PITIROSPORUM FOLIKULITIS
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior (KKS) di
bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai
Disusun Oleh:
NENI NURHALIZA
102119062
Pembimbing :
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan
Klinik Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai .
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................2
2.1 Definisi............................................................................................2
2.2 Etiologi............................................................................................2
2.3 Epidemiologi...................................................................................2
2.4 Faktor Resiko..................................................................................3
2.5 Diagnosis.........................................................................................4
2.6 Patogenesis......................................................................................6
2.7 Patofisiologi....................................................................................6
2.8 Diagnosis Banding..........................................................................7
2.9 Penatalaksanaan..............................................................................8
2.10 Edukasi..........................................................................................8
2.11 Komplikasi....................................................................................9
2.12 Prognosis.......................................................................................9
2.13 Profesionalisme.............................................................................9
BAB III KESIMPULAN............................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Folikutis Malassezia adalah penyakit kronis pada folikel pilosebasea yang disebakan
oleh jamur Malassezia sp (Bramono and Budimulja, 2018).
Merupakan radang pada folikel pilosebasea yang disebabkan oleh genus Malassezia
(PERDOSKI, 2017).
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
Organisme Malassezia dapat ditemukan pada kulit pada 75-98% orang sehat.
Organisme ini adalah bagian dari flora kulit normal banyak individu yang tidak memiliki
tanda atau gejala folikulitis atau penyakit lain. Pityrosporum folliculitis dikenal sebagai salah
2
satu yang mempengaruhi kaum muda dan dewasa muda dan paruh baya. Pityrosporum
folliculitis paling sering terjadi pada mereka yang berusia 13-45 tahun. Namun, kasus
Pityrosporum folliculitis terjadi di ICU pada individu yang lebih tua yang berada di tempat
tidur berturut-turut, yang menerima perawatan dari staf perawat yang sama, dan yang
semuanya menerima antibiotik dosis tinggi. Yang sangat muda juga bisa terpengaruh, rasio
Pria dan wanita sama 1 : 1 (Pinney, 2020)
a) Faktor eksternal
Suhu dan kelembaban udara yang tinggi : jamur penyebab pityrosporum
folliculitis atau malassezia cenderung tumbuh terlalu cepat di tempat yang
panas, lembab, dan lingkungan yang berkeringat.
Pakaian oklusif : pemakaian pakaian yang ketat mendorong timbulnya
keringat.
Penggunaan bahan – bahan berlemak untuk pelembab badan yang
berlebihan dapat menutup folikel (misalnya, tabir surya dan pelembab
berminyak)
3
Steroid oral, seperti prednisone (jerawat steroid), penggunaan steroid akan
menyebabkan imun menurun yang berakibat mudahnya terinfeksi jamur.
(Akaza et al., 2019).
2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Wood’s Lamp
Di bawah cahaya Kayu, fluoresensi biru atau putih cerah diamati pada
folikel yang tidak terlibat secara klinis di lokasi lesi (Pinney, 2020).
4
b. Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan langsung dengan memakai larutan KOH 10%. Spesimen
berasal dari bagian dalam isi pustul, papul atau papul komedo yang
diambil menggunakan ekstraksi komedo. Hasil positif apabila didapatkan
hasil +3 atau +4. Berdasarkan grading jumlah spora per lapangan pandang
besar mikroskop. Grading spora (PERDOSKI, 2017) :
+1: 1-2 spora tersebar tidak berkelompok
+2: 2-6 spora dalam kelompok atau 3-12 spora tersebar
+3: 7-12 spora dalam kelompok atau 13-20 spora tersebar
+4: >12 spora dalam kelompok atau >20 spora tersebar
c. Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan ostium folikel melebar dan
bercampur dengan materi keratin. Dapat terjadi ruptur dinding folikel
sehingga terlihat respons radang campuran dan sel datia benda asing
(PERDOSKI, 2017).
5
2.6 Patogenesis
Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi yang dapat menyebabkan perubahan
dalam kekebalan, produksi sebum, dan pertumbuhan flora normal kulit, spesies
Malassezia tumbuh berlebihan dalam folikel sehingga folike dapat pecah, menyebabkan
reaksi peradangan terhadap lemak bebas yang dihasilkan lipase jamur dan memberikan
gambaran folikulitis (Bramono and Budimulja, 2018).
2.7 Patofisiologi
6
Termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited disease). Penyakit
ini dapat ditemukan di segala usia. Yang merupakan peradangan kronik dari unit
folikel pilosebasea. Penyebabnya multifaktor dengan gambaran klinis berupa komedo,
papul, pustul, nodus dan kista. Penyebab pasti AV masih belum diketahui, namun
telah dikemukakan beberapa etiologi yang diduga turut berperan terdiri atas faktor
intrinsik yaitu diperkirakan produksi sebum yang meningkat, hiperkeratinisasi folikel
rambut, koloni bakteri propionibacterium (P. Acne ), dan inflamsi serta faktor
ekstrinsik yaitu stres, iklim/suhu/kelembaban, kosmetik, diet dan obat-obatan. Oleh
karena itu artikel ini bertujuan untuk memaparkan tatalaksana terkini dari acne
vulgaris. Tatalaksana terkini dan tatalaksana terdahulu dari acne vulgaris tidak jauh
berbeda, Pengobatan terkini sangat dianjurkan mengingat kemajuan teknologi dapat
mempercepat penyembuhan acne dan meminimalisir gejala sisa dari acne vulgaris
(Sibero, Putra and Anggraini, 2019).
2. Erupsi Akneiformis
Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne berupa
peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Etiologi penyakit ini
masih belum jelas. Semula erupsi akneiformis disangka sebagai salah satu jenis akne,
namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis dan gejalanya berbeda. Erupsi
akneiformis diinduksi oleh obat-obatan seperti yodida dari medium kontras yang
radiopaque atau yodida potassium bromides seperti propantheline bromide,
testosterone, siklosporin, obat antiepilepsi, litium dan kortikosteroid sistemik
(Wasiaatmaja, 2018).
Etiologi erupsi akneiformis sampai saat ini masih belum dapat diketahui
secara pasti, namun diduga erupsi akneiformis disebabkan oleh obat, baik obat-obatan
yang digunakan secara sistemik maupun yang digunakan secara topikal. Erupsi
akneformis adalah reaksi kulit yang berupa peradangan folikular akibat adanya iritasi
7
epitel duktus pilosebasea yang terjadi karena eksresi substansi penyebab (obat) pada
kelenjar kulit. Umumnya reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi
sebagai akibat pemberian obat (erupsi obat) timbul karena reaksi hipersensitivitas
berdasarkan mekanisme imunologis, tetapi reaksi ini juga dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang disebabkan karena dosis yang berlebihan, akumulasi
obat atau karena efek farmakologi yang tidak diinginkan (Wasiaatmaja, 2018).
Erupsi akneiformis dapat muncul pada lokasi yang tidak khas, misalnya
lengan dan tungkai. Bentuk lesi pada umumnya monomorf dan tidak ditemukan
komedo. Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara akut atau subakut,
dan tempat terjadinya tidak di tempat predileksi akne saja, namun di seluruh bagian
tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea. Manifestasi klinis erupsi adalah papul dan
pustule, monomorfik atau oligomorfik, pada mulanya tanpa komedo. Komedo dapat
terjadi sekunder kemudian setelah sisitem sebum ikut terganggu. Dapat disertai
demam, dan umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita berbeda dari remaja sampai
orang tua (Wasiaatmaja, 2018).
2.9 Penatalaksanaan
FARMAKOLOGI
1. Topical
Diberikan sebagai terapi rumatan atau tambahan bagi terapi sistemik, tetapi
kurang efektif, walaupun dapat menolong (PERDOSKI, 2017) :
Sampo ketokonazol 2% 2 kali/minggu selama 2-4 minggu
Sampo selenium sulfida 2,5% sekali/hari selama 3 hari. Dosis rumatan
sekali/minggu.
2. Sistemik
Itrakonazol 200 mg/hari selama 2-3 minggu atau
8
Flukonazol 150 mg/minggu selama 2-4 minggu atau
Ketokonazol 200 mg/hari selama 2-4 minggu
2.11Komplikasi
2.12 Prognosis
Prognosis pada Pityrosporum folliculitis bagus. Dengan pengobatan, folikulitis
Pityrosporum dapat sepenuhnya sembuh. Tanpa pengobatan, Pityrosporum folliculitis
secara klasik bersifat pruritus (Pinney, 2020).
2.13Profesionalisme
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian obat, dosis,
tindakan yang tepat.
Jika keluhan tak kunjung reda rujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin.
9
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
5. PERDOSKI (2017) Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan
kelamin di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI).
11
7. Sibero, H. T., Putra, I. W. A. and Anggraini, D. I. (2019) ‘Tatalaksana Terkini
Acne Vulgaris Current Management of Acne Vulgaris’, 3, pp. 313–320.
8. Siregar, R. . (2017) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. 3rd edn. Edited
by H. Hartanto. jakarta: EGC.
12