Anda di halaman 1dari 20

REFARAT

FURUNKEL

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior
(KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai

Disusun oleh :
RESTY YUNUS
102119009

Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik
Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai .

Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan dari pembimbing kami yaitu dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV,
MKM berupa bimbingannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan Referat
ini yang berjudul Furunkel.

Penulis berharap Refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang
Furunkel. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Binjai, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2

FURUNKEL

2.1 Definisi....................................................................................................2
2.2 Etiologi ...................................................................................................2
2.3 Epidemiologi...........................................................................................3
2.4 Faktor resiko............................................................................................3
2.5 Diagnosis.................................................................................................3
2.5.1 Anamnesis...............................................................................3
2.5.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................4
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................4
2.6 Patogenesis..............................................................................................6
2.7 Patofisiologi.............................................................................................6
2.8 Diagnosis banding...................................................................................6
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................8
2.9.1 Non Farmakologi ...................................................................8
2.9.2 Farmakologi............................................................................8
2.10 Komunikasi dan Edukasi.........................................................................9
2.11 Komplikasi.............................................................................................10
2.12 Prognosis...............................................................................................10
2.13 Profesionalisme.....................................................................................10

BAB III KESIMPULAN......................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Furunkel merupakan salah satu bentuk dari pioderma yang sering dijumpai,
dan penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi. Furunkel
ialah radang folikel rambut dan sekitamya. Jika lebih dari satu disebut furunkulosis .
Secara umum penyebab furunkel ialah Staphylococcus aureu (Menaldi, 2017).
Prevalensi pioderma dibeberapa negara, seperti di Brazil, Ethiopia, Taiwan,
dan lain-lain adalah 0,2-35%, sedangkan prevalensi pioderma di Indonesia adalah 1,4%
pada dewasa dan 0,2% pada anak. Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. DR. R
Kandau Manado didapatkan penyakit pioderma dengan jenis furunkel sebanyak 15,8%
(Pandaleke et al., 2015). Furunkel dapat terjadi pada anak-anak dan dewaasa muda
dengan frekuensi pria dan wanita sama (Perdana, 2018).
Furunkel sering mengenai bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena
iritasi, gesekan atau tekanan atau pada daerah yang lembab seperti ketiak, bokong,
punggung, leher dan wajah (Perdana, 2018).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Furunkel merupakan peradangan akut yang dalam di folikel rambut dan
sekitarnya, membentuk nodul nyeri, biasanya didahului atau berkembang dari folikulitis
superfisialis dan sering berkembang menjadi abses. Furunkel yang lebih dari satu
disebut sebagai furunkulosis (Hidayati, 2019).

Gambar: Furunkel

A. Klasifikasi
Terdapat 2 bentuk Pioderma (PERDOSKI, 2017).
1. Pioderma superfisialis, lesi terbatas pada epidermis
a. Impetigo nonbulosa
b. Impetigo bulosa
c. Ektima
d. Folikulitis
e. Furunkel
f. Karbunkel
2. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan dermis
a. Erisipelas
b. Selulitis
c. Flegmon
d. Abses multipel kelenjar keringat
e. Hidradenitis

2.2 Etiologi
Penyebab tersering furukel akibat kulit mendapat gesekan atau tekanan, atau
pada daerah yang lembab serta iritasi lokal seperti garukan. Penyebab lain ialah

2
Staphylococus aureus (Tiyas et al., 2015). Staphylococcus aureus merupakan bakteri
Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-
kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk
spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan
padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,
dan berkilau (Kusuma, 2015).

2.3 Epidemiologi
Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel.
Prevalensi pioderma dibeberapa negara, seperti di Brazil, Ethiopia, Taiwan, dan lain-
lain adalah 0,2-35%, sedangkan prevalensi pioderma di Indonesia adalah 1,4% pada
dewasa dan 0,2% pada anak. Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. DR. R
Kandau Manado didapatkan penyakit pioderma dengan jenis furunkel sebanyak
15,8% (Pandaleke et al., 2015). Furunkel dapat terjadi pada anak-anak dan dewaasa
muda dengan frekuensi pria dan wanita sama (Perdana, 2018).

2.4 Faktor Resiko


Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti (Perdana, 2018):
 Musim/iklim :Lebih sering pada musim panas karna banyak berkeringat.
 Kebersihan/higiene :Kebersihan dan higien yang kurang
 Lingkungan :Lingkungan yang kurang baik/bersih.
 Lain-lain :Diabetes, obesitas, hiperhidrosis, anemia, dan stres emosional.

2.5 Diagnosis
Diagnosis furunkel meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin;
tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu.
2.5.1 Anamnesis
Keluhan nyeri, dengan kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk
kerucut, di tengah terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses yang berisi
pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat predileksi
ialah tempat yang banyak friksi , misalnya aksila dan bokong (Menaldi, 2017).

3
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan kulit furunkel ditemukan :
a. Lokalisasi: Sering pada bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena
iritasi, gesekan atau tekanan; atau pada daerah yang lembap seperti ketiak,
bokong, punggung, leher, dan wajah (Perdana, 2018).
b. Efloresensi: Mula-mula berupa makula eritematosa lentikular-numular
setempat yang kemudian menjadi nodula lentikular-numular berbentuk
kerucut (Perdana, 2018).

Gambar Predileksi furunkel

2.5.3 Lesi asimptomatik,


papul poligonal, atau
plak berwarna
kekuningan ,
2.5.4 simetris pada
kelopak mata superior

4
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.5 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.6 Pembesaran lambat,
dimulai dari papul kecil.
Mulai dari beberapa bulan
2.5.7 sampai beberapa
tahun
2.5.8 Lesi asimptomatik,
papul poligonal, atau
plak berwarna
kekuningan ,

5
2.5.9 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.10 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.11 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.12 sampai beberapa
tahun
2.5.13 Lesi
asimptomatik, papul
6
poligonal, atau plak
berwarna kekuningan ,
2.5.14 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.15 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.16 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.17 sampai beberapa
tahun
7
2.5.18
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Histopatologi
Berupa abses yang dibentuk olem limfosit dan leukosit PNM, mula-mula
pada folikel rambut. Pada bagian bawah folikel rambut (dalam jaringan
subkutis), abses dapat pula mengandung stafilokok (Perdana, 2018). Pembuluh
darah mengalami dilatasi. Terjadii nekrosis kelenjar dan jaringan sekitar
kemudian membentuk inti yang dikelilingi oleh daerah dilatasi vaskuler,
lekosit, dan limfosit (Tiyas et al., 2015).

Gambar Histopatologi furunkel


2. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi dari sekret
a. Pewarnaan Gram
Tujuan dari Pewarnaan Gram adalah untuk membedakan dunia
bakteri menjadi dua kelompok yaitu Gram positif (+) dan Gram (-).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan berbentuk
kokkus yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan Gram. Warna
ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu
Kristal violet. Perbedaan sifat Gram dipengaruhi oleh kandungan pada
dinding sel, yaitu bakteri Gram positif kandungan peptidoglikan lebih tebal
jika dibanding dengan Gram negatif (Hayati et al., 2019).

8
Gambar: Histopatologi S. aureus dengan pewarnaan gram
b. Kultur
Kultur dilakukan pada media MSA (Mannitol Salt Agar), pengeraman
pada suhu 37°C. Koloni S. aureus yang tumbuh pada media dapat diamati
secara langsung setelah diinkubasi selama 24 jam. Koloni S. aureus yang
tumbuh pada media MSA (Mannitol Salt Agar) ditandai dengan koloni
yang berwarna kuning dan juga memiliki zona berwarna kuning di
sekeliling pertumbuhannya (Arbi, Noviyandri and Valentina, 2015).

Gambar Kultur dengan media MSA pada suhu 37oC


c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini berupa pemeriksaan darah, hitung jenis, lanju endapan
darah dan kimia darah (Perdana, 2018). Peningkatan leukosit atau leukositosis
biasanya didapat furunkulosis berat (Hidayati, 2019).

2.5 Patogenesis
Kulit memiliki flora normal, salah satunya Staphylococcus aureus yang
merupakan flora residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada ternggorokan
dan saluran hidung. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasi
pada kulit. Infeksi diawali ketika virulensi stafilokokus melekat pada sel-sel dari folikel
rambut, kemudian berkembangbiak dan menyebar turun ke dalam folikel dan kelenjar
sebasea. Terbentuk lesi berupa infiltrat kecil dalan dalam waktu singkat memebsar

9
menjadi nodula eritematosa berbentuk kerucut, kemudian pada tempat rambut keluar
tampak bintik-bintik putih sebagai mata bisul (Perdana, 2018). Infeksi tersebut
menimbulkan terjadinya respon inflamasi yaitu bengkak dan memerah, kemudian
diikuti bertambahnya jumlah PNM (Hidayati, 2019).

2.6 Patofisiologi
Respon primer host terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke
tempat masuk kuman tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini
ditarik ke tempat infeksi oleh komponen bakteri seperti formylated peptides atau
peptidoglikan dan sitokin TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6
yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang teraktivasi (Hidayati, 2019).
Terbentuk nodus akan melunak (supurasi) menjadi abses yang akan memecah
melalui lokus minoris resistensie yaitu muara folikel, rambut menjadi rontok/terlepas.
Jaringan nekrotik keluar sebagai pus dan terbentuk fistel (Perdana, 2018).

2.8 Diagnosis Banding


a. Furunkel
Furunkel adalah peadangan folikel rambut dan jaringan subkutan
sekitarnya. Penyebab furunkel ialah Staphylococus aureus. Lokalisasi sering pada
bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena iritasi, gesekan atau tekanan,
atau pada daerah yang lembab seperti ketisk, bokong, punggung, leher, dan
wajah. Efloresensi mula-mula berupa makula eritematosa lentikular numular
setempat, kemudian menjadi nodula lentikular numular berbentuk kerucut.
Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan , dan prognosis
menjadi kurang baik pada status imunologis penderita (Perdana, 2018).

10
Gambar Furunkel
b. Hidradenitis Supurativa
Hidradenitis supurativa adalah infeksi kelenjar apokrin yang umumnya
bersifat supuratif kronik dan cenderung menimbulkan sikatriks. Penyebab
hidradenitis supurativa ialah sumbatan saluran kelenjar apokrin dan infeksi
Staphylococus aureus. Lokalisasi pada ketiak, areola mamae, anogenital.
Efloresensi berupa makula eritematosa dan nodus lentikular numular, difus,
regional. Juga fistel dan sinus (Perdana, 2018).

Gambar Hidradenitis Supurativa


c. Skrofuloderma
Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang terjadi
secara per kontinuitatum dari jaringan dibawahnya, misalnya kelenjar getah
bening, otot dan tulang (Perdana, 2018). Penyebab skrofuloderma ialah
Mycobacterium tuberculosis, sel berbentuk batang atau basil tahan asam dengan
ukuran 2-4x0,3-15 mikron (Perdana, 2018). Lokalisasi: Pada leher, aksila,
daerah lumbal, dan inguinal. Efloresensi: Ulkus bentuk oval, pinggir meninggi,
tepi tidak rata, dinding menggaung, dasar kotor, sekret mukopurulen, tidak
berbau. Daerah sekital ulkus tampak livide dan ditemukan jembatan-jembatan
kulit. Prognosis umumnya baik(Perdana, 2018).

11
Gambar Skrofuloderma

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologi
Melakukan insisi dan aspirasi jika lesi matang
2.9.2 Farmakologi
Tujuan utama terapi farmakologi adalah menghilangkan keluhan.
1. Terapi Topikal
a. Jika masih berupa infiltrat dapat diberikan salep iktiol 5%
b. Pemberian salep antibiotik seperti salep kloramfenikol 2% (Perdana,
2018).
2. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik
a. Lini pertama
 Kloksasilin/dikloksasilin. Dosis dewasa 4x250-500mg/hari per
oral; anak-anak 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis
 Amoksisilin dan asam klavulanat: Dosis dewasa 3x250-500
mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis
 Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis
b. Lini kedua
 Azitromisin 1x500mg/hari(hari 1), dilanjutkan 1x250mg (hari 2-5)
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis
 Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-anak 20-50
mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis.
c. Kasus yang berat, disertai infeksi sitemik atau infeksi di daerah
berbahaya (misalnya maksila), antibiotik diberikan parenteral.
 Nafcillin 1-2 gram IV tiap 4 jam, anak 100-150 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4 dosis
 Penisilin G 2-4 juta unit IV tiap 4-6 jam, anak: 60-100.000
unit/kgBB tiap 6 jam.
 Cefazolin IV 1 gram tiap 8 jam, anak: 50 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 3 dosis
 Ceftriaxone IV 1-2 gram ,1 kali/hari. (A,2)
12
 Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat: vankomisin
1-2 gram/hari dalam dosis terbagi atau 15-20 mg/kgBB setiap
8-12 jam intravena, selama 7-14. Anak: vankomisin 15mg/kgBB
IV tiap 6 jam.
 Linezolid 600 mg IV atau oral 2 kali sehari selama 7-14 hari, anak-
anak 10 mg/kgBB oral atau intravena tiap 8 jam.
 Klindamisin IV 600 mg tiap 8 jam atau 10-13mg/kgBB tiap 6-8
jam
 Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan
resistensi (PERDOSKI, 2017)

the Dermato-allergy Working Group of


the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
the Dermato-allergy Working Group of
the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
the Dermato-allergy Working Group of
the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
2.10 Komunikasi dan Edukasi
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mengatasi faktor predisposisi
seperti obesitas, DM, dan hiperhidrosis.

13
2. Mengedukasi pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan dan mencegah luka-
luka kulit.
3. Mengedukasi pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan lingkungan
4. Menganjurkan untuk mandi 2 kali sehari dengan sabun (Tiyas et al., 2015).

2.11 Komplikasi
Furunkel menjadi selulitis tanpa pengobatan dapat mengancam jiwa. Furunkel
bisa menyebabkan komplikasi berupa sepsis dan meningitis. Jika furunkel terdapat di
bibir atas dan pipi bisa menyebabkan thrombosis sinus kavernosus (Hidayati, 2019).

2.12 Prognosis
Memiliki prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan
prognosis menjadi kurang baik jika terjadi rekurensi (Perdana, 2018).

2.13 Profesionalisme
 Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian dosis yang
adekuat, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar
 Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit
dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.

14
BAB III

KESIMPULAN

Furunkel merupakan keradangan akut yang dalam di folikel rambut dan sekitarnya,
membentuk nodul nyeri, biasanya didahului atau berkembang dari folikulitis superfisialis dan
sering berkembang menjadi abses. Furunkel yang lebih dari satu disebut sebagai
furunkulosis. Penyebab furunkel ialah Staphylococus aureus merupakan bakteri Gram positif
berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak
teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.
Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning
keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Prevalensi pioderma dibeberapa
negara, seperti di Brazil, Ethiopia, Taiwan, dan lain-lain adalah 0,2-35%, sedangkan
prevalensi pioderma di Indonesia adalah 1,4% pada dewasa dan 0,2% pada anak. Pada
penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. DR. R Kandau Manado didapatkan penyakit
pioderma dengan jenis furunkel sebanyak 15,8%. Furunkel dapat terjadi pada anak-anak dan
dewaasa muda dengan frekuensi pria dan wanita sama.

Keluhan furunkel sakit dan nyeri pada lesi, nodus eritematosa berbentuk kerucut, di
tengah terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses yang berisi pus dan jaringan
nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat predileksi ialah sering pada bagian tubuh
yang berambut dan mudah terkena iritasi atau gesekan seperti ketiak, bokong, punggung,
leher dan wajah. Furunkel dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, setelah penyakit ini ditegakkan dapat diberikan
pengobatan non farmakologi ataupun farmakologi, dikarekan faktor resiko dari
penyakit ini adalah kebersihan dan hygiene oleh sebab itu kita harus memberi edukasi

15
kepada pasien bahwa harus menjaga kebersihan, durasi pengobatan lama dan harus
berobat teratur dan makan-makanan yang bergizi. Komplikasi yang dapat terjadi
yaitu selulitis, sepsis, meningitis, trombhosis sinus kavernosus. Prognosis yang umumnya baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Arbi, T. A., Noviyandri, P. R. and Valentina, N. V. (2015) ‘GAMBARAN


PERLEKATAN BAKTERI Staphylococcus aureus PADA BERBAGAI BENANG
BEDAH (STUDI KASUS PADA TIKUS WISTAR)’, Cakradonya Dental Journal p-
ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720., 10(1), pp. 86–95.
2. Hayati, L. N. et al. (2019) ‘Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus pada Susu
Kambing Peranakan Etawah Penderita Mastitis Subklinis di Kelurahan Kalipuro,
Banyuwangi’, Jurnal Medik Veteriner, 2(2), p. 76. doi: 10.20473/jmv.vol2.iss2.2019.76-
82.
3. Hidayati, A. (2019) Infeksi Bakteri Di Kulit, Infeksi Bakteri Di Kulit.
4. Kusuma, S. A. F. (2015) ‘Staphylococcus aureus’, Fakultas Farmasi, Universitas
Padjajaran.
5. Menaldi, S. L. S. (2017) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Ketujuh.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Pandaleke, H. E. J. et al. (2015) ‘PROFIL PIODERMA PADA ORANG DEWASA DI
POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP PROF . DR . R . D . KANDOU
MANADO Fahriah Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran empat
setelah ISPA , hipertensi primer dan pion . Penyebab utama adalah bakteri Ter’, 3(April).
7. Perdana (2018) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2, Journal of Chemical
Information and Modeling.
8. PERDOSKI (2017) Panduan Praktik Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
9. Tiyas, M. et al. (2015) Buku ajar sistim integumen.

Anda mungkin juga menyukai