Dokter Pembimbing :
dr. Satria Yanis, Sp. KK
Disusun Oleh :
Muhammad Rizki Hardiansyah (19360200)
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya sehingga refarat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa refrat ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa,
dan dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif
dari semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang
timbul mendadak dan/atau disertai angiodema, ukurannya bervariasi, biasanya
dikelilingi eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam
1-24 jam. Angioedema terjadi akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan
jaringan subkutan, biasanya lebih dirasakan sebagai sensasi nyeri, dan menghilang
setelah 72 jam.
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus.
Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (<6
minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu). Urtikaria harus dibedakan dengan
kondisi atau penyakit lain yang menimbulkan peninggian kulit atau angioedema,
seperti tes tusuk kulit, reaksi anafilaksis, sindrom auto-inflamasi, dan hereditary
angioedema.
Urtikaria mempunyai dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup
penderitanya, meskipun sering dianggap ringan. Prevalensi urtikaria di dunia
berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi yang diteliti. Prevalensi
hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin meningkat di Australia,
Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak usia 0-4 tahun.
Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai pada usia 5-34
tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia >65 tahun.
Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia rata-rata 40
tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Penelitian di
Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun, mendapatkan
prevalensi urtikaria sebesar 42,78%.5 Sebanyak 8-20% populasi diperkirakan
pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan sebanyak
0,1% akan berkembang menjadi, urtikaria kronis spontan. Prevalensi urtikaria
kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan
berkisar antara 0,1-0,3% pada anak. Prevalensi urtikaria kronis pada dewasa
1
berdasarkan durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-12
bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%).1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat atau
kemerahan,umumnya di kelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa
gatal yang berat,rasa tersengat atau tertusuk.
Angio edema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria,namun terjadi pada
lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan
jaringan, Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai
rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh manapun,namun lebih
sering ditemukan didaerah perioral, periorbital, lidah, genitalia dan ekstremitas.2
3
kontras,aspirin, obat anti inflamasi non steroid, benzoat),faktor fisik (suhu,
mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).
Penyebab urtikaria sangat beragam, diantaranya: obat ,makanan dan food
additive, infeksi dan infestasi, proses inflamasi, penyakit sistemik dan keganasan,
proses autoimun dan rangsangan fisik. Lebih dari 50% urtikaria kronis adalah
idiopatik. Obat merupakan penyebab tersering urtikaria akut dan dapat
menimbulkan urtikaria secara imunologik maupun non imunologik. Jenis obat
yang sering menimbulkan urtikaria adalah penisilin dan derivatnya, sulfonamid,
analgesik, aspirin dan obat anti-inflamasinon-steroid lain, Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor (umumnya dihubungkan dengan angioedema), narkotik
(kodein dan morfin), dan alkohol. Makanan juga merupakan penyebab urtikaria
akut, dan jenis makanan yang seringdihubungkan dengan urtikaria adalah cokelat,
makanan laut, telur, susu,kacang-kacangan, tomat, stroberi, keju dan bawang.
Sebagian kecil (<10%) urtikaria kronis disebabkan oleh food additive misalnya
ragi, salisilat, asamsitrat, asambenzoat, sulfit dan pewarna makanan.
Urtikaria akut dapat timbul akibat infeksi saluran napas atas terutama infeksi
streptokokus. Infeksi tonsil, gigi, sinus, kandung empedu,prostat,ginjal dan
salurah kemih dapat menyebabkan urtikaria akut maupun kronis. Infeksi virus dan
infeksi jamur pada kulit dan kuku juga termasuk keadaan yang dapat
menimbulkan urtikaria. Infestasi parasit, termasuk infestasi cacing, giardia dan
amuba perlu dipertimbangkan sebagai penyebab urtikaria di negara berkembang.
Pada negara tropis dianjurkan untuk menambahkan obat cacing pada pasien
urtikaria tanpa mempertimbangkan ada tidaknya eosinofilia.Tungau debu rumah
merupakan allergen yang sering dijumpai dan sensitivitas terhadap tungau debu
rumah telah terbukti pada pasien urtikaria kronis. Saat ini telah diketahui bahwa
proses infamasi kronis akibat berbagai penyakit juga dapat menimbulkan
urtikaria. Hal tersebut dibuktikan pada gastritis,esofagitis refluks,dan peradangan
empedu.
Urikaria kronis juga dapat berhubungan dengan penyakit sistemik dan
keganasan,misalnya keadaan hipertiroid maupun hipotiroid,penyakit Hodgkin dan
leukemia limfositik kronis. Pada25%-45% pasien urtikaria kronik idiopatik,
4
dijumpai adanya auto antibodi fungsional terhadap reseptor IgE padasel mast
(FceR1) atau terhadap IgE yang dapat menimbulkan pelepasan mediator dari sel
mast,dan dikenal sebagai urtikaria autoimun.Berbagai rangsangan fisis dapa
tmenimbulkan urtikariadiantaranya suhu (panas dan dingin), sinar matahari,
radiasi dan tekanan mekanis (dermo grafisme dan delayed pressure urticaria).
Jenis urtikaria ini sering disebut urtikaria fisik, dan sebagian ahli memisahkannya
dalam golongan tersendiri.2
5
2.4 Diagnosis
6
1.Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi infestasi, atau kelainan alat dalam.
2.Pemeriksaan kadar igE total dan eosinophil untuk mencari kemungkinan
kaitannya dengan faktor atopi.
3.Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari
fokus infeksi.
4. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan
5. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk membuktikan
adanya urtikaria autoimun
6. Uji dermografisme dan uji dengan es batu untuk mencari penyebab fisik
7. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan
urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis. 2
2.7 Penatalaksanaan
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EEACI (European Academy of
Allergy and Clinical Immunology)/GA2LEN (the Global Allergy and Asthma
European Network)/EDF (the European Dermatology Forum)/WAO (World
Allergy Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology
and Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010.
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama, yaitu:
1. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus
2. Terapi simptomatis
-Identifikasi dan Eliminasi Faktor Penyebab/Pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang menyeluruh dan tepat.
Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor diduga penyebab, faktor ini
baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika terjadi kekambuhan setelah tes
provokasi.
7
- Terapi SimptomatisTujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan.
Panduan terapi menurut EEACI/GA2LEN/EDF/WAO
1. Antihistamin
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine, bilastine, cetirizine,
desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan
rupatadine) memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi
dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila
keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2
minggu, dosis antihistamin-H1 non-sedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali lipat
dosis awal yang diberikan
Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan, hanya direkomendasikan
sebagai terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak terkontrol dengan antihistamin
generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal
malam hari karena mempunyai efek sedatif.
2. Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1 pada
urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat bisa
diberikan sebelum terapi lini kedua.
3. Antagonis reseptor leukotrien.
Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat rekomendasinya rendah.
Dari beberapa penelitian, disimpulkan bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada
urtikaria kronis spontan yang berhubungan dengan aspirin atau food additives,
tetapi tidak bermanfaat pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada
pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut urtikaria
kronis.Belum ada konsensus yang mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan
dalam dosis terendah yang memberikan efek dalam periode singkat.Salah satu
kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg
setiap minggu.
8
5. Agen anti-inflamasi Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat
dipertimbangkan karena harganya terjangkau dan efek sampingnya minimal,
antara lain menggunakan dapson, sulfasalazine, hidroksiklorokuin, dan kolkisin.
6.Imunosupresan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin (siklosporin).
Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat
mofetil) dapat dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons
antihistamin generasi pertama.
7. Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab. Omalizumab
dianggap bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek
samping jangka panjang masih belum diketahui. 1
2.8 Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria
akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai
9
angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut
akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka hospitalisasi meningkat 3
kali lipat pada usia 0-4 tahun.Prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak
30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5
tahun.1
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12