 minggu yang akan datang; dan (g) Setiap anggota
keluarga sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan ikut menjaga
kebersihan.3 Produk yang digunakan untuk membunuh tungau disebut skabisid.
Sulfur presipitatum (belerang endap) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Emulsi benxil-benzoas (20-25%), Gama benzena heksa Klorida
(Gameksan) dengan kadar 1% dalam krim atau losio. Krotamiton 10% dalam
krim atau losio. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim.3
Tatalaksana farmakologis pada pasien ini adalah sesuai dengan teori yaitu
permethrin cream 5% setelah mandi sore dioles ke permukaan kulit seluruh
tubuh, kemudian didiamkan minimal 8-10 jam, setelah itu mandi seperti biasa.
Pemakaian hanya 1 kali dan bisa diulang setelah seminggu ditambah cetirizine tab
10 mg diberikan 1 kali sehari diminum malam hari. Pasien diberikan pengobatan
simptomatik antihistamin h1 golongan kedua (AH1 non sedasi) bertujuan untuk
megurangi rasa gatal yang timbul akibat pelepasan histamin terhadap skabies, dan
diminum pada malam hari bertujuan untuk mengurangi gejala nokturnal pruritus
pada pasien skabies.3 Non farmakologis rutin minum obat, pakaian, handuk dan
barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan
direndam dengan air panas terlebih dahulu sebelum dicuci, seprai penderita harus
sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali, menghindari kontak
langsung dengan penderita lain seperti berjabat tangan dan tidur bersama, kontrol
kembali hari ke 7 pengobatan.
11
12
Farmakologi permetrin utamanya adalah dengan mengganggu aliran
masuk ion Na pada kanal membran saraf sehingga menyebabkan paralisis dan
kematian parasit. Permetrin merupakan piretroid dan neurotoksin sintetis.
Mekanisme fisiologi dasar yang terjadi pada parasit atau artropoda yang dikenai
adalah induksi abnormalitas di sepanjang membran sel yang tereksitasi yang
menyebabkan hipereksitabilitas sensorik, gangguan koordinasi, dan kelumpuhan.
Keadaan tersebut dipengaruhi oleh gangguan pada membran saraf melalui adanya
hambatan pergerakan ion natrium dari luar membran sel ke dalam yang
menyebabkan lambatnya masukan natrium pada akhir depolarisasi. Selanjutnya,
pemanjangan permeabilitas ion natrium selama fase eksitatori mempengaruhi
aktivitas repetitif pada jalur sensorik dan motorik.11
13
DAFTAR PUSTAKA
11. A. Singal and R. Sharma, “Topical permethrin and oral ivermectin in the
management of scabies: A prospective, randomized, double blind,
controlled study,” Indian J. Dermatology, Venereol. Leprol., vol. 77, no. 5,
p. 581, 2011.
14
Epidemiol. Infect., vol. 143, no. 7, pp. 1542–1551, 2015.
13. Stone, S.P., Goldfarb J.N., and Bacelieri R.E., 2008. Scabies, Other Mites,
and Pediculosis. In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A.,
Paller A.S., and Leffell D.J. Ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 7th edition. McGraw Hill, New York: 2029-2037.
14. Marks, JG & Miller, JJ 2006, Lookingbill&Marks’s Principles of
Dermatology, 4 edn, Elsevier, Philadelphia.
15. Murtiastutik D., 2008. Skabies. In: Barakbah J., Lumintang H., and
Martodiharjo S. Ed. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Airlangga
University Press, Surabaya: 202-208.
16. Djuanda A, Hamzah M., dan Aisah S. Ed., 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
15