Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Merpati (Columba livia)

Merpati (Columba livia) merupakan anggota dari famili Columbidae

dengan taksonomi sebagai berikut: Filum Chordata, Kelas Aves, Ordo

Columbiformes, Famili Columbidae, Genus Columba, Spesies Columba livia

(Rachmanto, 2001; Whendrato dan Madyana, 1989). Merpati mencakup sekitar

255 spesies dengan penyebaran hampir seluruh dunia. Bulunya khas berwarna

abu-abu, cokelat atau merah muda, dengan bercak-bercak kontras berwarna lebih

cerah. Sayap dan ekornya menunjukkan banyak variasi dalam bentuk dan ukuran,

tetapi tungkainya biasanya pendek, kecuali pada beberapa spesies darat memiliki

tungkai cukup panjang (Ultgeveri dan Hoeve, 1989).

Gambar 1. Burung Merpati (Suparman, 2007)

Merpati memiliki tubuh gempal, lehernya pendek dan kepalanya kecil.

Paruhnya rata-rata kecil, lunak pada pangkalnya dan keras pada ujungnya dan

pangkal paruh sebelah atas terdapat tonjolan daging yang pada beberapa spesies

membesar (Ultgeveri dan Hoeve, 1989). Merpati dewasa umumnya memiliki

berat badan berkisar antara 350-550 gram dengan panjang tubuh 12,5-40 cm.

3
4

Umur maksimal yang bisa dicapai 15 tahun dan umumnya usia jantan lebih

panjang dibanding betina (Johnson-Delaney, 2000).

Perkembangan merpati terjadi melalui proses perkawinan, bertelur, dan

mengerami hingga menetas. Dewasa kelamin saat berumur 5 bulan, mulai bertelur

umur 7-8 bulan dengan rata-rata jumlah telur 2 butir diinkubasi selama 17 sampai

18 hari (Johnson-Delaney, 2000). Di alam bebas merpati hidup dengan membuat

sarang. Pembuatan sarang ketika memasuki masa perkawinan (betina hendak

bertelur dan mengerami telurnya). Merpati digolongkan menjadi empat jenis,

merpati hias, merpati pos, merpati balap, dan merpati pedaging (Suparman, 2007).

Avian Pox

Etiologi

Avianpox virus ini termasuk dalam genus Avipoxvirus dan merupakan virus

DNA. Virus ini yang termasuk dalam sub-family Chordopoxfirinae dan family

Poxviridae. Terdapat beberapa spesies virus yang termasuk dalam Avianpoxvirus

yaitu Fowlpoxvirus, Pigeon pox virus, Canary pox virus, dan Quail pox virus.

Secara umum Avian pox virus menyerang ayam, kalkun, burung merpati, burung

kenari, burung gereja dan burung jalak. Fowlpox virus dapat ditemukan pada

ayam, kalkun, burung mutiara, burung puyuh, itik, dan burung jenis psittacine

pada segala umur. Sedangkan Pigeon pox virus dapat ditemukan pada burung

kenari, merpati, ayam dan burung gereja. Canary pox virus ditemukan pada

burung kenari, ayam dan burung gereja. Quail pox virus dapat ditemukan pada

ayam yang kebal terhadap Fowl pox virus (El-Mahdy et al., 2014; Tabbu, 2000).
5

Avian pox virus bereplikasi dan matang pada sitoplasma sel yang terinfeksi.

Virus ini dapat ditularkan melalui burung liar dan insekta seperti nyamuk (El-

Mahdy et al., 2014). Menurut Saif (2008), virus pox berbentuk seperti batu bata

dengan ukuran 330x280x200 nm. Lapisan terluar virus ini terdiri dari beberapa

tubulus permukaan. Virus ini memiliki inti ditengah dengan bentuk bikonkaf dan

lateralnya terdapat ruangan berbentuk konkaf serta dikelilingi sebuah selubung

(envelope) (Gamabar 2).

Gambar 2. Morfologi virus Avian pox, bentuk bikonkaf ber-envelope (Isikhnas,


2014)

Patogenesis

Virus pox dapat ditularkan secara mekanik melalui kulit yang luka. Virus

ini dapat menular melalui ayam sakit ke ayam lain. Pada daerah panas, nyamuk

(insekta) merupakan salah satu vektor mekanik yang dapat menyebarkan virus

secara cepat. Nyamuk tersebut dapat menularkan virus dengan menginfeksikan

melalui mata. Setelah itu, virus dapat memasuki duktus lakrimal dan dapat

menginfeksi saluran pernapasan atas. Penularan pox juga dapat terjadi melalui

oral maupun inhalasi melalui kropeng yang mengandung virus (Saif, 2008; Tabbu,

2000).
6

Gejala klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh virus ini dapat ditemukan dua bentuk

yaitu bentuk kutaneus atau bentuk lesi difterik. Pox bentuk kutaneus ditandai

dengan lesi berbentuk nodular pada pial, balung, kelopak mata, sekitar paruh dan

daerah lain yang tidak ditumbuhi bulu dengan warna kuning sampai kecoklatan.

Sedangkan pox bentuk difterik ditandai dengan adanya lesi yang berwarna

kekuningan pada membran mukosa mulut, esophagus atau trakea (Tabbu, 2000).

Perubahan patologik

Virus pox masuk ke dalam epitel, kemudian menyebar sel satu ke sel

lainnya secara lokal, didukung oleh produksi faktor pertumbuhan epidermal yang

mendukung proliferasi. Sejumlah virus akan mencapai sirkulasi darah dan

menyebabkan viremia (Tabbu, 2000). Pox bentuk kutaneus tersifat oleh adanya

hyperplasia epitel yang bersifat lokal pada epidermis dan folikel bulu, yang

ditandai dengan adanya pembentukan nodul. Lesi ini diawali dengan

pembentukan foki yang berwarna kelabu dan meningkat ukurannya serta berubah

menjadi warna kuning. Lesi yang berdekatan akan bersatu dan menjadi kasar serta

berwarna kelabu atau cokelat tua. Vesikula kan berkembang menjadi pustula dan

akhirnya akan membentuk krusta (kropeng), yang berwarna coklat-kemerahan

sampai hitam. Sedangkan pada lesi difterik, akan terlihat adanya nodul yang

berwarna putih keruh pada membrane mukosa. Noduli akan meningkat dalam

ukuranya dan kerapkali beberapa nodul membentuk selaput pseudodifterik yang

berwarna kuning mengeju. Jika selaput tersebut dilepas maka akan terjadi
7

pendarahan (Tabbu, 2000). Lesi pox bentuk kutaneus dan bentuk difterik dapat

dilihat pada gambar 3 dan gambar 4.

A B

Gambar 3. Lesi kutaneus pox (A) nodul pada kepala, (B) nodul pada kelopak mata
(Mahmoud, 2015)

Gambar 4. Lesi difterik pox pada rongga mulut sampai esophagus (Saif, 2008).

Gambaran terpenting dari lesi yang ditimbulkan oleh virus pox bentuk

kutaneus maupun difterik yaitu hyperplasia pada sel epitel, degenerasi hidropik

yang disertai oleh radang, meliputi heterofil, limfosit dan makrofag. Selain itu,

akan ditemukan adanya benda inklusi yang bersifat eosinofilik dan terletak di

intrasitoplasmik (Bollinger bodies) (Tabbu, 2000) seperti pada Gambar 5.

A B

Gambar 5. Histopatologi kulit yang terdapat nodul (A) mengalami hyperplasia


epitel, (B) Benda inklusi intrasitoplasmik eosinofilik pada lesi kutaneus
(Mahmoud, 2015).
8

Columbicola columbae

Colimbicola columbae termasuk kutu Mallophaga Ischnocera, yaitu kutu

penggigit. Kutu ini tidak memakan darah, tetapi memakan bulu-bulu halus pada

bulu bagian sayap, kutu ini juga bisa berpindah dari sayap ke bagian tubuh hospes

dan memakan bagian basal dari bulu pada tubuh hospesnya (Levine, 1994)

Ektoparasit ini memiliki ciri kepala besar, tumpul, mata mereduksi,

memiliki 3 pasang kaki, antenna 3-5 segmen tidak dilindungi antennal groove,

tidak terdapat palpus maxillaris. Tubuh coklat hitam, panjang sekitar 2 mm, tubuh

ramping menyesuaikan dengan bentuk bulu (Levine, 1994). Columbicola

columbae bergerak di antara bulu-bulu, menggunakan kaki dan mandibula untuk

menempelkan diri pada bulu. Penularan dapat terjadi dengan cara kontak langsung

dengan merpati yang terinfestasi Columbicola columbae.

Gambar 6. Morfologi kutu Columbicola columbae (Adams dkk, 2005).

Siklus hidup dimulai dengan betina dewasa bertelur 1-2 butir

perhari,diletakkan dekat rambut. Telur menetas setelah 1-2 minggu menjadi


9

nimfa. Dalam waktu 1-3 minggu nimfa makan dan menyilih atau moulting 3-5

tahap untuk menjadi dewasa (Monnig, 1950).

Menopon gallinae

Menopon gallinae merupakan kutu penggigit (Mallophaga) pada unggas,

menciri dengan bagian caput yang besar dengan mandibula tipe penggigit yang

terletak dibawah kepala. Menopon gallinae memiliki bentuk kepala triangular,

pendek dan lebar, bagian dahi agak melengkung dengan sudut samar-samar pada

bagiantengah , temporal lobe melebar, bagian abdomen pipih doroventral dengan

bagian posterior berbentuk kerucut. Panjang kutu ini ±3,5 mm, Menopon gallinae

betina memiliki bagian posterior yang lebih runcing dan bagian tepi terdapat bulu-

bulu halus, sedangkan pada jantan memiliki bagian posterior yang membulat dan

memiliki lateral bristles (Yevstafieva, 2015).

Kutu ini tidak mempunyai sayap dengan siklus hidup metamorfosis yang

tidak sempurna. Menopon galinae meletakkan telurnya di pangkal bulu, terutama

di sekitar lubang tubuh. Kutu ini tidak terlalu patogen pada unggas dewasa,

sedangkan pada unggas kecil dapat menyebabkan kematian. Infestasi oleh

Menopon gallinae biasanya meningkat pada kondisi kesehatan ayam yang buruk

karena parasit internal, penyakit infeksi lain, malntrisi, dan sanitasi yang buruk

(Prastowo dan Priyowidodo, 2014).

A B

Gambar 7. Morfologi kutu Menopon gallinae (A) Betina, (B) Jantan (Yevstafieva,
2015).
10

Siklus hidup kutu dimulai dari telur hingga dewasa, terjadi pada tubuh

induk semang. Menopon gallinae meletakkan telurnya di bulu. Beberapa hari

menetas di dasar bulu (4-7 hari). Secara normal kutu hanya makan produk bulu.

(Prastowo dan Priyowidodo, 2014). Kutu betina akan bertelur sebanyak 200-300

telur beroperkulum berwarna keputihan dan menempel pada bulu. Siklus

hidupnya bersifat metamorfosis tidak sempurna, berawal dari telur yang menetas

menjadi nimfa yang bentuknya mirip bagian dewasa namun ukurannya lebih kecil,

kemudian mengalami pergantian kulit selama tiga kali dan menjadi dewasa. Masa

pertumbuhan dari telur menjadi dewasa membutuhkan waktu selama 2-3 minggu

(Urquhart et al., 1996).

Ascaridia columbae

Ascaridia columbae merupakan cacing nematoda yang berpredileksi pada

intestinum tenue merpati (Columba livia domestic). Cacing betina memiliki

ukuran lebih besar dari jantan. Cacing jantan dewasa memiliki ukuran panjang

22,2 mm dengan lebar 533 µm, ciri – ciri cacing jantan memeiliki spikula pada

bagian posterior dengan panjang 1,17 mm dan memiliki 13 pasang papila kaudal.

Cacing betina memiliki panjang 25,9 mm dengan lebar 666 µm, pada bagian

posterior vulva agak ke tengah. Telur cacing Ascaridia galli berbentuk ellips

dengan dinding sel tebal dan halus, berukuran 65 – 78 x 45 – 52 µm. Telur tidak

dalam fase larva 2 dalam telur saat dieliminasi pada feses (Wehr dan Hwang,

1964).
11

A B C

Gambar 8. Morfologi cacing Ascaridia columbae (A) Anterior Ascaridia


columbae memiliki tiga buah bibir (Wehr dan Wang, 1964), (B)
posterior jantan dengan spikulum, (C) posterior betina, terdapat vulva
pada bagaian tengah posterior (Pinto, 1991)
Telur pertama kali terlihat dalam feses setelah 37 – 42 hari setelah infeksi.

Periode prepaten A.columbae 17 – 18 hari setelah memakan larva 2 dalam telur

(stadium infektif). Telur yang dikeluarkan dalam feses akan berkembang menjadi

larva 1 dalam telur setelah 15 hari dalam suhu ruangan. Saat hari ke 16 – 20 larva

1 berkembang menjadi larva 2 dalam telur dan menjadi stadium infektif dari

cacing ini. Larva kemudian keluar dan bermigrasi ke beberapa organ visceral.

Larva A. Columbae ditemukan pada hepar. Pada organ pulmo, duktus biliverus,

dan vena portae juga ditemukan larva (Wehr dan Hwang, 1964).

Haemoproteus columbae

Haemoproteus columbae merupakan parasit protozoa intraseluler dalam

darah dari genus Haemoproteus yang banyak terdapat pada burung dara atau

merpati. Sebagian besar infeksi Haemoproteus columbae merupakan infeksi

subklinis namun dapat menimbulkan kerusakan pada organ vital seperti

pembesaran hati, lien, ginjal dan gizzard, serta dapat menyerang paru-paru.

Burung yang mengalami infeksi protozoa ini biasanya mengalami anemia,

anorexia, dan depresi (Hussein dan Abdelrahim, 2016). Hemoproteus columbae


12

ditularkan kepada hospes primer melalui hospes perantara yaitu insekta penghisap

darah (famili Hippobosciadae dan Ceratopogonidae) (Tabbu, 2002).

Gambar 9. Morfologi Hemoproteus columbae, fase immature Haemoproteus


columbae (a-c), mikrogamet muda (d-h), mikrogamet (i-p) (Husein dan
Abdelrahim, 2016)

Stadium sporogami dari Haemoproteus columbae membutuhkan 2 famili

serangga (famili Hippobosciadae dan Ceratopogonidae). Stadium skizogoni

berada di dalam sel endotel organ viseral. Sporozoit masuk ke pembuluh darah,

pulmo, hati, dan limpa. Schizon membentuk cytomeres yang menghasilkan

merozoit dalam jumlah besar, yang kemudian merozoit masuk ke aliran darah.

Stadium gametogoni di dalam eritrosit yang bersirkulasi. Dalam eritrosit akan

berkembang menjadi makrogamet atau mikrogamet. Pada pemeriksaan apus

darah, hewan yang terinfeksi Haemoproteus columbae ditemukan adanya gamon

pada sitoplasma sel darah merah (Kaufmann, 1996; Tabbu, 2002).

Merpati yang terinfeksi menunjukkan kelemahan umum akibat anemia,

selain itu adanya gangguan pernafasan, kelumpuhan dan kematian pada kasus

akut. Hepar, lien, ginjal dapat berubah menjadi merah hitam dan berukuran lebih

besar, perdarahan pada jantung dan edema pulmo pada infeksi Haemoproteus
13

columbae fase akut. Meskipun demikian infeksi protozoa ini tidak sellau parah

karena merpati yang terinfeksi kerapkali terlihat normal (Tabbu, 2002).

Anda mungkin juga menyukai