Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Rhinitis Alergi
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik dan
Syarat-Syarat Mengikuti Ujian pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Unsyiah/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Iqbal Farhan Sayudo : 2007501010020


Amalia Asfa Ginting : 2007501010002
Dea Fatimah Syifani Haq : 2007501010007

Pembimbing 1: Dr.dr. Azwar Ridwan, Sp.MK, Sp. THT-KL


Pembimbing 2: dr. Yerni Kartina

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan karunia
kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Rhinitis Alergi”.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior pada
Bagian/Ilmu Kesehatan THTKL, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Dr.
dr. Azwar Ridwan, Sp.MK, Sp. THT-KL (K) dan dr. Yerni yang telah banyak meluangkan waktu
untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus
ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah
memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan
penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan
Hikmah- Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 2 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Tujuan Laporan Kasus................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 4


2.1 Anatomi Hidung.......................................................................... 4
2.2 Definisi........................................................................................ 5
2.3 Epidemiologi............................................................................... 5
2.4 Etiologi........................................................................................ 6
2.5 Faktor Risiko............................................................................... 6
2.6 Patofisiologi................................................................................. 6
2.7 Manifestasi Klinis........................................................................ 8
2.8 Diagnosis..................................................................................... 9
2.9 Diagnosis Banding....................................................................... 9
2.10 Tatalaksana.................................................................................. 9
2.11 Komplikasi.................................................................................. 11
2.12 Prognosis..................................................................................... 11

BAB III LAPORAN KASUS..................................................................... 12


BAB IV ANALISA KASUS....................................................................... 15
BAB V KESIMPULAN............................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 18

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di rongga hidung
yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan terhadap suatu alergen. Golongan
alergen yang paling sering menimbulkan rhinitis alergi adalah alergen indoor seperti tungau debu
rumah dan komponen sel epitel bulu peliharaan, serta alergen outdoor seperti serbuk sari dan
bagian tumbuhan.(1)
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit radang yang terjadi pada mukosa hidung yang
disebabkan karna adanya reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitisasi
oleh alergen. Berdasarkan sifat berlangsungnya, rhinitis alergi dibedakan menjadi dua macam,
yaitu rhinitis alergi musiman (seasonal, polinosis) dan rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Namun sekarang rhinitis alergi menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impaction Asthma),
2017 diklasifikasikan berdasarkan sifat berlangsungnya menjadiintermiten (kadang-kadang) dan
persisten (menetap). Dan untuk derajat berat ringannya dibedakan menjadi ringan dan sedang-
berat. (2)

Manifestasi rhinitis alergi meliputi gejala hidung (hidung tersumbat, rhinorrhea, hidung
gatal, dan bersin-bersin) dan gejala okuler (gatal, kemerahan, dan lakrimasi yang berlebihan).
Menurut pedoman ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), rhinitis alergi
didefinisikan jika terdapat dua atau lebih gejala dari rhinorrhea, gatal pada hidung, penyumbatan
hidung, atau bersin pada pasien selama setidaknya satu jam per hari selama 4 hari atau lebih
dalam seminggu dan selama lebih dari atau sama dengan 4 minggu per tahun.7 Berdasarkan
durasi, RA dapat dikategorikan menjadi intermiten (<4hari/ minggu atau <4 minggu) atau
persisten (>4 hari/ minggu dan >4 minggu).(3)

Dari data WHO pada tahun 2000 prevelensi rhinitis alergi di Amerika Utara dan Eropa
Barat, terjadi peningkatan prevalensi rhinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28% dalam 10 tahun
terakhir. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi pada usia anak sekolah di Eropa Barat menjadi
dua kali lipat. Dan sedangkan di Indonesia prevalensi penyakit rhinitis alergi dari hasil
penelitianyang dilakukan di Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad

1
Pekanbaru periode Januari -Desember 2006 terdapat 221 kasus rhinitis alergi menunjukkan kasus
rhinitis alergi terbanyak pada umur 15-24 tahun (22,3%) dan lebih banyak pada perempuan 128
(57,92%)(Rafi,M, 2015) Dan pada presurvey yang dilakukandi ruang rekam medik di RSUD
DR. H. Abdul Moeloek mengambil data pasien poli THT-KL yang terdiagnois rhinitis alergi
tahun 2019 sebanyak 54 orang.(4)
Tujuan utama pengobatan rinitis alergi ialah mengembalikan fungsi sosial yang normal.
Mengontrol rinitis alergi sangat penting untuk masalah kualitas hidup dan untuk mengurangi
keparahan co-morbidit yang terkait dengan rinitis alergi.

1.2 Tujuan Laporan Kasus


1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menegakkan diagnosis Rhinitis Alergi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta dapat menangani kasus tersebut mandiri dan tuntas.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tahapan laporan kasus diharapkan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali
dan mentatalaksana Rhinitis Alergi yaitu:
1. Menguasai anatomi dan fisiologi hidung
2. Mampu melakukan pemeriksaan hidung
3. Mampu menegakkan diagnosis Rhinitis Alergi
4. Mampu melakukan penatalaksanaan Rhinitis Alergi secara komprehensif dengan
memberikan terapi medikamentosa maksimal

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga
koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi
tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai
4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum
durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan
depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus
maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.(5)

Gambar 1. Anatomi cavum nasi

1) Dasar hidung

Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os
frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung
adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os
etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit,
jaringan subkutis, dan kartilago alaris major. (5)
2) Dinding lateral
3
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus
frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior
terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending
pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami
rudimenter.Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior
konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang
disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah
yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat
kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.(5)

3) Septum Hidung

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk
oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan
kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista
palatina dan krista sfenoid.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach

4
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.(5)

Gambar 2. Anatomi septum

4) Vaskularisasi dan Inervasi

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial

Gambar 3. Vaskularisasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

5
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(5)

Gambar 4. Inervasi

2.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.(5)

2.2 Definisi Rhinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(6)

6
2.3 Epidemiologi

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika,
prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak
anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat
karena pada umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam
menjalankan aktivitasnya dan penurunan kualitas hidup. Pada suatu survei di Amerika mengenai
gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi
menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis
alergi tinggi terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar  5-
45%. Suatu penelitian di Bandung menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS. Hasan
Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar 64.6% pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang
usia 10-29 tahun dan sekitar 45.1% berprofesi sebagai pelajar. (7)

2.4 Etiologi

Etiologi rhinitis alergi berupa alergen yang dapat ditemui baik di dalam rumah maupun di
luar rumah. Alergen outdoor antara lain serbuk sari, debu, bagian dari tumbuhan tertentu seperti
pohon, rumput dan jamur. Alergen yang dapat ditemui di dalam rumah adalah tungau debu
rumah, yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus serta komponen
sel epitel bulu hewan peliharaan seperti kucing dan anjing.
Pencetus nonspesifik seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin juga dapat berperan
menyebabkan rhinitis alergi melalui mekanisme hiperresponsivitas nonspesifik. Dokter juga
harus menggali pekerjaan pasien untuk menentukan ada tidaknya rhinitis alergi okupasional,
misalnya pekerjaan yang terpapar dengan debu kayu, lateks, atau lem.(8)

2.5 Faktor Risiko


Orang dengan penyakit alergi lainnya, seperti dermatitis atopi dan asma, memiliki risiko
mengalami rhinitis alergi yang lebih tinggi. Memiliki orang tua atau saudara dengan riwayat
alergi, ibu yang merokok saat hamil, serta paparan rokok saat bayi dan anak-anak juga
meningkatkan risiko mengalami rhinitis alergi.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

7
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya. tungau debu rumah,
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coktat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan. anjing), rerumputan
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya sengatan lebah,
penggunaan penisilin,dll
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misal- nya bahan
kosmetik, perhiasan.(6)

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya rhinitis alergi diperankan oleh beberapa proses, yaitu sensitisasi
alergen, reaksi tipe cepat dan lambat, inflamasi neurogenik, hiperresponsivitas nonspesifik, serta
konsep one airway one disease.

a. Sensitisasi Alergen
Permukaan sel mukosa hidung banyak mengandung Antigen Presenting Cell (APC), seperti
sel dendritik. APC ini akan mengenali alergen pencetus rhinitis alergi dan mengeluarkan
beberapa peptida, yang akan berikatan dengan major histocompability complex (MHC II).
Kompleks MHC 2-antigen ini akan berperan sebagai ligan untuk CD4 (koreseptor sel T helper
2 / Th2). Sel Th2 yang teraktivasi akan memproduksi sitokin untuk mengaktifkan sel B untuk
memproduksi immunoglobulin E (IgE) pada sel mast dan basofil, serta meningkatkan proliferasi
eosinofil, sel mast dan neutrofil.

b. Reaksi Tipe Cepat dan Tipe Lambat


Pada saat pasien terpapar alergen, akan timbul dua reaksi alergi, yaitu reaksi alergi tipe
cepat dan tipe lambat. Reaksi alergi tipe cepat menimbulkan gejala bersin dan hidung berair yang
muncul dalam waktu tiga puluh menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1. Sel Mast yang termediasi oleh alergen akan mengeluarkan beberapa
mediator kimia seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan munculnya gejala secara cepat.
Reaksi alergi tipe lambat yaitu gejala yang timbul akibat sumbatan hidung. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam 60 menit setelah terpapar alergen. Reaksi ini dimediasi oleh mekanisme

8
kemotaksis eosinofil. Mekanisme kemotaksis ini dimediasi oleh mediator kimia yang diproduksi
pada reaksi tipe cepat. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, eosinofil akan berpindah ke
mukosa hidung dan menimbulkan kerusakan pada jaringan normal yang pada akhirnya
menimbulkan gejala obstruksi.

c. Inflamasi Neurogenik
Epitel saluran nafas yang rusak dan serat saraf sensori yang terpapar oleh protein sitotoksik
dari eosinofil akan merangsang pengeluaran neuropeptida seperti substans P dan neurokinin A.
Neuropeptida ini akan menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus oleh sel goblet dan
eksudasi plasma kapiler sehingga terjadi inflamasi.

d. Hiperresponsivitas Nonspesifik
Mekanisme ini menupakan mekanisme yang sering terjadi pada reaksi alergi.  Akibat dari
infiltrasi eosinofil dan kerusakan yang ditimbulkan oleh proses inflamasi, mukosa hidung akan
menjadi lebih reaktif terhadap stimulus normal dan memperberat gejala bersin, hidung berair,
gatal pada hidung dan obstruksi. Keadaan ini tidak diperankan oleh IgE namun sering dicetuskan
oleh stimulus nonspesifik seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin.

e. Konsep One Airway One Disease


Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 10-40% pasien dengan rhinitis alergi sering
kali juga menunjukkan gejala asma.  Mekanisme ini diakibatkan oleh infiltrasi eosinofil tidak
hanya terjadi pada mukosa hidung namun juga dapat terjadi di mukosa bronkus dan menginduksi
respon yang berlebihan pada bronkus. Akibat adanya kesamaan pada sebagian besar struktur sel
pada saluran nafas dan mediator inflamasi ini maka konsep one airway one disease diyakini juga
berperan pada pasien dengan rhinitis alergi yang disertai dengan gejala asma.

f. Mekanisme Rhinitis Alergi

9
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(9)

Gambar 5. Paparan Alergen

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13


dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

10
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan
udara yang tinggi.

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili gejala
karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung
diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris
menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan
simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. (10)

11
Gambar 6. Mekanisme Nasal Allergy Syndrome

2.7 Klasifikasi

Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :


1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata
merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi
yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial
lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:

12
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjad):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(6)

2.8 Diagnosis

a. Anamnesis

Gejala yang sering dikeluhkan pasien dengan rhinitis alergi antara lain: bersin, rasa gatal
pada hidung, mata, telinga dan langit-langit mulut serta hidung yang terasa menyumbat. Dugaan
adanya rhinitis alergi akan semakin besar jika pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala
yang ada dan keluhan berlangsung lebih dari satu jam serta terjadi hampir setiap hari. Sekret
hidung yang mukopurulen, adanya post nasal drip yang mukoid, anosmia, nyeri pada hidung dan
adanya epistaksis yang berulang umumnya tidak berhubungan dengan rhinitis alergi.
Beberapa pasien juga sering mengeluhkan beberapa gejala yang berkaitan dengan
komplikasi dari rhinitis alergi, yaitu sinusitis akut, sinusitis kronik, otitis media, gangguan tidur,
dan obstructive sleep apnea, gangguan pada gigi akibat sering bernapas melalui mulut,
abnormalitas pada langit langit dan disfungsi tuba.(11)

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya
garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut

13
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).(6)

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Skin Test

Skin test adalah pemeriksaan yang paling penting untuk memastikan alergen penyebab dari
rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain uji gores, uji
tusuk, uji tempel dan intradermal.  Uji tusuk (skin prick test) adalah pemeriksaan yang paling
disarankan di antara seluruh pemeriksaan tersebut. Walau demikian, skin test menggunakan
metode manapun memiliki beberapa kelemahan berupa rendahnya tingkat akurasi pemeriksaan
dan hasil positif belum tentu berkorelasi positif dengan adanya rhinitis alergi.
Kelemahan ini antara lain sangat dipengaruhi terhadap penggunaan obat-obatan seperti
antihistamin, lain pada pemeriksaan usia pasien dan gangguan kulit yang terjadi pada lokasi
penyuntikan. Pada suatu penelitian di Korea mengenai uji tusuk, ditemukan sekitar 70-80%
penyebab rhinitis alergi adalah tungau debu rumah.

2) Kadar Imunologi E

Pemeriksaan kadar IgE pada serum awalnya dilakukan menggunakan radioallergosorbent


test (RAST) namun pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena penggunaan isotop
radioaktif dan cenderung mahal. Saat ini, pemeriksaan kadar IgE dilakukan secara in vitro,
misalnya menggunakan fluorescence enzyme immunoassay (FEIA). Tes in vitro seperti ini dapat
mengukur kadar spesifik IgE
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan multiple allergen simultaneous test  (MAST)
dengan menggunakan photo reagent sehingga cenderung tidak mahal dan dapat mendeteksi
banyak alergen bersamaan. Pemeriksaan ini tidak dipengaruhi oleh penggunaan antihistamin
oral. Namun sensitivitas pemeriksaan ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan uji tusuk.
Pemeriksaan lain dengan prinsip yang sama dengan MAST ini adalah capsulated hydrophilic

14
carrier polymer (CAP) yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap alergen karena menggunakan
antigen yang spesifik. Dalam percobaan in vitro menunjukkan hasil yang lebih akurat
3) Radiologi

Pemeriksaan radiologi seperti radiografi (posisi Caldwell, Waters dan lateral), Coronal CT
scan dan MRI tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk menyingkirkan adanya deformitas pada hidung dan tulang sekitarnya,
serta komplikasi yang sering terjadi akibat rhinitis alergi, misalnya sinusitis kronik.(12)

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding rhinitis alergi adalah sebagai berikut:


 Rhinitis lain: rhinitis vasomotor, rhinitis nonalergi, non-allergic rhinitis with nasal
eosinophilia syndrome (NARES), rhinitis gustatory, rhinitis medikamentosa, rhinitis
anatomic, rhinitis granulomatosa, atau rhinitis viral
 Penyakit hidung lain: diskinesia silier, polip hidung, sinusitis akut, sinusitis kronik

2.10 Tatalaksana

a. Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah menghindari pencetus alergi.


b. Imunoterapi
Terapi jangka panjang yang dapat dilakukan untuk pasien rawat jalan adalah dengan
melakukan imunoterapi. Imunoterapi adalah pilihan yang digunakan dengan memodifikasi
mekanisme alergi dasar dengan cara melakukan desensitisasi dan menimbulkan keadaan anergi
terhadap alergen pencetus. Pada awalnya imunoterapi ini digunakan untuk alergen berupa serbuk
sari namun saat ini sudah diindikasikan untuk alergen lain seperti tungau debu rumah, sel epitel
hewan peliharaan dan jamur. Ekstrak alergen ini akan disuntikkan melalui subkutan dengan
peningkatan dosis yang bertahap sampai mencapai dosis tetap, dosis ini akan tetap dipertahankan
dalam tubuh sampai tiga tahun. Namun teknik penyuntikan secara subkutan ini sudah mulai
dihindari karena terjadinya risiko anafilaksis. Saat ini sudah dikembangkan imunoterapi
sublingual (sublingual immunotherapy / SLIT). Pada SLIT ini, keadaan anergi terhadap alergen
pencetus dapat terjadi karena terjadinya regulasi dari sel T yaitu penekanan produksi IL-10 dan
TGF-beta sehingga menekan reaksi radang. Suatu meta analisis menunjukkan pemberian SLIT
selama 4-5 tahun dapat menurunkan gejala rhinitis alergi dan terjadinya asma pada pasien

15
rhinitis alergi. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan SLIT adalah gejala pruritus
dan keluhan gastrointestinal.(12)

c. Medikamentosa
1) Antihistamin Oral

Antihistamin oral yang disarankan pada penatalaksanaan rhinitis alergi adalah antihistamin
H1 oral generasi dua karena mekanisme penetrasi obat ini pada sawar darah otak jauh lebih kecil
dari pada antihistamin H1 generasi satu sehingga efek samping seperti sedasi, disfungsi
psikomotor dan gangguan memori dapat dicegah. Golongan antihistamin H1 generasi dua yang
paling sering digunakan adalah acrivastin, azelastin, cetirizine, desloratadine, ebastine,
fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mequitazine, mizolastine dan rupatadine. Pada
penggunaan ebastine disarankan untuk dilakukan monitor karena obat ini dapat menimbulkan
pemanjangan interval QT jika dikombinasikan dengan ketoconazole dan eritromycin.

2) Kortikosteroid Intranasal

Golongan obat ini banyak digunakan karena menimbulkan efek samping yang lebih
minimal. Obat ini akan menimbulkan efek antiinflamasi dengan menghambat sintesis protein
akibat adanya kompleks DNA dan reseptor steroid. Obat ini menghambat reaksi alergi tipe cepat
dan tipe lambat serta mengurangi produksi IgE dan eosinofil melalui inhibisi sekresi beberapa
sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13. Efek terapeutik kortikosteroid inhaler ini didapatkan pada 7
jam setelah pemakaian dan mencapai efek maksimal setelah 2 minggu. Obat yang termasuk ke
dalam golongan kortikosteroid intranasal ini antara lain budesonide, triamcinolone, fluticasone
proprionate, mometasone furoat dan fluticasone furoat. Penggunaan kortikosteroid inhaler ini
relatif aman termasuk penggunaan pada anak. Namun pada suatu studi dilaporkan penggunaan
beclomethasone selama satu tahun dapat menimbulkan hambatan pada pertumbuhan anak. Obat
ini juga dapat digunakan pada pasien rhinitis alergi yang disertai dengan gejala asma.

3) Antagonis Leukotrien

16
Penggunaan obat ini pada rhinitis alergi didasarkan pada konsep one airway one disease
karena obat ini sebelumnya sudah dimanfaatkan untuk tata laksana asma. Penggunaan obat ini
dapat meringankan gejala hidung berair, hidung tersumbat dan mata berair. Obat yang termasuk
golongan antagonis leukotrien ini adalah pranlukast, montelukast, dan zafirlukast. Sebagian
besar obat ini dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 di hati sehingga kombinasi dengan obat lain
seperti ketoconazole, eritromisin dan terfenadine sebaiknya dihindari.

4) Antibodi Anti Immunoglobulin E (Anti IgE)

Mekanisme golongan obat ini adalah dengan mengganggu interaksi antara sel mast atau
eosinofil dengan ikatan IgE bebas sehingga dapat menurunkan kadar IgE bebas pada darah selain
itu juga dapat menekan reaksi peradangan pada darah dan mukosa hidung. Efek samping yang
dapat terjadi antara lain nyeri kepala, infeksi saluran napas atas, sinusitis dan urtikaria pada
bekas penyuntikan.(6) (12)

Tabel 1. Pilihan Pengobatan Rhinitis Alergi


Step Klasifikasi Rhinitis Pilihan Pengobatan
1 Rhinitis alergi intermiten ringan Antihistamin H1 oral bila perlu
Rhinitis alergi intermiten sedang-berat
2 Antihistamin H1 oral Harian/antagonis leukotrien
dan rhinitis alergi persisten ringan
3 Rhinitis alergi persisten sedang-berat Kortikosteroid intranasal harian
Kombinasi kortikosteroid intranasal dan antihistamin
4 Rhinitis alergi persisten sedang-berat
H1 oral/antagonis leukotrien
Pertimbangkan tambahan pengobatan lainnya seperti
5 Rhinitis alergi persisten berat
imunoterapi spesifik atau antibodi anti IgE

2.11 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :


1. Polip hidung

17
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.(6)

2.12 Prognosis

Rhinitis alergi jarang menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa, sehingga prognosis
pada pasien ini cenderung baik selama tidak terjadi komplikasi dan penyakit komorbid yang
berat. Walau demikian, penyakit ini memiliki dampak penurunan kualitas hidup yang signifikan
bagi pasien jika tidak terkontrol.(1)

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny FT
Usia : 23 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kuta Baro
Tanggal Pemeriksaan : 1 September 2021

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama

Hidung tersumbat

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli THT-KL dengan keluhan hidung tersumbat sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan bahwa keluhan hidung tersumbat dirasakan hampir setiap hari dalam
seminggu. Keluhan yang dirasakan oleh pasien tidak menyebabkan gangguan aktivitas sehari-
hari, gangguan tidur maupun pekerjaan. Pasien mengeluhkan gejala memberat apabila pasien
sedang naik motor atau menyapu lantai yang menyebabkan pasien bersin-bersin. Setiap bersin
dapat mencapai 3-5 kali. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung dan kemudian
menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Pasien mengeluhkan terdapat ingus
putih yang berair dan sesekali ingus berwarna kekuningan. Pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri pada saat pasien sedang shalat terutama pada bagian mata, pipi dan dahi pasien dalam 3
bulan terakhir ini. Pasien mengatakan bahwa adanya dahak yang turun pada tenggorokannya.
Keluhan tidak disertai batuk, neri tenggorok dan penurunan fungsi pendengaran.

3.2.3 Riwayat Penyakit dahulu

Riwayat mengalami migraine sebelumnya

3.2.4 Riwayat Penggunaan Obat


- Ibuprofen
- Parasetamol

19
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien memiliki keluhan berupa bersin secara berkala.

3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasein memiliki kebiasaan makan makanan jajanan.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Pasien
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 20x/menit
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 55 kg
3.3.2 Status Lokalisata
Ar Auris : Bentuk Pinna (normotia/normotia), Auricular sign (-/-), Tragus
sign (-/-), CAE (lapang/lapang), serumen (+/+), sekret (-/tampak
hifa berwarna putih), warna epidermis (warna menyerupai
kulit/warna menyerupai kulit), membran timpani (tidak terlihat)
Ar Nasal : Cavum nasi (lapang/lapang), konka inferior
(hipertrofi/hipertrofi), sekret (putih encer), deviasi septum (-/-),
pasase udara (+/+)
Ar Orofaring : Arcus faring (simetris ), uvula di tengah, tonsil berada di fossa
tonsilaris (T1/T1), kripta normal, detritus (-/-), mukosa tonsil
merah muda
Ar Colli : Tidak ada pembesaran getah bening
Ar Maksilo Fasial : Simetris, tidak dijumpai parese N. VII

3.4 Diagnosa kerja


Konka hipertrofi kanan dan kiri dengan sinusitis maxilla kanan

20
3.5 Diagnosis Banding
Rinitis vasomotor
3.6 Tatalaksana
1. Menghindari kontak dengan alergen
2. Dipenhidramin tab 25 mg, tiga kali sehari
3. Amoksisilin 50 mg/kg/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari
3.7 Prognosis
Que ad vitam : Dubia ad bonam
Que ad functionam : Dubia ad bonam
Que ad sanactionam : Dubia ad bonam

21
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus diatas pasien berusia 23 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 3
bulan yang lalu. Keluhan hdiung tersumbat merupakan keluhan yang sering sekali dijumpai pada
kasus bidang THT. Penyebabnya disebabkan oleh reaksi imunologis akibat adanya antigen asing
ke dalam tubuh sehingga terjadi reaksi imun yang diperantai IgE. Secara mikroskopik tampak
adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bed) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk
mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinophil pada jaringan mukosa dan submucosa hidung. Gambaran
yang demikian terdapat pada serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali norma. Akan
tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang irreversibel yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa
sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Gejala utama rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang,
hidung tersumbat, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung dan mata terasa gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada kalangan anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Pasien mengeluhkan bahwa gejala yang dirasakan memberat saat pasien sedang naik
motor dan menyapu lantai yang menyebabkan pasien bersin-bersin. Hal ini disebabkan oleh
adanya alergen yang masuk ke tubuh pasien. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi menjadi
alergen inhalan, alergen ingestan, alergen injektan dan alergen kontaktan. Alergen inhalan adalah
alergen yang masuk bersama dengan udara pernapasan misalnya tungau debu rumah, kecoa,
serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. Alergen ingestan merupakan alergen yang
masuk ke saluran pencernaan berupa makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan laut, udang,
kepiting, dan kacang-kacangan. Alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan
dapat berupa penicillin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan merupakan alergen yang dapat
masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik atau perhiasan. Satu

22
macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga dapat memberi gejala
yang campuran seperti tungau debu rumah dapat memberikan gejala asma bronkial dan rhinitis
alergi.
Pasien mengeluhkan adanya nyeri saat pasien sedang shalat terutama pada bagian mata,
pipi dan dahi dalam 3 bulan terakhir ini. Pasien juga mengeluhkan adanya dahak yang turun pada
tenggorokannya. Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal. Penyebab utamanya
adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri. Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA, bermacam rhinitis
terutama rhinitis alergi, polip hidung, kelainan anatomi hidung seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, dan kelainan
imunologik.
Keluhan utama sinusitis adalah hidung tersumbat disertai rasa nyeri pada muka dan
adanya ingus yang purulent, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip)

Daftar Pustaka

1. Brozek JL. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines-2016 revision.
2017.

2. Akmal, M. R. 2019. Hubungan antara rhinitis alergi terhadap kejadian sinusitis di poli
THT RSPAD Gatot Soebroto periode tahun 2012-2014.

3. Fakhriani, Rizka. 2020. Gambaran Uji Kulit Dengan Gejala Rhinitis Alergi. J Medica
Arteriana. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta

4. Hapsari, R.K.D.T. 2020. Hubungan Antara Rhinitis Alergi Dengan Sinusitis Pada
Pemeriksaan Foto Sinus Paranasal. J.Ilmiah Kesehatan Snadi Husada.

23
5. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed
at : November 25, 2011.

6. Soepardi, Arsyad. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher, ed 7. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Sudiro M. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health Organization ( ARIA-


WHO ) questionnaire among Batch 2010 Students of the Faculty of Medicine Universitas
Padjadjaran. Amj, pp. 620-625, 2015.

8. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy,
Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, p. 65, 2010.

9. Hall, J. E., & Guyton, A. C. (2014). Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. In
Elsevier, Singapore. https://doi.org/10.1016/B978-1-4160-5452-8.00020-2

10. Sherwood, L. (2013). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In Fisiologi Manusia
dari Sel ke Sistem.

11. Wheatley LM. Allergic Rhinitis. N Engl J Med, vol. 5, no. 456-463, p. 372, 2015.

12. Sheikh J. Allergic rhinitis. Medscape, 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai