Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Oleh
Gita Permatasari
1810029027
Dosen Pembimbing
dr. Annisa Muhyi, Sp. A., M.BioMed
Samarinda
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas kasih dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul Diet pada Epilepsi. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang
penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di
RSUD AWS Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kepada dr. Annisa Muhyi, Sp.A., M.BioMed
selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas
bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat
pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan
4
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan
berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali
saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional
provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi.2,4 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi
klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).4
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Gangguan
fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel
neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi,
anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang
dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 5
2.1.2 Etiologi
1. Idiopatik epilepsi: biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
5
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif.4,5
2.1.3 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur
oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh
gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.4,5
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
6
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara
klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai
aktifitas listrik di dalam otak.4,5
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat.4
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :4,6
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding
orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang
bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion
7
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki
sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.4
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.4
1. fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmiter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara
itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.4
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain
di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
8
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
tempat asal epilepsi dapatan.4
Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau
kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron
glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,
infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam
hal ini faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
petit mal serta benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.4
Tabel 1. Perbedaan level glukosa, insulin, badan keton dan pH antara ketosis
fisiologis pada diet ketogenik dan ketoasidosis diabetikum12
11
Peran Pembatasan Glukosa
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa bersama dengan ketosis
pada KD, pembatasan glukosa dapat menjadi fitur lain untuk mencegah kejang.
Pembatasan kalori (glukosa) mengurangi produksi energi melalui glikolisis,
membatasi kemampuan neuron untuk mencapai aktivitas sinaptik tingkat tinggi
yang diperlukan untuk menghasilkan kejang. Hipotesis lain menunjukkan bahwa
pembatasan glukosa menyebabkan pelepasan ATP. Melalui panichex
hemichannels terlokalisasi dalam neuron. Peningkatan level ATP ekstraseluler ini
akan cepat terdegradasi menjadi adenosin oleh ektonukleotidase. Meningkatnya
tingkat adenosin selanjutnya mengaktifkan reseptor A1 yang pada gilirannya akan
mengaktifkan saluran ATP sensitif kalium (KATP). Saluran-saluran ini kemudian
membuat hiperpolarisasi membran neuron. KD yang menginduksi peningkatan
konsentrasi ATP dapat memperpanjang aktivasi Na + / K + -ATPase, namun tidak
ada korelasi langsung dari pompa ini dengan aktivitas antiepilepsi.10
12
peningkatan kadar leptin juga bisa menjadi salah satu mekanisme efek antiepilepsi
KD.10
Saat ini didapatkan berbagai variasi diet ketogenik, tetapi yang paling
sering adalah diet ketogenik klasik, modifikasi atkins, low glycemic index diet,
dan diet medium chain trigliserida (MCT). Diet ketogenik juga terdapat dalam
bentuk formula, cara pembuatan dan penyajian relatif mudah. Saat ini terdapat dua
produk komersial yang ditujukan untuk diet ketogenik, yaitu Ketocal powder®
(Nutricia) dan Ross carbohydrate−free® (Abbott). Pada beberapa penelitian,
13
pemberian formula lebih menguntungkan dikarenakan tingkat kepatuhan dan
efikasi yang tinggi dibandingkan diet ketogenik berupa makanan padat. Berikut
ini adalah berbagai jenis diet ketogenik yang sering digunakan.
Efek samping
Kelemahan utama diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya
angka dropout. Dropout terjadi terutama akibat timbulnya berbagai efek samping
gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet dikarenakan citarasa yang kurang
menggugah selera. Efek samping gastrointestinal yang paling sering muncul
berupa mual, muntah, konstipasi dan diare.
Komplikasi kronis termasuk batu ginjal karena peningkatan rasio kalsium /
kreatinin urin, kardiomiopati akibat kombinasi asidosis dan defisiensi selenium,
pertumbuhan terbelakang, penurunan berat badan, anoreksia, kehilangan
kandungan mineral progresif tulang, kadar kolesterol tinggi, kadar albumin rendah
15
dan karnitin ( terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan valproate),
kemungkinan infeksi yang lebih tinggi, defisiensi vitamin dan / atau mineral
tertentu (misalnya selenium) jika tidak ditambah dengan baik dan pankreatitis
yang jarang berakibat fatal pada pasien dengan metabolisme lipid abnormal.
Meskipun ada beberapa kasus yang menggambarkan interval QT yang
berkepanjangan pada elektrokardiogram (EKG) dan kematian mendadak pada KD
13,14
16
17
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Keterbatasan yang terkait dengan pengobatan epilepsi yang
tersedia saat ini dengan tidak ada yang mampu mengobati akar
penyebab gangguan, terapi nutrisi bisa menjadi pilihan ekonomis dan
menjanjikan untuk mengobati epilepsi. Efek buruk yang terkait dengan
terapi nutrisi tidak begitu parah dan minimal sepanjang waktu. Terapi
nutrisi terutama diet ketogenik efektif di berbagai usia, tipe kejang dan
keparahan.
18
19
DAFTAR PUSTAKA
20
12. Paoli A. Ketogenic diet for obesity: friend or foe?. Int J Environ Res
Public Health. 2014; 11(2):2092–2107.
13. Schachter SC, Kossoff E, Sirven J. Ketogenic Diet [internet]. 2013
[disitasi 15 Juni 2017]. Tersedia dari:http://www.epilepsy.com/learn/treati
ng-seizures-and- epilepsy/dietarytherapies/ketogenic-diet
14. Paoli A. Ketogenic diet for obesity: friend or foe?. Int J Environ Res
Public Health. 2014; 11(2):2092–2107.
15. Runyon AM, So TY. The Use of Ketogenic diet in pediatrics patients with
Ketogenic Diet Study Group. Epilepsia. 2009;50:30417.
21