Anda di halaman 1dari 6

Laporan Pendahuluan

DEVELOPMENTAL DYSPLASIA OF THE HIP


(Dislokasi Panggul Kongenital)

Nama : Nasri Morsalin


Nim : 22221078
DEVELOPMENTAL DYSPLASIA OF THE HIP
(Dislokasi Panggul Kongenital)

A. Latar Belakang

Developmental displasia of the hip adalah pertumbuhan abnormal dari hip yang
meliputi subluksasi caput femur, displasia acetabulum, dan dislokasi caput femur dari
acetabulum.Pada neonatus dengan DDH, caput femur dapat mengalami dislokasi dan
tereduksi secara spontan ke dalam acetabulum. Pada anak yang lebih dewasa, caput
femur akan mengalami dislokasi menetap akibat perkembangan caput femur dan
acetabulum. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti apakah ketidakstabilan
panggul pada DDH muncul akibat dislokasi dan subluksasi caput femur sehingga
mempengaruhi perkembangan acetabulum, atau akibat displasia acetabulum primer.

B. Etiologi

Beberapa penyebab DDH secara teoritis telah banyak dikemukakan, antara lain
penyebab mekanik, hormon-induced joint laxity, displasia acetabulum primer dan
faktor genetik. Faktor genetik diduga kuat memiliki peran sebagai etiologi DDH.
Kelainan ini cenderung didapat pada individu yang memiliki riwayat DDH dalam
keluarga, bahkan dalam seluruh populasi (contoh negaranegara di utara dan timur
Mediterania). Wynne dan Davis pada tahun 1970 mengidentifikasi dua kelainan yang
diturunkan, yang dapat menjadi predisposisi timbulnya DDH, yaitu kelemahan sendi
generalisata (bersifat dominan) dan acetabulum yang dangkal (bersifat poligenik,
terutama terlihat pada anak perempuan dan ibunya). Namun demikian, hal ini tidak
bisa dianggap sebagai penyebab tunggal karena dari 4 atau 5 kasus hanya satu yang
mengalami dislokasi.11 Ortolani melaporkan bahwa 70% anak dengan DDH memiliki
riwayat kelainan tersebut di dalam keluarganya.
Faktor hormonal, yaitu tingginya kadar estrogen, progesteron dan relaxin pada
ibu hamil di mingguminggu terakhir kehamilan diduga menjadi pencetus
DDH.Tingginya kadar hormon tersebut diduga menyebabkan relaksasi pelvis saat
proses kelahiran yang menyebabkan ligamentous laxity pada anak sehingga
mempermudahterjadinya dislokasi caput femur. Malposisi intrauterin (terutama
posisi Breech dengan tungkai ekstensi) diduga turut menyebabkan terjadinya DDH.
Dislokasi unilateral biasanya mengenai panggul kiri, terutama pada presentasi vertex
(occiput anterior sinistra) dimana panggul adduksi.2-4,6,8 Faktor-faktor postnatal
juga diduga berperan terhadap timbulnya instabilitas pada hip dan displasia
acetabulum. Kebiasaan meletakkan bayi dalam selimut dengan posisi ekstensi penuh
pada hip dan lutut.

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada DDH dapat diidentifikasi saat bayi baru lahir.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah metode Ortolani dan Barlow. Tanda
Ortolani adalah adanya bunyi “clunk” saat panggul tereduksi, saat sendi panggul
diabduksikan.
Sedangkan tanda Barlow adalah bunyi “clunk” saat panggul terdislokasi saat posisi
adduksi (provocative test). Bila panggul memiliki hasil positif pada kedua
pemeriksaan tersebut, panggul dikatakan dislocatable.

Pemeriksaan klinis saat anak sudah lebih besar, sedikit berbeda. Pada usia ini,
panggul yang terdislokasi sudah terfiksasi. Tanda Galleazi dapat terlihat bila panggul
yang terkena unilateral. Pada saat pasien berbaring terlentang dan panggul serta lutut
difleksikan maka caput femur tidak hanya terdislokasi ke lateral namun juga ke
proksimal sehingga femur yang terdislokasi akan tampak lebih pendek.

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan adanya eksorotasi pada hip kiri
disertai keterbatasan gerak abduksi maupun adduksi, yang dapat menjadi pertanda
adanya subluksasi ataupun dislokasi hip. Selain itu ditemukan tanda Ortholani dan
Barlow serta tanda Galleazi. Hal ini sesuai dengan gambaran klinis yang telah
disebutkan, bahwa anak dengan DDH terdapat keterbatasan abduksi dan adduksi hip,
tanda Galleazi, tanda Ortholani, dan Barlow pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
radiologis dapat membantu menegakkan diagnosis DDH. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan menggunakan USG, baik untuk membantu menegakkan diagnosis
maupun untuk monitoring terapi. Pemeriksaan radiologis dengan foto polos sulit
untuk menegakkan diagnosis sebab struktur hip pada neonatus sebagian besar adalah
kartilago. Graf adalah ilmuwan yang pertama kali menerapkan penggunaan USG
untuk menegakkan diagnosis DDH. Dari pemeriksaan ini akan didapatkan hasil
berupa hipoekoik pada hyaline, normoekoik pada kapsul dan otot serta hiperekoik
pada struktur fibrokartilago.

D. Komplikasi

1) Displasia asetabular persisten


2) Dislokasi berulang
3) Nekrosis avaskular iatrogenic pada kaput femur

E. Implementasi

Penanganan bervariasi sesuai keparahan manifestasi klinis, usia anak, dan


tingkat dysplasia. Jika dislokasi terkoreksi pada pada beberapa hari pertama
sampai beberapa minggu kehidupan, kesempatan untuk berkembangnya pinggul
normal akan lebih besar. Selama periode neonatal, pengaturan posisi dan
mempertahankan pinggul tetap fleksi dan abduksi dapat dicapai dengan
menggunakan alat bantu pengoreksi. Antara usia 6 dan 18 bulan, traksi digunakan
diikuti dengan imobilisasi gips. Jika jaringan lunak menghalangi dan menyulitkan
penurunan dan perkembangan sendi, dilakukan reduksi tertutup maupun terbuka
(bergantung pada apakah ada atau tidak kontraktur otot-otot adductor dan
kesalahan letak kaput femur yang terjadi) dan gips spika pinggul di pasang.

F. Patofisiologi dan Patway

Dysplasia perkembangan pinggul (developmental dysplasia of the hip,


DDH),atau congenital dislocation of the hip, merupakan ketidaknormalan
perkembangan antara kaput femur dan asetabulum. Pinggul merupakan suatu
bonggol (kaput femur) dan mangkuk (asetabulum) sendi yang memberikan
gerakan dan stabilitas pinggul. Terdapat tiga pola dalam CDH :
1) Dysplasia asetabular (perkembangan tidak normal )- keterlambatan
dalam perkembangan asetabulum sehingga lebih dangkal dari normal,
kaput femur tetap dalam asetabulum.
2)  Subluksasi – dislokasi pinggul yang tidak normal ; kaput femur tidak
sepenuhnya keluar dari asetabulum dan dapat berdislokasi secara parsial.
3) Dislokasi – pinggul berada pada posisi dislokasi, dan kaput femur tidak
bersentuhan dengan asetabulum. DDH pada akhirnya dapat berkembang
menjadi reduksi permanen, dislokasi lengkap, atau dysplasia akibat
perubahan adaptif yang terjadi pada jaringan dan tulang yang
berdekatan.

G. Obeservasi Chart

1) Assesment

Pengkajian muskuloskeletal
  

a. Fungsi motorik kasar

1. Ukuran otot : adanya atrofi atau hipertrofi otot ; kesimetrisan massa


otot
2.   Tonus otot : spastisitas, kelemahan, rentang gerak terbatas
3.  Kekuatan
4.  Gerakan abnormal : tremor, distonia, atetosis

b. Fungsi motorik halus


1. Manipulasi mainan
2. Menggambar

c. Gaya berjalan : ayunan lengan dan kaki, gaya tumit – jari

d. Pengendalian postur
1. Mempertahankan posisi tegak
2. Adanya ataksia
3. Bergoyang-goyang

e. Persendian
1. Rentang gerak
2. Kontraktur
3.  Kemerahan, edema, nyeri
4. Tonjolan abnormal

f. Tulang belakang
1.  Lengkung tulang belakang : skoliosis, kifosis
2. Adanya lesung pilonidal

g. Pinggul
1. Abduksi
2.   Adduksi
Criteria pengkajian
  
a. Maneuver ortolan
b. Maneuver barlow
c. Tanda galeazzi
d. Uji trendelenburg
e.  Kaji tanda – tanda iritasi kulit
f. Kaji respon anak terhadap traksi dan imobilisasi dengan adanya gips
spika.
g. Kaji tingkat perkembangan anak
h. Kaji kemampuan pasien untuk mengelola perawatan gips spika di
rumah.

2). DX Nursing

1.  Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi


Tujuan :Nyeri dapat berkurang atau hilang
Criteria hasil : Nyeri berkurang, Klien tampak tenang
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui skala Nyeri
b.  Atur posisi senyaman mungkin
Rasional : Menurunkan tingkat ketegangan pada daerah nyeri
c.   Ajarkan tekhnik relaksasi
Rasional : Merelaksasi otot-otot tubuh
d. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Menghiangkan rasa nyeri

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi


Tujuan :  Klien dapat bergerak bebas
Criteria hasil : Klien dapat bergerak bebas
a. Kaji tingkat mobilisasi klien
Rasional : Mengidentifikasi lingkup masalah secara dini, sebagai
pedoman tindakan selanjutnya
b. Beri latihan ROM
Rasional : Memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan
kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit atau
kecelakaan
c.   Anjurkan alat bantu jika dibutuhkan
Rasional : membantu dalam melakukan suatu hal

3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh


Tujuan : Masalah klien teratasi
Criteria hasil : Klien dapat menungkapkan masalahnya
a. Kaji konsep diri
Rasional : Mengidentifikasi lingkup masalah secara dini, sebagai
pedoman tindakan selanjutnya
b.  Bantu klien mengungkapkan masalahnya
Rasional : Memberikan minat dan perhatian serta memperbaiki
kesalahan konsep
c. Berikan dukungan spiritual kepada klien
Rasional : Agar klien tetap bersemangat dan tidak berputus asa
terhadap perubahan status kesehatannya.

3). Nursing Intervention

Hasil yang diharapkan:

1. Pinggul bayi atau anak akan tetap pada posisi yang diharapkan
2. Kulit bayi atau anak akan tetap utuh tanpa kemerahan atau
kerusakanOrang tua akan mendemonstrasikan aktivitas perawatan untuk
mengakomodasi alat bantu pengoreksi bayi / anak atau gips spika pinggul.

Anda mungkin juga menyukai