Anda di halaman 1dari 18

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Berdasarkan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis patologi anatomi,

merpati dengan nomor protokol E.59 mengalami dermatitis dengan benda inklusi,

hepatitis granulomatosa, nefritis intertisialis, dan sinusitis. Pemeriksaan secara

makroskopik pada kulit terlihat adanya nodul kuning disekitar paruh. Kulit yang

terdapat lesi kemudian diproses untuk pembuatan preparat histopatologi untuk

melihat perubahan secara mikroskopik. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan

adanya proliferasi keratin tanpa disertai retensi inti (hiperkeratosis) dan infiltrasi

sel radang polimorfonuklear pada stratum korneum, degenerasi hidropik pada

stratum spinosum dengan benda inklusi intrasitoplasmik eosinofilik (Bollinger

bodies). Jaringan ikat terlihat longgar pada dermis (udem) disertai infiltrasi sel

radang polimorfonuklear di sekitar pembuluh darah (perivaskulitis)

23
24

A B

C D

Gambar 10. Perubahan makroskopik dan mikroskopik pada kulit. (A) Nodul
kuning pada kulit sekitar paruh, (B) hiperkeratosis dan infiltrasi sel
radang polomorfonuklear pada stratum korneum. (C) Degenerasi
hidropik pada stratum spinosum dengan benda inklusi intrasitoplasmik
eosinofilik (Bollinger bodies). (D)Jaringan ikat terlihat longgar pada
dermis dan perivaskulitis

Perubahan yang terjadi pada kulit ini disebabkan oleh infeksi Avianpox

virus tipe kutaneus. Hal ini didukung dengan literatur yang menyebutkan bahwa

lesi Avianpox virus tipe kutaneus ditandai dengan adanya nodular pada jengger,

pial, kelopak mata, sekitar paruh, kaki dan daerah lain yang tidak ditumbuhi bulu

(Tabbu, 2000). Lesi ini berkembang dimulai dengan munculnya papula kecil yang

terbentuk 5-6 hari setelah infeksi, lalu papula akan membesar, berwarna

kekuningan. Setelah 3-5 hari terbentuknya papula, bagian tengah lesi akan

mengalami hemoragi yang kemudian mengering dan berwarna kehitaman.

Selanjutnya terbentuk krusta atau keropeng dan setelah 10 hari krusta akan

terkelupas dengan sendirinya dan dapat menyebarkan virus ke lingkungan (Japan


25

Society on PoultryDisease, 2000). Perubahan secara mikroskopik yang ditemukan

juga didukung oleh Tripathy dan Reed (2008) yang menyatakan bahwa pada

infeksi pox terjadi hiperplasi epitelkarena adanya ekspresi Epidermal Growth

Faktor (EGF) yang dimiliki virus. EGF inijuga merupakan faktor yang

menyebabkan virus dapat menyebar dari satu sel ke selyang lain (Tabbu, 2000).

Kemudian juga terdapat benda inklusi intrasitoplasmikbersifat eosinofilik yang

disebut Bollinger bodies, degenerasi hidropik dan infiltrasi selradang (Mahmoud,

2015).

Pada organ hepar, secara makroskopis terlihat pucat dengan tepi dexter

terlihat tumpul. Bidang sayatan basah dengan konsistensi agak rapuh.

Pemeriksaan mikroskopis herap menunjukkan adanya sentral nekrosis kaseosa

dikelilingi giant cell (multinucleated cell), sel radang polimorfonuklear dan

mononuklear. Infiltrasi sel radang polimorfonuklear disekitar pembuluh darah,

dan nekrosis hepatosit dengan inti piknotik.


26

A B

C D

Gambar 11. Perubahan makroskopik dan mikroskopik organ hepar. (A) Secara
makroskopis bewarna pucat, tepi lobus dexter tumpul (B) sentral
nekrosis kaseosa dikelilingi giant cell (multinucleated cell), sel radang
polimorfonuklear dan mononuklear, (C) Giant cell, (D) Nekrosis
hepatosit dengan inti piknotik

Pemeriksaan makroskopik organ ren tampak tidak ada perubahan. Pada

pemeriksaan mikroskopis terdapat infiltrasi sel radang mononuklear pada jaringan

intertisial.

A B

Gambar 12. Perubahan makroskopik dan mikroskopik organ ren. (A) Secara
Makroskopis tidak ada perubahan, (B) infiltrasi sel radang mononuklear
pada jaringan intertisial
27

Secara umum Avian Pox menyebabkan infeksi melalui kontak luka pada

bagian yang tidak berbulu dengan virus. Multiplikasi virus terjadi pada bagian

kulit yang terluka, namun virus dapat masuk ke dalam sirkulasi (viremia) dan

dapat menyebar ke berbagai organ serta menyebabkan lesi sekunder pada organ

mengikuti lesi intradermal. Menurut Minbay dan Kreier (1973) virus terdeteksi

pada hepar, ren, dan pulmo, sehingga terdapat kaitan antara viremia dengan

multiplikasi virus pox pada organ.

Pada sinus, secara makroskopis tidak ada perubahan. Pemeriksaan

mikroskopis menunjukkan adanya infiltrasi sel radang polimorfonuklear pada

intergalndula submukosa disertai hiperplasia glandula submukosa.

A A

Gambar 13. Perubahan makroskopik dan mikroskopik organ sinus. (A) Secara
Makroskopis tidak ada perubahan, (b) infiltrasi sel radang
polimorfonuklear pada interglandula submukosa, disertai hiperplasi
glandula submukosa

Perubahan pada sinur disebabkan karen infeksi sekunder dari lesi dermal

pox. Lesi terbuka karena lesi vektor dapat menimbulkan infeksi sekunder dan

diperparah dengan adanya ektoparasit, sehingga infeksi sekunder dapat

mempengaruhi jaringan disekitarnya. Transmisi Avian Pox terjadi secara langsung

melalui kontak dengan benda yang terinfeksi, vektor, dan transmisi aerosol. Lesi
28

dermis pada kutaneus pox bisa diperparah dengan adanya ektoparasit yang dapat

menyebabkan krusta dan mudah terjadi infeksi sekunder akibat bakterial

(Sudhakara dan Sivajothi, 2018).

Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan sebagai peneguhan diagnosa dari

gejala klinis. Isolasi dan identifikasi Avianpox virus dilakukan dengan cara

menginokulasikan suspensi dari material yang menjadi suspek ke dalam telur

ayam berembrio. Suspensi virus didapatkan dari lesi pada kulit maupun lesi

difterik yang kemudian diinokulasikan pada Chorioallantoic membrane (CAM)

pada Telur Ayam Berembrio (TAB) umur 9-12 hari. Kemudian telur diletakkan di

dalam inkubator dengan suhu 37°C selama 5-7 hari. Setelah itu dilihat perubahan

yang terjadi yaitu adanya penebalan pada CAM dan lesi pock berwarna putih.

Perubahan histopatologi pada lesi CAM akan terlihat benda inklusi

intrasitoplasmik yang tercat eosinofilik dengan pewarnaan H&E (OIE, 2016).

Telur ayam berembrio (TAB) yang digunakan adalah TAB berumur 10

hari. Sebelum dilakukan inokulasi virus, TAB di candling untuk memastikan

kondisi embrio hidup, posisi embrio dan posisi kantung udara. Diberi tanda pada

batas kantung udara, posisi embrio dan posisi yang berjauhan dari kepala embrio

untuk kemudian dibuat lubang pada kerabang telur. Selanjutnya TAB didesinfeksi

dengan iodine povidone, dan dilubangi pada bagian tengah kantung udara dan

bagian yang berjauhan dengan posisi kepala embrio yang sudah ditandai

sebelumnya. Alat penyedot khusus digunakan untuk menyedot kantung udara agar

berpindah kebagian lubang yang berjauhan dengan embrio.


29

Isolasi virus dilakukan dengan membuat suspensi virus dari lesi nodular

kulit. Lesi nodular digerus dengan mortar dan dicampur dengan PBS. Selanjutnya

suspensi dimasukkan kedalam tabung konikel, kemudian di vortex 30 detik dan

disentrifus selama 15 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke konikel baru,

lalu ditambahkan antibiotik dan antifungal untuk menghindari kontaminasi.

Selanjutnya suspensi diinkubasi selama 3 jam pada suhu 37°C untuk antibiotik

bekerja. Suspensi yang sudah jadi dilakukan uji kontaminasi dengan menanamnya

pada media plat agar darah (PAD) dan diinkubasi suhu 37°C selama 24 jam.

Apabila hasil uji kontaminasi sudah menunjukkan tidak ada kontaminasi, suspensi

virus dapat diinokulasikan pada telur ayam berembrio (TAB) berumur 10 hari

pada bagian chorioallantoic membrane (CAM) dan diinkubasi selama 6 hari pada

suhu 37oC. Inokulasi dilakukan pada CAM dengan memasukkan 0,1 ml suspensi

virus, lalu lubang ditutup dengan paraffin cair. Telur ayam berembrio selanjutnya

diinkubasi pada inkubator dengan suhu 37oC dengan posisi bekas inokulasi di

atas. Proses candling dilakukan sebelum inokulasi dan setiap hari selama TAB

diinkubasi untuk memastikan embrio hidup. Setelah 6 hari, TAB dibuka dan

perhatikan perubahan pada CAM berupa penebalan dan lesi bintik putih (white

pock) yang dibandingkan dengan CAM kontrol negatif yang tidak diinokulasi

virus. Dari CAM yang mengalami perubahan tersebut dilakukan pembuatan

preparat histopatologi dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Perubahan

CAM dapat dilihat pada Gambar.


30

a b

Gambar 14. Perubahan makroskopik Chorioallantoic membrane (a) CAM dari


TAB control (b) Penebalan yang terjadi pada CAM, dan terdapat lesi
pock berwarna putih hasil inokulasi pertama

Pasase dilakukan dari suspensi CAM inokulasi pertama, tujuannya untuk

meningkatkan titer virus. Proses pembuatan suspensi virus sama dengan yang

dilakukan sebelumnya. Inokulasi virus pada TAB juga dilakukan sama dengan

proses inokulasi yang pertama. Setelah diinkubasi selama 6 hari, perubahan pada

CAM menunjukkan lesi white pock yang lebih jelas seperti pada Gambar.

Gambar 15. Perubahan CAM setelah pasase. Lesi white pock

Penebalan dan lesi white pock pada CAM dapat diamati setelah dilakukan

inokulasi pada TAB. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gilhare dkk. (2015) yang

menyebutkan bahwa karakteristik CAM yang terinfeksi Avianpox virus akan


31

terlihat adanya penebalan dan lesi bintik putih (white pock) dengan diameter 3-5

mm.Perubahan yang terjadi pada CAM tergantung dari virulensi dan titer

virusyang diinokulasikan. Selain itu, menurut Offerman et al. (2013) pertumbuhan

virus juga dapat dipengaruhi oleh temperatur inkubasi, umur TAB, sumber telur

dan tingkat respon imun pada jaringan CAM. Perubahan pada CAM tersebut

dibuat preparat histopatologi dengan pengecatan HE, setelah dilihat dibawah

mikroskop didapatkan hasil, sel epitel ektoderm mengalami degenerasi hidropik

dengan benda inklusi intrasitoplasmik (Bollinger bodies). Hal tersebut sesuai

dengan literatur Gilhare dkk (2015) bahwa sel yang terdapat Bollinger bodies

terlihat membengkak dan bagian tepi sel terlihat jelas. Selain Bollinger bodies,

juga terjadi degenerasi hidropik dan hiperplasi epitel CAM. Gambaran

histopatologi CAM dapat dilihat pada Gambar

Gambar 16. Gambaran mikroskopik CAM menggunakan pengecatan HE (a)


Hipertropi pada sel epitel ektoderm (b) terdapat benda inklusi
intrasitoplasmik (Bollinger body) bersifat eosinofilik pada bagian
ektoderm

Pemeriksaan Parasitologi

Pemeriksaan parasitologi yang dilakukan antara lain pemeriksaan feses

dengan metode natif, sentrifus, mc master, pemeriksaan ektoparasit, pemeriksaan

endoparasit, pemeriksaan preparat apus organ, dan pemeriksaan apus darah.


32

Pemeriksaan feses menunjukkan hasil positif, ditemukan telur cacing Ascaridia

columbae (natif : 1 telur cacing, sentrifus : 1 telur cacing, mc master : 50

telur/gram feses), pemeriksaan ektoparasit ditemukan Menopon gallinae dan

Columbicola columbae. Pemeriksaan preparat apus organ dari swab cavum oris

menunjukkan hasil negatif Trichomonas gallinae. Pemeriksaan endoparasit

ditemukan cacing Ascaridia galli pada jejenum. Pada pemeriksaan ektoparasit

ditemukan Monopon gallinae dan Columbicola columbae.

Pada pemeriksaan ektoparasit ditemukan Columbicola columbae.

Identifikasi Columbicola columbae dapat dilihat dari ciri tubuh coklat kehitam,

memiliki 3 pasang kaki, tubuh ramping menyesuaikan dengan bentuk bulu, bentuk

kepala yang lebih panjang dan tumpul. Menurut Adam, dkk (2005), Columbicola

columbae bergerak di antara bulu-bulu sayap, menggunakan kaki dan mandibula

untuk menempelkan diri pada bulu. Kutu ini dapat bergerak di antara bulu-bulu

dengan mudah karena bentuk tubuhnya yang langsing dan pipih. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa kutu tersebut adalah Columbicola columbae


33

F E

C B A

Gambar 17. Gambaran mikroskopik Columbicola columbae.(A) Kepala, (B)


Prothorax, (C) Metathorax, (D) Abdomen, (E)Antena, (F) Tiga pasang
kaki

Ektoparasit Menopon gallinae ditemukan pada batang bulu dengan bentuk

kepala triangular, pendek dan lebar, bagian dahi agak melengkung, temporal lobe

melebar, tubuh pipih dorsoventral, dan memiliki 3 pasang kaki. Menurut

Yevstafieva (2015) spesies kutu ini termasuk dalam subordo Amblycera dengan

family Menoponidae. Kutu dewasa berukuran sekitar 2 mm, berwarna kuning

pucat, dan sepasang antenna dengan 4 segmen. Abdomen kutu tersebut pipih

dorsoventral, pada bagian posterior jantan terlihat membulat, sedangkan betina

meruncing. Menopon gallinae yang ditemukan kemudian diamati dibawah

mikroskop
34

C
E

F
G
Gambar 18. Gambaran mikroskopik Menopon gallinae.(A) Caput, (B) Thorax,
(C) Temporal lobe, (D) Abdomen, (E) Tiga pasang kaki, (F) Bristles,
(G) Posterior (membulat)

Pada saat pemeriksaan feses ditemukan telur cacing Ascaridia columbae

(natif : 1 telur cacing, sentrifus : 1 telur cacing, mc master : 50 telur/gram feses).

Cacing Ascaridia columbae ditemukan pada saat pemeriksaan isi jejenum

berjumlah 3ekor (1 betina, 2 jantan). Secara makroskoplik, cacing Ascaridia

columbae jantan memiliki panjang 22 mm, sedangkan cacing betina memiliki

panjang 25 mm, berwarna putih kekuningan. Secara mikroskopik bagian anterior

cacing ini memiliki tiga lobus bibir. Bagian posterior cacing betina terdapat vulva,

sedangkan bagian posterior cacing jantan terdapat spikulum. Ascaridia columbae

yang ditemukan kemudian diamati dibawah mikroskop seperti pada Gambar 23.

Telur cacing ditemukan dalam feses dengan ciri-ciri memiliki dinding yang tebal,

halu, berbentuk elips dan memiliki ukuran panjang 72,36 μm dan lebar 44,05 μm.
35

Gambar 19. Gambaran mikroskopik Ascaridia columbae. (A) telur cacing


berbentuk ellips, berdinding tebal, berukuran 72,36 x 44,05 µm (B)
anterior cacing terdapat 3 buah bibir (C) posterior cacing betina terdapat
vulva (D) posterior cacing jantan terdapat spikulum

Berdasarkan literatur Monnig, (1950) bagian anterior memiliki tiga buah

bibir yang berkembang dengan baik dan tidak memiliki bulbus posterios

esophagus. Cacing jantan lebih pendek dari cacing betina. Cacing jantan

berukuran 22,2 mm saat dewasa dengan bagian posterior memiliki spikulum.

Cacing betina memiliki ukuran 25,9 mm dan vulva berada bada bagian tengah

posterior. Telur cacing berbentuk elips dengan dinding tebal dan halus, berukuran

65 – 78 μm panjang dan lebar 45-52 μm. (Wehr dan Wang, 1964).

Pemeriksaan apus darah ditemukan parasit darah Haemoproteus columbae.

Siklus hidup Haemoproteus columbae, fase sprozoit masuk ke pembuluh darah,

gamon terdapat pada sitoplasma sel darah merah. Terlihat makrogamet pada

gambar dengan ciri – ciri sausage shaped, sedikit halter, terletak pada lateral inti

sel darah merah, granul secara acar berada pada sitoplasma gamon. Menurut
36

Husein dan Abdelrahim (2016), Haemoproteus columbae terdeteksi pada sel

darah merah fase gametosit berbentuk panjang, seperti bulan sabit, sebagian

mengelilingi inti sel darah merah. Makrogamet berbentuk seperti sausage shaped,

sedikit seperti halter, dan biasanya terletak pada lateral inti sel darah merah,

granul secara acak pada sitoplasma gamon, sedangkan mikrogamet : polar granul

dengan inti berdifusi dengan sitoplasma


A
=

A
=

Gambar 20. Gambaran mikroskopik Haemoproteus columbae (A) Makrogamet

Pemeriksaan Patologi Klinik

Pemeriksaan patologi klinik yang dilakukan antara lain pemeriksaan

packed cell volume (PCV), kadar hemoglobin (Hb), mean corpuscular volume

(MCV), mean corpuscular haemoglobin (MCH), mean corpuscular haemoglobin

concentration (MCHC), total protein plasma, fibrinogen, total leukosit, total

eritrosit,dan diferensial leukosit. Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik,

merpati dengan nomor protokol E.59 mengalami anemia normositik normokromik

dengan gambaran darah leukositosis dan heterofilia serta ditemukan ghost cell dan

parasit darah Haemoproteus columbae.


37

Pada Merpati dengan kode ptokol E.59 terjadi anemia normositik

normokromik. Anemia adalah penurunan eritrosit atau hemoglobin atau

keduannya. Klasifikasi anemia dapat dilihat dari nilai MCV dan MCHC. Pada

hasil, nilai MCV normal dan MCHC normal sehingga di klasifikasikan dalam

anemia makrositik hipokromik. Menurut (Hariono dan Salasia, 2010), anemia

normositik normokromik terjadi pada depresi eritropoesis, radang kronis, nifritis

dengan uremia, defisiensi endokrin, neoplasia, hipoplasia sum-sum tulang, dan

perdarahan akut. Pada kasus merpati E.59 terjadi hepatitis granulomatosa dan

nefritis intertisialis. Hepar dan ren yang termasuk dala organ eritopoesis

mengalami kerusakan, sehingga eritrosit dipertahankan.

D
C B
C
A

Gambar 21. Gambaran mikroskopis apus darah A) Heterofil, (B) Platelet, (C)
Haemoproteus columbae. (D) Limfosit, (E) Ghost cell. Pewarnaan
Giemsa, perbesaran 10 x 100
38

Pengukuran Total Protein Plasma (TPP) didapatkan nilai pengukuran TPP

yang normal. Nilai fibrinogen menunjukkan angka normal pada batas atas.

Perbandingan antara TPP dan fibrinogen didapatkan yaitu 8,4:1. Menurut

(Hariono dan Salasia, 2010), perbandingan TPP dan fibrinogen normalnya 15:1

atau lebih. Jika perbandingan TPP dan fibrinogen 1:10 atau lebih rendah dapat

dikatakan bahwa hewan tersebut mengalami hipoproteinemia berat, apabila

disertai dengan peningkatan leukosit dan heterofil maka dapat mengarah pada

peradangan.

Leukositosis adalah kondisi dimana jumlah leukosit dalam darah

meningkat. Leukositosis dapat bersifat fisiologis, dapat dipengaruhi oleh

makanan, exercise, dan stress. Peningkatan leukosit dapat terjadi karena adanya

keradangan, infeksi bakterial, hemoragi, trauma, nekrosis, toksin dan leukemia

(Hariono dan Salasia, 2010). Banyaknya agen yang menginfeksi merpati dengan

nomor protokol E.59 menyebabkan peningkatan leukosit, sebagai bentuk

pertahanan tubuh terhadap agen infeksi.

Peningkatan heterofil atau heterofilia dapat terjadi karena inflamasi baik

infeksi maupun non infeksi. Heterofil berfungsi dalam proses fagositosis dan lesi

keradangan. Pada kasus merpati E.59 heterofilia kemungkinan dapat terjadi akibat

infeksi Avipox virus yang disertai dengan infeksi sekunder. Coles dkk (2007),

menyatakan heteroflilia pada infeksi sistemik terjadi akibat infeksi viral, bakterial,

ataupun endotoksemia. Dalam kasus merpati E.59 mengalami leukositosis dengan

heterofilia. Leukositosis dengan neutrofilia bisa terjadi saat neutrofilia fisiologis,

adanya peningkatan Circulating Neutrophil pool yang disebabkan karena


39

mobilisasi Marginal Neutrophil Pool dan tidak ditemukan neutrofil muda dalam

sirkulasi (Hariono dan Salasia, 2010).


40

Patogenesitas

Faktor predisposisi
 Kebersihan kandang yang buruk
 Merpati sakit dan sehat ditempatkan di satu kandang

Merpati E.59

Infestasi  Umur 7 bulan


 Populasi 90 ekor
 Columbicola
 Morbiditas 1,1%, dalam
columbae Infeksi
satu bulan terakhir
 Menopon Avipox virus
 Pakan berupa konsentrat,
gallinae
jagung, beras, biji-bijian
 Haemoproteus
 air minum dari sumur
columbae
 Belum di vaksin dan diberi
obat cacing

 Dermatitis dengan benda inklusi


 Hepatitis granulomatosa
 Nefritis interstitialis
 Sinusitis

 Anemia normositik normokromik


 Leukositosis
 Heterofilia

Anda mungkin juga menyukai