Anda di halaman 1dari 12

Diperkirakan sebanyak 75% orang akan mengalami nyeri punggung pada satu

waktu dalam hidupnya. Sebanyak 3-5% pasien datang dengan nyeri punggung
memiliki kondisi herniasi diskus, dan 1-2% dengan kompresi serabut saraf. Spinal
stenosis merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak sepenuhnya dapat
diprediksi. Proses degenerasi ini dapat dimanajemen, tetapi tidak bisa dicegah dengan
diet, olahraga, atau gaya hidup (Hsiang & Furman 2017).
Penyakit pada kolumna spinalis merupakan salah satu kondisi yang sering
ditemui pada masyarakat modern dan diperkirakan terjadi karena proses degeneratif,
khusunya pada diskus intervertebralis (diskopati) atau corpus vertebra yang saling
berdampingan (spondilosis). Dengan peningkatan usia, sebagian besar proporsi
masyarakat menunjukkan tanda diskopati dan spondilosis pada pemeriksaan
radiografi, yang berujung pada penyempitan kanalis spinalis yang biasanya terjadi
pada area servikal atau lumbal (Todd 2011; Meyer et al. 2008)
Penyempitan progresif dari kanalis spinalis dapat terjadi sendiri atau bersamaan
dengan herniasi diskus akut. Spinal stenosis kongenital atau didapat, memberikan
risiko yang lebih tinggi pada pasien untuk mengalami kerusakan saraf. Kejadian spinal
stenosis sering terjadi pada area servikal dan lumbar. Pemeriksaan yang dapat
digunakan antara lai radiogfrafi konvensional, magnetic resonance imaging (MRI),
computed tomography (CT) scanning, pencitraan nuklir, and angiography (jarang).
Tujuan dari pencitraan spinal adalah untuk mencari lokasi dan level dari penyakit
tersebut. Pencitraan ini juga mampu untuk membedakan stenosi dengan kondisi
lainnya (Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008)
Terapi yang dapat diberikan pada kondisi spinal stenosis berupa konservatif atau
pembedahan. Terapi konservatif berupa istirahat, terapi fisik dengan memperkuat otot-
otot paraspinalis, penggunaan postural biomekanik, obat antiinflamasi non steroid,
analgesik, dan antispasme. Pembedahan dekompresi diindikasikan pada pasien yang
mengalami nyeri hebat, defisit neurologis, atao myelopati (Hsiang & Furman 2017;
Meyer et al. 2008).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Diameter anteroposterior (AP) kanalis servikalis dari laki-laki dewasa normal


berkisar antara 17-18mm setinggi C3-C5. Kanalis servikalis pada posisi lebih bawah
berdiameter 12-14mm. Stenosis servikal adalah terdapatnya diameter AP <10mm,
sedangkan diameter 10-13 mm umumnya stenotik pada regio servikal atas.
Spondylosis servikal adalah perubahan degeneratif dari vertebra servikalis yang
berupa degenreasi diskus intervertebra, penyempitan celah diskus, pembentukan spur,
serta hipertrofi facet dan ligamen flavum yang dapat menyebabkan penyempitan
kanalis servikalis. Cervical spondylotic myelopathy (CSM) merupakan manifestasi
klinis akibat proses degenerasi tersebut (Meyer et al. 2008). Stenosis kanalis spinalis
dapat diklasifikasi menjadi (Greenberg 2006) :
1. Central canal
Penyempitan dimensi AP dari kanalis spinalis. Pengurangan dari ukuran
kanalis dapat kompresi saraf lokal dan/atau mengganggu vaskularisasi
menuju korda spinalis (servikal) atau cauda equina (lumbal).
2. Foraminal stenosis
Penyempitan foramen neural
3. Lateral recess stenosis

2.2. Epidemiologi

Diperkirakan sebanyak 75% orang akan mengalami nyeri punggung pada satu
waktu dalam hidupnya. Orang tua datang dengan gejala penyakir spinal degenretaif
yang berulang atau kronis. Sebanyak 3-5% pasien datang dengan nyeri punggung
memiliki kondisi herniasi diskus, dan 1-2% dengan kompresi serabut saraf (Todd
2011; Hsiang & Furman 2017).
Sebanyak 35% orang yang asimptomatis dan berusia 20-39 tahun menunjukkan
gambaran pembengkakkan diskus. Pemeriksaan CT scan dan MRI pada pasien yang
asimptomatis dan berusia kurang dari 40 tahun menunjukkan 4-28% kejadian spinal
stenosis dan yang berusia 60 tahun mengalami stenosis dalam bebrapa keparahan.
Karena banyak pasien dengan spinal stenosis ringan yang asimpotmatis, jumlah
absolut dari kejadian spinal stenosis hanya dapat diestimasikan (Kalichman et al.
2009).
2
Cervical spondylotic myelopathy merupakan penyebab paling sering dari
disfungsi korda spinalis pada orang berusia lebih dari 55 tahun. Diperkirakan,
myelopathy terdapat pada hingga 20% individu dengan spondylosis. Tidak terdapat
hubungan jelas antara stenosis dengan ras, pekerjaan, jenis kelamin, atau bentuk tubuh.
Stenosis servikal karena osifikasi ligamen longitudinal posterior lebih sering terjadi
pada orang asia (Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008).

2.3. Patofisiologi

Patofisiologi dari spinal stenosis berhubungan dengan disfungsi medula spinalis


yang disebabkan karena kombinasi dari kompresi mekanik dan proses degenerasi.
Seiirng penuaan, diskus intervertebralis mengalami degnerasi dan kolaps, yang
akhirnya membentuk spur. Hal ini sering terjadi pada C5-6 dan C6-7. Penurunan
pergerakan relatif dari tulang belakang terjadi pada level ini dengan diiringi
peningkatan pergerakan pada level C3-4 dan C4-5.
Tulang belakang merespon stres fisiologis dengan menumbuhkan tulang pada
margin superior dan inferior dari corpus vertebrae (osteofit). Osteofit dapat terbentuk
pada bagian anterior maupun posterior, dengan posterior ostefit dapat menyempitkan
diameter interspinalis dan juga menyebabkan stenosis reses lateral. Hal ini
menyebabkan himpitan pada medula spinalis atau percabangnya. Lebih jauh,
degenerasi arhtritis menyebabkan terbentuknya kista sinovial dan hipertofi facet joint,
yang memperburuk kondisi kanalis spinalis dan neural foramina (Hsiang & Furman
2017; Meyer et al. 2008)

Gambar 1. Perubahan degenratif pada vertebrae servikalis: protursi diskus (biru),


spondylophytes (biru gelap), hipertrofi lig. Flavum (kuning) yang menyebabkan
kompresi pada korda spinalis (hijau)

3
Diameter sagital dari kanalis spinalis bervariasi antar individu. Pada level C1
memiliki diameter sekitar 21,8 mm dan terisi 50% oleh medula spinalis, sedangkan
pada level C6 sekitar 17,8 mm dan terisi 75% oleh medulla spinalis (Meyer et al.
2008). Konten penting dari kanalis spinalis adalah medula spinalis, liquor
cerebrospinalis, dan membran dura. Kompresi kanalis spinalis dapat terjadi karena
pembengkakkan atau penonjolan annulus diskus intervertebralis, herniasi nukleus
pulposus ke posterior, penebalan ligamen longitudinal posterior, hipertrofi facet joint,
hipertrofi ligamen flavum, deposisi lemak epidural, spondylosis pada margin diskus
intervertebralis, hipertrofi uncovertebral joint pada leher, atau kombinasi 2 atau lebih
faktor di atas dengan kejadian servikal myelopathi tertinggi pada usia 50-60 tahun
(Daffner & Wang 2009; Kalichman et al. 2009).
Pada saat ekstensi, ligamen flavum menekuk, yang menyebabkan penekanan
pada kanalis spinalis. Saat ekstensi juga terjadi pemendekkan dan pelebaran dari korda
spinalis. Jika terdapat spinal stenosis, korda spinalis akan mengalami kompresi
tambahan, terhimpit oleh ujung posteroinferior dari salah satu korpus vertebra dan
lamina atau lgamen flavum dari segmen kaudal. Himpitan ini juga memberi kompresi
pada pembuluh darah yang memberikan perfusi pada korda spinalis terkait. Kekuatan
kompresi statis dan dinamis pada medula spinalis menyebabkan cedera pada medula
spinalis dan sindrom myelopati (Meyer et al. 2008).
Hasil dari proses degenerasi dan pergerakan abnormal menyebabkan instabilitas
dengan terjadinya anterolisthesis atau retrolistheis (subluksasi corpus vertebrae keluar
dari garis normal vertebrae servikalis). Sehingga, medula spinalis cenderung
mengalami kompresi akibat pembentukan spur pada C5-6 dan C6-7 serta kompresi
akibat listhesis pada C3-4 dan C4-5. Medula spinalis juga rentan mengalami kerusakan
lebih lanjut karena cedera dinamis yang repetitif pada saat menggerakkan leher (Meyer
et al. 2008)..

2.4. Etiologi

Stenosis primer jarang terjadi, hanya 9% dari seluruh kasus. Kejadian


malformasi kongenital antara lain: Penutupan vertebral arch incomplete (spinal
dysraphism), Kegagalan segmentasi, Achondroplasia, dan Osteopetrosis. Sedangkan
kegagalan perkembangan antara lain: Osifikasi vertebral arch dini, Pemendekan
pedikel, Thoracolumbar kyphosis, Apical vertebral wedging, Anterior vertebral
beaking (Morquio syndrome), dan Osseous exostosis. Penyebab stenosis sekunder

4
(yang didapat) disebabkan karena proses degeneratif, iatrogenik, proses sitemik, dan
trauma (Meyer et al. 2008; Hsiang & Furman 2017).

Tabel 1.Berbagai Etiologi Spinal Stenosis (Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008)
Proses Degeneratif Iatrogenik Proses Sistemik Trauma

Pembengkakkan atau Perubahan setelah Paget disease, fluorosis,


penonjolan annulus pembedahan acromegaly, neoplasm,
diskus intervertebralis (laminectomy, fusi, dan ankylosing
dan diskectomy) spondylitis.

Herniasi nukleus Ossification of posterior


pulposus ke posterior longitudinal ligament
(OPLL)

– Penebalan ligamen Rheumatoid arthritis


longitudinal posterior dan ankylosing
– Hipertrofi facet joint spondylitis
– Hipertrofi ligamen
flavum,

Spondylolisthesis

2.5. Diagnosis

Anamnesis
Perolehan data yang baik dari riwayat pasien merupakan hal penting untuk
menegakkan diagnosis, diagnosis banding dan indikasi untuk pembedahan. Pasien
dengan stenosis servikal dapat datang dengan gejala cervical radiculopathy,
dengan/tanpa myelopathy yang melibatkan vertebrae servikalis bawah. Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri pada lengan yang merambat dengan rasa kesemutan dan
paresthesia pada dermatom yang terlibat. Terkadang, kelemahan pada otot yang
dipersarafi oleh saraf spinalis yang terdampak juga terjadi (Meyer et al. 2008; Hsiang
& Furman 2017).

Pemeriksaan Fisik
Stenosis pada korda servikalis menimbulkan sindrom cervical spondylotic
myelopathy (CSM) yang diawali dengan menurunnya ketangkasan tangan dan
kelemahan ringan ektrimitas bawah proksimal, sering juga tanpa disertai nyeri leher
atau lengan. Dengan progresi penyakit, terjadi quadriparesis juga hiperrefleksia (Kelly
et al. 2012; Todd 2011; Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008).

5
- Nyeri pada leher
Merupakan keluhan yang sering ditemui. Sepertiga pasien dengan nyeri leher
karena spondylosis servikal degeneratif juga mengeluhkan sakit kepala dan lebih
dari dua pertiga dengan nyeri pada bahu unilateral atau bilateral
- Cervical Radiculopathy
Cabang saraf yang sering terlibat adalah cabang dari C6 dan C7 akibat
spondylosis C5-6 atau C6-7. Pasien mengeluhkan antara lain nyeri pada lengan,
penurunan sensoris, nyeri pada leher, paraestesia, penuruna refleks, dan
penurunan motorik
- Cervical myelopathy
Cervical myelopathy akibat spondylosis merupakan penyebab tersering
paraparesis dan quadriparesis. Onset perlahan diawali dengan kekakuan atau
penuruan kemampuan motorik halus pada tangan. Pasien juga merasakan
kekakuan dengan refleks yang meningkat, kelemahan motorik, kehilangan
sensoris, dan rasa kesemutan. (Kelly et al. 2012)
Jika stenosis yang terjadi cukup parah, atau terletak di tengah medulla spinalis,
pasien dapat mengeluhkan tanda dan gejala dari myelopathy (disfungsi korda spinalis).
Pasien dengan myelopathy dapat mengeluhkan rasa kesemutan pada jari, kekakuan,
dan kesulitan berjalan karena spastisitas dan kehilangan sensai dari posisi. Pada
pemeriksaan, pasien dengan myelopathy dapat memiliki “long-tract sign” seperti
hiperrefleksia, Hoffman sign positif, Babinski sign positif, dan/atau klonus (Hsiang &
Furman 2017; Meyer et al. 2008; Kelly et al. 2012).
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi konvensional tetap menjadi pencitraan awal yang direkomendasikan
pada kasus spinal stenosis (Talekar et al. 2017). Pada pasien dengan stenosis berat,
radiografi servikal bisa bermanfaat, meski begitu, kurang sensitif terhadap hipertrofi
jaringan lunak dan penyebab stenosis non-osseus. Pada pasien usia tua, radiografi
konvensional membantu mengeksklusi kondisi yang lebih serius, seperti fraktur
kompresi (Nadalo 2017).
Pada CT Scan, spinal stenosis terlihat jelas sebagai diameter dan luas
penampang yang berkurang dari kanalis spinalis. Hasil CT scan dapat ditingkatkan
dengan menggunakan kontras untuk memperjelas batas epidural. Temuan positif palsu
pada CT scan dapat disebabkan adanya scarring epidural karena kegagalan jaringan
fibrotik untuk bertambah bertahun-tahun setelah pembedahan. Temuan negatif palsu

6
terjadi karena lesi yang terdapat jauh di lateral yang tersamar dengan tulang di
sekitarnya (Nadalo 2017).
Pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan
untuk mendeteksi stenosis dan kerusakan yang terjadi pada korda spinalis, serta dapat
mengeksklusi kondisi lain seperti tumor spinal (Meyer et al. 2008). MRI dapat
mengevaluasi dengan baik kondisi korda spinalis serta memiliki akurasi yang
konsisten (Rüegg & Et Al. 2015).
Temuan dari MRI pada servikal stenosis dapat diklasifikasi ke dalam suatu
sistem grading yang dirumuskan oleh Kang et al. Pada grade 0, tidak ditemukan

Gambar 2. Klasifikasi temuan MRI berdasarkan Kang et al (Kang et al. 2011).

adanya stenosis central canal . Grade 1 terjadi sumbatan hampir total pada
subarachnoid space (>50%) tanpa adanya tanda deformitas korda spinalis. Grade 2
terjadi stenosis central canal dengan adanya deformitas korda namun tanpa perubahan
sinyal korda spinalis. Grade 3 ditemukan perubahan sinyal korda spinalis di dekat
area yang terkompresi pada gambar T2-weighted (Kang et al. 2011).

2.6. Penatalaksanaan

Terapi untuk pasien spinal stenosis dapat digolongkan menjadi terapi


konservatif dan terapi pembedahan (Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008; Todd
2011; Yeh et al. 2014)

7
Tabel 2.Penatalaksanaan spinal stenosis
Konservatif  Immobilisasi dengan cervical collar
 Intermittent bed rest
 Terapi Traksi (ekstensi longitudinal
dari cervical spine)

Obat:
 Non-steroidal anti-inflammatories
(NSAIDs)
 Muscle relaxants

Stabilisasi cervicothoracic spine:


 Memperkuat otot nuchal
 Memperkuat otot kuadran atas
 Memperkuat skapula

Menghindari aktivitas yang memberi


stress pada cervical spine
Pembedahan

Prosedur Ventral  Intercorporal spondylodesis


(diskectomy + cage –/+ plate
osteosynthesis)
 Corporectomy + plate
osteosynthesis
 Prosedur untuk menjaga mobilitas
(intervertebral disk prosthesis)

Prosedur Dorsal  Laminectomy


 Laminectomy dengan fusi
 Laminoplasty

Prosedur Kombinasi Kombinasi fusi ventral dengan lamino


plasty atau laimenctomy dengan/tanpa
stabilisasi dorsal

Konservatif
NSAID memberikan efek analgesik pada dosis rendah serta efek antiinflamasi
pada dosis tinggi. Aspirin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan gastritis.
Tramadol dan acetaminophen memberi efek analgesik tetapi tidak ada efek

8
antiinflamasi. Muscle relaxants dapat diberikan untuk memberi potensiasi pada efek
analgesik NSAID.
Terapi fisik dengan traksi dan latihan kekuatan otot dapat membantu
mengurangi keluhan atau spasme otot dan nyeri punggung. Namun, terapi ini hanya
memberikan efek sementara (Hsiang & Furman 2017).

Pembedahan
Secara umum, pembedahan direkomendasikan ketika terdapat radiculopathy,
myelopathy (cervicothoracic), neurogenic claudication (lumbal), atau nyeri yang
hebat. Tujuan dari pembedahan adalah dekompresi dari korda spinalis dan
menetralkan instabilitas tulang. Pembedahan dapat dilakukan cara ventral dengan
melakukan reseksi protursi diskus vertebralis dan menghilangkan spondylofit atau
cara dorsal dengan menghilangkan ligamen flava atau facet yang hipertrofi. Untuk
memutuskan cara pembedahan dorsal atau sentral, terdapat beberapa faktor yang
menjadi pertimbangan, antara lain: jumlah segmen yang terdampak, posisi netral dari
vertebra servikalis, keparahan keluhan nyeri leher, dan kemampuan operator
menggunakan teknik yang berbeda (Meyer et al. 2008).

Prosedur Ventral
Prosedur ventral direkomendasikan ketika terdapat patologi mono- atau
bisegmental dengan predominan lesi osteofit atau jaringan diskus. Kekurangan dari
prosedur ini adalah harus menghilangkan osteofit yang panjang dari osteofit ventral
dan hal ini dapat menyebabkan kerusakan intraoperatif pada korda spinalis. Pada
pasien dengan paling sedikit keterlibatan tiga segmen dengan bengkokan kifosis,
digunakan kombinasi prosedur dorsal dan ventral (Meyer et al. 2008)..

Prosedur Dorsal
Prosedur dorsal bertujuan unutk melakukan dekompresi indirek dari korda
spinalis. Pada pembedahan, korda spinalis digeser ke arah dorsal sehingga lesi pada
bagian ventral dapat ditangani secara tidak langsung. Metode yang sering digunakan
adalah laminectomy dan laminopasty. Kedua metode ini tidak memiliki perbedaan
dalam kejadian komplikasi post operasi serta memiliki efektivitas yang sama (Lao et
al. 2013).

9
Laminectomy merupakan prosedur operasi yang digunakan pada pasien
dengan kompresi predominan dorsal atau sirkumferensial, kompresi multilevel, dan
vertebrae lurus atau lordotik. Pada laminectomy, dilakukan pemotongan dan
pengangkatan lamina beserta prosesus spinosus pada segmen yang akan didekompresi.
Prosedur standar laminectomy tidak memerlukan fusi sehingga dapat
mempertahankan pergerakan segemen. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
cedera nervus C5 atau C6, kifosis, infeksi, dan epidural hematom (Chin & Jayarao
2015).

Gambar 3. Laminectomy

Pada laminoplasty, vertebral arch (lamina) tidak dipotong dan diangkat, tetapi
dipotong dan hanya sedikit diangkat. Metode ini memperluas kanalis spinalis dan tetap
mempertahankan pergerakkan masing-masing segmen. Meskipun mengurangi risiko
terjadinya kifosis, prosedur ini menyebabkan penignkatan kejadian nyeri leher.
Prosedur ini dapat menjaga pergerakan segemen vertebrae namun mobilitas vertebrae
servikalis biasanya terbatas (Meyer et al. 2008). Teknik laminoplasty ini cukup efektif
untuk memperbaiki kondisi korda spinalis dan aman untuk pasien dengan myelopathy
servikal. Dengan teknik ini, dapat dicapai pemulihan hingga 96% dalam 1 tahun (Yeh
et al. 2014).

Gambar 4. Laminoplasty

10
2.7. Prognosis
Spinal stenosis dapat menghasilkan morbiditas yang signifikan. Disabilitas yang
berat dan kematian dapat terjadi karena hubungan antara stenosis servikal dengan
trauma minor yang berujung pada central cord syndrome. Baik spinal stenosis atas
(servikal) maupun bawah (lumbal) dapat menyebabkan kelemahan motorik dan nyeri
kronis (Hsiang & Furman 2017).
Progresi dari cervical spondylosis menjadi cervical spondylosis myelopathy
sangat bervariasi dan sulit untuk diprediksi. Sebagian pasien dengan defisit neurologis
tidak merasakan adanya peningkatan spontan dan berisiko terjadi perburukan kondisi
neurologis seiiring berjalannya waktu. Pada sebuah studi dengan 120 pasien rerata usia
53 tahun dengan cervical spondylosis myelopathy, 75% kasus memburuk secara
episodik, 20% dengan gejala yang stabil, dan 5% dengan onset cepat dari gejala dan
diikuti dengan jeda pada progresi penyakit. Pada penelitian lain juga ditemukan 38%
pasien tetap stabil dan 26% mengalami perburukan (Kelly et al. 2012; Kalichman et
al. 2009; Hsiang & Furman 2017; Meyer et al. 2008).
Setelah pembedahan, keluhan diharapkan dapat membaik pada 90% pasien.
Hasil terbaik diharapkan dicapai jika pembedahan dilakukan dalam 6-12 bulan sejak
muncul gejala ringan dan area transversal dari kanalis spinalis >40mm2 . Perbaikan
neurologis paling terlihat dalam 3 bulan pertama setelah pembedahan (Meyer et al.
2008)

11
12

Anda mungkin juga menyukai