Anda di halaman 1dari 27

REFARAT

URTIKARIA

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior
(KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai

Disusun oleh :
ADEK AYU TUTI ALAWIYAH
102119019

Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik
Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai .

Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan dari pembimbing kami yaitu dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV,
MKM berupa bimbingannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan Referat
ini yang berjudul Urtikaria.

Penulis berharap Refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang
Urtikaria. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Binjai, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2

URTIKARIA

2.1 Definisi....................................................................................................2
2.2 Etiologi ...................................................................................................4
2.3 Epidemiologi...........................................................................................6
2.4 Faktor resiko............................................................................................6
2.5 Diagnosis.................................................................................................6
2.5.1 Anamnesis...............................................................................7
2.5.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................7
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................7
2.6 Patogenesis..............................................................................................9
2.7 Patofisiologi...........................................................................................10
2.8 Diagnosis banding.................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan.....................................................................................12
2.9.1 Non Farmakologi .................................................................12
2.9.2 Farmakologi..........................................................................13
2.10 Komunikasi dan Edukasi.......................................................................17
2.11 Komplikasi.............................................................................................17
2.12 Prognosis...............................................................................................17
2.13 Profesionalisme.....................................................................................17

BAB III KESIMPULAN......................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Urtikaria adalah reaksi pada kulit akibat macam-macam sebab. Sinonim
penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash. Ditandai oleh edema (bengkak)
setempat yang timbul secara mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
kemerahan dan pucat, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo
(bulatan). Angka kejadian urtikaria cukuplah tinggi sebanyak 15%-20% penduduk
pernah mengalami urtikaria dalam kehidupannya dan 25% diantaranya mengalami
urtikaria kroni. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia
rata-rata 40 tahun) (Siannoto, 2017).
Urtikaria digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan
dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu (Siannoto, 2017). Faktor usia, ras, jenis
kelamin, peke-rjaan, lokasi geografis dan musim memengaruhi jenis pajanan yang akan
dialami oleh seseorang (Menaldi, 2017).
Pendekatan klinis yang dilakukan terhadap pasien urtikaria meliputi riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik untuk mencari penyebab dan
tipe urtikaria. Penatalaksanaan utama pada semua bentuk urtikaria adalah identifikasi
dan penghindaran faktor pencetus serta pemberian antihistamin (AH) dengan pilihan
utama AH1. Urtikaria mempunyai dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup
penderitanya, meskipun sering dianggap ringan (Siannoto, 2017)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama pucat atau
kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal
yang berat, rasa tersengat atau tertusuk (Menaldi, 2017). Urtikaria adalah suatu
penyakit kulit yang ditandai dengan adanya urtika berbatas tegas, dikelilingi oleh
daerah berwarna kemerahan, dan terasa gatal (PERDOSKI, 2017)
Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada lapisan
kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan. Rasa
gatal tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai rasa terbakar.
Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di
daerah perioral, periorbital, lidah, genitalia dan ekstremitas (Menaldi, 2017).

Gambar: Urtikaria pada ekremistas atas dan bawah

A. Klasifikasi
Berdasarkan European Academy of Allergy and Clinical Immunolgy
(EAACI), The Global Allergy and Asthma European Network (GA2LEN), The
European Dermatology Forum (EDF), dan The World Allergy Organization
(WAO) pada tahun 2014 (PERDOSKI, 2017), urtikaria diklasifikasi sebagai
berikut :

2
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Grup Sub Grup Keterangan
Urtikaria Urtikaria Akut Wheal spontan >6 minggu
Spontan Urtikaria Kronik Wheal spontan <6 minggu
Urtikaria Fisik Urtikaria kontak dingin/ Faktor pencetus: udara/angin/air dingin
Cold contact urticaria
Delayed Pressure Faktor pencetus: tekanan vertikal (wheal
Urtical arising with a 3-8 latency)
Urtikaria kontak panas/ Faktor pencetus: panas yang terlokalisir
Hot contact urticaria
Urtikaria Solaris Faktor pencetus: UV dan atau sinar tampak
Urtikaria facititia/ Faktor pencetus: kekuatan mekanis (wheal
Urtikaria dermografik muncul setelah 1-5 menit)
Urtikaria Vibratori Faktor pencetus: misal pneumatic hammer
Urtikaria lain Urtikaria angiogenik Faktor pencetus: air
Urtikaria kolinergik Dicetuskan oleh naiknya tempratur tubuh
Urtikaria Kontak Dicetuskan oleh kontak dengan bahan
yang bersifat urtikariogenik
Urtikaria yang Faktor pencetus: latihan fisik
diinduksi oleh latihan
fisik (exercise)

Gambar: Urtikaria dermografik Gambar: Delayed Pressure Urticaria

3
Gambar : Vibratory Urticaria

Gambar: Cold Urticaria Gambar: Urtikaria Solaris

2.2 Etiologi
Banyak faktor yang mungkin bertanggung jawab dalam etiologi penyakit.
Faktor yang sering dijumpai antara lain:
1. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menyebabkan urtikaria, yang paling sering ditemui
adalah penicillin, aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, sulfonamid, diuretic
thiazide, kontrasepsi oral, penghambat enzim pengubah angiotensin, vitamin,
kodein, morfin, kurare dan turunannya, hormon adrenokortikotropik sintetik, dan
zat trast radiokon. Ini dapat bermanifestasi dari 1-2 jam sampai 15 hari setelah
asupan oral. Urtikaria terkait dengan obat yang diberikan secara intravena akan
segera terjadi. Sementara obat-obatan umumnya menyebabkan urtikaria akut dan
dapat menyebabkan munculnya atau eksaserbasi (Aslan Kayıran, 2018).
2. Makanan
Makanan yang sering dijumpai sebagai penyebab urtikaria antara lain
kacang-kacangan, telur, ikan, seafood, coklat, daging, susu sapi, buah-buahan
(buah jeruk, anggur, plum, nanas, pisang, apel, dan stroberi), sayur-sayuran

4
(tomat, bawang putih, bawang merah, kacang polong, buncis, dan wortel), jamur,
makanan fermentasi, rempah-rempah, dan alkohol. Bahan pengawet seperti
pewarna azo, turunan asam benzoat, dan salisilat serta pewarna makanan juga
merupakan faktor penyebab penting. Urtikaria biasanya terlihat 1-2 jam setelah
konsumsi makanan (Aslan Kayıran, 2018).
3. Alergen Pernapasan (Inhalan)
Serbuk sari, spora jamur, tungau, ketombe binatang, dan rambut dapat
menyebabkan urtikaria jika dibawa melalui saluran pernafasan. Merokok juga
merupakan faktor penting karena mengandung banyak bahan kimia dan dapat
memperburuk urtikaria, maka harus diimbau untuk berhenti merokok. Urtikaria
yang disebabkan oleh alergen pernapasan biasanya terjadi segera setelah kontak
(Aslan Kayıran, 2018).
4. Infeksi
Infeksi saluran pernafasan seperti sinusitis, tonsilitis, abses gigi, infeksi
saluran kemih, hepatitis, infeksi mononukleosis, dan parasit dapat menyebabkan
urtikaria. Parasitosis merupakan penyebab urtikaria, terutama pada anak-anak
(Aslan Kayıran, 2018). 
5. Kontaktan
Kontaktan yang dapat menyebabkan urtikaria seperti lateks, kosmetik, dan
bahan kimia (Aslan Kayıran, 2018)
6. Gigigtan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini
lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV) (Aslan
Kayıran, 2018).
7. Faktor fisik
Urtikaria dapat berkembang karena faktor eksternal seperti tekanan, panas,
dingin, dan dermographism . Urtikaria sekunder akibat tekanan umumnya
bermanifestasi secara umum dalam waktu 3-4 jam setelah terpapar  tekanan
(Aslan Kayıran, 2018).

5
2.3 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor usia, ras, jenis
kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim memengaruhi jenis pajanan yang
akan dialami oleh seseorang(Menaldi, 2017). Prevalensi urtikaria di dunia berkisar
antara 0,3-11,3% tergantung populasi yang diteliti. Di Indonesia, prevalensi urtikaria
belum diketahui pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-
19 tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78% (Siannoto, 2017).
Urtikaria kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan perbandingan
perempuan: laki-laki adalah 2:1, urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-
60 tahun (usia rata-rata 40 tahun) . Sebagian besar anak-anak (85%) yang mengalami
urtikaria, tidak disertai angioedema. Sedangkan 40% dewasa yang mengalami
urtikaria, juga mengalami angioedema. Sekitar 50% pasien urtikaria kronis akan
sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan
sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih
dari 10 tahun (Menaldi, 2017).

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko penyakit urtikaria dapat meningkat apabila :

a. Memiliki bentuk reaksi alergi lain.


b. Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang.
menunjukkan penurunan autosomal dominant.
c. Faktor psikis seperti stress kesedihan, dan depresi dapat memperburuk ticaria
yang sudah ada sebelumnya dan juga menyebabkan urtikaria.
d. Faktor penyakit sistemik dapat menyebabkan urtikaria kronis. Adanya penyakit
tiroid dan penyakit rematik seperti lupus eritosus sistemik, limfoma, leukemia,
dan karsinoma dapat diselidiki sesuai kebutuhan (Aslan Kayıran, 2018).

2.5 Diagnosis
Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin;
tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah menentukan tipe
dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi (Siannoto, 2017).

6
2.5.1 Anamnesis
Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif urtikaria,
dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis tampak lesi urtika
(eritema dan edema setempat yang berbatas tegas) dengan berbagai bentuk dan
ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi tampak lebih pucat (Menaldi, 2017).
Riwayat pemriksaan klinis harus mencakup: 
 Frekuensi, ukuran, distribusi dan durasi lesi: untuk menentukan jenis urtikaria 
 Konsumsi makanan atau obat baru atau tidak biasa, infeksi baru, atau
partisipasi dalam atau paparan aktivitas baru, lokasi atau produk atau bahan
kimia - untuk menentukan pemicu potensial 
 Paparan bahan kimia atau inhalan di tempat kerja - untuk menentukan pemicu
jangka panjang yang potensial 
 Riwayat episode serupa dan respons terhadap pengobatan
 Riwayat atopi pribadi dan keluarga - lebih mungkin menjadi urtikaria yang
disebabkan alergi (Novell et al., 2015).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan kulit ditemukan :
Urtikaria ditandai secara khas oleh timbulnya urtika secara cepat.
a. Lokalisasi: Pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan
leher
b. Efloresensi: Eritema dan edema setempat (urtika) berbatas tegas, kadang-
kadang bagian tengah tampak pucat. Diseertai rasa gatal atau
kadang sensasi terbakar dan berakhir cepat, kulit kembali ke
kondisi normal biasanya 1-24 jam
c. Ukurannya: Dari beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari
lentikular, numular, sampai plakat (PERDOSKI, 2017)

2.5.3 Lesi asimptomatik,


papul poligonal, atau
7
plak berwarna
kekuningan ,
2.5.4 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.5 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.6 Pembesaran lambat,
dimulai dari papul kecil.
Mulai dari beberapa bulan
2.5.7 sampai beberapa
tahun

8
2.5.8 Lesi asimptomatik,
papul poligonal, atau
plak berwarna
kekuningan ,
2.5.9 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.10 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.11 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
9
2.5.12 sampai beberapa
tahun
2.5.13 Lesi
asimptomatik, papul
poligonal, atau plak
berwarna kekuningan ,
2.5.14 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.15 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.16 Pembesaran
lambat, dimulai dari
10
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.17 sampai beberapa
tahun
2.5.18
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Histopatologi
 Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan
urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosi (Menaldi, 2017). Pada
pemeriksaan histopatologi didapatkan udem pada dermis atas dan tengah,
disertai dilatasi venula postkapiler dan pembuluh limfatik dermis atas
(PERDOSKI, 2017). Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak, pelebaran
kapiler di papila dermis, geligi epidermis mendatar, serat kolagen
membengkak, peningkatan jumlah sel mast.

Gambar: Histopatologi urtikaria


2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam (Menaldi, 2017).
3. Pemeriksaan gigi, Telinga Hidung Tenggorokan (THT) dan usapan
vagina.

11
Pemeriksaan ini untuk mencari fokus infeksi dan menyingkirkan
dugaan adanya infeksi fokal (Menaldi, 2017).
4. Pemeriksaan kadar lgE total dan eosinofil
Pemeriksaan ini untuk mencari kemungkinan kaitannya dengan faktor
atopi. Pemeriksaan kadar IgE total untuk mendeteksi penyakit alergi dan
infeksi parasit. Eosinofi lia adalah peningkatan jumlah eosinofi l lebih dari 6%
atau jumlah absolut lebih dari 500. Penyebabnya antara lain: respon tubuh
terhadap neoplasma, penyakit Addison, reaksi alergi, penyakit collagen
vascular atau infeksi parasit. (Menaldi, 2017).
5. Tes Kulit
Meskipun terbatas kegunaannya dapat digunakan untuk membantu
diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes
intradermal dapat digunakan untuk mencari allergen inhalan, makanan
(Menaldi, 2017).

Gambar: Patch Test


6. Uji Serum Autolog
Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya urtikaria autoimun (Menaldi, 2017)
7. Tes Fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu. Tes dengan es (ice cube test)
biasanya digunakan untuk mendiagnosis Cold Urticaria (Menaldi, 2017).

2.6 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang juga
mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs) dan
vascular adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan

12
kemotaksis. Pelepasan mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast
akibat rangsangan atau paparan dari alergen. Ada beberapa agen yang dapat
mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamin antara lain substansi P, Vasoactive
intestinal polypeptide (VIP), latex, surfaktan, dextran, morfin dan codein (Fitria,
2016).
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan aktivasi sel mast, digolongkan menjadi :
1. Faktor imunologik yang terdiri atas : hipersensitivitas tipe cepat yang
diperantarai lgE, contohnya alergi obat Aktivasi komplemen jalur klasik maupun
altematif, menghasilkan anafilatoksin (C3a, C4a dan C5a) yang menyebabkan
pelepasan mediator sel mast
2. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel mast oleh
penyebab, misalnya bahan kimia pelepas mediator (morfin, kodein, media radio-
kontras, aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, benzoat), faktor fisik (suhu,
mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik) (Menaldi, 2017).
2.7 Patofisiologi
Urtikaria terjadi akibat pelepasan histamin, bradikinin, leukotrien C4,
prostaglandin D2, dan zat vasoaktif lainnya dari sel mast dan basofil di dermis. Zat
ini mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga
menyebabkan ekstravasasi plasma ke dalam dermis, yang menyebabkan terjadinya
edema setempat dan eritrema. Pruritus urtikaria yang intens adalah akibat dari
histamin yang dilepaskan ke dermis merangsang serabut saraf di dermis. Satu studi
menunjukkan bahwa kadar D dimer berkorelasi dengan keparahan urtikaria akut dan
dapat berfungsi sebagai penanda keparahan penyakit. (Elston, 2019).
Histamin adalah ligan untuk 2 reseptor yang terikat membran, yaitu
reseptor H1 dan H2, yang terdapat pada banyak jenis sel. Aktivasi reseptor histamin
H1 pada sel otot endotel dan otot polos menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler. Aktivasi reseptor histamin H2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan
venula.(Elston, 2019).

2.8 Diagnosis Banding


a. Urtikaria
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama pucat atau

13
kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa
gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk (Menaldi, 2017). Banyak faktor
yang mungkin bertanggung jawab dalam etiologi penyakit. Lokalisasi pada
badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan leher. Efloresensi:
Eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak pucat. Diseertai rasa gatal atau kadang sensasi terbakar dan berakhir
cepat, kulit kembali ke kondisi normal biasanya 1-24 jam Ukurannya: Dari
beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari lentikular, numular,
sampai plakat (PERDOSKI, 2017) prognosis baik.

Gambar: Urtikaria
b. Pitriasis Rosea
Erupsi papulo skuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi
khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai
dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus (Perdana, 2018).
Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, kelompok usia
10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan. Gejala subjektif biasanya
tidak ditemukan, tetapi dapat disertai gatal ringan maupun sedang
(PERDOSKI, 2017). Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan
keluhan tambahan: Timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang
tertutup pakaian berbentuk buiat panjang mengikuti lipatan kulit. Diawali
suatu bercak yang besar di sekitarnya terdapatbercak agak kecil.
Ukuranbercak dari seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam. Dapat
didahului oleh gejala prodromal ringan seperti badan lemah, sakit kepala, dan
sakit tenggorokan. Lokalisasi (dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada
tempat yang tertutup pakaian), efloresensi: makula eritroskuamosa anular dan
solitar, benfuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian
sentral bersisik, agak berkeringat, sumbu panjang lesi sesuai dengan garis
lipatan kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi
inisial (herald patch = medallion) biasanya solitar, bentuk oval, anular,

14
berdiameter 2-6 cm. jarang terdapat lebih dari t herald patch. Prognosis baik,
dapat sembuh dalam waktu 6 minggu (Perdana, 2018).

Gambar: Pitriases Rosae

c. Dermatitis Kontal Alergi


Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Dapat
terjadi pada semua jenis umur dengan frekuensi laki-laki dan wanita
sama.Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan:
Kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul eritema, papula, vesikel dan
erosi. Penderita selalu mengeluh gatal. Lokalisasi (semua bagian tubuh dapat
terkena), efloresensi (eritema numular sampai dengan plakat, papula dan
vesikel berkelompok disertai erosi numular hingga plakat, terkadang hanya
berupa makula hiperpigmentasi dengan skuama halus) Prognosis umumnya
baik (Perdana, 2018).

15
Gambar: Dermatitis Kontak Alergi

2.9 Penatalaksanaan
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EEACI (European Academy of
Allergy and Clinical Immunology)/GA2 LEN (the Global Allergy and Asthma
European Network)/EDF (the European Dermatology Forum)/WAO (World Allergy
Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and
Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010 (Siannoto, 2017).
2.9.1 Non Farmakologi
Tidak ada

2.9.2 Farmakologi
Tujuan utama terapi farmakologi adalah menghilangkan keluhan.
1. Terapi Topikal
Pemberian terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak
kocok atau losio yang mengandung mentol 0.5-1% atau kalamin
(Menaldi, 2017).
2. Terapi Sistemik
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Panduan terapi
menurut EEACI/ GA2 LEN/EDF/WAO (Menaldi, 2017) yaitu:
a. Antihistamin H1
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine,
bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine) memiliki
efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan
baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila
keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif
selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat
ditingkatkan sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan
(Siannoto, 2017).
Antagonis H2 simetidine atau ranitidine diberikan dalam

16
kombinasi dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis. Meskipun
efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat bisa diberikan sebelum
terapi lini kedua (Siannoto, 2017).
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh MDV pada
tahun 2011 untuk pengelolaan urtikaria kronis dengan menggunakan
antihistamin H1 non-sedasi, yaitu:
 Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap
setelah 2 minggu
 AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala
menetap setelah 1-4 minggu
 AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + anatagonis leukotrien,
bila terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik
3-7 hari
 Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan siklosporin
A, AH2, dapson, omalizumab
 Eksaserbasi di atasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari
(Menaldi, 2017).
Tabel 2. Antihistamin yang digunakan dan diindikasi untuk pengobatan
urtikaria.
Golongan Obat Dosis Frekuensi
Antihistami H1 (Generasi I non-sedatif)
Hydroxizine 0,5-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 25-100 mg)
Diphenhydramin 1-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 50-100 mg)
Chlorpheniramin 0,25 mg/kg/hari Setiap 8 jam
Maleat (dibagi 3 dosis)
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin Dewasa:10-40 mg/hari >24 bulan: 1 kali/hari
Anak-anak: 5-10 ml/hari 6-24 bulan:2 kali/hari
Fexofenadin 6-11 tahun: 30 mg 2 kali/hari
> 12 tahun: 60 mg
Dewasa : 120 mg 1 kali/hari

17
Loratadin 2-5 tahun: 5 mg 1 kali/hari
> 6 tahun: 10 mg

Desloratadin 6-11 bulan: 1 mg 1 kali/hari


1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg
Antihistamin H2
Cimetidine Bayi: 10-20 mg/kg/hari Tiap 6-12 jam (terbagi
Anak: 20-40 mg/kg/hari 2-4 dosis)
Ranitidine 1 bln-16 tahun: Tiap 12 jam (terbagi
5-10 mg/kg/hari dalam 2 dosis)
b. Kortikosteroid
Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan penggunaan
terapi lini ketiga, yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1 sedasi
atau AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis leukotrien,
misalnya zafirlukast atau montelukast (Menaldi, 2017).
Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi lesi, dapat
diberikan kortikosteroid sistemik (dosis 10-30 mg prednison) selama 3-7
hari (Menaldi, 2017).
c. Siklosporin
Siklosporin dikenal untuk mengurangi pelepasan histamin dari sel
mast dan basofil dan mempengaruhi aktivitas T cell. Berdasarkan bukti
dari beberapa uji coba terkontrol secara acak, ini direkomendasikan
sebagai terapi lini ketiga. Karena kemanjurannya yang lebih baik,
ciclosporin dan omalizumab lebih disukai daripada montelukast. Namun,
profil keamanan omalizumab lebih unggul daripada terapi sistemik
lainnya untuk urtikaria termasuk ciclosporin (Radonjic-Hoesli et al.,
2018).
Dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik, siklosporin
(5mg/kg/hari) telah dilaporkan menyebabkan remisi yang lebih cepat dan
jangka panjang. Tingkat respons klinis antara 64% dan 95%. Ketika

18
durasi pengobatan selesai, 50% pasien mungkin mengalami remisi
hingga 9 bulan, tetapi pada beberapa pasien, kekambuhan dapat terjadi
setelah penghentian pengobatan. Dalam kasus ini, terapi tenance utama
dapat dipertahankan dengan dosis 1,5-2 mg / kg / hari hingga 2 tahun.
Semakin lama durasi penggunaan, semakin tinggi risiko efek
sampingnya. Ini digunakan sebagai obat off-label untuk pengobatan
urtikaria kronik spontan. Meskipun siklosporin adalah agen yang sangat
efektif dalam pengobatan urtikaria kronik spontan , obat ini sebaiknya
dipilih pada pasien dengan urtikaria kronis yang resisten terhadap
antihistamin dosis tinggi dan pengobatan omalizumab, terutama karena
risiko efek samping yang mungkin terjadi selama penggunaan jangka
panjang (Aslan Kayıran, 2018).

d. Omalizumab
Antibodi anti-IgE omalizumab telah terbukti efektif dan merupakan
terapi yang dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan urtikaria
kronik spontan yang refrakter terhadap antihistamin. Sejauh ini,
mekanisme kerja omalizumab belum sepenuhnya dipahami. Sebuah
tinjauan baru-baru ini meringkas mekanisme potensial yang mencakup
pengurangan aktivasi sel mast, membalikkan basopenia, dan
meningkatkan fungsi reseptor IgE basofil, mengurangi aktivitas
autoantibodi IgG dan penurunan kelainan koagulasi yang terkait dengan
aktivitas penyakit. Omalizumab 300 mg setiap 4 minggu mencapai
respon cepat dan efek berkelanjutan dan secara signifikan mengurangi
kejadian angioedema. Dalam kasus terapi jangka panjang yang
diperlukan, pengurangan dosis omalizumab menjadi 150 mg dan / atau
perpanjangan interval aplikasi direkomendasikan (Radonjic-Hoesli et al.,
2018).
e. Antagonis reseptor leukotrien
Antagonis reseptor leukotrien, misalnya zafirlukast atau montelukast
(Menaldi, 2017). Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat
rekomendasinya rendah. Dari beberapa penelitian, disimpulkan bahwa
terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria kronis spontan yang
19
berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak bermanfaat
pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada pasien yang tidak
merespons pengobatan antihistamin (Siannoto, 2017).

Gambar 9: Alogaritma Terapi Urtikaria

the Dermato-allergy Working Group of


the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
the Dermato-allergy Working Group of
the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
the Dermato-allergy Working Group of
the Turkish Society of Dermatology and
the Turkish Dermato-immunology and
Allergy Association
2.10 Komunikasi dan Edukasi

20
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan menggunakan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis
 Pasien harus menghindari faktor-faktor yang memperberat
seperti terlalu panas, stres, konsumsi alkohol, dan agen fisik
 Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang
tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan
fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan
 Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan menghindarkan
garukan untuk mencegah infeksi sekunder (Kaplan, 2018).

2.11 Komplikasi
Lesi-lesi urtikaria bisa sembuh tanpa komplikasi. Namun pasien dengan gatal
yang hebat bisa menyebabkan purpura dan excoriasi yang bisa menjadi infeksi
sekunder. Syok anafilaktik karena vasodilatasi dari pembuluh darah karena reaksi
hipersensitif akut. Pasien dengan keadaan penyakit yang berat bisa mempengaruhi
kualitas hidup (Kaplan., 2018).
2.12 Prognosis
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan
mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi dokter
maupun pasien, karena membutuhkan penanganan yang komprehensif untuk mencari
penyebab dan menentukan jenis pengobatannya. Walaupun umumnya tidak
mengancam jiwa, namun dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar.
Urtikaria yang luas atau disertai dengan angioedema merupakan kedaruratan dalam
ilmu kesehatan kulit dan kelamin, sehingga membutuhkan penanganan yang tepat
untuk menurunkan mortalitas (Menaldi, 2017).

2.13 Profesionalisme
 Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian dosis yang
adekuat, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar
 Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit
dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.

21
BAB III

KESIMPULAN

Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama pucat atau
kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal
yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. Pada penyelidikan ternyata hamper 80%
tidak diketahui penyebabnya. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60
tahun (usia rata-rata 40 tahun).
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala
klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menemukan agen penyebabnya.
Berdasarkan dari anamnesa pasien, keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar,
atau tertusuk pada daerah lesi. Pada pemeriksaan kulit ditemukan urtika pada badan,
tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan leher. Efloresensi urtikaria eritema
dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Diseertai rasa gatal atau kadang sensasi terbakar dan berakhir cepat, kulit kembali ke
kondisi normal biasanya 1-24 jam. Ukurannya lentikular, numular, sampai plakat.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan histopatologi walaupun jarang
dilakukan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan gigi, Telinga Hidung
Tenggorokan (THT) dan usapan vagina, Pemeriksaan kadar lgE total dan eosinophil, ,
Tes kulit, Tes fisik seperti ice cube test.
Pasien perlu disarankan untuk menghindari faktor-faktor yang menyebabkan
dan memperberat urtikaria, menjelaskan ke pasien tantang penyakit urtikaria berupa
penyebab, terapi dan prognosisnya. Komplikasi dari urtikaria berupa purpura dan
exoriasi, infeksi sekunder, syok anafilaktik dan penurunan kualitas hidup. Prognosis
urtikaria baik, umumnya tidak mengancam jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aslan Kayıran, M. (2018). Diagnosis and Treatment of Urticaria in Primary Care.


Northern Clinics of Istanbul. https://doi.org/10.14744/nci.2018.75010
2. Elston, D. M. (2019). Mendeley. In Journal of the American Academy of
Dermatology. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2019.06.1291
3. Fitria. (2016). ASPEK ETIOLOGI DAN KLINIS PADA URTIKARIA DAN
ANGIOEDEMA. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
4. Kaplan, P. A. (2018). Diagnosis, pathogenesis, and treatment of chronic spontaneous
22
urticaria. Allergy and Asthma Proceedings.
5. Menaldi, S. L. S. (2017). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Ketujuh.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. In Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Novell, S. V., Amat, L. M., & Seuma, J. M. C. (2010). Diagnosis and treatment of
urticaria. FMC Formacion Medica Continuada En Atencion Primaria, 17(5), 292–
302. https://doi.org/10.1016/S1134-2072(10)70115-8
7. Perdana. (2018). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. In Journal of
Chemical Information and Modeling.
8. PERDOSKI. (2017). Panduan Praktik Klinis. In Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin.
9. Radonjic-Hoesli, S., Hofmeier, K. S., Micaletto, S., Schmid-Grendelmeier, P.,
Bircher, A., & Simon, D. (2018). Urticaria and Angioedema: an Update on
Classification and Pathogenesis. In Clinical Reviews in Allergy and Immunology.
https://doi.org/10.1007/s12016-017-8628-1
10. Siannoto, M. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. Diagnosis Dan
Tatalaksana Urtikaria.

23

Anda mungkin juga menyukai