Anda di halaman 1dari 55

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS TADULAKO

Kelainan Degeneratif Tulang

OLEH :
Muh. Fajar Shiddiq I. Metubun
N 111 20 053

PEMBIMBING :

dr. Harris Tata, Sp.OT., M.Kes

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muh. Fajar Shiddiq I. Metubun


No. Stambuk : N 111 20 053
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul : Kelainan Degeneratif Tulang

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Bedah Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Tadulako.

Palu, Oktober 2022


Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Harris Tata, Sp.OT., M.kes Muh. Fajar Shiddiq I. Metubun


DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1 Tulang dan Sendi……………………… ................................................... 2
2.1.1 Anatomi dan histologi tulang ..................................................... 2
2.1.2 Anatomi Sendi ............................................................................. 10
2.2 Kelainan Degeneratif ……......................................................................... 13
2.2.1 Osteoporosis.................................................................................. 13
2.2.2 Osteoarhtritis............................................................................... 20
2.2.3 Spondilosis……………................................................................ 28
2.2.4 Spondilolistesis............................................................................. 34
2.2.5 Facet joint Arthopathy................................................................ 38
2.2.6 Spinal kanal Stenosis................................................................... 42
BAB III Kesimpulan ........................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan degeneratif merupakan penyakit yang terjadi akibat kemunduran


fungsi sel tubuh, sehingga tubuh yang semula berfungsi secara normal dapat
berkurang menjadi lebih buruk. Kelainan degeneratif terjadi karena adanya proses
penuaan.(1) Proses menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang
dewasa sehat menjadi seorang yang rentan dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit. Proses degenerasi bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang yang
berusia lanjut, melainkan suatu hal yang normal yang berlangsung sejak
maturitas dan berakhir dengan kematian. Namun demikian, kelainan degeneratif
lebih terlihat pada usia lebih dari 40 tahun.(1)
Kelainan degeneratif tulang adalah kelainan yang timbul akibat dari proses
degenerasi sel tulang, berkurangnya massa otot dan menurunnya densitas tulang.
Dimana hal ini akan menyebabkan beberapa penyakit pada tulang.(2) Oleh karena
itu, diperlukan beberapa pemahaman mengenai penyakit yang dapat terjadi pada
saat tulang mengalami degenerasi.
Dalam bidang Orthopedi, penyakit ini meliputi kelainan yang terjadi pada
persendian, otot, tendon, bursa dan kartilago sendi yang banyak menyerang
golongan lanjut usia. Secara biokimiawi, proses degenerasi pada kartilago sendi
diawali karena hilangnya proteoglikan, yaitu komponen dasar dari matrik
kartilago. Kemunduran matrik inilah yang menyebabkan serat-serat kolagen
kehilangan daya suportnya sehingga kartilago mengalami fibrilasi
( pemendekan ).(1)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. TULANG DAN SENDI


1.1 Anatomi dan Histologi Tulang (3)
a. Tulang panjang, yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri
dari difisis dan epifisis yang berfungsi untuk menahan berat tubuh
dan berperan dalam pergerakan.
b. Tulang pendek, yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang
biasanya ditemukan berkelompok yang berfungsi memberikan
kekuatan dan kekompakkan pada area yang pergerakannya
terbatas. Contoh tulang pergelangan tangan dan kaki
c. Tulang pipih, yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang
berfungsi untuk memberikan suatu permukaan yang luas untuk
perlekatan otot dan memberikan perlindungan. Contoh sternum,
scapulae, iga, tulang tengkorak.
d. Tulang irreguler, yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan
dengan struktur tulang yang sama dengan tulang pendek. Contoh
tulang vertebrae dan tulang panggul.
e. Tulang sesamoid, yaitu tulang kecil bulat yang masuk dalam
formasi persendian yang bersambung dengan kartilago, ligamen
atau tulang lainnya. Contoh patella.
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi
antar sel berkapur yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel yaitu
osteosit, osteoblas, dan osteoklas
 Matriks tulang
50% dari berat matriks tulang adalah bahan anorganik,
yang teristimewa dan banyak dijumpai adalah kalsium dan fosfor,
namun bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, dan natrium juga
ditemukan.(3) Bahan organik dalam matriks tulang adalah kolagen
tipe I da substansi dasar, yang mengandung agregat proteoglikan
dan beberapa glikoprotein struktural spesifik. Glikoprotein tulang
bertanggung jawab atas kelancaran kalsifikasi matriks tulang.
Jaringan lain yang mengandung kolagen tipe I biasanya tidak
mengapur dan tidak mengandung glikoprotein tersebut. Karena
kandungan kolagen tinggi, matriks tulan yang terdekalsifikasi
terikat kuat dengan pewarna serat kolagen.(3)
Gabungan mineral dan serat kolagen memberikan sifat
keras dan ketahanan pada jaringan tulang. Setelah tulang
terdekalsifikasi, bentuknya tetap terjaga, namun menjadi fleksibel
mirip tendon. Walaupun bahan organik dari matriks tulang sudah
menghilang, bentuk tulang masih tetap terjaga, namun menjadi
rapuh, mudah patah dan hancur bila dipegang.
 Osteoblas
Osteoblas bertanggung jawab atas sintesis komponen
organik matriks tulang (kolagen tipe I, proteoglikan, dan
glikoprotein). Deposisi komponen anorganik dari tulang juga
bergantung pada adanya osteoblas aktif. Osteoblas hanya terdapat
pada permukaan tulang, dan letaknya berseblahan, mirip epitel
selapis. Bila osteoblas aktif menyintesis matriks, osteoblas
memiliki bentuk kuboid sampai silindris dengan sitoplasma
basofilik. Bila aktivitas sintesisnya menurun seltersebut dapat
menjadi gepeng dan sifat basofilik pada sitoplasmanya akan
berkurang.(3)
 Osteosit
Osteosit berasal dari osteoblas, terletak di dalam lakuna
yang terletak di antara lamela-lamela matriks. Hanya ada satu
osteosit di dalam satu lakuna. Bila dibandingkan dengan osteoblas,
osteosit yang gepeng dan berbentuk kenari tersebut memiliki
sedikit retikulum endoplasma kasar dan kompleks Golgi serta
kromatin inti yang lebih padat. Sel-sel ini secara aktif terlibat untuk
mempertahankan matriks tulang, dan kematiannya diikuti oleh
resorpsi matriks tersebut.(3)
 Osteoklas
Sel motil bercabang yang sangat besar. Bagian badan sel
mengandung sampai 50 inti atau bahkan lebih. Pada daerah
terjadinya resorpsi tulang, osteoklas terdapat di dalam lekukan
yang terbentuk akibat kerja enzim pada matriks, yang dikenal
dengan lakuna Howsip. Osteoklas berasal dari penggabungan sel-
sel sumsum tulang belakang.Osteoklas mengeluarkan kolagenase
dan enzim proteolitik lain yang menyebabkan matriks tulang
melepaskan substansi dasar yang mengapur.(3)

Tulang bagian dalam dan luar di lapisi oleh pembentuk


tulang dan jaringan ikat yang disebut periosteum dan endosteum.
 Periosteum
Terdiri atas lapisan luar serat-serat kolagen dan fibroblas.
Berkas serat kolagen periosteum memasuki matriks tulang dan
mengikat periosteum pada tulang. Lapisan periosteum yang lebih
banyak mengandung sel berpotensi membelah melalui mitosis dan
berkembang menjadi osteoblas. Sel ini disebut sel osteoprogenitor
dan sel ini berperan penting pada pertumbuhan dan perbaikan
tulang.(4)
 Endosteum
Melapisi semua rongga dalam di dalam tulang dan terdiri
atas selapis sel osteoprogenitorgepeng dan sejumlah kecil jaringan
ikat. Karenanya, endosteum lebih tipis daripada periosteum.(4)
Fungsi utama periosteum dan endosteum adalah memberi
nutrisi kepada jaringan tulang dan menyediakan osteoklas beru
secara kontinu untuk perbaikan atau pertumbuhan tulang.

1.2 Anatomi Tulang Belakang

Kolumna vertebralis (Gambar 2.1 dan 2.2) disusun oleh 33


vertebra, 7 vertebra servikalis (C), 12 vertebra torakalis (T), 5 vertebra
lumbalis (L), 5 vertebra sakralis (S), dan 4 vertebra koksigeus (pada
umumnya 3 vertebra koksigeus di bawah bersatu). Struktur kolumna
vertebralis ini fleksibel karena bersegmen dan disusun oleh tulang
vertebra, sendi-sendi, dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus
intervertebralis.2

Gambar Rangka dilihat dari posterior, memperlihatkan kolumna


vertebralis
Karakteristik Umum Vertebra
Vertebra terdiri dari korpus berbentuk bulat di anterior dan
arkus vertebra di posterior. Kedua struktur ini mengelilingi ruangan
yang disebut foramen vertebralis dan dilalui oleh medula spinalis.
Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedikuli yang berbentuk silinder,
yang membentuk sisi arkus, serta sepasang lamina pipih yang
melengkapi arkus vertebra di posterior. 2
Terdapat tujuh prosesus yang berasal dari arkus vertebra: satu
prosesus spinosus, 2 prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis
(Gambar 2.2). Prosesus spinosus atau spina, mengarah ke posterior
dari pertemuan kedua lamina. Prosesus transversus mengarah ke
lateral dari pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus spinosus dan
prosesus transversus berperan sebagai pengungkit dan tempat
melekatnya otot dan ligame. 2
Prosesus artikularis terletak vertikal dan terdiri atas 2 prosesus
artikularis superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Kedua prosesus
artikularis superior dari satu arkus vertebra bersendi dengan kedua
prosesus artikularis inferior dari arkus vertebra yang terletak di
atasnya, membentuk dua sendi sinovial. 2
Pedikuli mempunyai lekukan di pinggir atas dan bawah,
membentuk insisura vertebralis superior dan inferior. Pada setiap sisi,
insisura vertebralis superior dari sebuah vertebra bersama dengan
insisura vertebralis inferior vertebra di dekatnya membentuk foramen
intervertebralis. Pada rangka yang bersendi, foramen-foramen ini
menjadi tempat lewatnya nervus spinalis dan pembuluh darah. Radiks
anterior dan radiks posterior nervus spinalis bergabung menjadi satu
di dalam foramina dan membentuk nervus spinalis segmentalis. 2
A: Kolumna vertebralis tampak lateral. B: Ciri-ciri umum berbagai vertebra

Sendi-Sendi Kolumna Vertebralis


Vertebra saling bersendi melalui sendi kartilaginosa di antara
korporanya dan sendi sinovial di antara prosesus artikulasinya. Sisipan
di antara korpora vertebra adalah fibrokartilago diskus intervertebralis.
Diskus intervertebralis paling tebal di daerah servikal dan
lumbal sehingga memungkinakan gerakan kolumna vertebralis yang
paling besar. Diskus ini berperan sebagai penahan (shock absorber)
goncangan apabila beban kolumna vertebralis tiba-tiba meningkat.
Akan tetapi, gaya pegasnya menurun dengan bertambahnya usia. 2
Masing-masing diskus terdiri atas anulus fibrosus di bagian luar
dan nukleus pulposus di bagian sentral. Anulus fibrosus terdiri atas
fibrokartilago, yang melekat erat pada korpora vertebra dan
ligamentum longitudinal anterior dan posterior kolumna vertebralis. 2
Nukleus pulposus merupakan massa gelatinosa yang berbentuk
lonjong pada orang muda. Biasanya di bawah tekanan dan terletak
sedikit ke posterior dari pinggir anterior diskus. Fasies anterior dan
posterior korpora vertebra yang terletak di dekatnya dan berbatasan
dengan diskus diliputi oleh lapisan tipis kartilago hialin. 2
Sifat nukleus pulposus yang semi cairan memungkinkan
perubahan bentuk dan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang
antara satu dan yang lain. Peningkatan beban kolumna vertebralis
yang tiba-tiba menyebabkan nukleus pulposus menjadi pipih. Keadaan
ini dimungkinkan oleh sifat pegas dari anulus fibrosus yang terdapat
di sekelilingnya. Apabila dorongan dari luar terlalu besar untuk anulus
fibrosus, anulus dapat robek. Akibatnya herniasi nukleus pulposus
terjadi, penonjolan keluar nukleus ke dalam kanalis vertebralis,
dimana nukleus ini dapat menekan radiks nervus spinalis, nervus
spinalis atau bahkan medula spinalis. 2
Dengan bertambahnya usia, nukleus pulposus mengecil dan
diganti oleh fibrokartilago. Serabut-serabut kolagen anulus
berdegenerasi, dan menyebabkan anulus tidak selalu berisi nukleus
pulposus di bawah tekanan. Pada usia lanjut, diskus menjadi tipis,
kurang elastis, dan tidak dapat lagi dibedakan antara nukleus dan
anulus. 2

Ligamentum Vertebra
Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai
pita utuh di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari
tengkorak sampai ke sakrum. Ligamentum longitudinal anterior lebar
dan kuat, melekat pada permukaan dan sisi-sisi korpora vertebra dan
diskus intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior lemah dan
sempit serta melekat pada pinggir posterior diskus.
Sedangkan ligamentum diantara dua vertebra terdiri atas:
1. Ligamentum supraspinosium : ligamentum ini berjalan di antara
ujung-ujung spina berdekatan.
2. Ligamentum interspinosum : ligamentum ini menghubungkan spina
yang berdekatan.
3. Ligamentum intertransversum: ligamentum ini berjalan di antara
prosesus transversus yang berdekatan.
4. Ligamentum flavum : ligamentum ini menghubungkan lamina
vertebra yang berdekatan.

A: Sendi-sendi di regio servikalis, torakalis, dan lumbalis kolumna vertebralis.


B: Vertebra lumbalis III dilihat dari atas, memperlihatkan hubungan di antara
diskus intervertebralis dan kauda ekuina.

1.3 Anatomi Sendi(3)


Sendi merupakan perhubungan antar tulang sehingga tulang
dapat digerakkan. Secara fungsional sendi dapat dibagi atas luas
geraknya yaitu:
a. Synarthrosis : sendi yang tidak bergerak sama sekali
Articulatio fibrosa yaitu hubungan antar tulang dengan fibrous
seperti pada sutura tengkorak.
b. Ampiarthrosis: sendi yang bergeraknya sedikit
Articulatio cartilaginea yaitu hubungan antar tulang disatukan
oleh tulang rawan cartilago hyalin atau fibro cartilago seperti
pada art.sacroiliaca.
c. Diarthrosis: sendi yang bergerak bebas atau luas.
Articulatio synovialis mempunyai karakteristik terdapat
ruangan spesifik yang memungkinkan gerakan menjadi lebih
bebas. Pada ruang ini terdapat cairan “Synovialis” yang
berfungsi sebagai pelumas, yang dihasillkan oleh lapisan dalam
pembungkus sendi (Capsule joint) yang disebut membrana
synovialis. Ujung-ujung tulang yang ditutupi tulang rawan dan
di perkuat dibagian luarnya oleh kapsula sendi dan
ligamentum. Kapsula sendi ada dua lapisan, yaitu:
1. Bagian luar disebut stratum (membrana) fibrosum.
2. Bagian dalam disebut stratum (membrana) synovialis.

Klasifikasi sendi berdasarkan bentuk permukaan sendi:


a. Sendi peluru atau art. Globaidea (ball dan socket). Sendi ini
memberikan gerakan yang terbesar. Kepala sendi yang agak bulat
dari tulang panjang masuk ke dalam rongga yang sesuai
berbentuk cekung memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi, rotasi, dan gerak panduan atau sirkumduksi.
Jenis sendi ini digolongkan ke dalam sendi bersumbu tiga. Contoh
sendi ini adalah art humeri dan art coxae.
b. Sendi bujur telur atau art. Ellipsoidea (ellipsoid). Sendi ini
merupakan modifikasi dari sendi peluru. Gerakan sedikit terbatas
dan tergolong ke dalam sendi bersumbu dua. Meskipun dapat
fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi, namun tidak rotasi. Sebagai
contoh sendi-sendi metacarpophalangea dan jari-cari tangan (art.
radiocarpal)
c. Sendi geser (gliding, atrhrodial, plane). Permukaan-permukaan
sendi berbentuk tak beraturan, biasanya datar atau sedikit
lengkung. Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan adalah
menggeser, karenanya disebut nonaxial. Contoh-contoh terdapat
dalam tulang – tulang tarsal dan carpal, dan juga processus
articularis dari verterbrae.
d. Sendi putar atau art. Trocoidea (trocoid). Gerakan pada sendi
jenis ini terjadi di dalam bidang transversal dengan longitudinal.
Contoh-contoh dari sendi ini ialah art.radioulna dan art. Atlanto
epistrophica pada rotasi kepala.
e. Sendi pelana atau art. Sellaris (sellar). Sendi ini berbentuk seperti
pelana. Sendi bersumbu dua yang dapat bergerak fleksi, ekstensi,
abduksi, dan adduksi, seperti pada art. Carpometacarpal dari ibu
jari.
f. Sendi engsel atau art. Throchlearis (ginglysum/hing). Gerakan
pada sendi ini ada di dalam bidang sagital dengan sumbu
transversal. Fleksi dan ekstensi terjadi pada siku (art.cubiti),
pergelangan kaki (art. talocrurales) dan sendi interphalangea.
2. KELAINAN DEGENERATIF TULANG

2.1 Osteoporosis

Definisi
Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan
mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan
tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang. World Health
Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan osteoporosis
berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami
penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa
muda sehat (Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD).4

Klasifikasi
Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Osteoporosis primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui
penyebabnya. Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi
osteoporosis primer menjadi 2 tipe, yaitu Osteoporosis tipe I dan
osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca
menopause. Osteoporosis tipe ini disebabkan oleh defisiensi estrogen
akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis
senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan
timbulnya osteoporosis. Namun pada sekitar tahun 1990, Riggs dan
Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen
menjadi faktor yang sangat berperan pada osteoporosis primer, baik
pasca menopause maupun senilis.5
2) Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui
penyebabnya, yaitu terjadi karena adanya penyakit lain yang mendasari,
defisiensi atau konsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis.5,6

a. Penyebab genetik (kongenital):


 Kistik fibrosis
 Ehlers – Danlos syndrome
 Penyakit penyimpanan glikogen
 Penyakit Gaucher
 Hemokromatosis
 Homosistinuria
 Hiperkalsiuria idiopatik
 Sindroma marfan
 Osteogenesis imperfekta
b. Keadaan hipogonad
 Insensitifitas androgen
 Anoreksia nervosa / bulimia nervosa
 Hiperprolaktinemia
 Menopause prematur
c. Gangguan endokrin:
 Akromegali
 Insufisiensi adrenal
 Sindroma Cushing
 Diabetes Melitus
 Hiperparatiroidism
 Hipertiroidisme
 Hipogonadism
 Kehamilan
 Prolaktinoma
d. Gangguan yang diinduksi obat
 Glukokortikoid
 Heparin
 Antikonvulsan
 Barbiturat
 Antipsikotik

Patofisiologi
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling
tulang sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis
secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas
melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentukan tulang).
Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang.6,8
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran
dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru
pada permukaan luar korteks.22 Remodeling tulang mempunyai dua
fungsi utama : (1) untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang
rangka untuk mempertahankan kekuatan tulang rangka, dan (2) untuk
mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk mempertahankan kalsium
serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang
sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut
kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana juga
transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan
kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan.9
Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang
bersirkulasi, termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon
paratiroid (PTH), demikian juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal
seperti IGF-I dan IGF–II, transforming growth factor (TGF), parathyroid
hormone-related peptide (PTHrP), ILs, prostaglandin, dan anggota
superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor ini secara primer
memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling baru teraktivasi, suatu
proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti oleh
suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh
osteoblas.9
Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh jumlah
yang seimbang jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap konstan
setelah massa puncak tulang sudah tercapai pada masa dewasa. Setelah
usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang,
dan resorpsi melebih formasi. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada
usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda;
ketidakseimbangan ini terlebih-lebih pada wanita setelah menopause.
Kehilangan massa tulang yang berlebih dapat disebabkan peningkatan
aktivitas osteoklas dan atau suatu penurunan aktivitas osteoblas.
Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang membuat pengurangan
reversibel pada jaringan tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan
jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang panjang.9

Diagnosis5
A) Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada
diagnosis, seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis
riket, kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang
terjadi pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau
tubuh pendek, nyeri tulang, dan kelemahan otot, waddling gait, dan
kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada penyakit tulang
metabolik.
Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju
diagnosis juga dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi
karena trauma minimal, adanya faktor imobilisasi lama, penurunan
tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan
kalsium, fosfor dan vitamin D, dan faktor-faktor risiko lainnya.
Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat
digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi
kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi
obat-obatan, juga konsumsi alkohol jangka panjang dan merokok.
Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya riwayat keluarga yang pernah
menderita osteoporosis.

B) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat
badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang,
leg-lenght inequality , dan nyeri spinal.
Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya iritasi
muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga dapat
dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi
interphalang.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau
gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga
didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit
yang tipis (tanda McConkey).

C) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis pada Osteoporosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat
sulit dilakukan. Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru
diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul,
tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua,
baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya
terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali.
Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 – 40% baru dapat
dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Karena kurangnya
sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini pemeriksaan
dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.10
Gambaran radiologis yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak
pada tulang-tulang vertebrae yang memberika gambaran picture frame
vertebrae. Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih
radiolusen tetapi baru terdeteksi setelah terjadi penurunan massa tulang
sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis dalam pengambilan foto polos,
dan variasi jenis serta ketebalan jaringan lunak yang tumpang tindih
dengan vertebrae akan mempengaruhi gambaran radiologisnya dalam
menilai densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebrae akan
meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan trabekula dan
pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
angka 30% itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in
vitiro yang telah dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan
menunjukkan bahwa hal tersebut benar untuk daerah kortikal sedangkan
pada tulang-tulang yang mempunyai kadar trbakelua tinggi osteoporosis
dapat dilihat secara radiogram bila terjadi defisit mineral tulang sebesar
8-14%.5
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan
osteoporosis vertebrae:8

1) Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebrae atau penurunan


densitas tulang.
2) Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula
vertikal.
3) Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebrae.
4) Perubahan end plates baik secara absolut maupun relatif dengan
membandingkan antara korpus vertebra dengan end plates.
5) Abnormalitas bentuk vertebrae dapat berupa bentuk baji, bikonkaf,
fraktur kompresi (bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
6) Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan menemukan
fraktur spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebra.

Pada seseorang yang mengalami fraktur, diagnosis pasti ditegakkan


bedasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan
lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lain
yang dapat menyebabkan osteoporosis. Beberapa pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan massa tulang secara radiologis
berupa DEXA (Dual Energy X-ray), Pemeriksaan laboratorium berupa
parameter biokimiawi untuk bone turnover, radioisotop, serta MRI
(magnetic Resonance imaging).10,11
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk
mengukur berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk
menentukan tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan
gambaran radiologi sederhana. Gambaran radiologi konvensional yang
khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan trabecular
yang lebih lusen.

Tatalaksana
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara meghambat
kerja osteoklas (anti resorptif) dan/ atau meningkatkan kerja osteoblas
(stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada
umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti
resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bifosfonat, dan kalsitonin.
Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-fluoride, PTH dan
lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti
resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan
kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH
(hiperparatidroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan
osteoporosis menjadi tidak efektif.5
Terapi osteoporosis telah menjadi subjek penelitian yang
mendalam. Suplementasi estrogen telah dibuktikan dapat menurunkan
secara bermakna kecepatan pengurangan tulang dan kalsium pada
perempuan pasca menopause, tetapi terpai ini tmapaknya tidak
memulihkan perubahan struktural yang sudah terjadi di tulang. Asupan
kalisum dalam makanan yang adekuat sebelum usia 30 tahun tampaknya
menurunkan risiko osteoporosis pada usia selanjutnya, mungkin dengan
meningkatkan densitas tulang maksimum. Suplementasi kalsium pada
tahap kehidupan selanjutnya dapat sedikit memperlambat laju kehilangan
tulang. Terapi lain yang menjanjikan adalah pemberian suatu golongan
obat yang dikenal dengan bifosfonat. Golongan obat yang lebih baru,
modulator reseptor estrogen selektif (selectif estrogen receptor
modullator, SERM), tampaknya memberikan efek bermanfaat bagi massa
tulang seperti yang dihasilkan oleh estrogen, tetapi tanpa disertai efek
samping terapi estroge konvensional yang berpotensi bahaya. Pemberian
kalsitonin akhirnya dapat mengurangi fekuensi fraktur vertebrae dan
mungkin bermanfaat bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi
estrogen.7

2.2 Osteoartritis

a) Definisi Osteoartritis(5)
Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi kronik yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis
rawan sendi serta matriks ekstraseluler, kondrosit dan tulang
subkondral pada usia tua. Pada OA terjadi perubahan morfologi,
biokimia, molekuler dan biomekanik baik pada sel kondrosit maupun
matriks rawan sendi yang mengakibatkan perlunakan, ulserasi,
hilangnya rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral,
osteofit dan kista subkondral. Timbul rasa nyeri, nyeri tekan dan
penurunan kisaran gerak sendi serta kekakuan sendi.
b) Etiologi Osteoartritis (5)
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu
OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik
yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubunganya
dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada
sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh
faktor - faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam
aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit
sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA
sekunder.

c) Klasifikasi Osteoartritis (6)


Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam
pemeriksaan radiologis diklasifikasikan sebagai berikut:
- Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda - tanda OA pada
radiologis
- Grade 1: Ragu - ragu, tanpa osteofit
- Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar
sendi
- Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang
cukup besar
- Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar
sendi yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan


kesehatan seseorang berdasarkan derajat keparahan. Antara lain
sebagai berikut:
- Derajat 0: Tidak merasakan tanda dan gejala
- Derajat 1: Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas
cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara
mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.
- Derajat 2: Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi,
nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus,
membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu
berjalan jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan
pekerjaan rumah.
- Derajat 3-4: Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi,
kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap
hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi,
ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas.

d) Patofisiologi Osteoartritis (6)


OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi,
remodellingtulang, dan inflamasi. Terdapat fase penting dalam proses
pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase
degradasi.
- Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi
berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit
mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel,
faktor tersebut seperti Insulin - like growth factor (IGF-1), growth
hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor - faktor ini menginduksi
khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan
protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran
penting dalam perbaikan rawan sendi.
- Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif
terhadap IGF sehingga meningkatnya pro inflamasi sitokin dan
jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1 (Inter Leukin-1) dan
tumor nekrosis faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi
seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi
pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada
jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan
menghasilkankerusakan pada sendi.
- Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini
menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada
pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya
iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya
mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat
menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan
tendo, ligamen serta spasme otot - otot. Nyeri juga diakibatkan oleh
adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang
berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena
intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling
trabekula dan subkondrial.
- Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi
yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi.
Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila
terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau
CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin
ini akan merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin
ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor
pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan
selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi
komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan
merangsang sintesis.
e) Manifestasi Klinis Osteoartritis(6)
OA dapat mengenai sendi - sendi besar maupun kecil.
Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki,
pinggul, lutut.
- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium,
tekanan pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan
saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta
spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan
aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas
minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa
berkurang dengan istirahat.
- Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika
pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah
bangun pagi.
- Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada
tulang sendi rawan.
- Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada
tangansebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi
Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena
adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)).
Klinis dan laboratorium Klinis dan radiologis Klinis
Nyeri lutut ditambah Nyeri lutut ditambah Nyeri lutut ditambah
minimal 5 dari 9 kea- minimal 1 dari 3 kea- minimal 3 dari 6
daan dibawah ini : daan dibawah ini : keadaan dibawah ini:
- Umur > 50 thn - Umur > 50 tahun - Umur > 50 tahun
- Kaku < 30 mnt - Krepitasi - Kaku < 30 menit
- Krepitasi - Osteofit - Krepitasi
- Nyeri tekan tulang - Sensitivitas 91% - Nyeri tekan tulang
- Pembesaran tulang - Spesifisitas 80% - Pembesaran tulang
- Perabaan tidak panas - Teraba tidak panas
- LED < 40 mm/mnt - Sensitivitas 95%
- RF < 1/40 - Spesifisitas 69
- SFà sesuai OA
- Sensitivitas 95%
- Spesifisitas 75
- Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan
kemampuan pergerakan sendi yang progresif.
- Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya
perlahan - lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada
sendi tangan atau lutut.

f) Diagnosis Osteoartritis (7)


Diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan kriteria klasifikasi The
American College of Rheumatology.
Pemeriksaan Penunjang(7)
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan
fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan
pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk
membantu penegakan diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah
terutama pada OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk
menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah diakses serta
lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI.
- Radiologi
Gambaran radiologi OA sebagai berikut:
Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji)
yang terbentuk di tepi sendi.
Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan
menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak sama.
Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat
terpisahnya kartilago dengan osteofit.
Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di
sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista
degeneratif.

Bagian yang sering terkena OA :


 Lutut :
o Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial
pada rongga sendi.
o Kompartemen bagian medial merupakan penyangga
tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga
hampir selalu menunjukkan penyempitan paling dini.

 Tulang belakang :
o Terjadi penyempitan rongga diskus.
o Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji)
antara vertebra yang berdekatan sehingga dapat
menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau
kompresi medula spinalis.Sklerosis dan osteofit pada
sendi - sendi apofiseal invertebrata.
 Panggul :
o Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga
berat badan yang terlalu berat, sehingga disertai
pembentukan osteofit femoral dan asetabular.
o Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
o Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA
panggul yang sudah berat.
 Tangan:
o Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
o Sendi - sendi interfalang proksimal (nodus Bouchard)
o Sendi - sendi interfalang distal (nodus Heberden)
g) Tatalaksana Osteoartritis (7)
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda
dan gejala OA, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan
kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi
osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi,
pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.
a. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi
kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk
obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap
berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda,
berenang).
b. Fisioterapi
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching,
akupuntur, transverse friction (tehnik pemijatan khusus untuk
penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi
Pertolongan ortopedi kadang - kadang penting dilakukan
seperti sepatu yang bagian dalam dan luar didesain khusus pasien
OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi sendi
d. Farmakoterapi
 Analgesik / anti - inflammatory agents.
COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik.
Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus
selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas.
Contoh: Ibuprofen : untuk efek antiinflamasi
dibutuhkan dosis 1200 - 2400mg sehari. Naproksen : dosis
untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250 - 375mg sehari. Bila
perlu diberikan 2x500mg sehari.
 Glucocorticoids
Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat
menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi. Contoh:Injeksi
triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg
atau 40 mg
 Asam hialuronat
 Kondroitin sulfat
e. Operatif
Indikasi dilakukan tindakan operatif bila: (7)
o Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi
o Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penanganan
medikamentosa dan rehabilitatif

Terdapat dua tipe terapi pembedahan:


1. Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong
tulang dan merubah sudut dari weight bearing. Tujuannya adalah
membuat kartilago sendi yang sehat menopang sebagian besar berat
tubuh. Dapat pula dikombinasikan dengan ligamen atau meniscus
repair.
2. Arthroplasty
Artroplasti adalah prosedur rekonstruksi sendi sehingga
pergerakannya lebih baik. Artroplasti eksisional adalah tindakan
eksisi tulang untuk dibentuk menjadi sendi palsu baru, contohnya
eksisi kaput femur lalu ruang sendi diisi dengan massa jaringan
lunak seperti otot gluteus. Protesis juga dapat digunakan untuk
mengganti sebagian atau seluruh sendi, contohny pada total knee
replacement arthroplasty. Bila kerusakan hanya pada satu
kompartemen saja dilakukan hemiartriplasti, tetapi bila seluruh
kompartemen rusak dilakukan artroplasti total.
2.3 Spondilosis
Spondilosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang yang disebabkan
oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis. Proses
degeneratif tersebut mengakibatkan menyempitnya jarak antar vertebra,
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis dan iritasi pada persendian posterior. 16 Rasa nyeri pada
spondilosis ini dapat disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks
oleh kantong durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang.

Low Back Pain akibat Spondilosis

Spondilosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus


vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang
pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan spondilosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam
waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia
menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia
40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan
perkembangan spondilosis lumbar. Spondilosis lumbal seringkali
merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk
karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi
umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen
vertebra yang seringkali mengalami spondilosis adalah diskus
intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama
ligamen flavum).16

Manifestasi klinis
Banyak orang dengan spondilosis pada sinar-X tidak memiliki
gejala apapun. Faktanya, spondilosis ada pada 27%-37% orang dapat
tanpa gejala. Pada sebagian besar riset, spondilosis menyebabkan nyeri
punggung dan nyeri leher akibat adanya kompresi saraf. Kompresi di
servikal dapat menyebabkan nyeri di leher, bahu dan sakit kepala.
Kompresi saraf spinal dapat disebabkan oleh tonjolan diskus dan tonjolan
tulang pada sendi faset pasien spondilosis, menyebabkan penyempitan
pada foramen intervetebre tempat keluar dari kanalis spinalis yang
disebut dengan foraminal stenosis. Bahkan jika mereka tidak cukup besar
untuk secara langsung menekan saraf, diskus yang menggembung dapat
menyebabkan radang lokal dan menyebabkan saraf di tulang belakang
menjadi lebih sensitif, meningkatkan rasa sakit. Herniasi diskus juga
menyebabkan terdorongnya ligamen vetebre dan menyebabkan rasa
sakit.
Gejala spondilosis meliputi nyeri lokal di daerah spondilosis,
biasanya di punggung atau leher. Spondilosis pada tulang belakang leher
bisa menyebabkan sakit kepala. Namun, masih kontroversi apakah
spondilosis ringan, seperti tonjolan tulang kecil dan diskus yang sedikit
menonjol tidak menekan saraf yang menyebabkan sakit punggung.17 Hal
ini karena kebanyakan orang paruh baya dan orang tua memiliki temuan
abnormal pada pemeriksaan rontgen spondilosis, bahkan saat mereka
benar-benar bebas dari rasa sakit. Oleh karena itu, faktor lain
kemungkinan merupakan kontributor utama terhadap nyeri punggung
mereka.
Spondilosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul
dari vertebra lumbalis. Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior,
superior, dan sisi lateral vertebra. Pembentukan osteofit timbul karena
terdapat tekanan pada ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka
akan terjadi kompresi pada saraf tersebut, dan dari hal itu dapat
menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun menjalar, parastesia atau
mati rasa, dan kelemahan otot.17
Jika diskus hernia dari spondilosis menyebabkan saraf terjepit, rasa
sakit bisa masuk ke tungkai kaki. Misalnya, herniasi yang besar terjadi
pada diskus di tulang belakang lumbar dapat menyebabkan kompresi
saraf dan menyebabkan rasa sakit yang berasal dari punggung bawah dan
kemudian menyebar ke kaki. Nyeri yang menjalar dari pangkal ke ujung
ini disebut radikulopati. Persarafan skiatik yang membentang dari
punggung bawah kaki sampai kaki, terpengaruh. Radikulopati dan
skiatika sering menyebabkan mati rasa dan kesemutan (sensasi pin dan
jarum) pada ekstremitas.

Nyeri Skiatika
Nyeri punggung karena osteofit yang menonjol biasanya akan lebih
buruk dengan berdiri lama, duduk, dan membungkuk maju dan seringkali
lebih baik dengan perubahan posisi yang sering dan berjalan. Terdapat
perbedaan manisfestasi nyeri punggung, seperti LBP akibat osteoarthritis
sendi facet biasanya lebih buruk dengan berjalan dan berdiri dan lega
dengan lentur ke depan.18
Apabila terjadi penekanan yang amat berat, kelemahan ekstremitas
yang terkena dapat terjadi. Jika hernia diskus mendorong sumsum tulang
belakang, ini bisa menyebabkan luka pada sumsum tulang belakang
(mielopati). Spondilosis dengan mielopati mengacu pada spondilosis
yang melukai sumsum tulang belakang. Spondilosis tanpa mielopati
mengacu pada spondilosis tanpa cedera pada sumsum tulang belakang.
Gejala mielopati meliputi mati rasa, kesemutan, dan kelemahan.
Misalnya, hernia yang besar terjadi pada diskus di tulang belakang
servikal dapat menyebabkan mielopati servikal jika cukup besar untuk
mendorong sumsum tulang belakang dengan gejala mati rasa, kesemutan,
dan kelemahan di lengan dan kemungkinan kaki.

Diagnosis
Diagnosis spondilosis dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan radiologi seperti sinar-X film polos, MRI, atau CT scan.
Sinar-X dapat menunjukkan taji tulang (Osteofit) pada korpus vertebra di
tulang belakang, penebalan sendi facet (sendi yang menghubungkan
tulang belakang satu sama lain), dan penyempitan ruang diskus
intervertebralis. Foto polos dapat menilai adanya spondilosis namun tidak
sepesifik apabila dibandingkan dengan MRI.
CT scan tulang belakang mampu memvisualisasikan tulang
belakang secara lebih rinci dan dapat mendiagnosis penyempitan saluran
tulang belakang (stenosis tulang belakang) saat ini. MRI mahal tapi
menunjukkan detail terbesar di tulang belakang dan digunakan untuk
memvisualisasikan diskus intervertebralis, termasuk tingkat herniasi
diskus, jika ada. MRI juga digunakan untuk memvisualisasikan vertebra,
sendi facet, saraf, dan ligamen di tulang belakang dan dapat dengan andal
mendiagnosis saraf terjepit.19
Gambaran spondilosis (kiri) pada foto polos
(kanan) pada MRI
(A),(B),(C) menunjukan jenis spesifik osteofit.
Tabel 2.1. Perubahan degeneratif pada pemeriksaan MRI
Ciri Deskripsi
Perubahan  Berkurangnya tinggi vertebrae
tulang vertebrae Meningkatnya diamere anterior-
posterior Pembentukan osteofit
 Hourglass reshaping
Degenerasi  Berkurangnya tinggi diskus
diskus  Diskus bulging /menonjol
intervertebrae  Simetris
 Asimetris Herniasi
 Melewati annulus fibrosus tapi
tidak sampe PLL
 Melewati annulus fibrosus dan
PLL
 Melewati annulus fibrosus, PLL
dan duramarer
 Sequestrasi
Perubahan PLL  Hipertropi
 Osifikasi

Perubahan  Hipertropi Osifikasi


Ligamentum  Kalsifikasi
Flacum
Perubahan  Spondililistesis/subluksasi
structural lain Stenosis kanalis spinalis Autofusi
vertebrae
 Kifosis
Patologis pada  Kompresi Spinal Cord
Medulla  Penggepengan (perataan) Spinal
Spinalis cord Tambatan Spinal Cord

Pemeriksaan Radiologi (MRI maupun X-ray) dapat menentukan


grading mernurut Kellgren, adapun kunci parameter grading ini berupa
osteofit, tinggi diskus intervertebralis dan sclerosis dari end plate
vertebra, yaitu:20
 Grade 0 (normal) : Tidak ada perubahan degeneratif
 Grade 1 (minimal/awal) : Pembentukan osteofit minimal di anterior,
tidak adapengurangan dari tinggi discus intervertebrae dan
tidak ada sklerosis pada end plate.
 Grade 2 (ringan) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas, sedikit
pengurangan tinggi diskus intervertebralis (<25%) dan tampak
sedikit skleroris pada end plate.
 Grade 3 (sedang) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas,
penyempitan sedang pada ruang diskus (25- 75%), sklerosis pada
endplate dan sclerosis pada osteofit terlihat jelas.
 Grade 4 (berat) : Pembentukan osteofit yang besar dan multiple,
penyempitan yang berat pada ruang diskus (>75%), dan sklerosis
pada endplate yang ireguler.

Tatalaksana
Tidak ada pengobatan untuk membalikkan proses spondilosis,
karena ini adalah proses degeneratif. Perawatan untuk spondilosis
menargetkan nyeri punggung dan nyeri leher yang dapat menyebabkan
spondilosis. Karena itu, pengobatan spondilosis ini mirip dengan
pengobatan nyeri punggung dan nyeri leher. Pengobatan yang tersedia
termasuk dalam beberapa kategori: obat-obatan, perawatan diri, latihan
dan terapi fisik, terapi tambahan alternatif (chiropractics and
akupunktur), prosedur invasif minimal seperti suntikan, dan pembedahan.

2.4 Spondilolistesis

Definisi
Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus
vertebrata terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi
karena adanya defek antara sendi pacet superior dan inferior (pars
interartikularis). Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau
gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan
konservatif memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi
pada semua lever vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada
vertebrata lumbal bagian bawah seperti (gambar 4.7) terlihat adanya
subluksasi ke anterior dan pada foto polos menunjukan adanya
spondilolistesis pada lumbal 5.21
Curvatura normal dan tulang belakang menjaga keseimbangan
berat badan dengan mempertahankan pusat gravitasi pada kaki. Bentuk
abnormal dari kurvatura tulang belakang berhubungan erat dengan
spondilolistesis. Lindholm dkk melaporkan bahwa 60% (dari 75 pasien
dengan isthmic spondilolistesis) yang mengalami peningkatan lordosis,
memerlukan tindakan operasi.22

Manifestasi Klinis
Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada
spondilolistesis. Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke
bagian posterior kaki. Hal ini diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki.
Dari studi eksperimental didapatkan bahwa gerakan fleksi, ekstensi tidak
terlalu bermakna dalam menimbulkan spondilolistesis. Diduga bahwa
gerakan puntiran (torsinal) menjadi penyebab rusaknya pars
interartikularis sehingga terjadi spondilolistesis. Konsentrasi tertinggi
dari biomekanikal terdapat lumbal, terutama di pars interartikularis.

Gambaran Radiologis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan:
a. Foto polos

Spondilosistesis L4-5.
b. MRI

Spondilolistesis Lumbal pada MRI

Ada dua metode klinis untuk mengukur derajat slip pada


spondilolistesis yakni metode Meyerding dan Taillard. Metode
Meyerding: permukaan superior sakrum dibagi empat bagian sepanjang
diameter anterior posterior. Derajat slip dihitung sesuai dengan
pembagian tersebut.13

Mengukur derajat slip dengan metode Meyerding


Metode Taillard: derajat slip dihitung dalam persentase, seberapa
lebar pergeserannya dalam diameter anterior posterior. Bila ada sklerosis
dan kelainan bentuk sakrum sehingga mengukur dengan cara diatas sulit,
maka digunakan modifikasi yakni dengan mengukur body L5.
Mengukur derajat slip dengan metode Taillard.
Pengukuran derajat slip penting untuk menentukan tindakan
pengobatan. Pada anak dan dewasa muda ini juga penting untuk melihat
progresivitas. Untuk derajat slip lebih besar 50% penilaian sudut slip juga
penting. Sudut ini dibentuk oleh garis yang melalui permukaan superior
dari dua vertebrata. Bila permukaan superior sakrum tumpul garis
dibentuk sepanjang bagian belakang vertebral body. Cara lain dapat
dengan mengukur sakral inklinasi, yakni sudut yang dibentuk antara
posterior sakral body cortex dari S1 dan garis vertikal. Semakin tinggi
derjat slip semakin besar kecendrungan slipnya dikemudian hari.24
Tatalaksana
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif.
Pengobatan non operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit
neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan
pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian brace,
pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu
aktifitas, yang gagal dengan non operatif manajemen diindikasikan untuk
operasi. Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan
serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip
menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi
untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi
harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan
simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative
dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus dilakukan
karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan
operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas
slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada
fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease,
motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse.25

2.5 Facet Joint Arthropathy

Definisi
Facet Joint Arthropathy merupakan penyakit degeneratif yang
mengenai sendi facet tulang belakang. Degenerasi yang terjadi diawali
dengan degradasi tulang rawan sendi kemudian menyebabkan erosi dan
penyempitan celah sendi, serta terjadinya sklerosis pada tulang
subchondral.26
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah :
 Nyeri
Gejala nyeri yang dirasakan bisa lokal dan menjalar. Gejala lokal
dirasakan berupa back pain di area terjadinya kelainan sendi facet.
Penjalaran nyeri terjadi karena infiltrasi ataupun stimulasi elektrik
terhadap serabut saraf yang terkena. Kelainan yang mengenai sendi
facet lumbal akan dirasakan sampai ke ekstremitas bawah hingga
dibawah lutut tanpa adanya defisit neurologis. Nyeri bisa dirasakan
hilang timbul, biasanya akan meningkat di pagi hari, saat istirahat,
aktivitas fisik berat, dan ekstensi lumbal atau gerakan rotasi
pinggang. Nyeri bisa juga dirasakan ke area abdomen dan pelvis. 27

Penjalaran nyeri facet joint pain. a. penjalaran ke bagian anterior. b. penjalaran


kebagian tubuh posterior, frekuensi penjalaran tersering di area berwarna biru tua.2

Diagnosis
e. Pemeriksaan Konvensional

Penilaian radiologis awal untuk menilai keluhan nyeri pinggang bisa


dilakukan berupa rontgen thorakolumbal atau lumbosakral AP,
lateral, dan obliq. Rontgen oblig merupakan pemeriksaan terbaik
untuk menilai sendi facet karena posisi nya berada di obliq (Scottie
dog).
Kelainan degeneratif yang dapat ditemukan berupa; penyempitan
celah sendi, sklerosis, hipertrofi tulang, dan osteofit. Bisa juga
ditemukan adanya intraarticular gas (vacum phenomenom) dan
spondilolistesis.28
Radiologi konvensional lumbal posisi, AP (A), lateral (B), obliq kiri (C), dan obliq
kanan (D).29
f. CT-Scan

Dibandingkan dengan radiografi standar, CT-Scan dapat


menggambarkan sendi facet lebih jelas. Pada CT-scan kita dapat
melihat penyempitan ruang sendi dengan sklerosis dan erosi
subkondral, pertumbuhan berlebihan osseous dan / atau hipertrofi
dari ligamentum flavum. Tanda sekunder dapat ditemukan
intraarticular gas, efusi sendi, dan spondilolistesis. Penarikan
terhadap sendi facet selama subluksasi dapat menyebabkan
terbentuknya gas di ruang intraartikular.28

CT-Scan vertebrae lumbal. Potongan sagital (A) dan aksial (B) menunjukkan
adanya degenerasi sendi facet dengan anterolistesis L4, juga ditemukan osteofit,
hilangnya ruang antar sendi, dan sklerosis subkondral. 19
g. MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas diagnostik


noninvasif dan nonionisasi yang menggambarkan jaringan lunak
dengan sangat baik. Kelebihan MRI dapat menggambarkan
keterlibatan struktur jaringan saraf disekitarnya. Proses degeneratif
kronis dapat melibatkan peradangan sinovial dan edema intrartikular
yang dapat dideteksi dengan MRI. Adanya cairan berlebih dan kista
sinovial sendi facet sangat signifikan untuk sugestif spondilolistesis,
tapi tidak spesifik membuktikan asalnya dari sendi facet.30

MRI vertebrae lumbal. Peradangan aktif sinovial dan edema intra artikular;
potongan aksial (a) dan sagital (b,c).28

Tatalaksana
Tatalaksana Facet Joint Arthropathy adalah :
1. Analgetik :
Terapi awal yang dapat diberikan berupa terapi anti nyeri seperti;
asetaminofen, NSAID, muscle relaxan.
2. Steroid
Pemberian terapi steroid untuk mengurangi inflamasi sehingga dapat
mencegah progresifitas degenerasi dan nyeri.
3. Bedah

Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan berupa stabilisasi


dekompresi (laminectomy).31

2.6 Spinal Canal Stenosis

Definisi
Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis
spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar
saraf yang keluar dari foramen tersebut. Struktur anatomi yang
bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal meliputi struktur tulang
dan jaringan lunak. Struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet
(merupakan penyebab tersering), penebalan lamina, osteofit pada corpus
vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondilolistesis),
hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet kongenital.
Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum
(penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus,
penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari
sendi facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat
mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal canal
stenosis.32,33

Manifestasi Klinis34
1. Nyeri punggung
Merupakan gejala yang timbul akibat penekanan terhadap struktur
sekitar kelainan.
2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki (linu panggul)
Tekanan pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan rasa sakit di
daerah pasokan saraf. Rasa sakit dapat digambarkan sebagai nyeri atau
rasa seperti terbakar. Ini biasanya dimulai di daerah bokong dan
memancarkan ke kaki. Rasa sakit di kaki yang sering disebut
"sciatica."

3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki


Saat tekanan pada saraf meningkat, mati rasa dan kesemutan sering
disertai nyeri terbakar. Meskipun tidak semua pasien akan mempunyai
keluhan nyeri terbakar dan mati rasa dan kesemutan pada kedua
kakinya.
4. Kelemahan di kaki atau "foot drop"
Setelah tekanan pada saraf mencapai tingkat kritis, kelemahan dapat
terjadi pada satu atau kedua kaki. Beberapa pasien akan memiliki drop
foot, atau merasakan kaki mereka di tanah saat berjalan.
5. Lebih sedikit nyeri dengan bersandar ke depan atau duduk
Studi dari lumbar tulang belakang menunjukkan bahwa bersandar ke
depan benar-benar dapat menambah ruang yang tersedia untuk saraf.
Banyak pasien merasa nyaman ketika membungkuk ke depan dan
terutama dengan duduk. Nyeri biasanya diperparah dengan berdiri
tegak dan berjalan. Beberapa pasien memperhatikan bahwa mereka
bisa naik sepeda statis atau berjalan bersandar pada keranjang belanja.
Berjalan lebih dari 1 atau 2 blok, bagaimanapun, dapat membuat pada
linu panggul menjadi semakin parah atau terjadi kelemahan.
6. Abnormal fungsi usus / dan atau fungsi kandung kemih
7. Hilangnya fungsi seksual

Gambaran Radiologis
a. Radiologi Konvensional
Pemeriksaan radiologi konvensional dapat membantu menentukan
adanya tanda stenosis spinal berupa degenerasi tulang dan alignment
corpus vertebra posisi lateral dan coronal. Sensitifitas dan spesifisitas
pemeriksaan radiologi konvensional untuk penilaian stenosis spinal
yakni 86 % dan 96 %.31
b. Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan metode pemeriksaan
noninvasif dan cocok untuk mengevaluasi stenosis spinal dalam
keadaan istirahat. Pemerikasaan MRI ini dapat membedakan jaringan
lunak dan menilai status diskus intervertebralis. Gambar potongan
sagital bisa berguna untuk mendiagnosis stenosis sentral berupa
penyempitan kanalis intervertebral. Selain itu juga dengan menilai
foramen intervertebralis dan lemak sekitar disekitar radiks.31

Gambaran stenosis spinal pada MRI dengan tidak adanya lemak sekitar serabut
saraf.27

c. CT-Scan
CT-Scan dapat digunakan untuk mengevaluasi kanalis spinalis dan
membedakan kompresi kanalis spinalis yang disebabkan oleh diskus,
ligamen, dan struktur tulang. Keterbatasan CT-Scan ini tidak dapat
menggambarkan serabut saraf dan medula spinalis karena memililki
densitas yang sama dengan cairan serebrospinal.31

Tatalaksana Spinal Canal Stenosis


a. Non operatif
Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan
fungsi dan menghilangkan rasa sakit. Pemberian obat anti-inflamasi
untuk mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh tekanan pada
saraf tulang belakang, dan mengurangi inflamasi (pembengkakan) di
sekitar saraf. Obat yang bisa digunakan seperti Nonsteroid
antiinflammatory drugs (NSAID); aspirin dan ibuprofen.
Kortison adalah anti inflamasi kuat. Injeksi kortison pada sekitar
saraf atau diruang epidural bisa mengurangi pembengkakan dan rasa
sakit. Pemberian steroid injeksi hanya untuk mengurangi inflamasi,
tidak dapat mengurangi gangguan neurologis yang terjadi.32
b. Talaksana operatif
Pembedahan untuk stenosis spinal umumnya ditunda pada pasien
yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan
kelemahan. Ada dua pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis
tulang belakang lumbal: laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi
dapat menghilangkan rasa sakit yang sangat baik.
Prosedur Laminektomi melibatkan pengeluaran tulang, taji
tulang, dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat
disebut "dekompresi." Laminektomi dapat dilakukan dengan operasi
terbuka, di mana dokter melakukan sebuah sayatan yang besar untuk
mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana dibuat
beberapa sayatan kecil.
Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan tulang
belakang, kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal fusion
dapat dianjurkan. Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra
disatukan bersama-sama. Cangkok tulang diambil dari tulang
panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk memadukan
tulang belakang. Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan
mencegah terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi.33
BAB III
KESIMPULAN

Kelainan degeneratif tulang adalah kelainan yang timbul akibat dari proses
degenerasi sel tulang, berkurangnya massa otot dan menurunnya densitas tulang.
Dimana hal ini akan menyebabkan beberapa penyakit pada tulang. Oleh karena
itu, diperlukan beberapa pemahaman mengenai penyakit yang dapat terjadi pada
saat tulang mengalami degenerasi.

1. Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai


dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan
mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan
tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang.
2. Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi kronik yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis rawan sendi serta matriks
ekstraseluler, kondrosit dan tulang subkondral pada usia tua. Timbul rasa nyeri,
nyeri tekan dan penurunan kisaran gerak sendi serta kekakuan sendi.
3. Spondilosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang yang disebabkan
oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis. Proses
degeneratif tersebut mengakibatkan menyempitnya jarak antar vertebra,
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan
foramen intervertebralis dan iritasi pada persendian posterior.
4. Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata
terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya
defek antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis).
5. Facet Joint Arthropathy merupakan penyakit degeneratif yang mengenai
sendi facet tulang belakang. Degenerasi yang terjadi diawali dengan
degradasi tulang rawan sendi kemudian menyebabkan erosi dan
penyempitan celah sendi, serta terjadinya sklerosis pada tulang
subchondral.
6. Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis atau
foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
2. Czervionke LF, Haughton VM. Degenerative disease of the spine.
In: Atlas SW, editor. Magnetic resonance imaging of the brain and
spine. Phila- delphia: Lippincott-Raven Publisher; 2002. p. 1633–
714.
3. Scanlon, Valarie C. 2006. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Lindsay R CFOIFA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, et al., editor. Harrison’s principle of internal
medicine 17 ed: Mc Grow-Hill USA; 2008. p. 2397-408.

5. Setiyohadi B. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi,


Marcellinus Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 2650-76.
6. American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for
Clinical Practice for the Prevention and Treatment of Post Menopausal
Osteoporosis: 2001 Editio, with selected updates for 2003. Endocr Pract
.Nov-Des 2003;9(6):544-64,
7. L. Kontrol Endokrin terhadap pertumbuhan. In: BI S, editor. Fisiologi
manusia dari sel ke sistem. 2 ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 632-88.
8. HM NS, Golden MH, Campbell MK, Reid DM. Nutritional associations
with bone loss during the menopausal transition: evidence of a beneficial
effect of calcium, alcohol, and fruit and vegetable nutrients and of a
detrimental effect of fatty acids. 2004:155–65.
9. Dk., Kumar, V. Sistem Muskuloskeletal. In: Kumar, V., Cotran, RS.,
Robbins, SL, editor. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed 7, Vol. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. P. 843-79.
10. IKS. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam. 2009;10(2):158-70
11. Y., Noersasongko D., Sunaryo H. Fraktur Akibat Osteoporosis. Jurnal e-
CliniC (eCl). 2014;2(2).

12. Buckup K. Clinical Tests for The Musculoskeletal System. New


York:Thieme. 2004:103-14.
13. Davey P., 2006. At a Glace Medicine. Alih bahasa oleh, Rahmalia A.,
Novianti C. Jakarta: Erlangga. 374-5 Junqueira,L., 2007. Histologi Dasar:
Teks & Atlas, Ed. 10. Jakarta: EGC
14. Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson
JL. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed 16. New York:
McGraw-Hill.
15. Suarjana, I.N., 2009. Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. hal. 2495-508. FKUI. Jakarta.
16. Sutton D, Radiology and imaging, 7th ed vol II. London: churcill
livingstone,2003.
17. Rupesh Namdev, et al. Cervical Degeneratif Spondylosis (grading).
Radiopaedia 2017.
18. Jayakumar P, Nnadi C, Saifuddin A, et al. Dynamic
degenerativelumbar spondylolisthesis: diagnosis with axial
loaded magnetic resonance imaging. Spine. 2006; 31: 298–301.
19. Nouri A, Allan RM, David M, Michael GF. Magnetic Resonance Imaging
Assessment of Degeneratif Cervical Myelopathy : A Review of Structural
Changes and Measurement Techniques. Neurosurgical Focus. 2016;
40(6)
20. Murtagh R. The art and science of nerve root and facet blocks.
Neuroimaging Clin N Am. 2000; 10: 465–77.
21. Piraccini E, Calli M, Corso RM, Byrne H, Maitan S. Abdominal and
pelvic pain: an uncommon sign in lumbar facet joint syndrome. Minerva
Anestesiol. 2017; 83(1): 104–5
22. Varlotta GP, Lefkowitz TR, SchweitzerM. The lumbar facet joint: a
review of current knowledge: part 1: anatomy, biomechanics and grading.
Skeletal Radiol. 2011; 40(1): 13–23
23. Faure MH, Van Goethem JWM, Venstermans C. Radiologic Imaging of
facet joints. Antwerp University Hospital & University of Antwerp. 2013:
1-8
24. Clarençon F, Law-Ye B, Bienvenot P, Cormier É, Chiras J. The
Degenerative Spine. Magn Reson Imaging. Clin N Am. 2016; 24(3): 495–
513
25. Cohen SP, Raja SN. Pathogenesis, diagnosis, and treatment of lumbar
zygapophysial (facet) joint pain. Anesthesiology. 2007; 106(3): 591–614
26. Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. McGraw Hill
co. 2005: 194-212.
27. Kalichman L, Cole R, Kim DH, Li L, Suri P, Guermazi A, et al. Spinal
stenosis prevalence and association with symptoms: the Framingham
Study. Spine J. 2009; 9(7): 545-50.
28. Scavone JG, Latshaw F. Anteroposterior and lateral radiographs: an
adequate lumbar spine examination. AJR Am.J. Roentgenol. 1981;136,
715–7.
29. Modic MT. Acute low back pain and radiculopathy: MRI imaging findings
and their prognostic role and effect on outcome. Radiology. 2005; 237:
597–604.
30. Seung YL, Tae-Hwan K, Jae KO, Seung JL, Moon SP. Lumbar Stenosis:
A Recent Update by Review of Literature. Asian Spine J. 2015; 9(5): 818-
28.
31. Alyas, F., Connell, D. Upright positional MRI of the lumbar spine. Clin.
Radiol. 2008; 63: 1035–48.
32. Murphy D, Hurwitz L, Gregory A. A non-surgical approach to the
management of lumbar spinal stenosis: a prospective observational cohort
study. BMC Musculoskelet. Disord. 2006;7:16.
33. Atlas J, Keller B, Wu YA, Deyo RA. Long-term outcomes of surgical and
nonsurgical management of lumbar spinal stenosis: 8 to 10 year results
from the Maine lumbar spine study. Spine. 2005:30: 936–943.

Anda mungkin juga menyukai