Anda di halaman 1dari 47

KONJUNGTIVITIS

Oleh
Rotsi Aftikha Atira Kusuma
201720401011005

Pembimbing: DR. dr. Arti Lukitasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK RS BHAYANGKARA KEDIRI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
 Konjungtivitis  inflamasi dari konjungtiva dengan tanda paling
umum yaitu konjungtiva hiperemi dan discharge okular
 Konjungtivitis  dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras,
usia, jenis kelamin dan strata sosial.
 Prevalensi konjungtivitis virus merupakan infeksi paling sering
ditemukan (80%). (Azari, 2014)
Tujuan Referat
• Membahas mengenai konjungtivitis (gambaran klinis, klasifikasi
hingga tatalaksana konjungtivitis)

• Memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti kegiatan


Kepaniteraan Klinik (Koass) di RS Bhayangkara Kediri,
Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konjungtiva
 Anatomi
 Konjungtiva  membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris)
 Konjungtiva mengandung lapisan musin yang di hasilkan oleh sel
Goblet.
 Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior
dan arteria palpebralis
 Persarafan : dari percabangan pertama nervus V (serabut nyeri
yang relatif sedikit)
HISTOLOGI
 lapisan sel : dua hingga lima
lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial dan basal.
Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat
atau oval.
 Stroma konjungtiva : dibagi
menjadi satu lapisan adenoid
(superfisialis) dan satu lapisan
fibrosa (profundus).
 FUNGSI LAPISAN AIR MATA
(1) membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin
(2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan
konjungtiva
(3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan efek
antimikroba
(4) menyediakan kornea berbagai substansi nutrien yang diperlukan
 LAPISAN AIR MATA
a. Lapisan superfisial (film lipid monomolekular)  produksi
oleh kelenjar meibom
b. Lapisan akueosa tengah  produksi oleh kelenjar lakrimal
c. Lapisan musinosa dalam (glikoprotein)  produksi oleh sel
goblet konjungtiva
KONJUNGTIVITIS
 Definisi  inflamasi dari konjungtiva dengan tanda paling
umum adalah konjungtiva hiperemi dan discharge okular
 Epidemiologi
 Di Indonesia dari 137.749 kunjungan ke departemen mata,
total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva
sebanyak 99.195 kasus (kemenkes RI, 2010)
KLASIFIKASI
 Konjungtivitis bakterial
 konjungtivitis bakterial, konjungtivitis Chlamydia
 Konjungtivitis viral
 Konjungtivitis alergi
 konjungtivitis alergi seasional, konjungtivitis vernal,
konjungtivitis atopik, Giant Papillary Conjungtivitis (GPC)
 Konjungtivitis bentuk lain
 konjungtivitis lensa kontak, konjungtivitis mekanik,
konjungtivitis trauma, konjungtivitis toksik, konjungtivitis
neonatal, konjungtivitis sekundari
TANDA DAN GEJALA
a. Hiperemia
b. Mata berair
(epifora)
c. Eksudasi
d. Pseudoptosis
e. Hipertrofi papil
f. Kemosis
g. Folikel
h. Pseudomembran
dan membran
i. Limfadenopati
preaurikuler
KONJUNGTIVITIS BAKTERI
 Etiologi
 Hiperakut (purulen): Neisseria gonorrhoeae, Neisseria
meningitides, Neisseria gonorrhoeae subspesies kochii.
 Akut (mukopurulen): Pneumococcus (Streptococcus
pneumoniae) dan Haemophilus aegyptius.
 Subakut: Haemophilus influenza
 Kronik: Staphylococcus aureus dan Moraxella lacunata
 Jenis jarang: Streptococci, Moraxella catarrhaiis, Coliform,
Proteus, Corynebacterium diphteriae, dan Mycobacterium
tuberculosis
Klasifikasi
Konjungtivitis bakteri • ditandai dengan produksi eksudat purulen yang banyak.
• Timbulnya sekret mukopurulen terjadi setelah masa inkubasi 12
hiperakut jam-5 hari, disertai dengan perdarahan subconjungtiva

Konjungtivitis • Konjungtivitis ini sering terdapat dalam bentuk epidemik dan


disebut “mata merah” (pinkeye).
mukopurulen (cataral) • ditandai dengan hiperemia konjungtiva dan sekret mukopurulen
akut berjumlah sedang

Konjungtivitis subakut • ditandai dengan eksudat tipis, berair, dan berawan.

Konjungtivitis bakteri • gejala lebih dari 4 minggu


• Terjadi pada pasien dengan obstruksi ductus nasolakrimalis dan
kronik dacriosistitis kronik yang biasanya unilateral.
Patofisiologi
 Konjungtiva  berhubungan dengan dunia luar 
kemungkinan terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar.
 Pertahanan konjungtiva  tearfilm yang berfungsi melarutkan
kotoran dan bahan toksik yang kemudian akan dialirkan
keluar melalui saluran lakrimalis menuju meatus inferior.
 Tearfilm ini juga mengandung lysime, lysosym A-6 yang
berfngsi menghambat pertumbuhan kuman.
 Adanya bakteri pada konjungtiva  terjadinya proses inflamasi
dengan keluarnya sel inflamasi yaitu neutrofil, eosinofil, limfosit,
basofil, dan sel plasma (bertujuan sebagai pertahanan terhadap
bakteri)  sel-sel tersebut juga merusak konjungtiva  Sel
bercampur dengan fibrin dan mukus yang diproduksi oleh sel
goblet  eksudat konjungtiva  Eksudat mengering dan
menimbulkan perlengketan pada kelopak mata atas dan bawah.
 Peradangan pada konjungtiva  mengakibatkan pelebaran
pembuluh darah konjungtiva posterior  hiperemi yang tampak
paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus.
DIAGNOSIS
 Tanda dan Gejala
 sekret mukopurulen dan purulen,
 kemosis konjungtiva,
 edema kelopak,
 terkadang disertai blefaritis dan keratitis
 iritasi dan pelebaran pembuluh darah (injeksi) bilateral
 palpebra yang melekat pada pagi hari (bangun tidur) dikarenakan
perlengketan palpebra akibat sekret. Untuk memastikan diagnosis
konjungtivitis bakteri perlu dilakukan pemeriksaan

 Pemeriksaan penunjang
 Smear / sitologi
 Kultur bakteri(sekret purulen, bermembran atau pseudomembran)
 Immunoassay  mendeteksi antigen klamidia
 Uji sensitivitas bakteri
PENATALAKSANAAN
 60% kasus konjungtivitis bakteri akut dapat sembuh dengan sendiri tanpa
pemberian obat dalam waktu 1-2 minggu
 antibiotik topikal spektrum luas:
 Gentamycin 0,3% dan Tobramycin 0,3% : Staphylococcus, Streptoococcus, Haemophylus,
Proteus, E. coli, Moraxella, Pseudomonas
 Chloramphenicol 0,5% (ED) dan 1% (ointment): Sthapylococcus, Haemophilus, Proreus
 Erythromycin 0,5%: Staphylococcus, Streptococcus, Neisseria, Hemophylus
 Cyprofloxacin, ofloxacin, levofoxacin (Fluroquinolon): Staphylococcus, Streptoococcus,
Haemophylus, Pseudomonas
 Polymixin B/ trimethropin sulfat: Staphylococcus, Streptoococcus, Haemophylus, Proteus, E.
coli .
 konjungtivitis N. gonorrheae  salep penicillin setiap 25 menit, dilanjutkan
penicillin tetes (penicillin G 10.000-20.000 unit/ml) setiap 1-30 menit,
kemudian salep diperikan setiap 5-30 menit. Disusul pemberian salep penisilin
setiap 1 jam selama 3 hari .
Edukasi dan Pencegahan
Penularan Komplikasi
 Penderita: sering mencuci  Blefaritis marginal kronik,
tangan, menghindari parut konjungtiva, ulkus
mengucek mata kornea dan perforasi, iritis
 Bukan penderita: menjaga toksik, sepsis, dan
kebersihan diri, menghindari meningitis
kontak dengan pasien,
menghindari memakai barang
yang dipakai penderita
 Menjelaskan bahwa penularan
tidak melalui udara (tatap
mata), tetapi melalui sekret
dari mata yang sakit.
Prognosis
 Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri. Tanpa diobati,
infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari. Dengan pengobatan yang
memadai, manifestasi akan membaik dalam 1-3 hari. Komplikasi terburuk
sepsis dan meningitis dapat terjadi mengingat konjungtiva dapat menjadi
gerbang masuknya meningokokus ke dalam darah dan meningen.
 Jika tidak diobati, ulserasi kornea perifer dapat terjadi pada infeksi N
gonorrhoeae dan dengan cepat berkembang menjadi perforasi kornea.
Konjungtivitis Trakhoma
 Trakoma  suatu bentuk konjungtivitis folikuler kronik yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.
 Masa inkubasi  5 – 14 hari (rata-rata 7 hari)
 Trakhoma  bilateral, penyakit ini menyebar melalui kontak
langsung atau benda pencemar umumnya dari anggota keluarga
yang lain. Penyebarannya sering dikaitkan dengan epidemi
konjungtivitis bakterial dan musim kemarau di negara tropis dan
subtropis
 Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya konjungtivitis
trakhoma adalah:
 Kurangnya air bersih untuk membersihkan wajah
 Higienitas wajah yang kurang: sekresi sekitar mata menarik lalat
yang merupakan vektor fisik Chlamydia Trachomatis
 Terbatasnya akses jamban: mengakibatkan peningkatan
kontaminasi tinja dari lingkungan yang dekat dengan lokasi
peternakan
 Komunitas padat lingkungan: kontak pada lingkungan padat
penduduk memungkinkan penyebaran bakteri
KLASIFIKASI Mc
Callan
 Stadium I (Insipien)
atau stadium
permulaaan
 Stadium II
(Trakhoma) atau
stadium nyata.
 Stadium IIA
 Stadium IIB
 Stadium III (parut)
 Stadium IV
(penyembuhan)

Klasifikasi WHO
DIAGNOSIS
 Tanda dan Gejala
 Trakhoma ditegakkan berdasarkan diagnosa klinis, yaitu apabila
ditemukan sedikitnya dua tanda dari empat tanda berikut : Adanya
follikel pada konjungtiva tarsalis superior, limbal follikel atau sikatriknya
(Herbert's pits). 2. Adanya keratitis yang sebagian besar terdapat pada
sepertiga bagian atas kornea. 3. Pannus pada limbus superior. 4.
Sikatrik konjungtiva dengan bentuknya yang khas
 Laboratorium
 kerokan konjungtiva  pewarnaan giemsa, tampak sebagai masa
sitoplasma biru atau ungu gelap sangat halus yang menutupi inti sel
epitel.
 kultur bakteri  tampak klamidia
PENATALAKSANAAN
 Tetracycline 1-1,5 gr/ hari PO dalam 4 dosis terbagi (3-4 minggu)
 Doxcycycline 100mg PO 2X1 (3 minggu)
 Erytromycine 1 gR/hari PO dibagi dalam 4 dosis (3-4 minggu)
 Salep atau tetes topikal (sulfonamide, tethracycline, erytromycine, dan
rifampin) empat kali per hari selama 6 minggu

PENCEGAHAN
 Mebuat jarak tempat tinggal dengan lokasi pembuangan tinja hewan ternak
 Menjaga higienitas wajah dengan sering mencuci wajah menggunakan air
bersih
DD
 Konjungtivitis vernal
KOMPLIKASI
 parut konjungtiva  merusak kel. lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kel. lakrimal  mengurangi komponen
akueosa dalam tearfilm secara drastis.
 trikhiasis atau entropion  bulu mata terus menggores kornea 
ulkus kornea, keratitis
PROGNOSIS
 Dengan higienitas yang baik, penyakit ini akan sembuh dan bertambah
baik sehingga sekuele berat dapat dihindari. Sekitar 6-9 juta orang
mengalami kebutaan akibat trakhoma.
KONJUNGTIVITIS VIRAL
KONJUNGTIVITIS HERPES SIMPLEKS VIRUS
 Pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit,
dan fotofobia ringan.
 Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu
membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak
(dendritik).
 Konjungtivitisnya folikuler.
 Laboratorium: mononuklear (folikuler) / polimorfonuklear
(pseudomembran)
 Terapi
 Antivirus topical (7-10 hr): trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep
vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu
bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam.
 Keratitis herpes : salep acyclovir 3% 5x1(10 hr) atau acyclovir oral, 400 mg
5x1 (7hr) (Vaughan, 2010).
DEMAM FARINGOKONJUNGTIVAL
 ditandai oleh demam 38,5-40⁰C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis
folikuler pada satu atau dua mata.
 Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada mukosa
faring.
 Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-kadang sedikit
kekeruhan daerah subepitel.
 Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).
 disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan tipe 4 dan 7
 Laboratorium: Kerokan konjungtiva  sel mononuclear, dan tak ada
bakteri yang tumbuh pada biakan.
 Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar
menular di kolam renang berchlor.
 Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,
umumnya dalam sekitar 10 hari
KERATOKONJUNGTIVITIS EPIDEMIKA
 Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair
mata,umumnya bilateral, edema palpebra, kemosis, dan hyperemia
konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering
muncul dalam 48 jam.
 Dapat membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau
pembentukan symblepharon.
 Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu menyembuh tanpa
meninggalkan parut.
 Etiologi: adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus
manusia).
 Lab: Kerokan konjungtiva  mononuclear primer; bila terbentuk
pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.
 Terapi: kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. Belum ada terapi
spesifik.
Edukasi
 Karena konjungtivitis virus mudah sekali menular, pastikan
agar selalu menjaga kebersihan, seperti mencuci tangan dan
wajah serta tidak menggunakan handuk secara bersama-sama.
Juga sedapat mungkin hindari kontak dengan orang lain
(Medkes, 2014).
KONJUNGTIVITIS ALERGIKA
KONJUNGTIVITIS VERNAL
 keradangan bilateral konjungtiva yang berulang menurut
musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan
gambaran spesifik hipertropi papil di canaltarsus dan limbus
 faktor penyebab:
 alergen serbuk sari,
 debu,
 tungau debu rumah,
 bulu kucing,
 makanan,
 faktor fisik berupa panas sinar matahari atau angin.
 Pemeriksaan histopatologi  banyak eosinofil dan

granula eosinofilik bebas di dalam bintik Trantas dan


sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas Giemsa
 Konjungtivitis vernal mempunyai 2 tipe:
 Tipe palpebra: terdapat pertumbuhan papil yang besar yang disebut
cobble stone. Perubahan mendasar terdapat di substansia propia, dimana
substanti propia ini mengalami infiltrasi oleh sel-sel limfosit plasma
dan eosinafil. Pada stadium yang lanjut jumlah sel-sel lapisan plasma
dan eosinofil akan semakin meningkat sehingga terbentuk tonjolan-
tonjolan jaringan di daerah tarsus dengan disertai pembentukan
pembuluh darah baru kapiler ditengahnya.
 Tipe limbal: hipertrofi limbal yang membentuk jaringan hiperplastik
gelatine. Hipertrofi limbus ini disertai bintik-bintik yang sedikit
menonjol, keputihan, (Horner-Trantas dots) yang merupakan degenerasi
epithel kornea, atau eosinofil dengan bagian epithel limbus kornea.
Penatalaksanaan Medikamentosa:
 Antihistamin topikal : berikatan dengan reseptor histamin dan mengurangi gatal
dan vasodilatasi
 Antihistamin sistemik :
 Mast cell stabilizer topikal : menghambat degranulasi sel mast, sehingga membatasi
rilis mediator inflamasi, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil faktor
kemotaktic dan platelet-activating factor.
 NSAID topikal : menghambat aktivitas cyclo-oxygenase bertanggung jawab
mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin.
 Steroid topikal : kortikosteroid menghambat proses inflamasi, mengurangi migrasi
makrofag dan neutrofil ke area inflamasi, dan blok akitivitas fosfolipase A2 dan
induksi berikutnya dari asam arakidonat.
 Obat dengan multipel mekanisme : olopatidine hydrochloride 0,1% (selektif
antihistamin H1 + mast-cell stabilizing)
 Imunosupresan : cyclosporin A (imunosupresan sistemik yang poten digunakan
untuk mengobati berbagai kondisi yang berhubungan dengan imunitas tubuh)
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa:
 Identifikasi allelrgen dan menghindari faktor – faktor lingkungan
yang dapat memperburuk penyakit.
 Menghindari faktor pemicu spesifik seperti matahari, angin, dan
air garam dengan memakai kacamata hita atau topi.
 Sering mencuci tangan dan wajah untuk menjaga higienitas
 Kompres dingin sebagai dekongestan alami
 Hindari menggosok mata gatal untuk menghindari kondisi lebih
buruk
Edukasi
 Menjaga agar tidak mengucek mata. Mengucek mata dapat
menyebabkan kerusakan bagian mata yang lain.
 Pemakaian obat steroid tetes mata harus dalam pengawasan dokter
mata.
 Jika obat habis, tidak diperkenankan untuk membeli obat sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
 Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi
bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan
tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah
satunya adalah mata merah. Konjungtivitis diklasifikasikan yaitu
konjungtivitis bakterial akut, konjungtivitis virus akut,
konjungtivitis alergi, konjungtivitis neonatorum (gonore),
konjungtivitis iritasi atau kimia
 Konjungtivitis dapat dideteksi, diobati dan dievaluasi sesuai dengan
klasifikasinya. Namun demikian konjungtivitis menjadi masalah
serius jika tidak cepat ditanggulangi. Bila ditangani dengan cepat
dan dapat menghindarkan komplikasi serta penularan terutama
pada infeksi mikroorganisme, maka prognosisnya akan baik.
DAFTAR PUSTAKA
 American Academy of Ophtalmology. 2013. Preferred Practoce Pattern. Conjungtivitis. USA: AAO
 American Academy of Ophtalmology. 2015. Conjungtivitis. USA: AAO
 American Ophtalmetric Association. 2002. Optometric Clinical Practice Guideline Care of the Patient
with Conjungtivitis. USA: AOA.
 Azari, AA & Barney NP. 2014. Conjungtivitis : A Systematic Review of Diagnosis and Treatment.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4049531/ (Diunduh pada 10 Mei 2017)
 CL Gupta Eye Institude. 2012. Lacrimal System Disorder. Diunduh dari http://clgei.org/eye-
treatments.php?act=orbital-oculoplasty&s=lacrimal
 Courtney KMD. 2016. Vernal Keratokonjungtivitis. American Academi of Ophtalology. Diunduh dari
http://www.aao.org/pediatric-center-detail/vernal-keratoconjunctivitis-5
 Direktorat Jendral Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Medis Dasar, Jakarta:2010
 Ilyas HS. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 123-126James
B, Chew C, Bron A. Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam: Lecture Notes on Ophthalmology. 9th
edition. India: Blackwell Publishing; 2003
 Kasi PM dkk. 2004. Bliding Trachoma: A Diesease of Poverty. Diunduh dari
http://journals.plos.org/plosmedicine/article?id=10.1371/journal.pmed.0010044#pmed-0010044-
g003
 Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 4th edition.
New Delhi: New Age International(P) Limited; 2007


DAFTAR PUSTAKA
Lang GK, Lang GE. Conjunctiva. 2000. Dalam: Lang GK, Gareis O, Amann J, Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner
P. Ophthalmology: a short textbook. NewYork:Thieme
 Leonardi, A. 2013. Manafement of Vernal Keratoconjungtivitis. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4108143/
 Lukitasari, A. 2011. Trachoma. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol. 11 No. 2. Banda Aceh: Bagian Ilmu Penyakit Mata
FK Universitas Syiah Kuala.
 Lukitasari, A. 2012. Konjungtivitis Vernalis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol. 12 No. 1. Banda Aceh: Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK Universitas Syiah Kuala.
 McCourt, Emily A, Andrew A. Dahl. 2017. Neonatal Conjunctivitis (Opthalmia Neonatorum). Diunduh dari
https://emedicine.medscape.com/article/1192190-overview#a7
 MedKes, 2014. Gejala, Penyebab, dan Pengobatan Konjungtivitis (Radang Mata). Diunduh dari
https://www.medkes.com/2014/10/gejala-penyebab-pengobatan-konjungtivitis.html
 Mission for Vision. 2005. Anatomy of Human Eye. Diunduh dari
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2005/11/conjunctiva-answers.html
 Schaeffer Eye Center. 2016.Tear Film Anatomy. Diunduh dari http://www.schaeffereyecenter.com/lipiflow2.php
 Vaughan, 2010. Konjungtiva. Dalam bukuVaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: ECG
 Yeung KK. 2016. Bacterial Conjungtivitis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1191730-overview

Anda mungkin juga menyukai