Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

SKABIES

Oleh :
dr. Miftahul Nukti

Pendamping :
dr. Elza Astri Safitri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS TENAM
JAMBI
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Skabies”.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Program Internsip
Dokter Indonesia stase Puskesmas Tenam periode 23 Mei 2022 – 23 November
2022. Selain itu, besar harapan penulis dengan adanya makalah ini mampu
menambah pengetahuan para pembaca mengenai Skabies mulai dari definisi
hingga penatalaksanaannya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elza
Astri Safitri selaku pendamping pada Program Internsip Dokter Indonesia di
Puskesmas Tenam, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses
penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan
bahasa maupun sistematika penulisan makalah ini. Kritik dan saran pembaca
sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat
menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis
dan profesi lain yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya mengenai
“Skabies”.

Padang, Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

SKABIES i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 2
1.5 Metode Penulisan 2
BAB II 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 3
2.4 Cara Transmisi 4
2.5 Diagnosis 4
2.6 Pemeriksaan Penunjang 5
2.7 Diagnosis Banding 7
2.8 Penatalaksanaan 8
2.9 Edukasi 9
2.10 Prognosis 9
BAB III 10
BAB IV 19
DAFTAR PUSTAKA 21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies atau yang dikenal dengan istilah gudik berasal dari Bahasa Latin scabere artinya
menggaruk. Skabies merupakan penyakit infeksi kulit menular yang disebabkan infestasi tungau
Sarcoptei scabiei var hominis. Hingga saat ini, skabies masih merupakan penyakit kulit yag
banyak dijumpai terutama di negara-negara berkembang. Penyakit ini dapat menyerang individu
dari semua ras, strata sosial, dan ekonomi. Skabies sering dianggap sebagai penyakit kulit biasa
dan sering terlupakan dalam diagnosis sehingga dapat berkembang menjadi berat dan mengalami

komplikasi.1,2
Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Faktor
yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan, kepadatan penghuni rumah,
tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan perilaku kebersihan yang buruk. Padatnya
hunian disertai interaksi dan kontak fisik yang erat dapat memudahkan penularan skabies
sehingga menjadi faktor risiko paling dominan dibandingkan yang lainnya. Oleh karena itu,
prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren,
penjara, dan tempat pengungsian. Di Thailand, sebanyak 87% anak yang tinggal di panti asuhan
menderita skabies. Di Malaysia, survei terhadap 120 anak di rumah singgah menunjukkan
sebanyak 46% anak usia 10 – 12 tahun menderita skabies. Pada tahun 2012 di sebuah pesantren

di Jakarta Timur, didapatkan prevalensi skabies 51,6%.3


Penderita skabies dapat terganggu kualitas hidupnya karena mengalami gatal hebat dan
radang di kulit akibat infeksi sekunder oleh bakteri sehingga produktivitas dan prestasi akademik
menurun. Sebuah penelitian di Aceh pada tahun 2008 menunjukkan sebanyak 15,5% santri di

sebuah pesantren menurun nilai rapornya setelah menderita skabies.4 Higienitas pribadi yang
buruk juga menjadi salah satu faktor risiko yang dominan setelah kepadatan hunian. Pada
kenyataannya, di tempat-tempat seperti pondok pesantren, asrama, panti asuhan masih memiliki
tingkat kebersihan yang rendah. Selain itu, skabies masih sering dianggap sebagai penyakit kulit
biasa. Padahal, skabies merupakan penyakit infeksi kulit yang dapat menimbulkan komplikasi
berupa infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat menurunkan kualitas hidup.
Penderita skabies juga menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya sehingga harus diobati
dan perlu dilakukan upaya pemberantasan skabies. Upaya pemberantasan skabies tidak dapat
dilakukan secara individual tetapi harus melibatkan seluruh anggota hunian agar tidak terjadi
reinfestasi dan dapat memutus lingkaran setan. Pada makalah ini, akan dibahas kasus mengenai
skabies pada pasien di Puskesmas Tenam mulai dari etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, terapi, edukasi, prognosis dan komplikasi.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari skabies.

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis dari skabies.

1.4 Manfaat Penulisan


Menambah pengetahuan tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari skabies.

1.5 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini berupa hasil dari pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan
kepustakaan merujuk pada berbagai literatur, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skabies dikenal juga dengan nama lain the itch, sky-bees, gudik, budukan, dan gatal agogo.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes
scabiei var, hominis dan produknya yang ditandai dengan gatal malam hari, mengenai
sekelompok orang, dan predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat, dan lembab.5

2.2 Epidemiologi
Kasus skabies dapat dijumpai di semua negara dengan prevalensi bervariasi antara 0,3
hingga 46%. Menurut hasil yang diperoleh dari laporan Puskesmas di Indonesia, skabies
merupakan penyakit kulit terbanyak ke-3 dengan prevalensi 5,6 – 12,9%. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di pesantren dan panti asuhan di Jakarta, diperoleh 51,6% prevalensi skabies di
Jakarta Timur tahun 2012 dan 68% di Jakarta Selatan tahun 2014. Hal ini menunjukkan di tempat
padat hunian seperti asrama, panti asuhan dapat ditemukan kasus skabies pada >50% populasi.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kasus skabies jauh lebih banyak pada orang dengan
higienitas pribadi yang buruk. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat higienitas
pribadi dengan kejadian skabies.1,6,7

2.3 Etiologi
Skabies disebabkan oleh Sarcoptes scabiei, termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super famili Sarcoptes. Penemunya adalah seorang ahli biologi Diacinto Cestoni
(1637 – 1718). Secara morfologik merupakan tungau kecil berbentuk oval, punggung
cembung, bagian perut rata, dan mempunyai 8 (delapan) kaki. Tungau ini translusen, warna
putih kotor, dan tidak bermata. Spesies betina berukuran 330 – 450 mikron x 250 - 350
mikron, sedangkan jantan berukuran lebih kecil 200 – 240 mikron x 150 - 200 mikron.
Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki
belakang. Kaki depan pada betina dan jantan memiliki fungsi yang sama sebagai alat untuk
melekat, akan tetapi kaki belakangnya memiliki fungsi yang berbeda. Kaki belakang betina
berakhir dangan rambut, sedangkan pada jantan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan kaki
keempat berakhir dengan alat perekat.
Tungau mengalami kopulasi di atas kulit. Tungau jantan akan mati, kadang dapat
bertahan hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau
betina yang telah dibuahi akan menggali terowongan di stratum korneum dengan kecepatan 2
– 3 milimeter/hari sembari meletakkan telurnya sebanyak 2 – 50. Telur akan menetas dalam 3
– 10 hari dan menjadi larva dengan 3 pasang kaki. Larva dapat tinggal di terowongan, tetapi
dapat juga keluar. Setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa yang terdiri dari jantan dan
betina dengan 4 pasang kaki. Siklus hidup mulai dari telur hingga bentuk dewasa
memerlukan 8 – 12 hari.
Aktivitas S. scabiei di dalam kulit menyebabkan rasa gatal dan menimbulkan respon
imunitas selular dan humoral serta meningkatkan IgE di serum dan di kulit. Masa inkubasi
selama 4 – 6 minggu. Kelainan kulit yang timbul selain yang disebabkan oleh tungau skabies,
dapat juga disebabkan oleh diri sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi akibat sensitisasi
terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira 1 bulan setelah
infestasi. Kelainan kulit saat itu menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,
urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi
sekunder.5,8

2.4 Cara Transmisi


Skabies sangat menular. Transmisi skabies dapat melalui kontak langsung dari kulit ke kulit,
dan tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi, seperti seprei, sarung bantal, handuk,
pakaian, dsb. Tungau skabies dapat hidup di luar tubuh manusia selama 24 – 36 jam. Tungau juga
dapat menular melalui kontak seksual walaupun menggunakan kondom, karena tetap terjadi
kontak melalui kulit di luar kondom.5,8,9

2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat 2 dari 4 tanda cardinal, diantaranya :5,10
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari akibat meningkatnya aktivitas tungau
pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Menyerang sekelompok manusia, misalnya dalam sebuah keluarga, di asrama, atau
pondokan. Adakalanya seluruh anggota keluarga mengalami infestasi tungau namun
tidak semuanya memberikan gejala. Kondisi ini disebut dengan hiposensitisasi.
Penderita bersifat sebagai carrier.
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabu-abuan, bentuk garis lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjangnya 1 cm, pada
ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder, ruam
kulit menjadi polimorfik yaitu pustule, ekskoriasi, dll, kunikulus biasanya sukar terlihat
akibat rusak karena sering digaruk. Predileksinya biasanya tempat dengan stratum
korneum yang tipis yaitu di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, bagian volar, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, umbilicus, bokong, genitalia
eksterna (laki-laki).
4. Ditemukannya tungau. Hal ini merupakan yang paling menunjang diagnosis. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau. Selain itu dapat ditemukan telur dan
kotoran (skibala).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Terdapat beberapa cara untuk menemukan tungau, diantaranya :
1. Carilah mula-mula terowongan kemudian pada ujung yang terlihat papul atau vesikel
dicongkel dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah objek, lalu ditutup dengan kaca
penutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung di atas selembar kertas putih dan dilihat
dengan kaca pembesar.
3. Dengan membuat biopsi irisan. Caranya : lesi dijepot dengan 2 jari kemudian dibuat irisan
tipis dengan pisau dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.
4. Dengan biopsy eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan hematoksilin eosin (H.E).1

Walaupun tungau dan produk tungau sulit ditemukan, pemeriksaan laboratorium sebaiknya tetap
dilakukan terutama pada kasus yang diduga skabies atipik. Pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Kerokan Kulit
Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang diperkirakan akan ditemukan
tungau yaitu papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya papul atau
terowongan ditetesi minyak mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk
mengangkat bagian atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek,
ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa dengan mikroskop.4
2. Swab Kulit
Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan yang dipotong sesuai
ukuran gelas objek (25x50mm). Cara melakukannya, mula-mula ditentukan lokasi kulit
yang diduga terinfestasi tungau. Kemudian bagian kulit tersebut dibersihkan dengan eter
lalu dilekatkan selotip di atas papul atau terowongan kemudian diangkat dengan cepat.
Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan
diperiksa dengan mikroskop. Dari setiap satu lesi, selotip dilekatkan sebanyak enam kali
dengan enam selotip untuk membuat enam sediaan. Sediaan dapat diperiksa dalam tiga jam
setelah pengambilan sampel bila disimpan pada suhu 10-14C. Usap kulit relatif mudah
digunakan dan memiliki nilai prediksi positif dan negatif (positive and negative predictive
value) yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk skrining di daerah dengan keterbatasan
fasilitas.4
3. Burrow ink test
Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20- 30 menit
kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila tinta
masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow
ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau
dan produknya.4
4. Dermoskopi
Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk segitiga yang diikuti
garis terowongan di epidermis seperti gambaran pesawat jet, layang-layang, atau
spermatozoid. Area akral seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan merupakan
tempat yang paling baik untuk dilakukan pemeriksaan dermoskopi, namun bagian kulit lain
yang mempunyai papul kemerahan dengan terowongan utuh juga harus diperiksa.
Dermoskopi cukup baik sebagai alat diagnostik skabies, namun tidak sebaik kerokan
kulit atau biopsi. Dermoskopi memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 86% pada
pemeriksa yang berpengalaman dengan spesifisitas yang sedikit lebih rendah pada
pemeriksa yang tidak berpengalaman.4

2.7 Diagnosis Banding


Skabies juga dinamakan dengan the great imitator karena dapat menyerupai banyak
penyakit kulit dengan keluhan gatal. Sebagai diagnosis banding dari skabies yaitu prurigo,
pedikulosis korporis, dan dermatitis. Selain itu juga bisa dengan reaksi kulit akibat gigitan
serangga dan dishidrosis.5
Prurigo merupakan inflamasi kronik pada kulit ditandai dengan papul dan vesikel kecil di
atasnya disertai rasa gatal, banyak menyerang anak-anak. Daerah predileksi adalah bagian
ekstensor ekstremitas, simetris, bagian distal esktremitas lebih parah dari proksimal.11
Pedikulosis korporis merupakan infeksi kulit oleh Pedivulus humanus var corporis,
menyerang orang dewasa terutama dengan higien buruk seperti pengembara, jarang mandi dan
mengganti pakaian. Kelainan yang ditemukan berupa bekas garukan pada badan karena gatal
berkurang dengan garukan yang lebih intensif.12
Reaksi akibat gigitan serangga lesi berlokasi pada area yang terpapar, terutama ekstremitas

dan wajah. Lesi pada sela jari tangan jarang ditemukan.13 Dishidrosis eksema lesi terdapar pada
lateral jari-jari, telapak tangan dan/atau telapak kaki, biasanya simetris. Gejala pruritus nokturna
jarang dijumpai. Adanya riwayat atopi, kontak alergi, stress, dan udara panas merupakan faktor
eksaserbasi penyakit ini.14

2.8 Penatalaksanaan
Syarat obat yang ideal :
a. Harus efektif terhadap semua stadium tungau
b. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik
c. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian
d. Mudah diperoleh dan harganya murah5

Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga harus diobat, termasuk penderita yang
hiposensitisasi. Berikut penatalaksanaan dari skabies :
1. Non medikamentosa
Pasien perlu diedukasi mengenai apa itu penyakit skabies, perjalanan penyakitnya,
mekanisme penularan, cara eraikasi tungau skabies, cara menjaga hygiene pribadi,
termasuk tata cara pengolesan obat. Pengobatan juga dilakukan pada orang serumah dan
orang di sekitar pasien yang berhubungan erat.5

2. Medikamentosa5
a. Sulfur presipitatum 4 – 20% dalam bentuk salap atau krim. Preparat ini tidak efektif
terhadap stadium telur, maka penggunannya dilakukan selama 3 hari berturut-turut.
Kekurangannya adalau berbau dan mengotori pakaian, kadang menimbulkan
iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur < 2 tahun.
b. Emulsi benzyl-benzoas 20 – 25%. Efektif terhadap semua stadium. Diberikan setiap
malam hari selama 3 hari. Sulit diperoleh, sering membuat iritasi, kadang makin
gatal dan panas setelah dipakai.
c. Gama benzana heksa klorida (gemeksan = gammexane) 1% dalam krim atau losio.
Termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium. Mudah digunakan.
Jarang menyebabkan iritasi. Tidak dianjurkan pada anak < 6 tahun dan ibu hamil
karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika
masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai
dua efek sebagai anti scabies dan antigatal.
e. Permetrin 5% dalam krim, efektivitas sama, aplikasi hanya sekali dan dibersihkan
dengan mandi setelah 8-10 jam. Pengobatan diulangi setelah seminggu. Tidak
dianjurkan pada bayi < 2 bulan.

2.9 Edukasi
1. Menjaga kebersihan diri
2. Mematuhi pengobatan yang diberikan
3. Mengobat orang serumah atau orang yang kontak erat dengan pasien5,10

2.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini baik jika diperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat,
menghilangkan faktor predisposisi, antara lain higiene, serta semua orang yang berkontak erat
dengan pasien harus diobati.5,10
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
Quo ad cosmeticum : bonam
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. D
Umur : 13 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Panti Asuhan Annisa, Simpang Haru, Padang
Perkawinan : Belum menikah
Negeri Asal : Indonesia
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Tanggal Pemeriksaan : 7 Januari 2022

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 13 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 7 Januari 2022 dengan :

a. Keluhan Utama
Bintik-bintik merah yang terasa gatal di sela-sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan
tangan, dan sela-sela jari kaki yang tidak sembuh setelah diobati sejak 1 bulan yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

 Bintik-bintik merah awalnya timbul di sela-sela jari tangan sekitar 3 bulan yang lalu,
kemudian membentuk gelembung berisi cairan dan terasa gatal. Bintik merah semakin
banyak dan juga timbul di telapak tangan, pergelangan tangan, dan sela-sela jari kaki.

 Gatal di sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, dan sela jari kaki sejak 3
bulan yang lalu. Gatal dirasakan terus menerus dan semakin meningkat terutama di
malam hari. Rasa gatal menyebabkan pasien susah untuk tidur.

 Pasien sering menggaruk bagian yang gatal, sering sampai luka. Sekitar 1 bulan yang
lalu, timbul nanah di jari IV dan V tangan kanan pasien.

 Pasien sempat berobat ke Klinik sekitar 1 bulan yang lalu akibat keluhan yang sama
disertai dengan adanya seperti nanah pada luka bekas garukan pasien. Pasien mendapat
obat salep Gentamycin yang dioleskan setiap sesudah mandi sebanyak 2 x 1, rutin dipakai
setiap hari, dipakai selama lebih kurang 2 minggu. Keluhan akibat adanya nanah
berkurang, tapi rasa gatal tidak berkurang, malah semakin bertambah. Pasien juga
mendapat obat minum, obat kapsul berwarna oranye-hitam, diminum 2 x 1, namun pasien
tidak ingat apa nama obatnya. Kedua obat tersebut digunakan selama lebih kurang 2
minggu.

 Pasien tinggal di panti asuhan dengan jumlah satu rumah sebanyak 34 orang. Pasien 1
kamar dengan 3 orang, tidur dengan kasur terpisah. Teman kamar pasien juga sering
terlihat menggaruk-garuk tangan dan lipat paha terutama pada malam hari.

 Kebiasaan menggunakan alat mandi bersama tidak ada.

 Riwayat bertukar pakaian dengan anggota panti tidak ada.

 Riwayat tidur di kasur yang sama dengan teman ada.

 Riwayat kontak dengan benda/zat tertentu sebelum muncul keluhan tidak ada.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Belum pernah menderita keluhan yang sama dengan sekarang

d. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat alergi makanan tidak ada

 Riwayat alergi obat tidak ada

 Riwayat asma tidak ada

e. Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien merupakan seorang pelajar tingkat MTs

 Pasien tinggal di Panti Asuhan Annisa

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : dalam batas normal
Nadi : dalam batas normal
Nafas : dalam batas normal
Suhu : dalam batas normal
Berat badan : 43 kg
Tinggi badan : 150 cm

IMT : 19,1 kg/m2 (Normal)


Mata : konjungtiva anemis (-)/(-) sklera ikterik (-)/(-)
KGB : tidak dilakukan pemeriksaan
Thoraks : diharapkan dalam batas normal
Abdomen : diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus
Lokasi : sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, sela jari kaki
Distribusi : terlokalisir, bilateral
Bentuk : tidak khas
Susunan : tidak khas
Batas : tegas
Ukuran : miliar-lentikuler
Efloresensi : papul eritem, vesikel, koleret, erosi, ekskoriasi, skuama, dan makula
hiperpigmentasi

RESUME
Pada hari Jumat, 7 Januari 2022 datang pasien perempuan berusia 13 tahun ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan bintik- bintik merah yang
terasa gatal di sela jari tangan, pergelangan tangan, telapak tangan, dan sela jari kaki yang tidak
sembuh setelah diobati sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan pertama kali muncul sejak 3 bulan yang
lalu, terasa gatal terutama di malam hari, sering menggaruk hingga menimbulkan luka pada
lokasi tersebut. Riwayat pengobatan pada 1 bulan yang lalu mendapat salep Gentamycin dan
obat oral namun keluhan tidak berkurang. Pasien tinggal di Panti Asuhan dan sekamar dengan
tiga orang. Teman sekamar pasien juga memiliki keluhan yang sama. Pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat asma, riwayat alergi
makanan dan obat-obatan.
Pada pemeriksaan fisik status generalisata ditemukan dalam batas normal. Status
dermatologikus pada sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, dan sela jari kaki
ditemukan papul eritem, vesikel, koleret, erosi, ekskoriasi, skuama, dan makula
hiperpigmentasi.

DIAGNOSIS KERJA
Skabies dengan Infeksi Sekunder

DIAGNOSIS BANDING
Tidak ada diagnosis banding

PEMERIKSAAN ANJURAN
KOH 10%

TATALAKSANA
a. Umum :
- Menganjurkan agar seluruh anggota panti asuhan diobati agar memutus rantai penularan
skabies
- Menganjurkan pasien untuk mengganti seprai, selimut, dan mencuci semua pakaian
sebelum menggunakan obat
- Menganjurkan pasien untuk tetap tidak menggunakan handuk dan sabun batang bersama
orang lain di panti agar tidak terjadi penularan
- Menganjurkan pasien untuk tidak menggaruk lesi dan mencuci tangan dengan
menggunakan sabun saat setelah menggaruk.
- Mengedukasi cara menggunakan obat oles dengan benar yaitu dengan mengoleskan obat
sebelum tidur mulai ke seluruh tubuh mulai dari leher hingga kaki, dioleskan tipis-tipis,
dibiarkan selama 8-10 jam. Jika terkena air harus dioleskan ulang di tempat yang terkena
air. Setelah 8 – 10 jam, pasien baru dapat mandi.

b. Khusus :
 Sistemik
- Cetirizine tab 10 mg 1 x 1

 Topikal
- Permethrin cream 5%
PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanactionam : bonam
 Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 13 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP
Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan utama bintik-bintik merah di sela jari tangan, telapak
tangan, pergelangan tangan, dan sela jari kaki yag terasa gatal sejak 3 bulan yang lalu. Pasien
didiagnosis dengan skabies setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik umum dan
dermatologikus. Telah diperoleh sebanyak 2 dari 4 tanda kardinal skabies diantaranya pruritus
nokturna dan adanya anggota serumah dengan keluhan yang sama.
Gatal dirasakan pasien semakin meningkat terutama saat malam hari sehingga mengganggu
tidur pasien. Hal itu karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
Pasien merupakan seorang pelajar yang tinggal di panti asuhan dengan jumlah orang serumah
sebanyak 30 orang. Pasien sekamar dengan 3 orang. Teman sekamar pasien juga memiliki
keluhan yang sama dengan pasien. Skabies merupakan infestasi tungau yang menyerang
sekelompok manusia sehingga seluruh anggota panti sebenarnya dapat terinfeksi semua.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan dermatologikus efloresensi yang khas pada skabies. Pada awalnya berbentuk papul
dan vesikel. Akibat garukan, timbul koleret, erosi, ekskoriasi, dan skuama. Sebagai
penyembuhan luka, timbul lesi hiperpigmentasi pada pasien.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan, pasien didiagnosis kerja
dengan skabies. Kasus pada pasien sesuai dengan ciri-ciri presumtif skabies yaitu gejala muncul
di lokasi predileksi yang memiliki stratum korneum tipis, seperti di sela jari tangan, talapak
tangan, pergelangan tangan bagian volar, dan sela jari kaki. Selain itu, gejala bisa muncul di
lipat ketiak, areola mammae, umbilikus, dan bokong. Lokasi sesuai predileksi, adanya pruritus
nokturna, serta adanya riwayat anggota serumah yang terkena dapat menyokong diagnosis
skabies.
Diagnosis banding pada pasien ini tidak ada karena didapatkan lesi khas untuk skabies dan
sudah memenuhi kriteria diagnosis klinis skabies yaitu terdapat 2 dari 4 tanda kardinal skabies.
Pada skabies, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang rutin yaitu kerokan kulit. Kerokan kulit
dilakukan di daerah yang ada papul atau lesi yang belum pernah digaruk untuk menemukan
tungau. Pada pasien ini, ditemukan tungau dari hasil kerokan kulit pasien sehingga diagnosis
pasti skabies dapat ditegakkan.
Pasien diberikan skabisida topikal yaitu krim permethrin 5%. Permethrin merupakan
skabisida pilihan karena efektif terhadap semua stadium tungau, selain itu angka
kesembuhannya tinggi dan toksisitasnya rendah. Terhadap pasien telah diedukasi cara
penggunannya yaitu dnegan mengoleskan ke seluruh permukaan kulit dari leher hingga ujung
kaki. Tujuannya untuk membunuh seluruh tungau yang ada di stratum korneum dan di
permukaan kulit. Krim permethrin dianjurkan dipakai pada malam hari selama 8 – 10 jam dan
bila terhapus sebelum waktunya harus dioles ulang. Esok harinya pasien mandi menggunakan
sabun untuk membilas krim permethrin dari kulit. Pasien juga diberikan antihistamin cetirizine 1
x 10 mg untuk mengurangi gejala pruritus yang dialami pasien. Diminum di malam hari untuk
mengurangi pruritus nokturna pada pasien sehingga tidak mengganggu kualitas tidur pasien.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam, quo ad sanationam adalah bonam,
quo ad functionam adalah bonam, dan quo ad kosmetikum adalah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Widaty S. Dimensi Baru dalam Tatalaksana dan Strategi Pengendalian Skabies. MIMS
News. 2017.
2. Micali G, Lacarruba F, et al. Scabies: Advances in Noninvasive Diagnosis. PLos Negl Trop
Dis. 2016; 1-13.
3. Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected skin
disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769-79.
4. Sungkar S. Skabies : Etoologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan.
Jakarta : Badan Penerbit FK UI, 2016.
5. Boediardja SA, Handoko RP. Skabies. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2018.
6. Hay et al. Scabies in the developing world-its prevalence, complications, and management.
Clin Microbiol Infect. 2012;18:313-23.
7. Akmal SC, Semiarty R. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies di Pondok
Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah Koto Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013;164-7.
8. Burkhart CG, Burkhart CN. Scabies, other mites and Pediculosis. In: Fitzpatrick TB, Eisen
AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Dermatology in General Medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill Book Company; 2012. P2569-77.
9. Inakanti Y. An old disease in new look – short review of literature: Scabies. International
Journal of Clinical Case Reposrts; 2015; 5(13) p.1-5
10. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis. Jakarta: 2021.
11. Boediarja SA, Wiryadi BE. Prurigo. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2018.p315-9
12. Handoko P. Pedikulosis. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2018.p135-6.
13. Boediardja SA. Hipersensitivitas terhadap Gigitan Serangga. Dalam: Menaldi SL,
Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta : Badan
Penerbit FK UI. 2018.p320-7.
14. Pusponegoro EHD. Dishidrosis. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2018.p151-2.

Anda mungkin juga menyukai