Anda di halaman 1dari 21

Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/RSUD Abdul Wahab Sjahranie

DIET PADA EPILEPSI

Oleh
Gita Permatasari
1810029027

Dosen Pembimbing
dr. Annisa Muhyi, Sp. A., M.BioMed

Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas kasih dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul Diet pada Epilepsi. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang
penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di
RSUD AWS Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kepada dr. Annisa Muhyi, Sp.A., M.BioMed
selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas
bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat
pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Samarinda, 18 Januari 2019

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan predisposisi kronik
untuk mengalami kejang epileptik dengan berbagai konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial yang menyertainya. Epilepsi merupakan salah satu
penyakit neurologis yang paling umum terjadi. Angka kesakitan di seluruh dunia
hingga saat ini mencapai 50 juta jiwa. Menurut laporan WHO pada tahun 2017,
diperkirakan terdapat 2,4 juta jiwa yang didiagnosis sebagai epilepsi setiap
tahunnya di seluruh dunia. 1
Pada negara dengan pendapatan tinggi, kasus baru epilepsi tiap tahunnya
sebanyak 30-50 kasus per 100.000 jiwa. Sementara di negara dengan pendapatan
menengah dan rendah, angka ini dapat meningkat hingga dua kali lipat.
Diskriminasi dan stigma sosial yang dialami pasien epilepsi lebih sulit ditangani
daripada kejangnya sendiri. Stigma yang terjadi dapat membuat pasien epilepsi
ragu untuk mencari pengobatan agar tidak diindentifikasi mengalami kelainan ini.2
Epilepsi dapat ditangani dengan pemberian obat harian. Penelitian yang
dilakukan di beberapa negara berpenghasilan rendah hingga menengah
menunjukkan bahwa kejang pada 70% anak-anak dan dewasa dengan epilepsi
dapat ditangani dengan pemberian obat antiepilepsi. Selain itu, setelah 2 sampai 5
tahun pemberian obat yang berhasil dan bebas kejang, obat yang diberikan dapat
dihentikan pada 70% anak dan 60% dewasa tanpa diikuti terulangnya kejang. 2
Operasi merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan epilepsi fokal yang tidak
membaik dengan terapi lain. Sementara itu, diet ketogenik dapat diberikan kepada
pasien epilepsi yang tidak terkontrol dengan pemberian obat atau operasi tidak
dapat dilakukan.3

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang diet
pada epilepsi.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan
4
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan
berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali
saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional
provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi.2,4 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi
klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).4
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Gangguan
fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel
neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi,
anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang
dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 5

2.1.2 Etiologi
1. Idiopatik epilepsi: biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk

5
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif.4,5

2.1.3 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur
oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh
gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.4,5
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.

6
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara
klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai
aktifitas listrik di dalam otak.4,5
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat.4
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :4,6
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding
orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang
bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion

7
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki
sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.4
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.4
1. fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmiter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara
itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.4
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain
di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya

8
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
tempat asal epilepsi dapatan.4
Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau
kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron
glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,
infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam
hal ini faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
petit mal serta benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.4

2.2 Diet pada anak epilepsi


Dalam kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga 2009 keluaran
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Diet memiliki arti sebagai pengaturan
pola dan konsumsi makanan serta minuman yang dilarang, dibatasi jumlahnya,
dimodifikasi, atau diperolehkan dengan jumlah tertentu untuk tujuan terapi
penyakit yang diderita, kesehatan, atau penurunan berat badan.

Keterbatasan yang terkait dengan pengobatan epilepsi yang tersedia saat


ini dengan tidak ada yang mampu mengobati akar penyebab gangguan, terapi
nutrisi bisa menjadi pilihan ekonomis dan menjanjikan untuk mengobati epilepsi.
Efek buruk yang terkait dengan terapi nutrisi tidak begitu parah dan minimal
sepanjang waktu. Terapi nutrisi terutama diet ketogenik efektif di berbagai usia,
9
tipe kejang dan keparahan. 7

2.2.1 Mekanisme pada Diet Ketogenik (KD)


Pada awal 1920-an, ditemukan bahwa diet yang dibatasi kalori tinggi
lemak, dengan protein yang cukup (1 g / kg) dan karbohidrat terbatas (5-10 g /
hari) dapat meniru perubahan biokimia dari kelaparan dan dapat
mempertahankannya efek menguntungkan pada kejang. Dalam bentuk yang
dimodifikasi ini telah menjadi diet ketogenik saat ini. Meskipun ditemukan sangat
bermanfaat dalam mengobati epilepsi, penggunaannya dikurangi dengan
penemuan fenitoin dan obat antiepilepsi lainnya.8 Sulit untuk mengikuti rencana
diet ketat dengan diet ketogenik karena makanan disiapkan secara ketat mengikuti
zat yang ditentukan. Untuk beberapa anak bahkan jumlah kecil karbohidrat dapat
menyebabkan kejang. Namun, mengingat keterbatasan terapi lain dan beberapa
penelitian yang mengkonfirmasikan kemanjurannya dengan efek samping yang
sangat terbatas, sangat efektif dalam mengobati anak-anak dengan kejang yang
sulit dikendalikan dan dengan demikian minat dalam diet ketogenik telah
dibangkitkan kembali.8
Diet ketogenik "klasik", yang dikembangkan di John Hopkins Institute
mengandung rasio lemak 4: 1 terhadap karbohidrat. Jumlah protein dalam
formulasi akan sedemikian rupa sehingga, sekitar 90% kalori akan berasal dari
lemak. Sedangkan, total kalori dibatasi hingga 75% dari uang saku harian yang
diperlukan.9 Selama proses ini sejumlah besar asetil-KoA dihasilkan, mengarah
pada pembentukan badan keton seperti β-hydroxy butyrate - BHB, asetoasetat dan
aseton. Badan keton ini digunakan sebagai sumber energi di berbagai jaringan
termasuk otak.10

Dalam kondisi normal, konsentrasi badan keton (>0.3 mmol/l) sangatlah


rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4 mmol). Dan karena glukosa dan badan
keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke otak, benda keton mulai
digunakan sebagai sumber energi utama saat konsentrasinya sekitar 4 mmol/l.
Selanjutnya benda keton digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui
jalur yang membentuk dua molekul asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil
KoA yang dihasilkan akan digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan
10
dari benda keton lebih besar dibanding glukosa.11 Ketosis yang terjadi pada
kondisi ini merupakan mekanisme fisiologis dimana ketonemia mencapai kadar
maksimum 7-8 mmol/l dan tanpa penurunan pH. Sedangkan pada ketoasidosis
diabetikum, ketonemia mencapai kadar lebih dari 20 mmol/l dengan penurunan
pH darah.12

Tabel 1. Perbedaan level glukosa, insulin, badan keton dan pH antara ketosis
fisiologis pada diet ketogenik dan ketoasidosis diabetikum12

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami bagaimana ketosis


dapat mempengaruhi epilepsi namun sampai saat ini masih belum jelas. Beberapa
hipotesis yang mungkin bisa menjelaskan mekanisme kerja dari diet ketogenik
antara lain: (1) efek antikonvulsan langsung dari badan keton; (2) penurunan
eksitabilitas neuronal yang diinduksi oleh badan keton; dan (3) efek pada jalur
mamalian target of rapamycin (mTOR).11,12

Peran Badan Ketone


Awalnya β- hydroxy butyrate dianggap bertanggung jawab atas efek
antikonvulsan tubuh keton. Namun penelitian yang dilakukan mengungkapkan
bahwa ada korelasi yang signifikan antara aseton dan kontrol kejang [33,34].
Mekanisme yang diusulkan di mana badan keton seperti asetoasetat & aseton
dapat bertindak dengan aktivasi saluran K2p. K2p menyalurkan hiperpolarisasi
membran sel dan mengatur rangsangan membran.9

11
Peran Pembatasan Glukosa
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa bersama dengan ketosis
pada KD, pembatasan glukosa dapat menjadi fitur lain untuk mencegah kejang.
Pembatasan kalori (glukosa) mengurangi produksi energi melalui glikolisis,
membatasi kemampuan neuron untuk mencapai aktivitas sinaptik tingkat tinggi
yang diperlukan untuk menghasilkan kejang. Hipotesis lain menunjukkan bahwa
pembatasan glukosa menyebabkan pelepasan ATP. Melalui panichex
hemichannels terlokalisasi dalam neuron. Peningkatan level ATP ekstraseluler ini
akan cepat terdegradasi menjadi adenosin oleh ektonukleotidase. Meningkatnya
tingkat adenosin selanjutnya mengaktifkan reseptor A1 yang pada gilirannya akan
mengaktifkan saluran ATP sensitif kalium (KATP). Saluran-saluran ini kemudian
membuat hiperpolarisasi membran neuron. KD yang menginduksi peningkatan
konsentrasi ATP dapat memperpanjang aktivasi Na + / K + -ATPase, namun tidak
ada korelasi langsung dari pompa ini dengan aktivitas antiepilepsi.10

Peran Neurotransmitter dan Sistem Neuropeptide


Semua badan keton menghasilkan asetil CoA yang memasuki siklus TCA
pada tahap sitrat sintetase. Langkah ini melibatkan konsumsi oksaloasetat; maka
oksaloasetat tidak tersedia untuk konversi glutamat menjadi aspartat. Akibatnya
lebih banyak glutamat yang tersedia untuk sintesis GABA (melalui glutamic acid
decarboxylase) yang dihambat memiliki efek antikonvulsan. Juga kurang produksi
aspartat berarti pengurangan neurotransmitter rangsang.9 Secara umum,
peningkatan nada noradrenergik dikaitkan dengan efek antikonvulsan. Beberapa
baris bukti mendukung hipotesis bahwa aktivitas antikonvulsan KD dapat
mengakibatkan sebagian dari peningkatan pelepasan norepinefrin (NE).10 Peptida
seperti leptin dapat memainkan peran penting dalam efek antiepilepsi KD. Leptin
membantu dalam mengatur energi homeostasis tubuh. Ini juga memiliki efek
modulasi pada rangsangan saraf dan aktivitas kejang. Telah dilaporkan bahwa
leptin melemahkan kejang fokal atau umum dalam model tikus mungkin melalui
modulasi α-amino-3-hidroksi-5-metil-4- reseptor asam isoxazolepropionic acid
(AMPA) reseptor. Karena KD menyebabkan peningkatan kadar leptin maka

12
peningkatan kadar leptin juga bisa menjadi salah satu mekanisme efek antiepilepsi
KD.10

Peran Asam Lemak


Peran asam lemak terutama mencakup asam lemak tak jenuh ganda
(PUFA) seperti asam docosahexanoic (DHA), asam arakidonat (AA), asam
eikosapentanoat (EPA). PUFA ditemukan menghambat saluran Na yang
bertegangan cepat, saluran Ca tipe-L dan dapat mengaktifkan saluran kalium
(K2P) yang meredam ini rangsangan saraf. PUFA ditunjukkan untuk
mengaktifkan reseptor diaktifkan proliferator peroksisom (PPAR) dan aktivasi
PPAR pada gilirannya menghambat faktor transkripsi proinflamasi. Karena
peradangan dianggap sebagai kontributor inti dari epileptogenesis PUFA dapat
dianggap sebagai pendekatan rasional untuk mencegah epileptogenesis. 9,10
PUFA harus memiliki properti untuk menginduksi ekspresi protein
pelepasan mitokondria (UCPs). Ini adalah protein homodimer yang menjangkau
membran mitokondria bagian dalam dan membantu kebocoran proton dari ruang
antar-membran mitokondria. Efek pelepasan ini meskipun dalam jumlah kecil
mengurangi gaya motif proton dan dengan demikian melepaskan transportasi
elektron dari produksi ATP. Proses ini juga menghambat produksi spesies oksigen
reaktif (ROS). Telah dilaporkan oleh Dian et al., (2003) bahwa ekspresi kronis
UCP dalam jaringan saraf meningkatkan kadar ATP melalui biogenesis
mitokondria dan tidak menghambat produksi energi seluler seperti yang
dihipotesiskan. KD mengikuti proses yang sama dan mengurangi kejang yang
disebabkan disfungsi mitokondria dan produksi ROS 8,9

2.2.2 Jenis Diet Ketogenik

Saat ini didapatkan berbagai variasi diet ketogenik, tetapi yang paling
sering adalah diet ketogenik klasik, modifikasi atkins, low glycemic index diet,
dan diet medium chain trigliserida (MCT). Diet ketogenik juga terdapat dalam
bentuk formula, cara pembuatan dan penyajian relatif mudah. Saat ini terdapat dua
produk komersial yang ditujukan untuk diet ketogenik, yaitu Ketocal powder®
(Nutricia) dan Ross carbohydrate−free® (Abbott). Pada beberapa penelitian,
13
pemberian formula lebih menguntungkan dikarenakan tingkat kepatuhan dan
efikasi yang tinggi dibandingkan diet ketogenik berupa makanan padat. Berikut
ini adalah berbagai jenis diet ketogenik yang sering digunakan.

Tabel 2.2 Jenis Diet Ketogenik

Gambar 2.1 Pilihan makanan pada diet ketogenik

Jenis makanan yang dihindari


14
Sumber karbo utama : produk berbahan gandum, nasi, gandum, jagung,
umbi-umbian (kentang, singkong), termasuk olahannya.Buah : semua buah,
kecuali alpokat dan sedikit jenis berry (stroberi). Hindari juga smoothies dan jus
buah manis. Kacang polong, kacang merah,produk rendah lemak atau produk diet
(seringkali tinggi karbohidrat). Minyak goreng nabati (minyak jagung, kedelai,
canola), terutama yang mengandung transfat. Pemanis buatan (terutama yang
berbasis alcohol)

Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Diet Ketoasidosis


Diet ketogenik paling sering dipertimbangkan dalam kasus epilepsi
refrakter dan ensefalopati epilepsi di mana pembedahan tidak memungkinkan.
Semua jenis kejang telah dilaporkan untuk menanggapi diet ketogenik, sementara
pasien dengan epilepsi fokal dapat meningkat, mereka tidak mencapai kebebasan
kejang total pada KD. Khasiat diet tidak spesifik untuk sindrom apa pun,
meskipun paling sering digunakan dalam ensefalopati epilepsi masa kanak-
kanak.16
Kontraindikasi absolut meliputi gangguan metabolisme termasuk
defisiensi piruvat karboksilase, defisiensi karnitin primer, defek oksidasi asam
lemak termasuk defek pengangkut karnitin dan porfiria. Kontraindikasi relatif
termasuk batu ginjal dan hiperlipidemia. Jadi skrining metabolik harus dilakukan
sebelum memulai diet.16

Efek samping
Kelemahan utama diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya
angka dropout. Dropout terjadi terutama akibat timbulnya berbagai efek samping
gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet dikarenakan citarasa yang kurang
menggugah selera. Efek samping gastrointestinal yang paling sering muncul
berupa mual, muntah, konstipasi dan diare.
Komplikasi kronis termasuk batu ginjal karena peningkatan rasio kalsium /
kreatinin urin, kardiomiopati akibat kombinasi asidosis dan defisiensi selenium,
pertumbuhan terbelakang, penurunan berat badan, anoreksia, kehilangan
kandungan mineral progresif tulang, kadar kolesterol tinggi, kadar albumin rendah
15
dan karnitin ( terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan valproate),
kemungkinan infeksi yang lebih tinggi, defisiensi vitamin dan / atau mineral
tertentu (misalnya selenium) jika tidak ditambah dengan baik dan pankreatitis
yang jarang berakibat fatal pada pasien dengan metabolisme lipid abnormal.
Meskipun ada beberapa kasus yang menggambarkan interval QT yang
berkepanjangan pada elektrokardiogram (EKG) dan kematian mendadak pada KD
13,14

Follow up dan pemantauan


Lama pemberian diet ketogenik bervariasi pada setiap pasien epilepsi.
Perkiraan lama terapi ini harus didiskusikan dengan pasien atau keluarga pasien
pada saat mulai pemberian diet ketogenik. Direkomendasikan mencoba diet untuk
jangka waktu minimum dua hingga tiga bulan, dengan pencapaian paling tidak
sedang (> 80-160 mg / dl) ketosis urin untuk menentukan apakah diet akan efektif.
Jika diet ini efektif, biasanya dilanjutkan selama satu hingga dua tahun, dan
kemudian secara bertahap disapih. Ada banyak variasi dalam praktik selama
durasi penggunaan KD. Pada sindrom tertentu yang cenderung kambuh setelah
penyapihan diet, penggunaan diet ketogenik jangka panjang dilakukan.
Keberhasilan penggunaan KD selama 12 tahun pada anak-anak telah diterbitkan.
Dalam beberapa kasus, transisi bertahap dari diet ke diet Atkins yang dimodifikasi
atau perawatan indeks glikemik rendah dapat dilakukan. Efek samping dari
penggunaan jangka panjang dari diet harus hati-hati ditimbang terhadap risiko
penghentian diet pada pasien dengan epilepsi yang tidak terobati.
Namun demikian, sebagian besar pasien disarankan minimal 3 bulan untuk
pemberian awal diet ketogenik. Selama 6 minggu pertama biasanya dapat dilihat
apakah pemberian diet ketogenik ini berhasil atau tidak. Apabila kejang terkontrol
setelah beberapa bulan, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan atau
menghentikan obat−obat anti epilepsi. Follow up pasien dilakukan setiap 3 bulan
sekali sampai diet dihentikan, dan dilakukan pemantauan terhadap pertumbuhan,
parameter laboratorium (pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati dan
ginjal, profil lipid dan urinalisis), dan aktivitas kejang. 15

16
17
BAB 3
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Keterbatasan yang terkait dengan pengobatan epilepsi yang
tersedia saat ini dengan tidak ada yang mampu mengobati akar
penyebab gangguan, terapi nutrisi bisa menjadi pilihan ekonomis dan
menjanjikan untuk mengobati epilepsi. Efek buruk yang terkait dengan
terapi nutrisi tidak begitu parah dan minimal sepanjang waktu. Terapi
nutrisi terutama diet ketogenik efektif di berbagai usia, tipe kejang dan
keparahan.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE,


Dkk. ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014; 55(4):475–82.
2. WHO. Epilepsy [internet]. 2017 [disitasi 13 Juni 2017]. Tersedia dari:
http://www.who.int/mediacentre/factshee ts/fs999/en/
3. Ko DY. Epilepsy and Seizures [internet]. 2017 [disitasi 13 Juni 2017].
Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/11 84846
4. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102.
5. Sunaryo Utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
6. (Perdossi), P. D. (2014). Pedoman Tatalaksana Epilepsi. (K. Kusumaastuti,
S. Gunadharma, & E. Kustiowati, Eds.) Surabaya: Airlangga University
Press.
7. J. Sancheti M, Shaikh M., et al. (2013). Nutritional therapy for epilepsy.
Brain Research Institute, Jeffrey Cheah School of Medicine and Health
Sciences, Monash University Malaysia, Petaling Jaya. Malaysia
8. Freeman, J., Veggiotti, P., Lanzi, G., Tagliabue, A., Perucca, E., 2006. The
ketogenic diet: From molecular mechanisms to clinical effects. Epilepsy
Research. 68, 145–180.
9. Tonekaboni, S.H., Mostaghimi, P., Mirmiran, P., Abbaskhanian, A., Gorji,
F.A., Ghofrani, M., Azizi, F., 2010. Efficacy of the atkin diet as therapy for
intractable epilepsy in children. Archives of Iranian Medicine. 13 (6), 492-
497.
10. Masino, S.A., Rho, J.M., 2012. Mechanism of ketogenic diet action, In;
Noebeles, J.L., Avoli, M., Rogawski, M.A., Olsen, R.W., Delagado-
Escueta, A.V. Jasper's basic mechanisms of the epilepsies, Fourth ed.
Oxford University Press Inc., New York, p1003-24.
11. Hartman AL, Gasior M, Vining EPG, Rogawski MA. The
Neuropharmacology of the ketogenic diet. Pediatr Neurol. 2007;
36(5):281–92.

20
12. Paoli A. Ketogenic diet for obesity: friend or foe?. Int J Environ Res
Public Health. 2014; 11(2):2092–2107.
13. Schachter SC, Kossoff E, Sirven J. Ketogenic Diet [internet]. 2013
[disitasi 15 Juni 2017]. Tersedia dari:http://www.epilepsy.com/learn/treati
ng-seizures-and- epilepsy/dietarytherapies/ketogenic-diet
14. Paoli A. Ketogenic diet for obesity: friend or foe?. Int J Environ Res
Public Health. 2014; 11(2):2092–2107.
15. Runyon AM, So TY. The Use of Ketogenic diet in pediatrics patients with

epilepsy. ISRN Pediatrics. 2012. 


16. Kossoff EH, Zupec­Kania BA, Amark PE, et al. Optimal clinical management of
children   receiving   the   ketogenic   diet:   recommendations   of   the   International

Ketogenic Diet Study Group. Epilepsia. 2009;50:304­17. 

21

Anda mungkin juga menyukai