Anda di halaman 1dari 16

MID TEST

Herpes Simpleks
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik
senior (KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM.
Djoelham Binjai

DisusunOleh:

Muhamad Rifky Illahi

19360026

Pembimbing :

dr. Hj. Hervina,Sp.KK

KKS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD.Dr.R.M. DJOELHAM BINJAI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang MahaEsa yang telah memberikan

rahmat dan bimbingannya sehingga refarat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik Departemen

Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM DjoelhamBinjai, Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya atas bantuan dari pembimbing yaitudr. Hj. Hervina, Sp.KK berupa bimbingannya

yang sanga tmembantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul

“Herpes Simpleks”

Penulis berharap refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang

Herpes Simpleks. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Binjai, September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3
2.1 Definisi............................................................................................3
2.2 Klasifikasi........................................................................................3
2.3 Etiologi............................................................................................3
2.4 Epidemiologi...................................................................................3
2.5 Faktor Resiko..................................................................................4
2.6 Diagnosa..........................................................................................4
2.6.1 Anamnesa..............................................................................4
2.6.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................4
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................5
2.7 Patogenesis......................................................................................6
2.8 Patofisiologi....................................................................................7
2.9 Diagnosa Banding...........................................................................8
2.10 Penatalaksanaan............................................................................9
2.10.1 Non Farmakologi................................................................9
2.10.2 Farmakologi........................................................................9
2.11 Pencegahan dan Edukasi.............................................................10
2.12 Komplikasi..................................................................................10
2.13 Prognosis.....................................................................................11
2.14 Profesionalisme...........................................................................11
BAB III KESIMPULAN............................................................................12
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Nama herpes berasal dari bahasa Yunani, herpein, yang berarti lesi kulit.
Nama ini merefleksikan karakteristik dari gejala penyakit yang disebabkannya.(Irianti
et al., 2020).
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe 1 dan 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok
diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan. Pada
manusia, VHS bersifat laten atau dormant dan dapat mengalami
reaktivasi.Kemungkinanterjadi rekurensi lesi sebesar 30-40%. Lesi infeksi rekuren
bermanifestasi dalam dua bentuk,yaitu lesi yang sering terjadi pada daerah di dekat
bibir yang dikenal dengan nama herpes labialis atau cold sore, dan lesi pada rongga
mulut yang disebut infeksi herpes simpleks intraoral rekuren.(Marlina and Soebadi,
2013).
Herpes simpleks virus merupakan famili dari Herpes viridae yang terdiri dari
delapan virus, antara lain cytomegalovirus, varicella zoster virus, eipstein barr, dan
human herpes virus VI yang terkait dengan roseola infantum, dan human herpes virus
VII yang terkait dengan virus roseola exanthem subitum, pityriasisrosea, serta human
herpes virus VIII yangterkait dengan sarcoma kaposi dan limfoma.(Marlina and
Soebadi, 2013).
Pada tahun 2009, penyebaran HSV pada orang dewasa di Amerika Serikat
mencapai 68%. Sementara itu, di negara berkembang tingkat penyebaran HSV lebih
tinggi,misalnya di Afrika, penyebaran HSV berkisar antara30%-80% pada wanita dan
10%-50% pada laki-laki. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organization)
pada tahun 2012, diperkirakan 3,7 juta orang di dunia terinfeksi virus HSV-1.
Prevalensi infeksi tertinggi berada di Afrika (87%) dan terendah di Amerika (40-50%)
(WHO,2017). (Taupiqurrohman et al., 2017)
Infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) merupakan infeksi virus yang
paling sering menyerang manusia di seluruh dunia, mengenai tubuh bagian pinggang
ke atas terutama mulut dan wajah yang dikenal dengan istilah “cold sores” atau
“fever blister”. (Mailiza and Setiadhi, 2015).

1
Data World Health Organization (WHO) jumlah infeksi HSV-2 baru pada
kelompok usia 15-49 tahun di seluruh dunia pada tahun 2003 sejumlah 236 juta, di
antaranya 12,8 juta adalah wanita dan 10,8 juta adalah pria.(Bonita and Dwi, 2017)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe 1 dan 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok
diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan.(Marlina and
Soebadi, 2013).

2.2 Klasifikasi
a. HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di bibir
semacam sariawan. HSV jenis ini di tularkan melalui ciuman mulut atau bertukar alat
makan seperti sendok – garpu (misalnya suap-suapan dengan teman). Virus tipe 1 ini
juga bisa menimbulkan di sekitar alat kelamin. (Eppy, 2019)
b. HSV tipe 2, dapat menyebabkan luka di daerah lat vital sehingga suka di sebut
genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina. HSV 2 ini juga
bisa menginfeksi bayi baru lahir jika dia di lahirkan secar normal dari ibu yang
menderita herpes. HSV-2 ini umumnya di tularkan melalui hubungan seksual. Virus
ini juga sesekali muncul di mulut. Dalam kasus yang langka, HSV dapat
menimbulkan infeksi di bagian tubuh lainnya seperti di mata dan otak. (Eppy, 2019)

2.3 Etiologi
 Herpes virus hominis (HVH) dengan diameter 150 m, merupakan virus
DNA. (Siregar, 2016).

Infeksi herpes merupakan penyebab utama ulkus kelamin di seluruh dunia,


dengan peningkatanpenggunaan PCR HSV untuk mendeteksi infeksi HSV. HVS-1
terutama menyebabkan mulut, tenggorokan, wajah, mata, dan infeksi sistem saraf
pusat, sedangkan HSV-2 menyebabkan infeksi anogenital terutama. Namun, setiap
mungkin menyebabkan infeksi di semua area. (Mustafa et al., 2016)

3
2.4 Epidemiologi
Infeksi HSV-1pada usia remaja meningkat menjadi 70-80%. Pada negara
berkembang, frekuensi infeksi HSV-1. Berdasarkan penelitian oleh US National
Health dan Nutrition, diketahui bahwa hanya 18% anak balita di US yang terinfeksi
olehHSV-1, sedangkan di Afrika balitam yang terinfeksi sebesar35%. (Irianti et al.,
2020)
Data World Health Organization (WHO), jumlah infeksi HSV-2 baru pada
kelompok usia 15-49 tahun di seluruh dunia pada tahun 2003 sejumlah 236 juta, di
antaranya 12,8 juta adalah wanita dan 10,8 juta adalah pria.(Bonita and Dwi, 2017)
Herpes simpleks dapat menyerang semua umur dan frekuensi sama pada pria
dan wanita. Virus herpes ini dapat menyerang janin in utero. (siregar, 2016)

2.5 Faktor Resiko


Infeksi HSV ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi aktif atau tubuh
cairan dari orang yang terinfeksi.(Mustafa et al., 2016)
Menstruasi, emosional, trauma, dan sanggama. (siregar, 2016)
HSV ditularkan melalui kontak personal erat. Infeksi terjadi melalui inokulasi
virus kepermukaan mukosa yang rentan (misalnyaorofaring, serviks, konjungtiva)
atau melaluipori-pori kulit HSV-1 ditularkan terutama melalui kontak dengan saliva
terinfeksi, sedangkan HSV-2 ditularkan secara seksual atau dari infeksi genital ibu ke
bayinya.(Eppy, 2019)

2.6 Diagnosa

2.6.1 Anamnesa

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambhan : awitan


penyakit didahului perasan rasa gatal, rasa terbakar, dan eritema selama beberapmenit
sampai beberapa jam; kadang timbul nyeri saraf. Pada infeksi primer gejala-gejala
lebih berat dan lebih lama jika dibandingkan dengan infeksi rekuren, yiru beruupa
malaise, demam, dan nyeri otot. (siregar. 2016)

4
2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan ekstraoral, dijumpai adanyalesi berupa krusta kering yang


dangkal, merah disekitarnya dengan vesikula diatas bibir dengan diameter 2 mm.
Kelenjar limfe kiri dan kanan teraba lunak dan nyeri. Pada pemeriksaan intraoral
nampak 3 lesi ulser diameter 0,5 dan 1,5 mm di daerah 1/3 anteriorlidah, 1 lesi ulser
di daerah rugae palatina tertutup pseudomembran warna putih kekuningan dikelilingi
daerah eritema bentuk bulat. Eritema dengan diameter 2 mm juga dijumpai di daerah
sekitar faring dan dijumpai adanya perikoronitis di daerahmolar ketiga kiri dan kanan
rahang bawah serta peradangan palatogingiva di daerah insisivus rahangatas. (Marlina
and Soebadi, 2015)
Umumnya, rekurensiterjadi kurang dari 2 kali setahun, tetapi bisaterjadi setiap
bulan. (Eppy, 2019)
Tempat predileksi adalah didaerah pinggang keatas terutama daerah mulut dan
hidung untuk HSV tipe 1 dan daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital
untuk HSV tipe 2. Untuk infeksi sekunder, lesi dapat timbul pada tempat yang sama
dengan lokasi sebelumnya. (Eppy, 2019)

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

 Gambaran histoppatologi : tampak vesikel intraepidermal, infiltrat


leukosit, dan akantolisis akibat degenerasi balon sel-sel epidermis.
Dapat terlihat badan inklusi asidofilik intra nukleus yang dikelilingi
halo. (siregar, 2016)
 Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau kurang. caranya
dengan membuka vesikel dan korek dengan lembut pada dasar vesikel tersebut
lalu letakkan pada objek glass kemudian biarkan mengering sambil difiksasi
dengan alkohol atau dipanaskan. Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene
blue, Wright, Giemsa) selama beberapa detik, cuci dan keringkan, berikan
minyak emersi dan ditutupi dengan deck glass. Jika positif terinfeksi hasilnya
sel akantolitik dan sel datia dengan inti multipel (multinucleated giant cell).
(Ayoade, 2018)

5
 Culture
Infeksi virus herpes simpleks (HSV) paling baik dikonfirmasi dengan isolasi
virus dalam kultur jaringan (standar criteria untuk diagnosis). Keberhasilan
kultur jaringan bergantung pada operator, tetapi cara ini dapat memberikan hasil
yang positif dalam waktu 48 jam setelah inokulasi. Efeksitopatik khas dengan
pembengkakan sel dan kematian sel diamati, dan kematian seluruh lapisan sel
tunggal mungkin terjadi dengan cepat. Pewarnaan imunofluoresen pada sel
kultur jaringan dapat digunakan untuk mengidentifikasi HSV dengan cepat dan
dapat membedakan antara tipe 1 dan 2.
c. Polimerase chain reaction (PCR)
Hasil PCR dikatakan positif apabila ditemukan DNA HSV pada jaringan kulit
atau pun vesikel. (eppy, 2019)
 Pemeriksaan serologi diperlukan untuk konfirmasi penegakkan diagnosis HSV-
1. Infeksi yang berhubungan dengan meningkatnya titer immunoglobulin M
(IgM) dan kemudian diikuti oleh titer IgG permanen (serokonversi),
mengindikasikan adanya infeksi sebelumnya tetapi tidak menjadi perlawanan
melawan reaktivasi.(Suniti and Setiadhi, 2018)

2.7 Pathogenesis

Patogenesis HSV-1 diawali denganmasuknya HSV-1 akibat kontak langsung


melalui cairan tubuh, cairan genital, ataueksudat dari lesi yang aktif. Virus menempel
pada sel host (inang) yang perlekatannya dimediasi oleh envelope virus dan
berhubungan dengan protein virus yang mengikat resep tor spesifik pada membran sel
inang. Kemudian virus masuk ke selinang diperantarai oleh protein virus lainyang

6
menyebabkan fusi antara envelope virus dengan membran sel inang. Virus masuk
kedalam sitoplasma kemudian capsid viruslisis sehingga terjadilah uncoating, genom
virus masuk ke nukleus sel inang dan mengalami replikasi di dalamnya, terjadilah
penyusunan virus baru yang kemudian matang, dan sipa di keluarkan untuk
menginfeksi tubuh atau virus mengalami dorman di saraf trigeminal. (Mailiza and
Setiadhi, 2015)

2.8 Patofisiologi

Paparan HSV pada permukaan mukosa atau situskulit yang terkelupas


memungkinkan masuknya virus dan inisiasi replikasi dalam sel epidermis dan dermis.
Infeksi HSV awal sering subklinis, tanpa lesi yang terlihat. Dalam model hewan dan
subjek manusia, baik akuisisiklinis maupun subklinis terkait dengan replikasi virus
yang cukup untuk memungkinkan infeksi saraf sensorik atau otonomujung. Setelah
melewati celah neuro epitel dan memasuki sel saraf, virus atau, lebih mungkin
nukleokapsid diangkut secara intra-akson kebadan sel saraf di ganglia. Untuk infeksi
HSV-1,ganglia trigeminal paling sering terinfeksi, meski punperluasan ke ganglia
servikalis inferior dan superior juga terjadi. Dengan infeksi genital, ganglia akar saraf
sakralis (S2 hingga S5) paling sering terkena. Pada manusia, interval dari inokulasi
virus kejaringan perifer untuk menyebarke ganglia tidakdiketahui.
Replikasi virus terjadi di ganglia dan jaringan saraf menular selama infeksi
primer saja Setelah inokulasi awal ganglion saraf, virus menyebar ke permukaan kulit
mukosa lainnya dengan migrasi sentrifugalvirion menular melalui saraf sensorik
perifer. Cara penyebaran ini menjelaskan karakteristiknya perkembangan lesi baru
jauh dari tanaman awal vesikula pada pasien dengan genital primer atau orofasial
Infeksi HSV, area permukaan yang luas di mana vesikula ini dapat divisualisasikan,
dan pemulihan virus dari jaringan saraf yang jauh dari neuron yang menginervasi
inokulasi. Penyebaran virus yang menular juga dapat terjadi melalui autoinokulasi dan

7
memungkinkan perluasan penyakit lebih lanjut.Viremia hadir selamakira-kira25%
dari infeksi HSV-2 primer, dan keberadaannya dapat mempengaruhi riwayat alami
penyakit HSV-2 situs, keparahan dan frekuensi reaktivasi. Studi terbaru menunjukkan
bahwa tingkat reaktivasi jauh lebih sering dan dinamis dari pada yang diketahui
sebelumnya. Penggunaan swab PCR anogenital harian menunjukkan bahwa tingkat
pelepasan median dari 95% pasien dengan antibodi HSV-2 positif yang melepaskan
virus adalah 25% hari, dengan berbagai variabilitas interpretasi (kisaran, 2% sampai
75%). Studiklinis menunjukkan bahwa tuan rumah faktor juga mempengaruhi
pengaktifan kembali. Pasien immunocompromised memiliki penyakit yang lebih
parah.
Antibodi yang berkembang setelah infeksi awal dengan tipe HSV mencegah
infeksi ulang dengan tipe tersebuttipe virus yang sama-seseorang dengan riwayat
infeksi orofasial yang disebabkan oleh HSV-1 tidak dapat tertular herpes whitlowatau
infeksi genital yang disebabkan oleh HSV-1. Padapasanganmonogami, wanita
seronegatif lebih dari 30%risiko per tahun tertular infeksi HSV daripasanganlaki-laki
yang seropositif. Jika infeksi HSV-1 oral pertama kali dikontrak, serokonversi akan
terjadi setelah 6 minggu untuk memberikan antibodi pelindung terhadap infeksi HSV-
1 di masa depan. Herpes simplex adalah virus DNA beruntai ganda. (Mustafa et al.,
2016)

2.9 Diagnosa Banding

a. Varisella
Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella
Zoster yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala
konstitusi, kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel. (Shulkhy,
2015)
Manifestasi klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu stadium prodormal,
stadium erupsi. Pada stadium prodormal, individu akan merasakan demam yang tidak
terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala anoreksia, dan malaise. (Putra,
2015)
Stadium erupsi, timbul ruam-ruam kulit “ dew drops on rose petals” tersebar
pada wajah, leher, kulit kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan ekstremitas.
Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Makula kemudian berubah menjadi
8
papula, vesikel, pustula, dan krusta. Erupsi ini disertai rasa gatal. Perubahan ini hanya
berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisela secara khas dalam perjalanan
penyakitnya didapatkan bentuk papula, vesikel, dan krusta dalam waktu yang
bersamaan, ini disebut polimorf. (Putra, 2015)
Vesikel yg khas berdinding tipis pada superfisial (teardrops), biasanya
diameternya 2 sampai 3 mm, bentuknya elips, dgn panjang sumbu pararel pada lipatan
kulit. Vesikel di kelilingi oleh warna eritem yg mirip dgn tetesan pada daun mawar.
(Sinaga, 2015)

b. Herpes Zoster
Radang kulit akut dengan sifat khas yaitu vesikel-vesikel yang tersusun
berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai dermatom.
Manifestasi kulit pada herpes zoster biasanya ada neuralgia beberapa hari
sebelum atau bersama-sama dengan kelainan kulit. Adakalanya, sebelum timbul
kelainan kulit di dahului oleh demam. Lesi biasanya berupa kelompok-kelompok
vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral
pada dermatom yang sesuai dengan letak saraf yang terinfeksi virus.
Lesi bisa di semua tempat, namun paling sering pada cervikal IV dan lumbal II.
(Siregar, 2016)

9
2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Non Farmakologi

Tidak ada
2.10.2 Farmakologi
 Jika vesikel pecah
1. Kompres dengan sol. Kalium-permanganas 1/5000.
2. Obat-obat antiseptik seperti : povidon yodium
3. Idoksuridin (IDU) 5-40% untuk menekan sintesis DNA.
4. Alkohol 70% untuk meneringkan desinfeksi.
Sistemik : dapat dicoba dengan acyclovir 5 x 400 mg/hari selama 5-10 hari.
 Pada pasien imunokompeten
1. Lesi inisial : asiklovir 5x200mg selama
5-10 hari
2. Infeksi rekuren asiklovir :5 200 mg
selama 5 hari atau 2 x 400 mg/hari
 Pada pasien dengan tanggap mun lemah imunocompromised:
1. Herpes mukokutan primer : asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 10 hari
2. Herpes imunokutan rekurenn : asiklovil 5 x 400 mg selama 5-7hari.
(siregar, 2016)

2.11 Edukasi dan Komunikasi

Selama fase akut, pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual
ketika masih ada lesi atau gejala prodromal. Menghentikan garukan untuk menjaga
tidak terjadi infeksi skunder.

2.12 Prognosis

Cenderung rekuren

10
2.13 Komplikasi

Komplikasi lain dari infeksi HSV, biasanya HSV-1 adalah eczema herpeticum (juga
dikenal sebagai Kaposi varicelliform letusan). Ini ditandai dengan keterlibatan kulit
yang luas lesi vesikuler di atas kulit menjadi rentan oleh dermatitis atopic.(Ruderfer
and Krilov, 2015)

2.14 Profesionalisme

Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan mengobati pasien sesuai dosis


yang tepat, jika keluhan masih berlanjut silahkan konsultasikan kepada dokter spesialis
kulit dan kelamin.

11
BAB III
KESIMPULAN

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe 1 dan 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang
sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan.

Gejala paling umum perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan : awitan penyakit didahului perasaan rasa gatal, rasa terbakar, dan eritema selama
beberapa menit sampai beberapa jam; kadang timbul nyeri saraf. Pada infeksi primer gejala-
gejala lebih berat dan lebih lama jika dibandingkan dengan infeksi rekuren, yiru beruupa
malaise, demam, dan nyeri otot. (siregar. 2016)

Diagnosis herpes simpleks dapat ditegakkan melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan


fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang laboratorium berupa kultur virus, PCR, Direct
Fluorescent Antibodi tes dan pemeriksaan serologi, yaitu antibody IgM dan IgG.

Pengobatan pada herpes simplek dilakukan dengan kondisi gejala penyakit. Kompres
dengan sol. Kalium-permanganas 1/5000. Sistemik : dapat dicoba dengan acyclovir 5 x 400
mg/hari selama 5-10 hari.

Prognosisnya baik jika dilakukan pengobatan yang tepat dan menjaga kebersihan
lingkungan yang baik. Karena virus ini bersifat dormant maka jika imunitas tubuh menurun
bisa terjadi herpes simpleks rekuren.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Ayoade, O. F. (2018) ‘Herpes simplex’, Division of Infectious Diseases, LSU Health


Science Center, 65(9), pp. 233–234.
2. Bonita, L. and Dwi, M. (2017) ‘Gambaran Klinis Herpes Simpleks Genitalis ( A
Retrospective Study : Clinical Manifestation of Genital Herpes Infection )’,
Periodical of Dermatology and Venereology, 29(1), pp. 30–35.
3. Eppy (2019) ‘Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya’, Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi, 44(6), pp. 386–390. Available at:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_253CME-Infeksi Virus Herpes Simpleks dan
Komplikasinya.pdf.
4. Irianti, M. I. et al. (2020) ‘Herpes Simplex Virus Tipe 1 : Prevalensi , Infeksi dan
Penemuan Obat Baru’, 13(1), pp. 21–26.
5. Mailiza, F. and Setiadhi, R. (2015) ‘PERTIMBANGAN TERAPI
KORTIKOSTEROID PADA STOMATITIS HERPETIK REKUREN’, 2(2), pp. 143–
150.
6. Marlina, E. and Soebadi, B. (2013) ‘Penatalaksanaan infeksi herpes simpleks oral
rekuren Management of recurrent oral herpes simplex infection’, Journal of
Dentomaxillofacial Science, 12(1), p. 28. doi: 10.15562/jdmfs.v12i1.345.
7. Mustafa, M. et al. (2016) ‘Herpes simplex virus infections, Pathophysiology and
Management’, IOSR Journal of Dental and Medical Sciences, 15(07), pp. 85–91. doi:
10.9790/0853-150738591.
8. Ruderfer, D. and Krilov, L. R. (2015) ‘Herpes simplex viruses 1 and 2’, Pediatrics in
Review, 36(2), pp. 86–90. doi: 10.1542/pir.36-2-86.
9. Suniti and Setiadhi, R. (2018) ‘Infeksi herpes simpleks virus 1 rekuren dengan faktor
predisposisi stres emosional’, Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran,
30(3), p. 207. doi: 10.24198/jkg.v30i3.17964.
10. Taupiqurrohman, O. et al. (2017) ‘Analisis In Silico Capsid Scaffold Protein Virus
Herpes Simpleks-1 Untuk Pengembangan Vaksin Herpes’, Chimica et Natura Acta,
5(1), pp. 21–25.

13

Anda mungkin juga menyukai