Anda di halaman 1dari 15

SCABIES

ELFRIDAYANTI
NPM. 1802101020020

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
2

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan

kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat

serta Salam semoga tercurah kepada Baginda tercinta Nabi Muhammad Salallahu

‘Alaihi Wassalam yang kita nantikan syafaatnya di akhir kelak.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan

masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini

nantinya akan menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat

kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya

kepada guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah

ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Banda Aceh, 27 Juli 2019

Penulis
3

DAFTAR ISI

Cover 1

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

Pendahuluan 4

Pembahasan 6
 Etiologi 6
 Siklus Hidup 7
 Sifat Alami Agen 7
 Spesies Rentan 8
 Cara Penularan
9
 Sifat Penyakit
9
 Gejala Klinis
9
 Patologi
 Diagnosa 11
 Diagnosa Banding 11
 Pengobatan 12
 Pencegahan 12
 Pengendalian dan Pemberantasan 13

Kesimpulan 14

Daftar Pustaka 15
4

PENDAHULUAN

Scabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau

dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonoma dan

Cestoni mampu mengilutrasikan sebuah tungan sebagai penyebab scabies pada tahun

1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh

Aristoteles dan Cicero dengan menyebutkan “lice in the flesh”. Sejauh ini dilaporkan

lebih dari 40 spesies dari 17 famili dan 7 ordo mamalia yang dapat terserang scabies,

termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan maupun hewan liar.

Kerugian yang dapat ditimbulkan akibat scabies antara lain dapat menurunkan

produktfitas pada hewan ternak dan merusak jaringan kulit sehingga menyebabkan

kulit alpoesia dan mengurangi estetika dari hewan kesayangan. Selain itu, penyakit

ini juga berbahaya karena dapat menular kepada tubuh pemiliki atau manusia. Pada

hewan, dapat terjadi penurunan berat bada, pertumbuhan yang lambat, penurunan

daya tahan tubuh dan kematian hospes. Pada hewan ternak yang terinfeksi, dapat

menyebabkan kerusakan kulit sehingga dan kekurusan sehingga mempunyai nilai jual

yang rendah (Khan dkk., 2008).

Penyakit ini disebabkan oleh tungau yang ditandai dengan gejala khas yaitu

gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit

Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian

kulit, yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu
5

kesehatan masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular pada

manusia atau zoonosis (Iskandar, 2000).

Tungau menyerang dengan cara menginfestasi kulit inangnya dan bergerak

membuat terowongan di bawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum) sehingga

menyebabkan gatal, kerontokan rambut dan kerusakan kulit. Meskipun angka

kesakitannya rendah tetapi penyakit ini menimbuulkan kerugian yang cukup

berdampak (Kasmar, 2017).


6

PEMBAHASAN

Etiologi

Penyakit scabies disebabkan oleh berbagai jenis tungau. Tungau merupakan

arthropoda yang termasuk dalam kelas Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata

dan family Sarcoptidae. Contoh tungau Asigmata antara lain Sarcoptes scabiei,

Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp. dan Otodectes cynotys. Notoedres sp.

dan Chonoptes sp. umumnya menyerang kambing dan domba namun dapat pula

menyerang kerbau, sapi dan kuda. Sementara Notoedres menyerang kelinci dan

terkadang juga menyerang kucing (Iskandar, 2000).

Di antara jenis tungau tersebut, S. scabiei diketahui paling patogen dan

memiliki cakupan inang yang luas. Tungan S. scabiei berwarna putih krem dan

berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral.

Permukaan tubuhnya bersisik dan ditutupi kutikula serta banyak dijumpai garis

parallel transversal. Stadium larva memiliki 3 pasang kaki sedangkan stadium dewasa

dan nimpa memiliki 4 pasang kaki yang pendek dan pipih (Kasmar, 2017).

Betina berukuran antara 300-600 × 250-400 µm, sedangkan jantan berukuran

antara 200-240 × 150-200 µm. terdapat beberapa varietas S. scabiei pada inangnya

var humani pada manusia, S. scabiei var canis pada anjing, S. scabiei var suis pada

babi, S. scabiei var ovis pada domba, S. scabiei var caprae pada kambing, S. scabiei

var equi pada kuda dan S. scabiei var bovis pada sapi. S. scabiei bersifat parasit

obligat yang artinya mutlak membutuhkan inang untuk bertahan hidup. Perlu
7

diperhatikan bahwa scabies pada kabing juga dapat disebabkan oleh tungau lain yaitu

Psoroptes sp (Kasmar, 2017).

Siklus Hidup

Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimpa stadium dua yang aktif

membuat liang di epidermis. Pada liang tersebut, Sarcoptes sp. meletakkan telurnya.

telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi lava berkaki 6. Dalam kurun

waktu 2 hari, larva akan berkembang menjadi nimpa stadium I dan II yang berkaki 8.

Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak

dalam waktu 2-4 hari (Iskandar, 2000)..

Sifat Alami Agen

Tidak seperti tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos stratum

korneum kulit. Tungau dewasa berletur di terowongan dan setiap tungau

menghasilkan antara 2-3 telur setiap hari dengan masa bertelur sampai 2 bulan

selanjutnya tungan betina akan mati. Pada suhu 35ºC dengan kelembaban 100% telur
8

menetas dalam waktu 2-3 hari, lalu memasuki stadium larva kemudian larva berubah

menjadi 2 bentuk nimpa yaitu protominpa dan tritinimpa. Tritonimpa menjadi dewasa

dalam waktu 2-3 hari. Seluruh siklus hidup sejak telur sampai menjadi dewasa

memerlukan waktu antara 10-14 hari (Kasmar, 2017).

Tungau scabies diketahui sangat peka terhadap lingkungan. Di luar tubuh

inang, pada kondisi lingkungan yang kering tungau hanya dapat bertahan hidup

selama 2-3 minggu, terkadang sampai 8 minggu. Pada kondisi kering tersebut,

telurnya memiliki daya tetas sampai 6 hari dan sekitar 6 minggu pada kondisi

lingkungan yang lembab (Kasmar, 2017).

Spesies Rentan

Tungan Sarcoptes sp. dapat menyerang berbagai hewan yaitu sapi, kerbau,

kambing, kucing, anjing, babi dan lain-lain. Scbies banyak dilaporkan terjadi pada

kulit yang tidak berpigmen dibandingkan yang tidak berpigmen. Bulu yang lebat,

panjang dan kotor merupakan tempat ideal bagi tungau. Bulu yang panjang terkait

dengan kelembaban kulit. Diduga kulit yang lembab akan menyebabkan lapisan

tanduk pada kulit menjadi lebih lunak sehingga memudahkan bagi tungau untuk

menembusnya (Iskandar, 2000).

Hewan muda umumnya lebih peka tehadap scabies dibandingkan hewan tua.

Faktor predisposisi pada inang yang ikut memperparah gejala klinis scabies antara

lain kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit

lainnya (Kasmar, 2017).


9

Cara Penularan

Penularan scabies terjadi secara kontak langsung, baik antar hewan

peliharaan, maupun antara hewan peliharaan dan hewan liar yang menderita scabies.

Penyakit scabies pada suatu peternakan umunya sering terjadi akibat masuknya

hewan penderita subklinis ke peternakan tersebut. Selain itu, penularan juga dapat

terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau walaupun tungau ini hanya

mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang (Putra,

1984).

Sifat Penyakit

Biasanya scabies bersifat endemis dan bila terjadi wabah akan menyerang

sebagian besar ternak dan dapat disertai kematian. Pada hewan muda, angka kematian

penderita dapat mencapai 50% tergantung pada kondisi hewan dan lingkungan

(Iskandar, 2000).

Gejala Klinis

Masa inkubasi bervariasi antara 10-40 hari. Pada awal infestasi, kulit

mengalami erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula

dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti dengan pembentukan eksudat karena

adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena merasa gatal, menggaruk atau

menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada

permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak (Pramesthi dkk., 2017).
10

Proses selanjutnya akan terjadi proses keratinasi dan proliferasi yang

berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan

pengeriputan. Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu pada seluruh

permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga terjadi kekurusan dan

akhirnya mati karena kekurangan gizi. Apabila pengobatan tidak dilakukan secara

tuntas, maka sering terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul

bau busuk dan abses. Pada hewan muda, angkat kematian dapat mencapai lebih dari

50% bila diikuti dengan infeksi sekunder (Iskandar, 2000).

Perjalanan penyakit terbagi menjadi 3fase. Fase pertama terjadi 1-2 hari

setelah infestasi. Saat ini tungau mulai memasuki lapisan epidermis sehingga pada

permukaan kulit banyak terdapat lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada

pada lapisan kertin, permukaan kulit telah ditutupi kerak atau keropeng yang tebal

dan terjadi kerontokan rambut. Fase kedua ini terjadi setelah 4-7 minggu setelah

infestasi. Adapun fase ketiga, terjadi setelah 7-8 minggu setelah infestasi, kerak mulai

mengelupas sehingga pada permukaan kulit terlihat kembali lubang-lubang kecil dan

pada saat itu, tungau mulai meniggalkan bekas lubang tersebut (Griana, 2013).

Bentuk lesi scabies sama pada berbagai hewan, namun lokasi lesi dapat

bervariasi. Pada kambing, lesi biasanya dimulai dari hidung lalu menyebar keseluruh

tubuh. Pada babi, lesi umumnya diawali pada daun telinga, cungur, bagian dorsal dan

leher, bahu, bagian dalam paha, sepanjang punggung, pangkal ekor dan pada kaki dan

menyebar keseluruh tubuh. Pada penderita scabies kronis, lesi dijumpai pada kulit

bagian abdomen dan ambing (Kasmar, 2017).


11

Patologi

Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit (Kasmar, 2017).

Diagnosa

Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan

kulit. Kerokan kulit dapat diambil pada bagian sekitar lesi dan kulit dikerok sampai

sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10%

kemudian ditutup dengan kaca penutup. Preparat kemudia diamati menggunakan

mikroskop (Griana, 2013).

Tes tinta pada terowongan kulit dapat dilakukan dengan menggosok papula

menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta

didiamkan 20-3- menit, kemudian tinta dihapus menggnaka kapas yang dibasahi

alkohol. Tes dinyatakan positif apabila tinta mask ke dalam terowongan dan

membentuk gambaran khas yang berupa zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat

tungau juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau fluorescence tetracycline test

(Griana, 2013).

Kedua metode di atas memiliki kekurangan khususnya pada kasus yang baru

terinfestasi S. scabiei. Tungau akan sulit diisolasi dari kerokan kulit dan gejala klinis

yang ditunjukkan mempuyai persamaan dengan penyakit kulit lainnya.

Berdasarka tehnik ELISA telah dikembangkan metode untuk mendeteksi

antibodi S. scabiei pada babi dan anjing yang telah dikomersialisasikan di Eropa. Uji

terebut menggunakan antigen tungau yang diperoleh dari S. scabiei var suis dan S.
12

scabiei var vulpes. Akan tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya reaksi

silang antara varian S. scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi

scabies anjing dan domba menggunakan S. scabiei var vulpes (Morsy dkk., 1989).

Diagnosa Banding

Dermamtitis yang disebabkan oleh jamur dan kadang sulit dibedakan dengan

demodekosis tipe squama (pada anjing) (Kasmar, 2017).

Pengobatan

Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit, oral dan

parenteral. Pengobatan sebaiknya diulang 2-3 kali dengan interval 1-2 minggu untuk

memutuskan siklus hidup tungau. Obat yang digunakan secara langsung pada kulit

antara lain larutan coumaphos 0,1%, benena hexa chloride, emulsi benzyl benzoal

25%, kombinasi benzyl benzoate dengan BHC, phosmet 20%, odylen 20%, lindane

20%, amitraz 0,1% dan malathion (Griana, 2013).

Mengingat lokasi tungau berada di dalam kuit, maka pengobatan akan sulit

dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal

dapat menghambat penetrasi obat. Hasil yang baik diperoleh apabila keropeng

tersebut dibersihkan terlebih dahulu.

Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan

secara subkutan dengan dosis 200mg/kg bb. Secara oral ivermectin diberikan dengan

dosis 100-200 mg/kg bb setia hari selam 7 hari (Tjahajati, 2002).


13

Pencegahan

Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang

masuk ke dalam peternakan dan populasi ternak (densitas) agar sesuai dengan luas

lahan dan kandang yang tersedia sehingga tidak terlalu padat (Kasmar, 2017).

Pengendalian dan Pemberantasan

Tindakan pengendalian yang terpenting adalah menejemen pengobatan dan

penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalulintas hewan

penderita. Tindakan pemberantasan scabies pada peternaka yang bersifat intensif

akan mudah dilakukan yang ditunjukkan oleh banyaknya laporan keberhasilan yang

sangat memuaskan. Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan

pola peternakan tradisional hasilnya sering kali kurang memuaskan karena infeksi

ulang dapat terjadi kembali sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu

lintas ternak (Anonim, 1981).


14

KESIMPULAN

Scabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau

dan bersifat zoonosis. Penularan scabies terjadi secara kontak langsung, baik antar

hewan peliharaan, maupun antara hewan peliharaan dan hewan liar yang menderita

scabies..Hewan penderita tampak gelisah karena merasa gatal, menggaruk atau

menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada

permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak. Diagnosa dapat ditetapkan

berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit. Obat yang bersifat sistemik

dan cukup ampuh adalah ivermectin. Tindakan pengendalian yang terpenting adalah

menejemen pengobatan dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang

ketat terhadap lalulintas hewan penderita.


15

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1981. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid 3. Direktorat


Kesehatan hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian;
Jakarta.
Griana, T.P. 2013. Scabies: Penyebab, Penanganan dan Pencegahan. El-Hayah. 4(1):
37-46.
Iskandar, T. 2000. Masalah Scabies pada Hewan dan Manusia serta
Penanggulangannya. Wartazoa. 10(1). 20-27.
Kasmar, I. N. 2015. Prevalensi Skabies pada Kambing di Kecamatan Bontotiro
Kabupaten Bulukumba. Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Khan, M. K., M. S. Sajid dan Z. Iqbal. 2008. Prevalence Effect of Treatment on
Productivity and Cost Benefit Analysis infive District of Punjab Pakistan.
Res Vet Sci. 87: 70-75
Morsy, G.H., J. J. Turek dan S.M. Gaafar. 1989. Scanning Electron Microcopy of
Sarcoptic Mange Lesion in Swine. Veterinary Parasitology. 31: 281-288.
Pramesthi, M. B., E. Santoso dan Marji. 2017. Diagnosis Penyakit Kulit pada Kucing
Menggunakan Metode Modified K-Nearest Neighbor. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 1(12): 1797-1803).
Putra A.A.G. 1984. Kajian Epidemiologi dan Kerugian Ekonomi Scabies. Buletin
Sains Veteriner. 10(26): 88-109.
Tjahajati, I. 2002. Efektivitas Doramectin untuk Pengobatan Skabies pada Kucing.
Jurnal Sains Veteriner. 20(1): 38-42.
Wardana, A. H., J. Manurung dan T. Iskandar. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit
Zoonosis Masa Kini dan Akan Datang. Wartazoa. 16(1): 40-52.

Anda mungkin juga menyukai