Anda di halaman 1dari 13

EVIDENCE BASED PRACTICE PADA

KEPERAWATAN BENCANA

Kelompok 3:

Irwan Setiawan (P27905118011)

Jenni Astri Desista Br Tambunan (P27905118012)

Julfianas bekti wahyuni(P27905118013)

Khairunnisa bakhitah (P27905118014)

Komarudin (P27905118015)
Definisi Evidance Based Practice (EBP)

Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP)


adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan
menggunakan bukti (berbasis bukti) yang  berhubungan
dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun
pengambilan keputusan dalam proses perawatan
Hierarki Evidance Based Practice (EBP)
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat kepercayaannya

yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini mulai dari yang paling

rendah hingga yang paling tinggi :

• Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari

• Studi kasus

• Studi lapangan atau laporan deskriptif

• Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak

(random)

• Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok pembanding,

dan menggunakan sampel secara acak


Bencana
• UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas
mengandung tiga aspek dasar, yaitu:

• Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam


dan merusak (hazard).
• Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam
kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.
• Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan
melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi
dengan sumber daya mereka.
Penanggulangan Bencana
Menutut Carter dalam Hadi Purnomo tahun 2010, mendefinisikan
pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif)
yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk
meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif
(pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan
pemulihan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana terdapat Ketentuan Umum yang mendefinisikan penyelenggaraan
Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahaan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
Organisasi Penanggulangan Bencana

Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:


• Tingkat Nasional  Badan Koordinasi Penanggulangan
Bencana
• Tingkat Propinsi  Satuan Koordinasi Penanggulangan
Bencana
• Tingkat Kabupaten  Satuan Laksana Penanggulangan
Bencana
Alur Penanggulangan Bencana
Berikut ini merupakan alur pelayanan medis di lapangan pada penanggulangan bencana:

MerahSegera Ditanggulangi terlebih dahulu


• Mengancam Jiwa
• Cacat 
KuningBoleh Ditangguhkan
• Keadaan tidak mengancam Jiwa
• Segera ditangani bila yang mengancam Jiwa sudah teratasi

HijauBoleh ditunda & Rawat Jalan


• Tidak Membahayakan Jiwa

HitamBoleh Diabaikan & Ditinggalkan


Analisis Penanggulangan Bencana
Berbasis Perspektif Cultural Theory
Terdapat dua paradigma penting dalam membahas mengenai pentingnya
masyarakat sebagai community dalam penanggulangan risiko bencana. Yang
pertama, adalah modelcrunch. Model ini mengasumsikan bahwa bencana
(disaster) sendiri merupakan hasil dari proses bertemunya hazard yang
kemudian berkembang menjadi faktor pemicu bencana seperti gempabumi,
gunung meletus, dan lain sebagainya dengan vulnerability yang di dalamnya
terdapat sebuah kondisi yang tidak nyaman (unsafe condition) dimana
terdapat eskalasi kerentanan dan kerawanan yang dialami penduduk baik
sebelum terjadinya bencana maupun sesudahnya
Model kedua yakni releasemodel, model ini berkebalikan
dengan modelcrunch yang memposisikan manusia harus
beradaptasi dengan bencana sehingga dapat mereduksi bahaya
kerentanan terhadap bencana. Model ini lebih mengedepankan
pada pola aktif masyarakat dalam pencegahan bencana seperti
halnya ajakan tidak membuang sampah sembarangan sehingga
mengakibatkan banjir, larangan menebang pohon karena
rawan terjadinya tanah longsor, maupun gerakan reboisasi
penghijauan kota desa.
Dalam pemahaman perspektif culturaltheory yang menjadi tema utama

dalam makalah ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan tradisional
dan pengetahuan modern. Pengetahuan modern lebih mengarah kepada
pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan bentuk dari gabungan
eskalasi/exposure (E) dan besaran bencana/magnitude (M) sehingga
membentuk format (R=EM) (Tansey, 1999 : 78). Adapun mekanisme
penanggulangan risiko bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini
mengarah pada penggunaan infrastruktur fisik seperti halnya pembangunan
sistem peringatan dini tentang bahaya bencana yang dianggap lebih rasional
dan ilmiah bagi masyarakat untuk menghadapi bencana.
Sedangkan, pengetahuan tradisional menolak unsur rasionalitas yang

terdapat pada pengetahuan modern dimana konsentrasi pendekatan ini lebih

mengarah analisa psikometris seperti halnya kecemasan, ketakutan, maupun

gejala gangguan psikologis lainnya selama masa tanggap darurat. Aplikasi

cultural theory di sini sebenarnya merupakan jalan tengah dari dua

pengetahuan besar tersebut yakni perspektif menganalisis mengapa risiko

menjadi isu yang terpolitisasi. Maka dalam pemahaman cultural theory

sebagai paradigma alternatif dalam penanggulangan risiko bencana tidaklah

terlalu penting memperdebatkan pihak yang rasional dan pihak yang

tradisional sebagai cara yang tepat dalam mereduksi dampak bencana.


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai