RINITIS VASOMOTOR
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Elvia, Sp.T.H.T.K.L, FICS
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih
sayang dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Rinitis Vasomotor”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas
menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL,
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
Penulis
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1.
Definisi ............................................................................................ 3
2.2.
Etiologi ............................................................................................ 3
2.3.
Epidemiologi ................................................................................... 4
2.4.
Patofisiologi .................................................................................... 4
2.5. ..........................................................................................................
Manifestasi Klinis ............................................................................... 6
2.6. ..........................................................................................................
Diagnosis ............................................................................................ 6
2.7. Tatalaksana ...................................................................................... 8
2.8. Edukasi ............................................................................................ 11
2.9. Komplikasi ...................................................................................... 12
2.10. Prognosis ......................................................................................... 12
BAB III RINGKASAN .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang sering digunakan untuk menggambarkan gejala rinitis yang terkait dengan
non alergi, pemicunya tidak menular dan tanpa etiologi yang jelas. Patofisiologi
rinitis non alergi bersifat kompleks dan sebagian disebabkan oleh
ketidakseimbangan input parasimpatis dan simpatis pada mukosa hidung. 3 Rinitis
Vasomotor ditandai oleh reaksi hiperaktif terhadap berbagai iritasi seperti udara
panas, udara dingin, udara terlalu lembab atau terlalu kering, asap rokok, bau
menyengat, debu dan polutan lingkungan lainnya. Gambaran rinitis vasomotor
mirip dengan rinitis alergi: gatal, bersin, sekresi cairan encer, obstruksi hidung
dan hiposmia. Perbedaan rinitis vasomotor dengan rinitis alergi yaitu pada rinitis
vasomotor hasil IgE spesifik alergen negatif. Rinitis vasomotor disebabkan karena
ketidakseimbangan fungsi sistem neurovegetatif yang menyebabkan hiper-
reaktifitas membrane mukosa hidung.8
Pasien dengan rhinitis non alergi sering menunjukkan gejala yang sama
dengan pasien rhinitis alergi tetapi lebih sedikit mengeluh mengenai bersin dan
hitung gatal sedangkan keluhan hidung tersumbat, rinore, sakit kepala dan post
nasal drip. Pemicu pada pasien rinitis non alergi termasuk iritan, perubahan cuaca
dan bahan yang berbau kuat lainnya. Namun, banyak pasien rinitis non alergi
yang tidak dapat mengidentifikasi pemicu spesifik sehingga mencerminkan
kurangnya kesadaran mengenai apa yang menyebabkan gejala dan memungkinkan
peluang paparan.9
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan
obat topical hidung dekongestan). Rinitis ini digolongkan menjadi non alergi bila
adanya alergi/allergen spesifik tidak dapt diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi
yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).10
Rinitis vasomotor atau rinitis idiopatik atau rinopati non-alergi adalah
gangguan kronis dengan gejala bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat
intermiten atau persisten yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak diketahui.
kriteria rinopati non alergi (rinitis vasomotor atau rinitis idiopatik):11
1. Memiliki riwayat gejala hidung tersumbat, rinore dan postnasal drip selama 2
tahun.
2. Gejala kronis dan menetap dengan hilang timbul dan diperberat yang
berhubungan dengan paparan dingin, perubahan iklim, bau yang menyengat,
asap rokok, polusi, bahan kimia dan alkohol.
3. Hasil skin prick test negative terhadap alergen (tahunan, musim).
4. Hasil skin prick test postif terhadap histamin.
5. Hasil tomografi sinus normal, untuk meningkirkan sinusitis.
2.2. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti untuk rinitis vasomotor belum diketahui, namun terdapat
beberapa hipotesis yang telah dikemukakakn untuk menerangkan etiologi rinitis
vasomotor.10
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Bagaimana tepatnya saraf otonom bekerja belum diketahui dengn pasti.
Rinitis vasomotor diduga sebgai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf
otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktifitas sistem
parasimpatis.
2. Neuropeptida
3
Adanya peningkatan pelepasan neuropeptida menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar sehingga terjadi peningkatan respon
hiper-reaktifitas hidung.
3. Nitrit Oksida (NO)
Adanya peningkatan kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di
lapisan epitel hidung menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel
sehingga terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks
vascular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat menjdi komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanisme neurogenik dan atau neuropeptida.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Istilah rinitis vasomotor non alergi disebut juga rinitis idiopatik yang
berarti gejala rinits terjadi dikarenakan seseuatu yang tidak berkaitan dengan
alergi. Sebanyak 33% pasien dengan rinitis diperkirakan berasal dari rinitis non
alergi dan hamper 65% pasien dengan rinitis alergi juga memiliki gejala yang
memburuk terhadap rangsangan non alergi. Rinitis vasomotor bentuk yang paling
umum dari rinitis non alergi yaitu sekitar 71% dari semua kondisi rinitis non
alergi.12
Sekitar19 juta orang Amerika menderita rinitis nonalergi dengan
prevalensi global sekitar 200-450 juta. Ratio prevalesi rinitis alergi dengan
nonalergi adalah 3:1.11 Rinitis non alergi cenderung terjadi pada usia yang lebih
tua.4 Rinitis non alergi lebih banyak mempengaruhi wanita dibandingkan pria.3
2.4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang pasti untuk rinitis vasomotor belum diketahui, namun
terdapat beberapa hipotesis yang telah dikemukakakn untuk menerangkan
patofisiologi rinitis vasomotor.10
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Mukosa hidung memiliki suplai darah yang kaya. Pembuluh darahnya
sama dengan jaringan erektil yang memiliki sinusoid vena atau danau yang
4
dikelilingi oleh serat-seerat halus otot yang bertindak sebagai sfingter dan
mengontrol pengisian atau pengosongan sinusoid.7
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut
simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan
rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebgai
“siklus nasi”. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk bernapas
dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.10
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nucleus salivatori superior menuju
ganglion sfenopalatina dan membentuk n.vidianus, kemudian menginfersi
pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi
pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang
menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehigga terjadi
kongesti hidung. Sistem saraf otonom berada di bawah kendali hipotalamus
sehingga emosi memainkan peran besar rinitis vasomotor dan pada rinitis
vasomotor sistem otonom ini tidak stabil.7
2. Neuropeptida
Terjadinya disfungsi hidung yang menyebabkan terjadinya peningkatan
respon pada hiper-reaktifitas hidung diakibatkan karena meningkatnya
rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Rangsangan abnormal
sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti
substance P dan calcitonin gene-related protein yang memnyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuar dan sekresi kelenjar.
3. Nitrit Oksida
Kadarnitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangsangan non spesifik berinterksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex
vascular dan kelenjar mukosa hidung.
5
2.5. MANIFESTASI KLINIK
Pada rinitis vasomotor gejala sering dicetuskan oleh rangsangan non
spesifik seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman alkohol,
makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan
kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan, stress/emosi. Pada kedaan normal
faktor tersebut tidak dirasakan sebgai gangguan.10
Gejala pada rinitis vasomotor memiliki gejala yang mirip dengan rinitis
alergi. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan dibedakan menjadi 3
golongan, yaitu: Bersin (sneezers), rinore (runners) dan tersumbat (blockers).
Gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung posisi. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa, dan jarang
disertai dengan gejala mata.10 Pada gejala bersin yang terjadi adalah bersin
paroksismal, dimana serangan bersin dimulai hanya pada pagi hari setelah bangun
tidur. Selain itu juga terdapat adanya post nasal drip.7 Gejala dapat memburuk di
pagi hari sewaktu bangun tidur. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan suhu
yang ekstrim atau udara lembab.10
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan.
Anamnesis:
Diagnosis umunya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu dengan
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat.
Dalam anamnesa dicari faktor yang mempegarui timbulnya gejala.10
Pada hasil anamnesis terdapat keluhan diantaranya:13
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi tidur pasien,
memburuk pada pagi hari dan jika terpajan lingkungan non-spesifik seperti
perubahan suhu atau kelembaban udara, asap rokok dan bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak
banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan dengan rinitis alergika.
4. Lebih sering terjadi pada wanita.
6
Faktor predisposisi: 13
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara
lain: Ergotamine, Klorpromazin, Obat antihipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
b. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi serta bau yang menyengat.
c. Faktor endokrin seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian
kontrasepsioral dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis seperti rasa cemas, tegang dan stress.
Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua atau juga bisa
pucat. Permukaan konka tampak licin atu berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada
rongga hidung ditemukan adanya sekret yang mukoid dan biasanya sedikit.
Sedangkan untuk jenis rinore serosa jumlahnya banyak.10 Untuk membedakan
edema dengan hipertrofi konka dokter dapat memberikan larutan Epinefrin
1/10.000 melalui tampon hidung. Pada edema, konka akan mengecil sedangkan
padahipertrofi tidak mengecil.13
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu:13
1. Kadar eosinofil padadarah tepi atau secret hidung.
2. Tes cukit kulit (skin prick test)
3. Kadar IgE spesifik.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan eosinofil pada sekret hidung,
namun jumlahnya sedikit. Hasil tes cukit biasanya negatif dan kadar IgE spesifik
tidak meningkat.10
7
Perbedaan Rinitis Nonalergi dengan Rinitis Alergi.9
Diagnosis Banding:13
1. Rinitis Alergi
2. Rinitis Medikamentosa
3. Rinitis Akut
2.6. TATALAKSANA
Tatalaksana pada rinitis vasomotor tergantung pada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam:10
1. Menghindari stimulus/faktor pencetus.
2. Pengobatan simtomatis dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutam garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Pemakaian kortikosteroid topical 100-
200 mikrograml dan dosis ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari,
pemakaian setidaknya selama 2 minggu. Pada kasus rinore berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang
dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal
yang mengandung lada.
Berdasarkan gejala yang menonjol:10
1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal.
8
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), gejala kongesti umumnya memberikan
respon baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor
oral.
3. Operasi dengan cara bedah-beku, elektro kauter atau konkotomi parsial konka
inferior.10 Pembedahan hanya dianjurkan pada sebagian kecil kasus. Indikasi
untuk intervensi pembedahan adalah sebagai berikut:14
1. Bentuk anatomi septum yang berpengaruh terhadap fungsinya.
2. Hipertrofi konka inferior yang resistensi dengan obat.
4. a. Neuroktomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada
n.vidianus (bila cara lain tidak memberikan hasil optimal). Komplikasi yang
dapat terjadi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia
atau anestesis infraorbita dan palatum.
b. Blocking ganglion sfenopalatina.
FARMAKOTERAPI
a. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal adalah terapi lini pertama untuk rinitis non alergi.15
Penggunaan obat antiinflamsi merupakan strategi terapi yang paling relevan.
Beclometasone dipropionat adalah molekul kortikosteroid yang telah lama
tersedia sebagai semprotan intranasal. Asam Hialuronat adalah komponen
fisiologis yang terdapat dalam banyak jaringan. Dalam bentuk yang tinggi
sehingga memiliki aktivitas antiinflamasi dan bersifat sebagai pelembab.8
Berdasarkan penelitian pada pasien yang menunjukkan adanya penurunan
gejala obstruksi hidung, postnasal drip, dan rinore dengan fluticasone propionate
(Flonase) intranasal dengan dosis 200 atau 400 mikrogram bila dibandingkan
dengan plasebo, walaupun tidak ada perbedaan dalam gejala pengurangan antara
dua dosis. Namun, terdapat penelitian lain yang tidak menunjukkan adanya
manfaat simptomatik untuk rinitis non alergi, kecuali untuk gejala bersin dengan
200 mikrogram fluticasone propionate sekali atau dua kali sehari.15
Subkelompok pasien dengan rinitis non alergi mungkin tidak respon dengan
kortikosteroid intranasal, terutama gejala yang dipicu oleh cuaca dan perubahan
9
suhu. Saat ini, fluticasone propionate dan beclomethasone adalah satu-satunya
kortikosteroid intranasal disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) A.S.
untuk pengobatan rhinitis non alergi, meskipun studi menyarankan kortikosteroid
intranasal lainnya, termasuk flunisolide, efektif untuk rinitis perennial.15
b. Antihistamin Intranasal
Antihistamin intranasal efektif untuk rinitis non alergi, karena sebagai anti-
inflamasi dan penghambat neuroinflamatori. Azelastine dan olopatadine (Patanol)
tersedia di Amerika Serikat, tetapi hanya azelastine yang disetujui FDA untuk
perawatan kronis rinitis non alergi. Berdasarkan penelitian, Azelastine adalah
yang terbaik yang menunjukkan efektivitas terhadap hidung tersumbat, rinore,
postnasal drip, dan bersin. Penelitian lain membandingkan azelastine 0,1% dengan
olopatadine tidak ditemukan adanya perbedaan efektifitas yang signifikan secara
statistik antara kedua obat dalam mengatasi hidung tersumbat, rinore, postnasal
drip, dan bersin serta tidak ada perbedaan dalam efek samping).15
c. Antikolinergik Intranasal
Ipratropium intranasal telah terbukti efektif dalam mengurangi rinore dan
merupakan monoterapi untuk pasien yang memiliki rinore sebagai gejala
dominan, khususnya mereka dengan rinitis non alergi alergi yang diinduksi oleh
cuaca. Meskipun intranasal ipratropium tersedia dalam 0,03% dan Konsentrasi
0,06%, hanya 0,03% yang disetujui FDA untuk pengobatan rinitis non alergi.
Ipratropium intranasal biasanya diberikan sebanyak satu atau dua semprotan dua
atau tiga kali per hari, meskipun dapat digunakan sesuai kebutuhan atau satu jam
sebelum paparan yang menyebabkan rinore. Sebuah penelitian membandingkan
beclomethasone, ipratropiumi dan gabungan keduanya menunjukkan bahwa terapi
kombinasi memiliki keunggulan efek pada rinore. Beclomethasone lebih efektif
daripada ipratropium dalam mengatasi gejala bersin dan hidung tersumbat.15
d. Dekongestan
Dekongestan efektif untuk mengatasi gejala hidung tersumbat. Dekongestan
oral (pseudoefedrin dan fenilefrin) telah terbukti efektif untuk hidung tersumbat
terkait dengan rinitis alergi, tetapi efek samping juga harus dipertimbangkan.
Dekongestan intranasal (oxymetazoline [Afrin] danfenilefrin) lebih kuat dan
bekerja cepat. Penggunaan jangka pendek harus dipertimbangkan untuk mengatasi
10
rinitis medikamentosa atau penggunaan dekongestan hidung pada hidung
tersumbat yang berulang.15
TERAPI LAINNYA
Irigasi hidung dengan saline atau saline hipertonik mungkin membantu
dalam pengobatan rinitis non alergi. Volume besar harian (lebih dari 150 mL)
irigasi salin hipertonik lebih efektif dari placebo. Selain irigasi hidung, capsaicin
intranasal mungkin bermanfaat namun terdapat efek samping seperti iritasi, rasa
terbakar, bersin dan batuk. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk irigasi dan
capsaicin intranasal dalam pengobatan rinitis non alergi. Operasi adalah pilihan
untuk pasien tertentu yang gejalanya tidak dikontrol secara memadai dengan
terapi tradisional dan mungkin paling efektif pada pasien dengan obstruktif yang
gejalanya signifikan.15
2.7. EDUKASI
Edukasi pasien sangat penting dalam mengelola rinitis vasomotor. Pasien
harus diingatkan untuk menghindari pajanan terhadap agen penyebab rinitis.
Langkah dalam menghindari alergen dan pengobatan cukup untuk mengurangi
sebagian besar simtom dan penyakit mukosa yang berhubungan dengan rinitis non
alergi. Jika rangsangan tidak dapat dihindari, memberikan edukasi mengenai pra-
perawatan dengan steroid nasal topikal atau histamine dapat mengurangi gejala.3
11
2.7. KOMPLIKASI
Gejala rinitis vasomotor kronis sering mengganggu kinerja dan kehilangan
produktifitas. Rinitis non alergi kronis menempatkan banyak beban fisik dan
ekonomi pada penderita. Pengobatan gejala rinitis dapat menimbulkan efek
samping seperti hidung kering, jantung berdebar, epistaksis dan kantuk. 3 Pada
kasus yang lama dapat menyebabkan polip hidung, rinitis hipertrofi dan sinusitis.7
2.8 PROGNOSIS
Rinitis non alergi adalah kondisi persisten yang yang biasanya terjadi
seumur hidup. Selain itu pasien dengan rinitis non alergi dapat berkembang
menjadi komorbiditas baru, dengan asma yang paling umum dan sinusitis. 3
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.
Hal tersebut dikarenakan golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
sehingga perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.10
12
BAB III
RINGKASAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14
Disease and Surgical Management. Springer Nature.
12. Saha, Somnath., Majumder, NK., Thombre, DP. Clinical and Experimental
Studyon Thermoregulatory System and its Relation with Vasomotor
Rhinitis. Bengal Journal of Otolaryngology and Head Neck Surgery. 2019;
27(3):23-222.
13. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktis Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2017. Jakarta: Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia.
14. Scadding, GK., Kariyawasam HH., Scadding, G. BSACI Guideline for The
Diagnosis and Mnagement of Allergic and Nonallergic Rhinitis (Revised
Edition 2017; First Edition 2007). Clin Exp Allergy. 2017; 47:856-889.
15. Sur, DKC., Plesa, ML. Chronic Nonallergic Rhinitis. American Academy
of Family Physicians. 2018; 98(3):171-176.
15