Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MIKOLOGI

JAMUR PENYEBAB PENYAKIT PADA MANUSIA


PITIRIASIS VERSICOLOR / TINEA VERSICOLOR / PANU OLEH
JAMUR Malassezia furfur

Dosen Pengampu :

Dr. Dra. Endah Setyaningrum, M. Biomed

Disusun oleh :

Novi Anggrainni

1713453094

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PRODI DIPLOMA III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

TAHUN 2019/2020

1
PENDAHULUAN

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu dan
kelembapan yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur. Oleh karena itu,
penyakit kulit yang disebabkan infeksi jamur relatif sering dijumpai dalam praktek
klinis..

Penyakit kulit karena infeksi jamur (Dermatomikosis) secara umum terbagi


atas dua bentuk, bentuk superfisial dan bentuk yang dalam (deep mycosis). Bentuk
superfisial terbagi atas golongan dermatofitosis yang disebabkan oleh jamur
dermatofita (antara lain: Tinea kapitis, tinea korporis, tinea unguium, tinea cruris,
tinea fasialis, tinea barbae, tinea manus, tinea pedis) dan yang kedua golongan non
dermatofitosis (pitiriasis versikolor, piedra, tinea nigra palmaris, kandidiasis).

Perbedaan antara dermatofitosis dan non dermatofitosis adalah pada


dermatofitosis melibatkan zat tanduk (keratin) pada stratum korneum epidermis,
rambut dan kuku yang disebabkan oleh dermatofit. Sedangkan non dermatofitosis
disebabkan oleh jenis jamur yang tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat
mencerna keratin kulit tetapi hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar (Boel
T, 2003). Diantara penyakit jamur superfisial yang sering dijumpai di Indonesia
salah satunya adalah pitiriasis versikolor (PV). Pada penyakit kulit karena infeksi
jamur superfisial, seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena kontak langsung
dengan benda-benda yang sudah terkontaminasi oleh jamur atau kontak langsung
dengan penderita. Infeksi jamur yang non dermatofitosis salah satunya pitiriasis
versikolor yang disebabkan oleh jamur malassezia furfur. Penyakit ini menarik
karena keluhannya bergantung pada tingkat ekonomi dari kehidupan penderitanya.
Bila penderitanya adalah orang dengan golongan ekonomi lemah (misalnya: tukang
becak, pembantu rumah tangga) penyakit ini tidak dihiraukan. Tetapi pada
penderita dengan ekonomi menengah keatas yang mengutamakan penampilan
maka penyakit ini dapat menjadi penyakit yang sangat problematik.

2
1. Definisi

Pityriasis Versicolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik,


biasanya asimtomatik, disebabkan oleh Malassezia furfur dengan manifestasi klinis
bercak dengan pigmentasi yang bervariasi. Bercak berwarna putih sampai coklat
kehitaman. Terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak,
lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit (Budimulja U, 2003).

Pityriasis Versicolor sering ditemukan di daerah tropis (Budimulja U,


2003). Istilah versicolor mengacu pada akibat yang ditimbulkan jamur ini yaitu
perubahan warna kulit bergantung dari kondisi kulit penderita.

2. Etiologi

M. furfur (sebelumnya dikenal dengan nama Pityrosporum ovale, P.


orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normal terdapat pada keratin kulit dan
folikel rambut. Jamur ini merupakan organisme oportunistik yang dapat
menyebabkan pityriasis versicolor. Jamur ini membutuhkan asam lemak untuk
tumbuh (Baillon, 2007).

Gambar 1. Malassezia furfur (Pewarnaan KOH dan Tinta Parker)


Sumber (www.doctorfungus.com)

3
Kingdom : Fungi

Phylum : Basidiomycota

Class : Hymenomycetes

Order : Tremellales

Family : Filobasidiaceae

Genus : Malassezia.

Selain mengakibatkan PV, Malassezia Furfur juga dapat mengakibatkan


dermatitis seboroik, folikulitis, dan blefaritis. Koloni Malassezia furfur dapat
tumbuh dengan cepat dan matur dalam 5 hari dengan suhu 30-37° C. Warna koloni
Malassezia Furfur adalah kuning krem (Baillon, 2007).

Gambar 2. Koloni Malassezia Furfur

Sumber (www.doctorfungus.com)

Malassezia furfur memiliki fragmen hifa dengan gambaran


seperti sphagetti atau meatball saat dilihat dengan mikroskop. Sel jamur terdiri dari
2 bentuk (Ellis D, 2011):

1. Bentuk Hifa (pseudo hifa) yang merupakan bentuk vegetatif,

2. Bentuk spora yang merupakan bagian jamur untuk bertahan hidup.


4
3. Faktor Predisposisi

Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,


pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian minyak seperti
minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya PV pada anak-anak (Wolff K,
Johnson RA, Suurmond D, 2007).

Faktor predisposisi lain adalah (Brannon H, 2004):

1. Pengangkatan glandula adrenal

2. Penyakit Cushing

3. Kehamilan

4. Malnutrisi

5. Luka bakar

6. Terapi steroid

7. Supresi sistem imun

8. Kontrasepsi oral

9. Suhu Panas

10. Kelembapan

4. Patogenesis

Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelial. Hal ini


dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Malassezia memiliki enzim oksidasi
yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada permukaan kulit
menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilat ini menghambat tyrosinase pada
melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan hipomelanosit (Wolff K, Johnson
RA, Suurmond D, 2007). Tirosinase adalah enzim yang memiliki peranan penting
5
dalam pembentukan melanin (Fitrie AA, 2004). Malassezia Furfur dapat
menginfeksi individu yang sehat maupun individu yang immunocompromised,
misalnya pada pasien kanker atau AIDS.

5. Gejala Klinis

Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal pada
keluhan pasien. Pasien yang menderita PV biasanya mengeluhkan bercak
pigmentasi dengan alasan kosmetik. Predileksi pitiriasis vesikolor yaitu pada tubuh
bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia (Wolff K,
Johnson RA, Suurmond D, 2007).

Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi
dapat milier, lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering
dijumpai (Boel T, 2003):

1. bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan skuama


halus diatasnya, dan tepi tidak meninggi.

2. bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.

Gambar 3. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi


dalam lesi pada Ras Kaukasia (kiri) dan hipopigmentasi dalam Ras
Aborijin Australia (kanan).

Sumber (www.micologyonline.com), (A.D.A.M, www.about.com)

6. Diagnosis Banding

6
Vitiligo, pityriasis alba, postinflammatory hypopigmentation, tuberculoid leprosy

7. Penegakan Diagnosis

1. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, penemuan klinis berupa makula,


berbatas tegas, bulat atau oval dengan ukuran yang bervariasi.

2. Mikroskopi langsung. Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis versicolor,


atau dengan menggunakan cellotape yang ditempel pada bercak. Setelah diambil
diletakkan di atas gelas objek kemudian ditetesi KOH 10-20% atau campuran 9
bagian KOH 10-20% dengan 1 bagian tinta Parker blue black superchrome X
akan lebih memperjelas pembacaan karena memberikan tampilan warna biru
yang cerah pada elemen-elemen jamur. Kemudian dipanaskan sebentar diatas
lampu bunsen untuk memfiksasi, dan dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 40 kali (Budimulja U, 2003).

- Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan
gerombolan sporabudding yeast yang berbentuk bulat mirip
seperti sphagetti with meatballs.

- Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pityriasis
versicolor walaupun ditemukan spora.

3. Pemeriksaan dengan Wood's Lamp

Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan Malassezia dapat dideteksi


dengan lampu wood dimana akan timbul fluoresensi berwarna kuning keemasan.

8. Pengobatan

Agen Topikal. Karena koloni jamur ini pada permukaan kulit, maka
pengobatan topikal sangat efektif. Lotion atau sampo Selenium sulfide (2.5%)
dioleskan pada bercak selama 10-15 menit, kemudian dicuci, digunakan selama
satu minggu. Sampo ketokonazol digunakan sama seperti penggunaan selenium
sulfide. Krim Azole (ketoconazole, econazole, micronazole, clotrimazole)

7
dioleskan selama 2 minggu. Solusio Terbinafine 1% solution dioleskan selama 7
hari (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007). Topikal Terbinafine efektif pada
pitriasis versikolor, dengan penggunaan satu atau dua kali sehari selama dua
minggu, terbukti dapat menyembuhkan dari penelitian terhadap lebih dari 80%
pasien pitiriasis versikolor, tinea pedis, tinea corporis/cruris (McClellan KJ,1999).

Terapi Sistemik. Ketokonazol termasuk kelas antijamur imidazoles.


Ketokonazol bekerja dengan memperlambat pertumbuhan jamur yang
menyebabkan infeksi. Obat ini diminum satu kali sehari. Sediaan tablet ketokonazol
adalah 200 mg. Dosis Ketokonazol 400 mg (diminum satu jam sebelum makan).
Flukonazol 400 mg. Itrakonazol 400 mg (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D,
2007). Adapun efek samping ketokonazol adalah nausea, dispepsia, sakit perut, dan
diare.

Profilaksis Sekunder. Sampo ketokonazol digunakan satu atau dua kali


seminggu. Selain itu juga dapat digunakan losion atau sampo selenium sulfide,
Salicylic acid/sulfur bar Pyrithione zinc ketokonazol 400 mg peroral sebulan
sekali (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007).

Disamping pengobatan, penting juga memberikan edukasi atau nasehat


kepada penderita agar:

- memakai pakaian yang tipis

- memakai pakaian yang berbahan cotton

- tidak memakai pakaian yang terlalu ketat.

9. Prognosis

Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan


konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif
dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif.

Meskipun jamur telah dieradikasi dengan pengobatan, tetapi


hipopigmentasi menetap selama beberapa minggu sampai melanosit memulai untuk
memproduksi melanin lagi (Brannon H, 2004).

8
DAFTAR PUSTAKA

Baillon, 2007. Diambil dari www.doctorfungus.com.


Boel T, 2003. Mikosis Superfisial. Fakultas kedokteran Gigi USU. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1174/1/fkg-trelia1.pdf
Brannon H, 2004. Tinea Versicolor. Diambil dari www.about.com/Dermatology.
Budimulja U, 2003. Ilmu penyakit Kulit dan kelamin, edisi ketiga : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Ellis D, 2011. www.micologyonline.com. Universitas Adelaide.
Fitrie AA, 2004. Histologi dari Melanosit. Fakultas Kedokteran Bagian Histologi
Universitas Sumatera Utara. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/1/histologi-alya2.pdf
McClellan KJ,1999. Terbinafine. An update of its use in superficial mycoses.
58(1):179-202. NCBI. New Zealand.
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007. Fitzpatrick’s, The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies.

Anda mungkin juga menyukai