Anda di halaman 1dari 56

TEXT-BOOK READING

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

Oleh:
Yosep Made Pius Cardia 1302006210
I Gde Arya Dharmika Palguna 1302006184

Pembimbing:
dr. Putu Agus Surya Panji, Sp. An, KIC

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan YME, karena atas berkat
dan rahmat-Nya Text-Book Reading yang berjudul “Penyakit Jantung Kongenital”
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Text-Book Reading ini merupakan salah
satu tugas dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS
Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan Text-Book Reading ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan dan petunjuk-petunjuk dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. dr. Putu Agus Surya Panji, Sp. An, KIC. Selaku dokter pembimbing, atas
bimbingan dan arahan beliau
2. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian Anestesiologi
dan Reanimasi FK UNUD/RS Sanglah yang juga telah ikut membantu penulis
dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini
3. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang telah bersedia
memberikan bantuan dan masukannya

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu semua saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga tinjauan pustaka
ini dapat berguna bagi para pembacanya.

Denpasar, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................... i


Kata Pengantar ....................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
Penyakit Jantung Kongenital .................................................................................. 1
Lesi Jantung Kongenital .......................................................................................... 5
Penyakit Jantung Kongenital Asianotik .............................................................. 5
Lesi Pirau ........................................................................................................ 5
Defek Septum Atrium ..................................................................................... 5
Defek Septum Ventrikular .............................................................................. 8
Patent Ductus Arteriosus (Pda)..................................................................... 11
Lesi Obstruktif .................................................................................................. 13
Stenosis Aorta ............................................................................................... 13
Stenosis Pulmonal. ........................................................................................ 15
Koarktasioaorta ............................................................................................. 16
Anomali Ebstein ............................................................................................ 18
Penyakit Jantung Kongenital Sianotik .............................................................. 19
Tetralogy Of Fallot ....................................................................................... 20
Eisenmenger Syndrome ................................................................................ 24
Atresia Trikuspid ........................................................................................... 26
Transposisi Arteri Besar ................................................................................ 27
Trunkus Arteriosus ........................................................................................ 30
Aliran Vena Pulmoner Ganjil Parsial ............................................................ 31
Aliran Vena Pulmoner Ganjil Total .............................................................. 32
Sindrom Jantung Kiri Hipoplasti .................................................................. 33
Obstruksi Mekanik Pada Trakea ....................................................................... 34
Arkus Aorta Ganda ....................................................................................... 35
Pembedahan Nonkardiak Pada Pasien Dewasa Dengan Penyakit Jantung
Kongenital ..............................................................................................................35
Evaluasi Preoperatif .......................................................................................... 37
Manajemen Intraoperatif ................................................................................... 40

iii
Manajemen Postoperatif.................................................................................... 40
Strategi Manajemen Penting Untuk Pasien Dewasa Dengan Penyakit Jantung
Kongenital ............................................................................................................. 41
Profilaksis Endokarditif Infeksi ........................................................................ 41
Manajemen Hipertensi Pulmoner ...................................................................... 42
Menyeimbangkan Tahanan Pulmoner Dan Vaskular ....................................... 42
Jantung Univentrikular Pada Tahapan Perbaikan Berbeda ................................... 45
Manajemen Pembedahan .................................................................................. 45
Poin Kunci............................................................................................................. 49
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 51

iv
BAB 7
Penyakit Jantung Kongenital
Jochen Steppan, Bryan G. Maxwell

Lesi jantung kongenital


Penyakit Jantung Kongenital asianotik
Penyakit Jantung Kongenital sianotik
Obstruksi mekanik Trakea
Bedah Noncardiac pada Pasien Dewasa Dengan Penyakit Jantung Kongenital
Evaluasi pra operasi
Manajemen Intraoperatif
Manajemen Pascaoperasi
Strategi Manajemen yang Penting untuk Orang Dewasa dengan Penyakit Jantung
Kongenital
Profilaksi Endokarditis yang inefektif
Penatalaksanaan Hipertensi Paru
Menyeimbangkan Tahanan Paru dan Vaskular (Qp: Qs)
Jantung Univentrikular Selama Beberapa Tahapan Perbaikan
Manajemen pembedahan
Inti

Penyakit jantung kongenital adalah kelainan kongenital terbanyak,


terhitung sebanyak 4-10 kasus dari 1000 angka kelahiran (dikelompokkan sekitar
8). Angka tersebut tidak termasuk katup aortic bikuspid, karena akan menambah
angka insiden sebanyak dua atau tiga kali lipat. Secara keseluruhan, penyakit
jantung kongenital terhitung sekitar sepertiga dari semua defek kongenital. Selain
itu, di negara-negara berkembang, penyakit jantung kongenital telah menjadi
penyebab utama penyakit jantung pada anak-anak, dengan 10% -15% memiliki
anomali kongenital terkait sistem skeletal, genitourinary, atau gastrointestinal.
Insiden penyakit jantung kongenital pada anak-anak tetap konstan selama beberapa
dekade terakhir. Namun, karena pilihan terapeutik telah membaik, jumlah orang
dewasa dengan penyakit jantung kongenital terus meningkat. Diperkirakan bahwa
di Amerika Serikat, lebih banyak orang dewasa daripada anak-anak saat ini hidup
dengan penyakit jantung kongenital. Kecenderungan ini tercermin dalam jumlah
pasien yang terus meningkat yang datang untuk operasi jantung, termasuk

1
perbaikan utama, revisi operasi sebelumnya, konversi ke operasi yang lebih
modern, pengobatan gejala sisa jangka panjang penyakit jantung kongenital, atau
untuk operasi noncardiac yang tidak terkait dengan defek jantung kongenital
mereka; itu bisa sangat menakutkan untuk membiasakan diri dengan mereka semua.
Namun, kurang dari selusin lesi, kebanyakan dari mereka adalah acyanotic, terdiri
dari hampir 90% penyakit jantung kongenital yang ditemukan
Selama beberapa dekade terakhir, dokter menjadi lebih mudah dalam
mendiagnosis penyakit jantung kongenital di awal kehidupan. Tidak jarang
sekarang bagi dokter untuk mendiagnosa lesi kardiovaskular kongenital yang
hampir tidak terlihat di uterus menggunakan ultrasonografi.
Diagnosis penyakit jantung kongenital pasca utero juga telah berevolusi dari
metode yang cukup sederhana (auskultasi, rontgen dada, dan penampilan fenotipik)
hingga pencitraan yang sangat canggih seperti ultrasonografi, kateterisasi jantung,
dan magnetic resonance imaging (MRI). Teknik-teknik ini telah memungkinkan
untuk lebih dari sekadar mendiagnosis lesi hingga, (1) secara akurat
memvisualisasikan detail-detail kecil dari fungsi jantung, aliran darah, dan tekanan
mengemudi dan (2) memprediksi (sampai batas tertentu) program perioperatif dan
prognosis jangka panjang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa teknik ini
memungkinkan hampir setengah dari pasien dengan penyakit jantung kongenital
untuk didiagnosis dalam minggu pertama kehidupan.

Tabel 7.1 Kalsifikasi dan Insiden Penyakit Jantung Kongenital


Penyakit Insiden (%)
Defek Asianotik
Lesi Shunting
Defek septum ventrikular 37
Defek septum atrial 9
Patent ductus arteriosus 8
Defek septum atrioventrikular 4
Lesi stenotik
Stenosis pulmonal 8
Stenosis Aorta 4
Koarktasio aorta 4

2
Defek Sianotik
Tetralogy of Fallot 4
Transposisi pembuluh darah besar 3
Hipoplastik jantung kiri 3
Hipoplastik jantung kanan 2

Sebagian besar pasien yang tersisa didiagnosis sebelum ulang tahun kelima mereka,
sering kali ditemukan tidak disengaja dari murmur jantung atau ketika anak datang
dengan tanda-tanda dan gejala penyakit jantung kongenital seperti masalah makan,
gagal tumbuh, retardasi pertumbuhan, dyspnea, atau bahkan sianosis. Selain gejala-
gejala ini, ahli anestesi menghadapi daftar panjang sekuela kardiak dan noncardiac
yang terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada pasien dengan penyakit jantung
kongenital (Tabel 7.2).

Tabel 7.2 Masalah Umum Yang Berhubungan Dengan Penyakit Jantung Kongenital.
Jantung
Disritmia
Defek konduksi
Hipertensi Pulmonal (Sindrom Esienmenger)
Endokarditis
Gagal Jantung
Pulmonal
Sianosis
Respon yang berubah menjadi hipoksia atau hiperkarbia
Penurunan kemampuan paru
Penyakit paru kronis
Hemoptosis
Kompresi jalan napas
Vaskular
Akses kanulasi sebelumnya yang mempersulit kemampuan untuk mendapatkan
akses vaskular
Ginjal

3
Insufisiensi ginjal kronis
Gagal ginjal
Hepatobiliari
Kolelitiasis
Kongesti hepatik
Enteropati yang kehilangan protein
Sistem Saraf Pusat
Abses Otak
Kejang
Stroke
Emboli paradoks
Status perkembangan
Sistem Saraf Perifer
Kelumpuhan saraf frenikus
Kelumpuhan saraf rekuren
Hematologi
Eritrositosis (sindrom hiperviskositas)
Studi koagulasi abnormal
Tromboemboli
Koagulopati
Muskuloskeletal
Insiden skoliosis yang tinggi
Lain-lain
Penurunan toleransi terhadap olahraga
Kegagalan berkembang dan kesulitan pemberian makanan pada anak-anak

Oleh karena itu pemilihan obat induksi dan metode pemantauan tidak hanya
mempertimbangkan status kesehatan keseluruhan pasien, kerusakan jantung, dan
intervensi terencana tetapi juga perubahan sistem organ utama (jantung, pembuluh
darah, paru-paru, ginjal, dll.).

4
Lesi Jantung Kongenital
Penyakit Jantung Kongenital Asianotik

Lesi Pirau
Kelainan jantung asianotik dengan pirau terutama ditandai oleh aliran darah yang
pirau dari kiri ke kanan di dalam jantung atau pembuluh besar proksimal (Tabel
7.3). Pirau tersebut menyebabkan peningkatan aliran darah paru yang meningkatkan
resistensi pembuluh darah paru, yang mengarah ke hiperplasia intima dan
remodeling vaskular. Semua efek ini berujung pada hipertensi pulmonal, hipertrofi
ventrikel kanan, dan akhirnya gagal jantung kongestif (CHF). Secara umum
semakin muda pasien dilakukan terapi pembedahan, semakin besar kemungkinan
resistensi pembuluh darah pulmonal akan kembali normal. Kelangsungan hidup
pada pasien seperti tersebut biasanya sangat baik, terutama jika lesi pirau kecil.
Namun, jika defek tidak diperbaiki dan pirau melibatkan lebih dari sepertiga dari
curah jantung, sangat mungkin adanya sekuele jangka panjang, termasuk
berkembang menjadi hipertensi pulmonal, remodeling ventrikel, dan CHF.

Defek septum atrium


Defek septum atrium (ASD), meskipun jarang pada anak-anak dibandingkan
lesi pirau asianotik lainnya, ASD menyebabkan sebagian besar lesi jantung
kongenital yang baru terdeteksi pada orang dewasa. Defek septum ventrikel (VSD)
terjadi lebih sering daripada ASD, tetapi VSD memiliki tingkat penutupan spontan
yang tinggi (hampir 70%). Selain itu, ASD yang defeknya kecil dapat tetap
asimtomatik selama beberapa dekade. Akibatnya mereka lebih sering didiagnosis
pada saat dewasa.
Tergantung pada asal embriologis dan lokasi defek pada septum interatrial
dan titik spesifik pirau, seseorang dapat membedakan empat jenis ASD yang
berbeda (Tabel 7.1). Defek ostium primum terjadi ketika ostium primum gagal
menyatu dengan endocardial cushions.

5
Tabel 7.3 Defek Jantung Kongenital yang Menghasilkan Pirau Kiri ke Kanan
Defek Septum Atrium (ASD)
Defek Ostium Primum
Defek Ostium Sekundum
Defek sinus venosus
Defek septum ventricular (VSD)
VSD Subarterial
VSD Perimembran
Inlet VSD
VSD Muskular
Patensi duktus arteriosus
Aortopulmonary fenestration

Hasilnya adalah defek pada septum interatrial yang terletak kaudal di atas katup
atrioventrikular. Jenis ASD yang paling umum, defek ostium secundum (75% dari
semua ASD) terletak di tengah septum interatrial di lokasi yang sama dengan
foramen ovale dan dapat bervariasi dari satu lubang ke fenestrated septum. Dua
ASD lainnya, yaitu defek sinus venosus (terletak pada vena cava superior atau vena
cava inferior) dan unroofed coronary sinus (pembukaan sinus koroner ke atrium
kiri melalui persilangannya di belakang jantung), terjadi pada frekuensi minimum.
Defek ini tidak selalu terjadi dalam kasus tunggal tetapi dapat menjadi bagian dari
sindrom yang lebih kompleks, yang masing-masing terkait dengan lesi spesifik
lainnya. Secara khusus, defek ostium primum berhubungan dengan celah katup
mitral dan / atau regurgitasi mitral, defek ostium sekundum berhubungan dengan
prolaps katup mitral dan / atau regurgitasi, defek sinus vena yang berhubungan
dengan sinus koroner unroofed dikaitkan dengan vena cava superior kiri persisten.
Terlepas dari jenis ASD, perubahan fisiologis yang dihasilkan tergantung
pada tingkat pirau jumlah darah dari kiri ke atrium kanan. Tingkat pirau pada
gilirannya tidak hanya bergantung pada perbedaan tekanan antara dua bilik tetapi
juga pada ukuran lesi dan kemampuan relatif ventrikel. Kebanyakan pirau kiri-ke-
kanan meningkatkan aliran darah pulmonal dan menyebabkan volume overloading
ventrikel kanan dan atrium kanan. Defek yang lebih kecil menghasilkan pirau minor

6
yang sebagian besar tanpa konsekuensi hemodinamik. ASD yang lebih besar yang
memungkinkan lebih dari 50% peningkatan aliran darah paru dapat memiliki
konsekuensi hemodinamik berat yang menghasilkan hipertensi pulmonal,
remodeling ventrikel, dan supraventricular takidisritmia seperti fibrilasi atrium.
Sama seperti banyak lesi jantung kongenital lainnya, diagnosis pada pasien
asimtomatik sering dimulai setelah auskultasi murmur jantung. Pada pasien dengan
ASD biasanya murmur sistolik dengan bunyi jantung kedua karena penutupan katup
pulmonal sekunder akibat peningkatan aliran melalui katup pulmonal. Temuan ini
kemudian dapat dipastikan oleh elektrokardiogram (EKG), yang mungkin
menegakkan tanda-tanda penyimpangan sumbu kanan dan blok inkomplit serabut
cabang kanan dari regangan ventrikel kanan. Foto rontgen dada mungkin
menunjukkan arteri pulmonal yang membesar, pembuluh darah paru yang
menonjol, dan kardiomegali. Pada akhirnya diagnosis dikonfirmasi dengan
menggunakan echocardiography dengan warna Doppler untuk menentukan lokasi
ASD, derajat pirau, arah aliran darah, dan anomali jantung terkait.

Gambar 7.1 Defek Septum Atrium. A, ASD sekundum, yang mana darah mengalir kiri ke kanan
melalui gradien tekanan atrium. B, Gambaran skematis dari lokasi ASD. L, Defek septum
primum; 2, defek spetum sekundum; 3, defek sinus venosus; 4 sinus koroner tanpa atap.

Tanda dan gejala. Pasien dapat mempunyai gejala peningkatan dyspnea


saat aktivitas, penurunan toleransi latihan, kelelahan, gagal jantung, palpitasi, atau
stroke embolik. Namun, banyak pasien dengan ASD akan tetap asimtomatik selama

7
bertahun-tahun dan diagnosis hanya dilakukan secara tidak sengaja setelah evaluasi
dari murmur jantung. Cacat yang lebih kecil dengan rasio aliran darah paru ke
sistemik (Qp: rasio Qs) kurang dari 1,5: 1 biasanya tetap tanpa gejala dan tidak
memerlukan intervensi lebih lanjut. Lesi shunt dengan rasio Qp: Qs lebih besar dari
1,5: 1 harus dipertimbangkan untuk penutupan guna mencegah gejala sisa jangka
panjang. Tergantung pada lokasi dan ukuran ASD, hal tersebut dapat ditutup secara
perkutan menggunakan alat oklusi septum atau pembedahan dengan sternotomi
penuh atau pendekatan minimal invasif melalui torakotomi.
Tatalaksana Anestesi. Untuk strategi manajemen umum dan manajemen
anestesi, silakan lihat bagian “Menyeimbangkan Ketahanan Paru dan Vaskular (Qp:
Qs)” di bab ini. Untuk pasien yang menjalani penutupan ASD, manajemen
tergantung pada pendekatan yang dipilih. Penutup ASD perkutan dapat dilakukan
dengan pemantauan minimal atau non-invasif di bawah anestesi umum atau sedasi
yang dalam, sedangkan pembedahan perbaikan ASD memerlukan semua monitor
dan akses yang diperlukan untuk bypass kardiopulmonal dan kapasitas untuk
mengobati / mengelola blok jantung pasca operasi potensial.
Defek Septum Ventrikular
Dengan kejadian lebih dari 30%, dengan tidak memasukkan kasus katup
aorta bikuspid, VSD adalah bentuk penyakit jantung kongenital yang paling umum
pada anak-anak. Namun, karena tingkat penutupan spontan yang tinggi, terutama
untuk defek septum otot, hal tersebut lebih jarang pada orang dewasa. Klasifikasi
VSD dapat membingungkan karena ada beberapa nama untuk masing-masing dari
empat lesi yang berbeda, yang diklasifikasikan menurut lokasinya di septum
interventricular (Gambar 7.2). Menurut Congenital Heart Surgery Nomenclature
and Database project, VSD tipe I, juga disebut sebagai subarterial, supracristal,
outlet, subpulmonic, atau infundibular VSD, terletak tinggi di septum
interventricular tepat di bawah pulmonic valve di atas crista terminalis. VSD yang
paling umum (lebih dari dua-pertiga dari semua VSD) adalah VSD tipe II, juga
disebut sebagai VSD perimembranous atau infracristal, yang terletak lebih rendah
di septum tepat di bawah crista terminalis. VSD tipe III, juga disebut sebgai inlet
saluran-tipe VSD, terletak tepat di bawah katup mitral dan trikuspid. Jenis terakhir
VSD, tipe IV atau VSD otot, terletak jauh di dalam bagian otot septum ventrikel dan

8
dapat berkisar dari perforasi tunggal ke banyak lubang dengan ukuran yang berbeda.
Mirip dengan ASD, beberapa jenis VSD dikaitkan dengan lesi yang berbeda. Tipe I
VSD dikaitkan dengan insufisiensi aorta yang disebabkan oleh prolaps katup katup
aorta, dan VSD tipe II berhubungan dengan aneurisma katup trikuspid atau
insufisiensi yang disebabkan oleh jebakan dari selebaran katup. VSD tipe III
berhubungan dengan celah katup mitral atau katup trikuspid dan merupakan bagian
dari defek seluruh kanal atrioventrikular. Terakhir, VSD tipe IV dapat dikaitkan
dengan banyak lesi yang berbeda tetapi memiliki kemungkinan penutupan yang

Gambar 7.2 Defek Septum Ventrikular. A, Gambaran skematis dari VSD lesi pirau kiri-ke-kanan. B, Lokasi dari
berbagai jenis VSD. 1, Subarterial; 2, perimembran; 3, saluran masuk; 4, Otot.

tinggi secara spontan selama penuaan.


Tanda dan Gejala. Tingkat keparahan tanda dan gejala tergantung pada
ukuran dari defek yang ada, perbedaan tekanan antar ventrikel, dan rasio tahanan
vaskuler pulmoner dengan sistemik. Cacat kecil dengan rasio Qp: Qs yang
dihasilkan sebesar 1,4: 1 atau kurang biasanya tetap tanpa gejala dan tidak
mengakibatkan kemampuan hemodinamik (misalnya, hipertensi pulmonal atau
gagal jantung). Cacat ini biasanya disebut sebagai VSD terbatas karena jumlah
pirau dibatasi oleh ukuran defek. VSD dengan keterbatasan sedang dengan rasio
Qp: Qs 1,4-2,2: 1 atau VSD nonstriktif dengan rasio Qp: Qs lebih besar dari 2,2: 1
dapat menghasilkan penyamaan tekanan sistolik ventrikel kiri dan kanan yang
menyebabkan volume dan tekanan berlebih dari peredaran paru-paru. Kelebihan

9
beban ini pada gilirannya dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Seiring waktu
pembuluh darah paru mulai remodeling, menghasilkan peningkatan resistensi
pembuluh darah paru dan penurunan Qp: Qs rasio yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pirau berbalik. (lihat "Eisenmenger Syndrome"). Pasien menjadi
semakin hipoksia karena lebih banyak darah melewati paru-paru. Pasien yang
mengalami hal tersebut mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk
menutupnya VSD karena hal tersebut akan menyebabkan gagal jantung kanan.
Seiring waktu, bahkan tanpa adanya penyakit lanjut dan sindrom Eisenmenger,
pasien dengan VSD restriktif atau unrestriktif menghasilkan kegagalan ventrikel
kiri dan hipertensi pulmonal, membuat semakin tingginya risiko perioperatif. Oleh
karena itu penting untuk mendiagnosis pasien sejak dini dan melakukan penutupan
VSD sebelum resistensi vaskular pulmonal menjadi lebih tinggi dan penutupan
tidak lagi mungkin dilakukan.
Secara klinis, pasien dengan VSD mempunyai murmur holosistolik yang
terdengar paling jelas di garis sternum kiri. Dengan meningkatnya ukuran defek,
ECG dapat menunjukkan tanda-tanda hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri serta
meregang ventrikel kanan. Demikian pula, rontgen dada akan menunjukkan siluet
jantung yang membesar pada penyakit yang lebih parah. Echocardiography (dua
dimensi [2D] dan Color Doppler) adalah modalitas pencitraan yang paling umum
digunakan untuk mengevaluasi gejala, secara langsung, dan tingkat keparahan VSD.
Teknik lain yang lebih invasif termasuk kateterisasi jantung dan angiografi untuk
mengukur jumlah pirau intrakardiak, tekanan intravaskular dan intrakaviter, dan
resistensi vaskular paru dan sistemik.
Tatalaksana Anestesi. Ringkasan paling konservatif mungkin akan
memperlakukan pasien dengan VSD dengan tingkat keparahan yang tidak diketahui
seperti pasien dengan CHF dan hipertensi pulmonal. Untuk strategi manajemen
umum dan manajemen anestesi, silakan lihat bagian “Balancing Pulmonary and
Vascular Resistance (Qp:Qs).”).
VSD dapat ditutup secara perkutan pada anak-anak yang lebih tua dan orang
dewasa, terutama jika itu kecil. Sebagai alternatif, penutupan VSD bedah sekarang
dilakukan pada anak-anak dari segala usia. Oleh karena itu sangat jarang bagi
praktisi menemukan bayi yang baru lahir yang menjalani tindakan bedah

10
pulmonary artery banding untuk mengurangi pirau kiri-ke-kanan yang diinduksi
oleh oversirkulasi paru-paru untuk mengantisipasi penutupan VSD di kemudian
hari. Namun, dalam situasi penempatan ring yang tidak biasa, penempatan yang
ketat pada ring pulmonal dapat menyebabkan bradikardia dan hipotensi sistemik
dan harus dikoreksi dengan penghilangan ring yang cepat. Selanjutnya, tekanan
ekspirasi akhir positif sering dihentikan setelah penempatan ring arteri pulmonalis
untuk menangani sesak yang optimal. Sebagian besar anak akan menjalani bedah
penutupan VSD, yang umumnya ditoleransi dengan baik. Komplikasi pascaoperasi
yang umum termasuk blok atrioventrikular, takikardia ventrikel, dan CHF
(terutama dengan perkembangan hipertensi pulmonal).
Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Selama perkembangan janin duktus arteriosus menghubungkan arteri
pulmonalis kiri dan aorta desendens tepat di bawah arteri subklavia kiri. Hal ini
memungkinkan pirau darah dari kanan (arteri pulmonalis) ke kiri (descending
aorta), melewati paru-paru yang tidak terventilasi. Dalam 24 jam pertama setelah
kelahiran duktus mulai menutup dan benar-benar tertutup dalam bulan pertama
kehidupan. Namun, pada beberapa pasien (terutama bayi prematur) duktus tetap
terbuka setelah jangka waktu tersebut (Gambar 7.3). Sambungan ini menyebabkan
aliran darah pirau kiri-ke-kanan dari aorta bertekanan tinggi ke arteri pulmonal
bertekanan rendah. Jumlah pirau darah kiri ke kanan tergantung pada ukuran duktus
(diameter dan panjang), perbedaan tekanan antara aorta dan arteri pulmonal, dan
rasio antara resistensi vaskular paru dan sistemik.
Tanda dan Gejala. Kebanyakan pasien dengan PDA hanya memiliki pirau
ringan sampai sedang dan tetap tanpa gejala. Tidak jarang pasien didiagnosis secara
tidak sengaja selama pemeriksaan fisik rutin di mana auskultasi murmur jantung
memicu pemeriksaan lebih lanjut. Dalam kejadian langka bahwa pirau berat dan
pirau kiri-ke-kanan substansial, pasien dapat menunjukkan tanda-tanda hipertrofi
ventrikel dan hipertensi pulmonal yang menyebabkan gagal jantung, kegagalan
untuk berkembang, dilatasi aneurisma dari duktus, dan penyakit dalam jangka
panjang, sindrom Eisenmenger. Temuan auskultasi klasik adalah murmur sistolik
dan diastolik terus menerus yang paling baik terdengar di area infraklavicular kiri
atau batas sternum kiri atas. Diagnosis pasti dan kuantifikasi dapat ditentukan

11
dengan echocardiography 2D dan Doppler atau kateterisasi jantung dan angiografi.
Manajemen anestesi. Kebanyakan pasien dengan duktus gagal menutup
secara spontan akan dioperasi selama periode neonatal. Penutupan duktus minimal
invasif oleh kardiologi intervensi belum banyak dilakukan dan biasanya dilakukan
pada anak yang lebih dewasa dan dewasa muda. Kisaran usia ini merupakan periode
kedua untuk pembedahan, mengingat bahwa sebagian besar pasien yang belum
didiagnosis pada periode perinatal tetap asimtomatik sampai remaja, di mana
mereka dapat mempunyai gejala dengan gagal jantung atau hipertensi pulmonal.
Kondisi ini harus segera ditindaklanjuti karena perkembangan hipertensi pulmonal
berat dapat menjadi kontraindikasi untuk penutupan saluran.

Gambar 7.3. Patent Duktus Arteriosus (PDA). Gambaran skematik dari PDA
menghubungkan arkus aorta distal dengan arteri pulmoner. Hubungan ini
menghasilkan pirau kiri ke kanan, dengan darah emngalir dari aorta ke arteri
pulmoner.

Sebagian besar bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 28 minggu akan
memerlukan perawatan untuk memfasilitasi penutupan duktus. Sebagian besar
dapat diobati secara medis dengan infus kontinyu inhibitor siklooksigenase
indometasin, yang menurunkan produksi prostaglandin yang diperlukan untuk
menjaga duktus terbuka. Indomethacin dianggap sebagai pengobatan lini pertama
untuk PDA.

12
Jika perawatan medis gagal atau kontraindikasi, saluran umumnya ditutup
dengan pembedahan selama periode neonatal. Prosedur ini dapat dilakukan off
bypass melalui torakotomi kiri baik di ruang operasi atau di samping tempat tidur
di unit perawatan intensif neonatal, dengan morbiditas rendah (<1%).
Untuk strategi manajemen umum dan manajemen anestesi, silakan lihat
bagian “Balancing Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs).”). Selama fase
diseksi saat pembedahan, dokter bedah biasanya mengeluarkan paru-paru dari
tempatnya. Tindakan ini dapat menyebabkan penurunan saturasi oksigen,
mengingat tingginya insiden penyakit paru dengan penyesuaian paru-paru yang
buruk pada bayi prematur, dan mungkin memerlukan beberapa penyesuaian dari
pengaturan ventilator untuk mengoptimalkan oksigenasi. Ligasi duktus dapat
menyebabkan hipertensi yang signifikan. Efek samping lainnya termasuk suara
serak (karena cedera saraf laring berulang), kelumpuhan hemidiafragma (karena
kelumpuhan saraf frenikus), chylothoraks (karena cedera duktus toraks), dan
pembukaan kembali duktus seiring berjalannya waktu.

Lesi Obstruktif
Lesi obstruktif ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran darah di
sekitar tingkat katup jantung atau saluran keluar. Yang penting tidak ada shunting
pada lesi murni obstruktif. Pada bagian ini kita akan membahas stenosis aorta, lesi
obstruktif utama sisi kiri jantung; stenosis pulmonal rekannya di sisi kanan jantung;
dan koarkasio aorta (preddoster dan postduktal). Sebagai akibat dari obstruksi,
tekanan yang meningkat diperlukan untuk mengatasi stenosis, yang mengarah ke
hipertrofi konsentrik kiri atau kanan dan akhirnya gagal jantung.
Stenosis Aorta
Stenosis pada left ventricular outflow tract (LVOT) dapat disebabkan oleh
stenosis aorta subvalvular, valvular, atau supravalvular. Stenosis aorta valvular
sering merupakan hasil dari katup aorta bikuspid, yang terjadi pada sekitar 2% dari
semua bayi yang baru lahir di Amerika Serikat. Karena frekuensi yang sangat
tinggi, hampir 10 kali lebih sering daripada VSD dan setidaknya dua kali lebih
sering daripada semua lesi jantung kongenital, dan karena sangat jarang muncul
gejala sampai pasien mencapai usia dewasa, biasanya tidak dihitung secara statistik

13
pada kelainan jantung kongenital. Namun, sering dikaitkan dengan kelainan
vaskular lainnya, seperti PDA atau koarktasio aorta.
Pasien dengan katup aorta bikuspid tidak lahir dengan katup yang stenosis.
Sebaliknya, karena katup aorta memiliki dua cusp bukan tiga cusp normal, aliran
darah lebih turbulen, mengakibatkan gangguan endotel dan peradangan lokal, hal
tersebut merupakan predisposisi untuk kalsifikasi. Semua faktor ini berujung pada
stenosis aorta prematur. Keparahan umumnya ditentukan oleh gradien tekanan di
katup aorta. Gradien rata-rata 20 mmHg dianggap ringan, tetapi lebih dari 40
mmHg dianggap berat.
Tanda dan Gejala. Kebanyakan pasien dengan katup aorta bikuspid tetap
asimtomatik sampai dewasa. Bayi dengan stenosis aorta berat (seperti sering pada
subvalvular) mengalami kesulitan makan, pertumbuhan yang buruk, dan gagal
jantung. Stenosis aorta supravalvular jauh lebih jarang dan dapat dikaitkan dengan
fenotipe yang khas (dahi bundar, tulang wajah yang menonjol, bibir atas yang
mengerucut). Selama anestesi, pasien dengan stenosis aorta supravalvular berisiko
tinggi mengalami kematian mendadak, kemungkinan disebabkan oleh iskemia
miokard. Hal yang sama berlaku untuk pasien dengan stenosis aorta subvalvular,
yang dapat disebabkan oleh fixed stenosis (membran, tonjolan fibromuskular, dll)
atau komponen dinamis dari obstruksi aliran keluar ventrikel kiri.
Gejala klasik pasien stenosis aorta adalah sinkop, angina, dan dyspnea. Pada
pasien seperti ini, ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih tinggi dari
normal untuk mengatasi lesi stenosis, yang tidak digambarkan oleh tekanan darah
normal yang diukur poststenosis. Konsekuensinya adalah hipertrofi konsentris dari
ventrikel kiri, yang seiring waktu meningkatkan kebutuhan oksigen, mengurangi
kemampuan miokardial dan dengan juga pengisian ventrikel kiri, dan mengurangi
gradien yang diperlukan arteri koroner untuk menyemprotkan miokardium
ventrikel kiri, yang menyebabkan angina tanpa adanya penyakit arteri koroner.
Karena kecepatan aliran darah yang tinggi dan aliran poststenosis yang bergejolak,
aortic root dan aorta asenden dapat merespon dengan dilatasi poststenotic,
memaksa perbaikan tidak hanya pada katup tetapi juga pangkal aorta dan mungkin
bahkan aorta asenden.

14
Pasien stenosis aorta memiliki riwayat bising sistolik yang khas dan cukup
mudah diidentifikasi. Bising tersebut paling keras pada interkostal kedua dan
menyebar ke leher. ECG dapat menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dengan
regangan, terutama selama aktivitas. Rontgen dada menunjukkan siluet ventrikel
kiri yang membesar ("jantung berbentuk boot") dan aorta yang menonjol. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan pencitraan ekokardiografi 2D, continuous wave Doppler,
dan Color Doppler untuk mengevaluasi lokasi stenosis yang tepat, keparahannya,
lesi terkait atau perubahan, dan fungsi ventrikel. Demikian pula, kateterisasi
jantung dan angiografi dapat digunakan untuk menilai keparahan dan lesi terkait
yang tidak mudah dideteksi dengan ekokardiografi (misalnya, dengan penyakit
penyerta arteri koroner). Belakangan ini, MRI jantung sering menjadi pilihan
karena mencakup semua opsi evaluasi ke dalam satu studi komprehensif.
Manajemen Anestesi, Lihat BAB 6, “Penyakit Katup Jantung”, dan bagian
mengenai stenosis aorta untuk penjelasan lebih detail mengenai manajemen
anestesi.

Stenosis Pulmonal.
Banyak konsep untuk stenosis aorta dapat disamakan ke konsep stenosis pulmonal,
dengan perbedaan utama adalah ventrikel kanan jauh lebih sensitif terhadap
peningkatan afterload. Mirip dengan stenosis aorta, stenosis pulmonal utamanya
berasal dari katup itu sendiri, dibanding supravalvular atau subvalvular. Lesi yang
berhubungan, terutama stenosis pulmonal supravalvular, termasuk ASD, VSD,
PDA, dan tetralogi Fallot. Stenosis pulmonal subvalvular biasanya terkait dengan
VSD, sedangkan stenosis pulmonal valvular cenderung terjadi tanpa adanya lesi
lain, atau kadang-kadang dalam kombinasi dengan VSD. Menariknya, gradien
tekanan puncak sering digunakan untuk klasifikasi stenosis pulmonal (berlawanan
dengan gradien rata-rata), dengan kurang dari 36 mm Hg menjadi ringan dan lebih
dari 64 mm Hg dianggap berat.
Tanda dan Gejala. Gejala tergantung pada tingkat keparahan dan defek
yang berhubungan (misal sianosis pada kasus yang parah dengan VSD). Secara
umum, pasien akan menunjukkan tanda gagal jantung kanan, seperti dispnea,
distensi vena jugularis, edema perifer, dan asites. Pada auskultasi, dapat ditemukan

15
bising ejeksi sistolik, terdengar paling jelas pada interkostal kiri kedua. ECG dapat
mengungkapkan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan regangan.
Echocardiography atau MRI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi dan
mengklasifikasikan jenis dan tingkat keparahan lesi.
Manajemen Anestesi. Stenosis pulmonal dapat tangani dengan teknik
pembedahan bypass kardiopulmonal atau perkutan melalui balon valvuloplasty.
Untuk setiap pasien dengan stenosis pulmonal yang menjalani operasi jantung atau
non-jantung, tujuan anestesi adalah untuk menghindari peningkatan kebutuhan
oksigen ventrikel kanan. Lihat Bab 6, “Penyakit Jantung Valvular,” dan bagian
tentang stenosis pulmonal untuk detail tentang manajemen anestesi.

Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.
Koarktasio aorta mengalami penyempitan aorta di dekat duktus arteriosus dan dapat
preductal, juxtaductal, atau postductal. Tergantung pada lokasinya, gejala dan usia
saat diagnosis cenderung bervariasi. Bentuk yang paling umum, koarktasio
postduktal, terletak di luar duktus arteriosus dan lebih sering didiagnosis pada anak
yang lebih dewasa. koarktasio preductal terletak proksimal pada duktus dan paling
besar kemungkinannya muncul manifestasi klinis pada bayi.
Tanda dan Gejala. Semua bentuk koarktasio aorta sama-sama
menunjukkan hasil yang buruk dari hipertensi sistolik, CHF, diseksi aorta, penyakit
arteri koroner prematur, dan perdarahan intracerebral yang disebabkan oleh ruptur
aneurisma.
Tanda dan gejala tidak hanya bergantung pada keparahan koarktasio tetapi
juga pada lokasinya (preduktus vs postduktal). Secara umum, gejala yang muncul
adalah sakit kepala, pusing, palpitasi, dan epistaksis. Anak-anak atau orang dewasa
dengan koarktasio aorta postduktal biasanya asimtomatik dan datang ke perawatan
medis untuk pemeriksaan sakit kepala atau ditemukan insidental pada pemeriksaan
fisik rutin, yaitu perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas (hipertensi) dan
bawah (normotensif atau hipotensi) atau denyut nadi femoralis yang lemah dan
lambat. Dalam kasus-kasus yang parah dari aliran darah ekstremitas bawah yang
berkurang, gejala awal yang muncul dapat berupa klaudikasi ekstremitas bawah.

16
Pasien cenderung memiliki hipertensi sistolik dengan tekanan darah diastolik
normal dan tekanan pulsasi yang meningkat. Bayi dengan koarktasio aorta
preduktal, cenderung muncul gejala di awal masa kehidupan. Bayi baru lahir yang
duktusnya masih terbuka memiliki sianosis selektif ekstremitas bawah, dengan
wajah dan ekstremitas atas merah muda. Jika koarktasio ini tidak didiagnosis pada
saat itu, perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas dan bawah cenderung
menghilang di kemudian hari ketika anak-anak menghasilkan aliran darah kolateral
luas yang melibatkan arteri toraks internal, interkostal, dan subklavia.
Pada pemeriksaan fisik, ejeksi sistolik dapat didengar di sepanjang garis
sternum kiri. Bisa juga auskultasi di belakang dan di atas area koarktasio, terutama
jika terdapat aliran darah kolateral yang cukup. ECG menunjukkan tanda-tanda
klasik hipertrofi ventrikel kiri. X-ray dada juga dapat mengungkapkan bentukan di
bagian posterior tulang rusuk sebagai tanda peningkatan aliran darah kolateral di
arteri interkostal. Bentuk tersebut hanya terlihat pada sisi posterior karena arteri
interkostal anterior terletak di alur kosta. Kadang-kadang koarkasi yang sebenarnya
dan dilatasi poststenosis juga dapat divisualisasikan ("tanda E terbalik"). Diagnosis
definitif dapat dilakukan dengan ultrasonografi, computed tomography (CT), atau
MRI, yang dapat mengklasifikasikan lokasi dan keparahan stenosis. Dua teknik
terakhir dapat digunakan untuk mengukur tingkat aliran kolateral.
Manajemen Anestesi. Koarktasio idealnya harus diperbaiki pada masa
bayi atau usia dini sebelum pasien mengalami hipertensi sistemik. Begitu hipertensi
berkembang, risiko yang tinggi tetap akan ada meskipun ada perbaikan yang cukup.
Meskipun koarktasi dapat diperbaiki secara perkutan melalui pelebaran balon dan
penempatan stent, reseksi bedah koarktasio dan perbaikan terbuka dengan patch
atau anastomosis end-to-end tetap menjadi pilihan pengobatan yang populer. Kedua
pendekatan tersebut berhasil pada sebagian besar pasien dan sedikit berisiko
terhadap aneurisma aorta atau koarkasi berulang.
Talaksana bedah umumnya tidak dilaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal, tetapi dibutuhkan penjepitan cross-clamp yang tinggi (proksimal).
Penempatan cross-clamp mengharuskan manajemen dua sirkulasi (proksimal dan
distal dari clamp) dengan tekanan yang sangat berbeda. Yang penting semakin ketat
stenosis aorta, semakin sedikit gangguan hemodinamik yang muncul setelah

17
dilakukan cross-clamp. Sirkulasi proksimal (terutama jantung, kepala, dan
ekstremitas atas) terpapar tekanan yang relatif tinggi yang berpotensi menyebabkan
gagal jantung dan pendarahan otak. Sirkulasi distal (terutama usus, ginjal, sumsum
tulang belakang, dan ekstremitas bawah) dihadapi dengan masalah yang
sebaliknya, hipotensi besar dan hipoperfusi (tergantung pada jumlah aliran darah
kolateral), berpotensi menyebabkan iskemia usus, gagal ginjal, atau kasus
paraplegia yang langka. Tekanan darah harus dipantau terus menerus di atas cross-
clamp, dimana hanya menyisakan lengan kanan sebagai sumber yang dapat
dilakukan pengukuran (suplai darah ke lengan kiri dapat dikompromikan selama
perbaikan). Tekanan darah di bawah tingkat cross-clamp juga harus dipantau untuk
memastikan perfusi yang memadai dari pembuluh kolateralnya selama cross-
clamping dan untuk memastikan tidak adanya peningkatan tekanan setelah
perbaikan. Sebagai alternatif, bypass sirkulasi parsial mungkin diperlukan. Tekanan
darah yang proksimal dari cross-clamp aorta biasanya lebih mudah untuk
dikendalikan. Namun, peningkatan tekanan sistemik harus dihindari.
Selain komplikasi yang disebutkan, pasien memiliki risiko pasca operasi
yaitu hipertensi paradoksikal, yang mungkin dipicu oleh refleks baroreseptor,
aktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron, atau pelepasan katekolamin yang
berlebihan. Penanganan awal adalah infus obat vasoaktif. Cedera saraf yang paling
umum adalah kerusakan pada saraf laring kiri, yang menyebabkan stridor atau suara
serak. Kerusakan saraf frenik jarang terjadi tetapi dapat menyebabkan kebutuhan
bantuan pernapasan yang berkepanjangan.

Anomali Ebstein
Anomali Ebstein biasanya jarang terjadi (<1%) dan menghasilkan lesi
asianotik jika terjadi sebagai entitas yang terisolasi. Namun, hal ini dapat dikaitkan
dengan lesi pirau lain yang dikombinasikan dengan right ventricular outflow tract
(RVOT) yang menyebabkan pasien sianosis. Pasien dengan anomali Ebstein
memiliki atrialized ventricle dengan katup tricuspid yang mengalami malformasi
dan malposisi kaudal. Sering kali katup anterior berbentuk seperti layar dengan
beberapa terangkat, mengakibatkan insufisiensi trikuspid dan jarang menjadi
stenosis. Dengan katup trikuspid yang bergeser ke bawah, ventrikel kanan menjadi

18
tidak efektif dan tidak efisien.
Tanda dan Gejala. Keparahan gejala sebanding dengan derajat malposisi
dan fungsi katup trikuspid. Gejala yang bisa muncul adalah CHF, sinkop, dan
disritmia hingga temuan insidental tanpa gejala sama sekali. Jika pasien memiliki
penyerta lesi pirau, pasien berisiko mengalami emboli paradoks dan hipoksia,
tergantung pada sejauh mana pirau kanan-ke-kiri.
ECG dapat menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan dan kelainan
konduksi, seperti right bundle branch block atau atrioventricular block derajat
pertama. Beberapa mungkin juga memiliki tanda-tanda supraventrikular atau
tachydisrhythmias ventrikel paroxysmal, atau sindrom pra-eksitasi. Rontgen dada
dapat menunjukkan gambaran pembesaran ventrikel dan atrium kanan, yang
mungkin menekan jaringan paru. Rongga ventrikel kanan sebenarnya tetap kecil
dan tidak efisien. Pada penyakit berat bentuk jantung menyerupai bola dan mengisi
bagian yang signifikan dari rongga dada ("dinding ke dinding jantung"). Informasi
lebih lanjut dapat diperoleh dengan menggunakan ekokardiografi untuk
memvisualisasikan tingkat dilatasi atrium, anatomi katup trikuspid, dan regurgitasi
trikuspid, serta lesi pirau terkait dan keparahannya.
Manajemen Anestesi. Penanganan simtomatik termasuk terapi
farmakologis untuk gagal jantung dan disritmia, serta ablasi kateter dari jalur
aksesori untuk mengobati sindrom eksitasi. Perbaikan bedah bisa sangat rumit. Jika
perbaikan utama katup (ditambah penutupan pirau) tidak layak, prosedur bertahap
dan paliasi Fontan mungkin diperlukan.
Manajemen anestesi tergantung pada tingkat keparahan disfungsi ventrikel
kanan, status fungsional katup trikuspid, adanya disritmia, dan ada atau tidaknya
lesi shunting terkait. Strategi manajemen umum dan manajemen anestesi dibahas
kemudian di bawah "Strategi Manajemen Penting untuk Orang Dewasa Dengan
Penyakit Jantung Kongenital."

Penyakit Jantung Kongenital Sianotik


Temuan karakteristik utama pada pasien dengan penyakit jantung sianosis
adalah pirau kanan ke kiri yang menyebabkan penurunan aliran darah pulmonal dan
hipoksemia. Anak-anak dengan penyakit jantung sianotik memiliki kemungkinan

19
yang rendah untuk bertahan hidup sampai dewasa kecuali mereka menerima terapi
pembedahan untuk defeknya. Keparahan hipoksemia terutama ditentukan oleh
rasio darah yang mengalir melalui paru-paru ke yang mengalir melalui sirkulasi
sistemik (Qp: Qs <1). Hipoksemia kronis juga menghasilkan banyak perubahan
sekunder, seperti eritrositosis dan sindrom hiperviskositas terkait (sakit kepala,
kepala terasa ringan, tromboemboli). Seringkali pasien dengan hematokrit yang
sangat tinggi ditemukan memiliki studi koagulasi yang abnormal. Kondisi ini bukan
koagulopati sejati melainkan hasil teknik pengukuran. Masalah umum lainnya pada
penyakit jantung cyanotic termasuk gagal jantung, hipertensi pulmonal, disritmia,
penurunan kemampuan paru mengembang, perubahan respons terhadap hipoksia
dan hiperkarbia, dan insufisiensi ginjal.
Tetralogy of Fallot
Di antara lesi kongenital sianotik, tetralogi Fallot adalah yang paling umum,
terhitung 7% -10% dari semua lesi jantung kongenital. Empat komponen dari lesi
ini adalah (1) VSD perimembranous, (2) aorta yang letaknya di atas VSD, (3)
obstruksi RVOT, dan (4) hipertrofi ventrikel kanan (Gambar 7.4). Hampir
seperempat pasien juga akan mengalami ASD, kadang-kadang disebut sebagai
pentalogy of Fallot. Inti lesi tetralogi of Fallot yang menentukan keparahannya
adalah ukuran VSD dan besarnya obstruksi RVOT (subvalvular, valvular,
supravalvular, atau melibatkan arteri pulmonalis utama). Tekanan yang dihasilkan
dan volume yang berlebihan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan, dan pirau
kanan-ke-kiri menyebabkan hipoksia dengan berbagai derajat. Peningkatan
resistensi atau tekanan vaskular sistemik (baik secara farmakologi atau fisik
[squatting]) dapat menurunkan jumlah pirau kanan-ke-kiri, memaksa lebih banyak
darah melalui sirkulasi pulmonal dan meningkatkan saturasi oksigen. Kebalikannya
juga benar; hipotensi sistemik (misalnya, dengan induksi anestesi) memfasilitasi
aliran darah kanan-ke-kiri dan oleh karena itu hipoksia.
Tanda dan gejala. Bayi yang baru lahir dengan penyakit ringan hingga
sedang cenderung mengalami sianosis selama beberapa bulan pertama kehidupan,
tetapi pada kasus yang parah dapat menyebabkan sianosis yang mendalam pada
periode baru lahir. Pasien dengan penyakit ringan mungkin tetap asianotik dan
dapat mengalami gagal jantung di kemudian hari.

20
Gejala klasik yang muncul adalah episode hypercyanotic ("tet spell") di
mana sianosis yang parah berkembang cepat, disertai dengan hiperpnea,
kemungkinan kehilangan kesadaran, stroke, kejang, atau bahkan kematian.
Umumnya, serangan itu terjadi selama periode stres (olahraga, makan) atau agitasi
(menangis), tetapi juga dapat terjadi tanpa provokasi yang jelas. Mekanisme yang
diusulkan termasuk kejang bagian infundibular dari RVOT, vasodilatasi perifer,
dan hiperventilasi. Periode yang paling rentan adalah usia 2–3 bulan, tetapi episode
hypercyanotic dapat terjadi kapan saja selama tahun pertama kehidupan, setelah itu
kambuh dengan frekuensi yang lebih sedikit. Anak-anak sering berjongkok selama
episode hypercyanotic, sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer,
diperkirakan dengan membelitkan pembuluh besar di selangkangan, memperbaiki
pirau kanan-ke-kiri dan sianosis. Penanganan berfokus pada menghilangkan
obstruksi RVOT dan membalik (atau memperbaiki) pirau kanan-ke-kiri.
Penanganan pencegahan termasuk pemberian β-blocker long-acting. Penanganan
akut memerlukan (dalam rangka peningkatan) pemberian oksigen 100%,
pemberian cairan, dan penentuan posisi (membengkokkan pinggul atau tekanan
lembut pada perut). Vasokonstriktor sistemik harus diberikan karena akan
meminimalkan pirau kanan-ke-kiri dengan membalikkan vasodilatasi sistemik.
Langkah selanjutnya adalah mengelola β-blocker short-acting diikuti dengan
pendalaman sedasi untuk mengurangi potensi obstruksi RVOT spastik. Jika
serangan ini sering kambuh, intervensi bedah untuk memperbaiki lesi
dipertimbangkan untuk segera dilakukan.
Gejala penyerta lainnya mencakup sianosis, sindrom hiperviskositas, dan
emboli paradoks (termasuk abses serebri, kejang, dan stroke); agen infeksi lebih
mudah mencapai otak melalui aliran darah. Alasan yang mendasari untuk abses ini
adalah bahwa pembuluh darah paru-paru semua anak-anak dengan pirau kanan-ke-
kiri kehilangan kemampuan untuk menyaring pembekuan kecil dan agen infeksi.
Emboli paradoksal sering terjadi, dan gangguan serebrovaskular lebih sering
terjadi. Kejadian-kejadian ini tidak dapat dijelaskan oleh kecenderungan untuk
emboli paradoks. Hal tersebut juga terjadi secara sekunder untuk trombosis lokal,
terutama pada anak-anak dengan hematokrit yang sangat tinggi (60% dan
seterusnya).

21
Pada auskultasi, dapat terdengar murmur ejeksi sistolik di batas sternum kiri
sebagai akibat dari obstruksi RVOT. Murmur ini menjadi lebih pendek dan kurang
intens dengan obstruksi RVOT yang memburuk dan dapat menghilang selama
episode hypercyanotic. VSD dapat lebih lanjut mengarah ke murmur holosistolik
di perbatasan sternum kiri. ECG menunjukkan gambaran penyimpangan sumbu dan
hipertrofi jantung kanan. Foto rontgen dada menunjukkan penurunan vaskularisasi
paru, jantung berbentuk sepatu, peningkatan ventrikel kanan, dan arteri pulmonal
cekung. Diagnosis akhir dibuat dengan menggunakan ekokardiografi. Data
hemodinamik tambahan dapat diperoleh secara invasif dengan kateterisasi jantung,
yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat keparahan obstruksi pirau dan
RVOT, anatomi sirkulasi pulmonal, dan asal dari arteri koroner.
Manajemen Anestesi. Tanpa terapi pembedahan, hanya 25% anak-anak
yang bertahan hidup sampai remaja dan hanya 3% yang akan bertahan hidup sampai
usia 40 tahun. Perbaikan bedah pada usia dini memiliki manfaat kelangsungan
hidup yang besar, dengan hampir 90% pasien masih hidup di usia 30-an. Perbaikan
memerlukan penutupan VSD dan pelebaran RVOT untuk mengurangi obstruksi
aliran darah ke paru-paru. Kadang-kadang, perbaikan katup pulmonal diperlukan
selama operasi yang sama.

Gambar 7.4 Tetralogy of Fallot. Komponen yang terkait dengan tetraloi Fallot
adalah (1) VSD, (2) aorta (Ao) yang letaknya di atas VSD, (3) obstruksi saluran
keluar ventrikel kanan, dan (4) hipertrofi ventrikel kanan.

22
Salah satu efek samping yang paling sering terjadi setelah operasi adalah
regurgitasi pulmonal. Tidak jarang pasien kembali ke ruang operasi atau
laboratorium kateterisasi jantung untuk melakukan perbaikan / penggantian katup
secara bedah atau untuk memasang katup secara perkutan. Efek samping lain yang
potensial setelah operasi adalah pirau kanan-ke-kiri melalui foramen ovale, yang
sering dibiarkan terbuka untuk berfungsi sebagai "katup pop-up" yang akan
meredakan tekanan ventrikel kanan yang tinggi dalam kasus kegagalan ventrikel
kanan. Blok serabut cabang kanan yang disebabkan oleh cedera pada sistem
konduksi jantung umum terjadi segera setelah operasi, tetapi biasanya tetap
asimtomatik.
Secara historis, pasien dengan tetralogy of Fallot ditangani untuk
meringankan gejalanya dengan pirau arteri arterial-to-pulmonary seperti pirau
Waterson (aorta asendens ke arteri pulmonalis kanan), Potts shunt (descending
aorta ke arteri pulmonalis kiri), atau blalock-Taussig shunt (arteri subklavia ke
arteri pulmonalis). Meskipun operasi ini meringankan sianosis, tetapi tidak
mengatasi masalah mendasar (obstruksi VSD dan RVOT) dan mengakibatkan
komplikasi jangka panjang seperti pulmonary hypertension, CHF, atau distorsi
arteri pulmonal. Saat ini penanganan pada masalah utama adalah manajemen lini
pertama yang diterima. Jika ukuran anak menghalangi terapi perbaikan primer,
valvuloplasti pulmonal balon dapat digunakan untuk sementara meringankan
obstruksi RVOT. Prosedur ini memungkinkan pengembangan lebih lanjut dan
pertumbuhan pembuluh darah paru dan mungkin ventrikel kiri sebagai antisipasi
perbaikan utama berikutnya.
Persiapan preoperatif: Pertimbangan preoperatif utama berfokus pada
langkah-langkah yang diketahui dapat mengurangi kejadian episode hypercyanotic.
Puasa perioperatif harus dijaga seminimal mungkin karena pasien harus terhidrasi
dengan baik untuk menghindari hipotensi, yang memperberat pirau kanan-ke-kiri.
Dan juga, situasi stres dan menangis harus dihindari, dengan premedikasi jika perlu;
catecholamine release dapat memicu kejang infundibular. Pasien yang
menggunakan β-blocker harus mengkonsumsi catecholamine pada pagi hari
operasi.

23
Induksi dan pemeliharaan anestesi: Tidak ada agen induksi tunggal terbaik
untuk anak-anak dengan tetralogy of Fallot, dan tidak ada metode terbaik untuk
mempertahankan anestesi yang akan menjamin kondisi hemodinamik yang stabil.
Teknik intravena (IV) atau inhalasi dapat dilakukan, tetapi perawatan harus diambil
untuk memilih obat yang menyokong aliran darah pulmonal dan mengelola rasio
Qp: Qs. Untuk strategi manajemen dan manajemen anestesi, silakan lihat
“Menyeimbangkan Ketahanan Paru dan Vaskular (Qp: Qs)” di bagian selanjutnya.

Eisenmenger Syndrome
Sindrom Eisenmenger pada dasarnya adalah perkembangan dari hipertensi
pulmonal yang berat (menyebabkan pembalikan pirau) sebagai akibat dari pirau
intrakardiak kiri-ke-kanan. Secara teoritis hal tersebut dapat mempengaruhi semua
pasien dengan pirau kiri-ke-kanan yang signifikan, terlepas dari penyebab yang
mendasari. Paparan yang terlalu lama dari vaskular paru ke volume dan tekanan
yang berlebihan menyebabkan remodelling dari kedua lapisan otot dan matriks
ekstraseluler arteri pulmonal dan vena. Hasilnya adalah peningkatan resistensi
vaskular paru yang lambat tapi stabil yang pada akhirnya menyebabkan pembalikan
aliran pirau kiri ke kanan, yang menjadi dominan ke kiri. Penyebab umum sindrom
Eisenmenger adalah VSD yang tanpa bendungan dan unrepaired, setengahnya pada
akhirnya akan menghasilkan sindrom Eisenmenger.
Tanda dan Gejala. Dengan perkembangan progresif pirau kanan-ke-kiri,
pasien menjadi lebih hipoksia dan mengalami penurunan toleransi aktivitas fisik.
Pembesaran ventrikel kanan dan atrium menyebabkan disritmia seperti fibrilasi
atrium atau flutter, yang mungkin dialami pasien dalam bentuk palpitasi. Hipoksia
progresif juga menstimulasi eritrositosis, yang menyebabkan sindrom
hiperviskositas.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa murmur jantung terkait menghilang
dengan berkembangnya sindrom Eisenmenger. ECG menunjukkan tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kanan dan regangan. Rontgen dada dapat memperlihatkan
pembuluh paru yang menonjol, dan ekokardiografi dapat menunjukkan lesi pirau
yang mendasari, arah pirau, dan ukuran tekanan arteri pulmonal.

24
Manajemen Anestesi. Perawatan yang secara luas yang digunakan untuk
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal tampaknya kurang efektif pada pasien
dengan sindrom Eisenmenger. Pengobatan tambahan berfokus pada perbaikan
gejala terkait. Phlebotomy dapat digunakan untuk mengobati sindrom
hyperviscosity, dan pemberian oksigen dapat menangani hipoksia. Satu-satunya
pengobatan yang pasti pada pasien ini adalah transplantasi jantung dan paru-paru
gabungan atau transplantasi paru dengan perbaikan bedah lesi pirau yang
mendasari. Perbaikan bedah pada defek yang mendasari tanpa transplantasi paru
merupakan kontraindikasi karena ini akan menghasilkan gagal jantung kanan dan
kematian.
Manajemen anestesi pada pasien dengan sindrom Eisenmenger yang
menjalani operasi noncardiac erat mencerminkan manajemen anestesi pada pasien
dengan bentuk lain dari hipertensi pulmonal berat. Kebijakan umum bahwa setiap
prosedur lebih baik dilakukan dengan laparoskopi minimal invasif tidak selalu
berlaku untuk pasien dengan sindrom Eisenmenger. Pendekatan ini mengharuskan
insuflasi rongga perut dengan karbon dioksida, yang meningkatkan tekanan
intraabdominal dan meningkatkan PaCO2. Akibatnya pasien mengalami hipotensi
(karena preload ventrikel kanan bawah), asidosis dan hiperkarbia (karena
peningkatan kadar PaCO2), tekanan intratorakal yang lebih tinggi (untuk melawan
peningkatan tekanan perut, yang ditingkatkan oleh posisi Trendelenburg), dan
kecenderungan untuk disritmia (PaCO2 tinggi dan distensi atrium). Semua efek ini
memperburuk pirau kanan-ke-kiri, hipoksia, dan curah jantung yang efektif. Oleh
karena itu, melakukan prosedur terbuka daripada laparoskopi, sementara tetap
melakukan ekstubasi dini dan kontrol nyeri, mungkin lebih disukai pada pasien ini.
Ahli anestesi mungkin mempertimbangkan menggunakan teknik neuraksial
baik untuk anestesi primer atau analgesia intraoperatif dan pasca operasi. Perhatian
utamanya adalah penurunan tekanan darah mendadak, terutama dengan tulang
belakang. Bagaimanapun epidural, tidak selalu kontraindikasi pada pasien dengan
sindrom Eisenmenger; hal tersebut sebenarnya sering digunakan untuk alasan yang
disebutkan sebelumnya. Namun, perlu menyadari potensi hipotensi sistemik dan
perburukan pirau kanan-ke-kiri.
Secara definisi, tahanan pembuluh pulmoner adalah tetap dan tidak bisa

25
menurun dalam merespon perubahan tahanan pembuluh sistemik. Untuk
meminimalkan gradien right-to-left shunt, praktisi harus mempertahankan tingkat
tahanan pembuluh darah sistemik pada tingkat perioperatif atau sedikit di atasnya.
Penurunan saturasi oksigen yang tiba-tiba tanpa perubahan ventilasi dapat menjadi
tanda awal adanya penurunan tahanan pembuluh darah sistemik. Untuk manajemen
secara umum dan manajemen anestetik, dapat dilihat “Management of Pulmonary
Hypertension” and “Balancing Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs)” pada
bagian berikutnya.

Atresia Trikuspid
Seperti namanya, hal kunci pada atresia trikuspid adalah absennya atau
penutupan permanen katup trikuspid. Penutupan ini menghalangi aliran darah ke
dalam ventrikel kanan, sehingga dibutuhkan lesi tambahan untuk sintasan temporer.
Contohnya, aliran darah dari atrium kanan menuju atrium kiri melewati paten
foramen ovale ataupun ASD, darah akan tercampur dengan darah yang
teroksigenasi. Kemudian darah tersebut melewati katup mitral ke dalam ventrikel
kiri, di mana sebagian kecil mengalir melewati VSD ke dalam ventrikel kanan dan
sirkulasi pulmoner; sisanya akan dipompa menuju sirkulasi sitemik melewati katup
aorta. Secara alternatif, jika tidak terdapat VSD, aliran darah pulmoner dapat terjadi
melalui PDA atau pembuluh bronkial. Pasien dengan atresia trikuspid umumnya
sianotik dan memiliki ventrikel kanan yang kecil, ventrikel kiri normal atau
membesar, dan penurunan aliran darah pulmoner. Selain itu, atresia trikuspid dan
disubklasifikasikan menurut posisi dari pembuluh darah besar: tipe I normal; tipe
II dekstrotranposisi; tipe III nondekstrotranposisi (levotransposition atau double
outlet); tipe IV trunkus arteriosus. Pasien dengan posisi pembuluh darah besar yang
normal cenderung memiliki obstruksi pada VSD, di mana pasien dengan transposisi
cenderung mengalami stenosis valuvular ataupun subvalvular.
Tanda dan Gejala. Keparahan dan waktu munculnya gejala bergantung
dari kompleksitas dari lesi kumulatif dan juga tingkat keparahan obstruksi aliran
darah pulmoner. Sekitar 50% pasien mengalami gejala dalam 24 jam pertama
kehidupan dan 80% dalam 1 bulan pertama. Penurunan aliran darah pulmoner
dengan right-to-left shunt menyebabkansianosis (clubbing pada anak yan glebih

26
tua), takipnea, gelombang a prominen (karena obstruksi internal), dan gagal
tumbuh, semua ini tanpa adanya denyut abnormal, pembesaran hepar, atau gagal
jantung. Sebagian pasien dengan peningkatan aliran darah pulmoner tampak
dengan sianosis minimal, takipnea, takikardia, hepatomegali, gelombang a
prominen, kesulitan makan, dan tanda gagal jantung.
Auskultasi dapat terdengar murmur holosistolik pada VSD atau murmur
kontinu pada PDA pada batas sternum kiri bawah – jika salah satu ada. Pada EKG
terlihat tanda deviasi axis kiri (khususnya pada pasien dengan atresia trikuspid tipe
I), hipertrofi ventrikel kiri, dan pelebaran atrium kanan. Diagnosis final dapat
ditegakkan melalui echocardiografi, yang dapat melihat absennya atau tertutupnya
katup trikuspid, karakteristik aliran melalui VSD, besarnya obstruksi RVOT, dan
besarnya tekanan arteri pulmoner. Hasil serupa dapat ditemui pada kateterisasi
jantung dan angoigrafi.
Manajemen pada Anestesia. Manajemen pada anestesia sedikit berbeda
bergantung pada tahap paliatif yang dijalani anak. Untuk manajemen umum dan
manajemen anestetik dapat melihat “The Univentricular Heart During Different
Stages of Repair” pada bagian selanjutnya. Kesintasan jangka panjang sangat baik
dan bergantung dari bagian pada asal anatomis dari ventrikel sistemik, dengan
ventrikel kanan memiliki prognosis jangka panjang yang lebih baik.

Transposisi Arteri Besar


Transposisi arteri besar dapat dibagi menjadi 2 bentuk berbeda: D-
transposition dan L-transposition, juga disebut sebagai transposisi arteri besar yang
dikoreksi secara kongenital (misnomer).
D-transposition (dekstroposisi) lebih umum ditemukan dan disebutkan jika
seseorang menyebutkan kasus transposisi arteri besar tanpa kualifikasi. D-
transposition terjadi ketika trunkus arteriosus (asal dari aorta dan arteri pulmoner)
gagal untuk terpisah dengan baik (Gambar. 7.5).
Posisi ini menghasilkan dua sirkulasi paralel, dan kecuali terdapat hubungan
lain antara sirkulasi pulmoner dengan sistemik (e.g. ASD, VSD, PDA), yang tidak
kompatibel untuk bertahan hidup.
L-transposition (levotransposisi) terjadi karena lipatan embrionik tabung

27
jantung yang salah arah (misdirection). Yang seharusnya lipatan ke kanan, embrio
tabung jantung melipat ke arah kiri sehingga memindahkan posisi ventrikel kanan
dan kiri tanpa mempengaruhi hubungan dari arteri besar. Darah kemudian mengalir
dari atrium kanan melalui katup mitral ke dalam ventrikel kiri, lalu keluar melalui
katup pulmoner menuju sirkulasi pulmoner, kemudian masuk ke atrium kiri lalu
melalui katup trikuspid menuju ventrikel kanan yang dipompa menuju sirkulasi
sitemik melalui katup aorta. Karena kedua sirkulasi berada dalam series, pasien
tetap asianotik dan umumnya asimptomatik hingga kemudian ventrikel kanan
secara genetik (sekarang menjadi ventrikel sistemik) mulai gagal prematur.

Gambar 7.5. Transposisi arteri besar. Gambaran skematik dari


transposisi arteri besar. Ventrikel Kanan dan ventrikel kiri
terhubung secara paralel, menciptakan sirkulasi independen,
dengan aorta berasal dari ventrikel kanan dan arteri pulmoner
dari ventrikel kiri. Sintasan bergantung dari pencampuran
darah antara dua sirkulasi melalui ASD, VSD, atau PDA.

Tanda dan Gejala. Gejala bergantung dari tipe transposisi; anak yang
didiagnosis dengan L-transposition secara umum asimptomatik saat lahir. Neonatus
dengan D-transposition dan tanpa lesi shunting yang berhubungan menjadi sianotik
dalam satu minggu pertama kehidupan dan memburuk ketika duktus arteriosus
menutup. Neonatus dengan lesi shunting yang besar awalnya dapat asimptomatik
namun kemudian muncul tanda dan gejala gagal jantung, takipnea, takikardia,
intoleransi makanan, dan distres pernapasan tanpa sianosis yang jelas. Gejala ini
diakibatkan oleh volume berlebih dan kegagalan ventrikel kiri karena left-to-right

28
shunting. Temuan pada auskultasi ditentukan dari adanya lesi shunting dan
bervariasi mulai dari tanpa murmur hingga murmur ejeksi sistolik yang keras. EKG
menunjukkan deviasi axis kanan dan hipertrofi ventrikel kiri. X-ray dada
menunjukkan gambaran egg-shaped heart with a narrow stalk.
Manajemen pada Anestesia. Neonatus dengan D-transposition arteri
besar dan lesi shunting yang insufisien membutuhkan shunt intrakardiak yang
beragam. Awalnya infus prostaglandin dapat digunakan untuk mempertahankan
patensi duktus arteriosus, seperti juga penempatan stent. Untuk alternatif,
septostomi balon dapat digunakan untuk membuat atau memperbesar ukuran ASD,
sehingga menciptakan shunt pada atrium. Terapi simptomatik antara lain, pemberia
oksigen, penanganan medikamentosa untuk gagal jantung, dan menurunkan
tekanan arteri pulmoner.
Pembedahan definitif dapat dilakuakan dengan prosedur Mustard ataupun
Senning, atau dengan operasi menukar arteri. Prosedur Mustard dan Senning
melibatkan pembentukan blokade interarterial untuk mengarahkan darah dari vena
kava ke dalam ventrikel kiri. Pada prosedur Mustard, blokade dibuat dari jaringan
tubuh pasien sendiri. Darah kemudian mengalir melalui sirkulasi pulmoner dan
kembali menuju atrium kiri melalui septektomi yang baru atrium kanan dan ke
ventrikel kanan yang kemudian dipompa ke aorta. Satu kekurangan besar dari
kedua operasi ini adalah ventrikel kanan secara genetik menjadi ventrikel sistemik,
menjadikan kondisi lebih rentan unutk terjadi gagal jantung di kemudian hari.
Selain itu, terdapat risiko disritmia karena penjahitan panjang pada atirum. Pada
masa ini, kebanyakan anak menjalani operasi menukar arteri, yang melibatkan
transeksi arteri pulmoner dan aorta serta melakukan reanastomosis keduanya
masing-masing dengan ventrikel kanan dan kiri. Prosedur ini dilanjutkan dengan
reimplantasi arteri koroner pada pangkal aorta menggunakan kenop koroner
sehingga tidak dilakukan penjahitan langsung pada ostia koroner. Luaran umumnya
cukup baik, dengan sintasan jangka panjang yang baik. Pasien jarang mengalami
disritma dan risiko kegagalan ventrikel kanan yang rendah dibandingkan dengan
prosedur Mustard atau Senning.
Manajemen anastetik pasien dengan transposisi arteri besar tergantung dari
derajat pemisahan sirkulasi dan jumlah shunting yang terjadi. Untuk manajemen

29
umum dan manajemen anestetik dapat melihat “Balancing Pulmonary and Vascular
Resistance (Qp:Qs)” pada bagian selanjutnya. Pada postoperatif, pasien berada
dalam risiko tinggi untuk terjadinya disritmia atrium dan defek konduksi.

Trunkus Arteriosus
Pasien dengan trunkus arteriosus memilki satu pembuluh darah berasal dari
jantung yang menjadi sumber dari aorta dan arteri pulmoner (Gambar. 7.6).
Pembuluh darah ini override VSD besar dan dan kedua ventrikel. Pada pasien yang
tidak dioperasi, prognosisnya buruk, dengan median sintasan hanya sekitar 6
minggu.

Gambar 7.6. Trunkus arteriosus. Pada pasien dengan


trunkus arteriosus, satu pembuluh darah berasal dari
jantung, mengambil alih darah dari ventrikel kiri dan
kanan, dan berfungsi sebagai aorta dan arteri pulmoner

Tanda dan gejala. Berdasarkan dari lokasi asal arteri pulmoner dari
trunkus, trunkus arteriosus dapat dibagi menjadi tipe berbeda menggunakan
klasifikasi Van Praagh atau Collett. Berdasarkna Collett dan Edwards trunkus
arteirosus tipe I adalah arteri pulmoner yang berasal dari dasar dari trunkus.
Trunkus arteirosus tipe II adalah cabang arteri pulmoner yang berasal dari trunkus
namun terpisah dan berdekatan (umumnya posterior). Trunkus arteirosus tipe III
merupakan arteri pulmoner yang berasal dari sisi berlawanan dari trunkus, dan
trunkus arteirosus tipe IV adalah arteri pulmoner yang berasal dari aorta. Semua

30
tipe tersebut menyebabkan pencampuran darah teroksigenasi dan deoksigenasi,
left-to-right shunting, dan oversirkulasi pulmoner. Bayi tampak sianosis, gagal
tumbuh, dan CHF. Saat diastolik, darah masuk ke dalam sirkulasi pulmoner,
menyebabkan tekanan diastolik rendah dan tekanan nadi tinggi yang dapat
dirasakan sebagai nadi perifer yang menonjol.
Tidak terdapat karakteristik temuan pada auskultasi ataupun EKG pasien
trunkus arteriosus. X-ray dada dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung
dan vaskularisasi jantung yang tegak lurus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
angiografi dengan kateterisasi atau CT.
Manajemen pada Anestesia. Pembedahan definitif melibatkan penutupan
VSD, memisahkan arteri pulmoner dari trunkus, dan memasang graft antara
ventrikel kanan dan arteri pulmoner untuk menyediakan aliran darah pulmoner.
Besarnya aliran darah pulmoner merupakan faktor penentu yang penting dari
manajemen anastetik. Untuk manajemen umum dan manajemen anestetik dapat
melihat “Balancing Pulmonary and Vascular Resistance (Qp:Qs)” pada bagian
selanjutnya.

Aliran Vena Pulmoner Ganjil Parsial


Aliran vena pulmoner ganjil parsial, bentuk yang lebih ringan dari aliran
vena pulmoner ganjil total, terjadi ketika satu (umumnya) atau lebih aliran vena
pulmoner mengalir ke dalam vena ataupun sisi kanan jantung dari yang seharusnya
mengalir ke atrium kiri. Pada bentuk yang umum, aliran ke dalam vena kava
superior menyebabkan left-to-right shunt pada atrium dan pelebaran jantung kanan.
Hanya sedikit pasien dengan pengingkatan aliran pulmoner yang besar yang
datang dengan gejala (e.g. dyspnea on exertion, kelelahan). Gejala yang berat
seperti sianosis dan CHF cukup jarang. Selain kegagalan ventrikel kanan, pasien
juga mengalami dilatasi atrium kanan dan risiko tinggi disritmia. Terapi definitif
adalah dengan pembedahan untuk mengarahkan aliran vena pulmoner kembali ke
atrium kiri.
Visualisasi dari vena pulmoner dan alirannya dapat menjadi sebuah
kesulitan pada transesofageal echocardiografi (TEE), tetapi angiografi dan
transthoracic echocardiografi (TTE) atau CT biasanya digunakan untuk

31
menegakkan diagnosis. Kateterisasi jantung dapat menunjukkan peningkataan
tekanan pengisian dan juga saturasi oksigen dari ruang jantung dan pembuluh darah
besar.

Aliran Vena Pulmoner Ganjil Total


Pada pasien dengan aliran vena pulmoner ganjil total, keempat vena
pulmoner mengalir secara terpisah atau bersamaan melalui suatu pertemuan ke
dalam atrium kanan atau cabang-cabang vena sistemik proksimal dari paru-paru.
Umumnya (50% kasus), hubungan ini terjadi di atas dari posisi jantung
(suprakardiak) ke arah dalam vena innominate kiri, yang berhubungan dengan vena
kacva superior sisi kiri. Hubungan dengan jantung terjadi pada sekitar 5% kasus
dan dicirikan dengan hubungan langsung vena pulmoner dengan atrium kanan
ataupun hubungan dari pertemuan keempat vena pulmoner dengan sinus koroner.
Aliran darah vena pulmoner infrakardiak total berasal dari hubungan langsung
antara pertemuan vena pulmoner dengan vena kava inferior atau dengan sistem
vena porta. Pada kedua kasus, agar darah dapat mencapai sirkulasi sistemik, harus
terdapat shunt tambahan berupa ASD, VSD, atau PDA. Shunt ini akan
menyebabkan pencampuran darah teroksigenasi dan deoksigenasi serta hipoksia
sistemik dalam derajat yang berbeda.
Tanda dan Gejala. Pasien cenderung datang dengan gejala pada awal
kehidupan – separuh dalam satu bulan pertama dan hampir 90% pada usia 1 tahun.
Yang umum ditemukan adalah CHF, sianosis, distres pernapsan, dan takipnea.
Mortalitas cukup tinggi jika kondisi yang terjadi dibiarkan tanpa penanganan.
Sekitar 80% pasien meninggal sebelum berusia 1 tahun. Temuan tipikal pada
asukultasi berhubungan dengan lesi terkait, yang umumnya adalah ASD. Temuan
EKG berupa pembesaran atrium dan ventrikel kanan, X-ray dada juga
menunjukkan gambaran kardiomegali dan kemungkinan edema pulmonum.
Echokardiografi dapat membantu mendeteksi asal dan besarnya lesi shunting, juga
pembesaran jantung dan fungsi ventrikel.
Manajemen pada Anestesia. Terapi definitif adalah dengan pembedahan.
Pertemuan vena pulmoner atau vena pulmoner secara individual dimobilisasi dan
dihubungkan kembali kepada atrium kiri. Semua lesi shunting (umumnya ASD)

32
ditutup dengan patch. Metode ini mengembalikan aliran darah normal dan
menghilangkan volume berlebih serta hipoksia.
Anastesia dapat diinduksi dengan berbagai jenis dan kombinasi dari obat-
obatan IV atau inhalasi. Manajemen intraoperatif fokus pada manajemen aliran
darah pulmoner dan menyeimbangkan rasio Qp:Qs. Dokter harus melanjutkan
strategi restriksi cairan, karena cairan berlebih dapat menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kanan dan edema pulmonum karena tekanan dihantarkan langsung
ke vena pulmoner.

Sindrom Jantung Kiri Hipoplasti


Sindrom jantung kiri hipoplasti adalah lesi jantung sianotik yang umum
ditujukan kepada paliasi Fontan dan fisiologi ventrikel tunggal. Patologi utama
termasuk hipoplasia ventrikel kiri dan katup mitral serta hipoplasia katup aorta
(Gambar 7.7). Sindrom ini tidak berhubungan dengan sindrom ekstrakardiak. Darah
bercampur di dalam ruang jantung dan dikeluarkan utamanya melalui arteri
pulmoner dan duktus terbuka ke dalam sisrkulasi sistemik. Sebagian kecil darah
dikeluarkan langsung ke aorta. Rasio darah yang dipompakan ke dalam arteri
pulmoner dibandingkan dengan ke sirkulasi sistemik bergantung pada tahanan
antara kedua pembuluh darah tersebut dan patensi duktus arteriosus.

Gambar 7.7. Jantung Kiri Hipoplastik

33
Tanda dan gejala. Bayi baru lahir dengan sindrom ini menunjukkan tanda
dan gejala gagal jantung, syok, dan kolaps kardiovaskular segera dalam periode
perinatal. Sianosis cenderung ringan tetapi dapat berubah dengan perubahan
tahanan pembuluh darah paru. Nadi lemah menurut dari derajat tahanan duktal,
tanpa ada perbedaan antara ekstrimitas.
Auskultasi dapat terdengar suara jantung satu normal, suara jantung dua
meningkat, dan sebagian kecil anak terdengar gallop. Beberapa pasien memiliki
rumble diastolik apeks, tetapi tidak spesifik. EKG menunjukkan deviasi axis kanan,
tanda hipertrofi ventrikel kanan, dan voltase rendah. X-ray dada menunjukkan
tanda kardiomegali dan gambaran pembuluh darah paru yang meningkat.
Echocardiografi dapat mengidentifikasi patologi, tekanan intrakardiak, dan fungsi
secara tepat
Manajemen pada Anastesia. Bayi baru lahir yang dicurigai menderita
sindrom jantung kiri hipoplasti akan membutuhkan prostagalndin IV untuk
mempertahankan patensi duktus. Terapi ini akan memastikan perfusi arteri sistemik
dan koroner sehingga mencegah progresi asidosis, kolaps kardiovaskular, dan
kematian cepat. Terapi definitif membutuhkan operasi multistage daam beberapa
tahun, yang berujung pada paliasi Fontan dan fisiologi ventrikel tunggal. Secara
konsekuen, manajemen anastesia pada pasien dengan sindrom ini dapat berbeda
bergantung pada tahap paliatif yang sedang dijalani oleh pasien.

Obstruksi Mekanik pada Trakea


Anak-anak dengan obstruksi mekanik pada trakea datang dengan stridor dan
obstruksi saluran napas atas. Obstruksi mekanik pada trakea seringnya merupakan
akibat dari pelebaran pembuluh darah yang mengganggu patensi trakea. Hal ini
dapat diakibatkan karena anomali sirkuler yang membentuk sebuah cincin di sekitar
trakea (arkus aorta ganda, penyimpangan arteri pulmoner kiri) atau karena
pembesaran dan dilatasi arteri pulmoner (e.g. atresia katup pulmoner). Anak dapat
datang dengan gejala stridor dan tanda obstruksi mekanik setelah pemasangan pipa
nasogastrik, bahkan tanpa adanya gangguan airway pada baseline.

34
Arkus Aorta Ganda
Arkus aorta kanan yang persisten atau arkus aorta ganda cukup jarang, tetapi
dapat membentuk cincin vaskular komplit (Gambar. 7.8). takanan yang dihasilkan
oleh pembuluh darah ini dapat menekan trakea dan esofagus, menyebabkan anak
datang dengan gejala stridor inspirasi, disfagia, dan keslutian mengeluarkan sekret.
Pilihan terapi adalah pembedahan reseksi dari bagian arkus yang lebih kecil.
merupakan hal penting untuk memasang pipa endotrakeal lebih distal dari kompresi
trakea untuk memastikan ventilasi yang adekuat dan juga menghindari
intubasicabang utama. Pipa nasogsatrik dan bahkan probe temperatur tidak
dimasukkan melebhi letak obstruksi sebelum dilakukan intubasi; karena dapat
memperburuk kompresi trakea. Kompresi yang berkepanjangan menyebabkan
pasien berisiko mengalami trakeomalasia postoperatif, yang dapat membahayakan
patensi trakea meskipun setelah operasi yang berhasil.

Gambar 7.8. Arkus aorta ganda. Obstruksi mekanik pada trakea sekunder
akibat arkus aorta ganda

Pembedahan Nonkardiak pada Pasien Dewasa dengan Penyakit Jantung


Kongenital
Pemahaman mengenai penyakit jantung kongenital dan perawatannya telah
meningkat secara dramatis dalam 30 tahun terakhir. Langkah besar telah dilakukan
dalam terapi jangka panjang, kemampuan dan teknin pembedahan, intervensi
perkutan, perawatan intraoperatif dan perioperatif, serta manajemen perawatan

35
kritis. Peningkatan ini telah meningkatkan angka sintasan dari anak-anak yang lahir
dengan penyakit jantung kongenital. Berdasarkan data dari Kanada, 85% mampu
hidup hingga dewasa dan sekarang disetimasikan bahwa dalam jumlah yang kira-
kira sama, orang dewasa dan anak-anak hidup dengan penyakit jantung kongenital.
Untuk AS, hal tersebut dapat berarti bahwa lebih dari 1 juta orang dewasa dengan
penyakit jantung kongenital dapat datang tidak hanya untuk operasi jantung
(perbaikan primer, revisi, atau konversi ke operasi yang lebih modern) tetapi juga
untuk pembedahan yang tidak berhubungan sama sekali dengan penyakit jantung.
Memang terjadi peningkatan admisi orang dewasa dengan penyakit jantung
kongenital untuk pembedahan nonkardiak dan berlipat ganda dalam dekade
terakhir. Bahkan, distribusi usia pasien dengan penyakit jantung kongenital sangat
condong ke arah anak-anak pada 30 tahun lalu, data terbaru menunjukkan saat ini
hampir menggambarkan distribusi usia untuk populasi keseluruhan.
Meskipun banyak pasien yang betahan hidup hingga dewasa dianggap
sembuh atau paliatif, mereka mengalami risiko tinggi morbiditas. Dafta komplikasi
kardiovaskular dari penyakit jantung kongenital jangka panjang termasuk
hipertensi pulmoner, hipertensi sistemik, gagal jantung (khususnya gagal jantung
kanan), sianosis, shunt residual, disritmia, defek konduksi, dan lesi katup (Tabel
7.2). katu kemungkinan untuk terjadinya gagal jantung meningkat pada hampir
seluruh pasien dengan penyakit jantung kongenital dalam masa hidpunya, tetapi
besarnya bergantung dari tipe lesi. Insiden kumulatif dari tiap tipe disritmia juga
meningkat secara stabil seiring waktu. Mayoritas pasien dengan penyakit jantung
bawan berusia lebih dari 65 tahun mengalami sejenis disritmia. Selain itu, lesi
kardiak seperti stenosis atau regurgitasi katup, shunt residual, onstruksi aliran, dan
disritmia akan menyebabkan pasien kembali ke ruang operasi jantung atau ruang
elektrofisiologi untuk terapi sequele jangka panjang ini.
Komplikasi jangka panjang non kardiak dapat terjadi pada banyak organ
sistem (Tabel 7.2). ini. Pengelompokkan gejala yang mungkin terjadi berdasarkan
organ sistem cukup membantu dan menemukan bagaimana bentuk spesifik
penyakit jantung kongenital dapat mempengaruhi sistem laiinya. Komorbiditas
spesifik penyakti jantung kongenital terjadi juga dikarenakan perubahan penuaan
tidak berhubungan dengan penyakit jantung kongenital. Orang dewasa dengan

36
penyakit jantung kongenital akan mengombinasi dua fenotip menjadi satu: fenotip
anatomi yang serupa dengan pasien pediatri dan fenotip fisiologi yang serupa
dengan pasien geriatri. Analogi ini telah ditampilkan dalam sebuah studi
sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang dewasa dengan penyakit jantung
kongenital (rerata usia 33) memiliki toleransi aktivitas yang sama dengan pasien
yang memiliki gagal jantung (rerata usia 59) yang diklasifikasi oleh kelas New York
Heart Association.

Evaluasi Preoperatif
Evaluasi pasien dewasa dengan penyakit jantung kongenital dapat sangat
kompleks. Pasien ini menampilkan berbagai jenis lesi kongenital pada tahapan
perbaikan yang berbeda dan dengan komorbiditas yang berbeda. Pasien dapat
memiliki lesi yang tidak diperbaiki, yang diperbaiki parsial, lesi di antara tahapan
perbaikan, atau kegagalan percobaan perbaikan lesi. Selain itu, penyakit jantung
kongenital dewasa bukan seuatu kondisi terisolasi tetapi seuatu penyakit
multisistem dengan tingkat keparahan yang beragam. Sehinnga, tidak ada indeks
risiko tunggal yang dapat menggambarkan risiko preoperatif dan menstratifikasi
kontribusi komorbiditas pada pasien ini. The American College of Cardiology dan
the American Heart Association (ACC/AHA) membuat langkah waspada untuk
mengetegorikan beratnya gejala dan risiko preoperatif berdasarkan tipe lesi.
Mereka menganggap pasien risiko rendah adalah pasien dengan ASD kecil atau
PDA, VSD terisolasi, atau pasien dengan status post perbaikan komplit ASD, VSD,
atau PDA. Lesi risiko moderat antara lain koarktasi aorta, kanal atrioventrikular
lengkap, anomali Ebstein, dan tetralogy of Fallot. Terakhir, pasien dengan risiko
tinggi adalah pasien dengan berbagai bentuk penyakit jantung sianotik (dengan
pengecualian tetralogy of Fallot), saluran, sindrom Eisenmenger, fisiologi ventrikel
tunggal, dan transposisi arteri besar. Dengan tambahan untuk pengkajian umum ini,
risiko perioperatif meningkat dengan adanya komorbiditas dan gejala (e..g. gagal
jantung, hipertensi pulmoner, toleransi aktivitas yang buruk, insufisiensi ginjal,
sianosis, dll) pasien. Pasien biasanya menjalani pemeriksaan mendalam dan
modalitas pencitraan serta fungsional tersedia. Selain standar pemeriksaan untuk
semua pasien, evaluasi preoperatif harus melibatkan pengetahuan mendetail

37
tentang kondisi anatomi, fisiologi saat istirahat pasien, dan yang terpenting,
pemahaman menyeluruh dari perubahan tahanan paru-paru dan pembuluh darah.
Fokus tertentu ditujukan pada pemeriksaan toleransi aktivitas preoperatif sebagai
indikator kemampuan cadangan kardiovaskular.
Premedikasi: penggunaan anxiolitik preoperatif dapat menguntungkan
pasien dewasa dengan penyakit jantung kongenital karena biasanya mereka
memiliki beberapa riwayat operasi dan rawat inap sebelumnya. Selain itu, sebagian
pasien dapat juga mengalami hambatan perkembangan (e.g. trisomi 21) atau
gangguan kognitif akibat stroke sebelumnya atau abses serebri. Pemberian sedasi
preopratif harus mempertimbangkan konsekuensi potensial bahwa hiperkapnia atau
yang peningkatan tekanan paru-paru diakibatkan hipoksia dapat terjadi, khususnya
pada pasien dengan hipertensi pulmoner atau lesi shunting.
Profilaksis endokarditis: AHA/ACC telah memperbarui panduan untuk
merekomendasikan profilaksis endokarditis hanya pada pasien risiko tinggi yang
menjalani prosedur risiko tinggi. Maka tidak semua pasien dengan penyakit jantung
kongenital akan sesuai untuk pemberian profilaksus endokarditis rutin.
Akses vaskular: dapat menjadi tantangan untuk memperoleh akses vaskulat
pada orang dewasa dengan penyakit jantung bawan karena beberapa tindakan
kanulasi sebelumnya. Alternatifnya, pasien mungkin menampilkan tekanan darah
yang berbeda antara ekstrimitas. Pembuluh darah femoral atau vena jugularis
interna dapat mengalami trombosis atau perlukaan setelah percobaan kanulasi
sebelumnya. Pasien dengan Glenn shunt atau sirkulasi Fontan, kateter vena sentral
dapat secara tidak sengaja ditempatkan di arteri pulmoner kanan dan ujung kateter
yang mengalami trombosis dapat memblokir aliran darah satu-satunya ke paru-
paru.
Disritmia: meskipun kebanyakan pasien dewasa dengan penyakit jantung
bawan mengalami paling tidak satu tipe disritmia dalam satu waktu, takikardi
reentri atrium cukup sering terjadi. Banyak pasien yang datang setelah beberapa
tindakan elektrofisiologis untuk mengablasi disritmia tersebut, dan beberapa pasien
dengan pacemaker atau defibrilator yang mungkun membutuhkan pemeriksaan.
Hipertensi pulmoner: proses terjadinya hipertensi pulmoner sekunder akibat
kelebihan volume atau tekanan dapat meningkatkan risiko perioperatif. Pasien

38
dengan left to right shunt juga dapat menyebabkan sindrom Eisenmenger. Hal
penting lainnya, untuk menghindari pengobatan dan manuver yang dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmoner (Tabel 7.4). tolerasni aktivitas yang rendah,
sinkop, disritmia atrium, tekanan atrium yang tinggi, sianosis, disfungsi ventrikel
kanan, dan insufisiensi ginjal merupakan prediktor luaran yang buruk pada pasien
dengan hipertensi pulmoner berat.
Gagal jantung: prevelaensi gagal jantung, khususnya gagal jantung kanan
yang disebabkan karena volume atau tekanan berlebih, meningkat seiring usia dan
paling tinggi pada pasien dengan fisiologi ventrikel tunggal. Pasien dengan gagal
jantung harus diobati secara optimal dan mungkin membutuhkan diuresis
preoperatif untuk mengoptimalkan status volume.
Diatesis perdarahan: pasien dengan sindrom hiperviskositas dari
peningkatan hemoglobin sering datang dengan hasil pemeriksaan koagulasi
abnormal. Meskipun sebagian pasien akan memiliki kadar faktor von Willebrand
dan faktor pembekuan dependen vitamin K yang rendah, waktu perdarahan pada
pasien lainnya akan tetap normal meskipun terdapat abnormalitas waktu
protrombin atau waktu tromboplastin parsial. Tidak terkecuali, pasien dengan
hiperviskositas juga berisiko tinggi mengalami trombosis dan hidrasi preoperatif
yang adekuat menjadi penting (hindari puasa preoperatif yang panjang)

Tabel 7.4. Kelompok Pasien dengan Risiko Tinggi Mengalami Endokarditis

Riwayat endokarditis
Katup jantung prostetik (material prostetik yang digunakan untuk perbaikan katup)
Status post transplantasi jantung dengan valvulopati
Kondisi terkait penyakit jantung kongenital:
 Lesi jantung kongenital sianotik yang tidak diperbaiki (termasuk shunt dan
saluran paliatif)
 Lesi jantung kongenital sianotik yang telah diperbaiki total, dalam 6 bulan
pertama setelah operasi (jika menggunakan material atau alat prostetik)
 Lesi jantung kongenital sianotik yang telah diperbaiki dengan defek
residual (pada lokasi atau sekitar lokasi patch prostetik atau alat prostetik)

39
Manajemen Intraoperatif
Tidak ada satu strategi amanjemen yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
pasien dewasa dengan penyakit jantung kongenital, dan tidak ada satu teknik
anastesi yang terbukti lebih superior pada pasien tersebut. Seperti yang
didiskusikan sebelumnya, penyakit multisistem dengan kondisi anatomi yang
bervariasi; manajemen akan bergantung kepada status fungsional pasien,
komorbiditas, dan anatomi spesifik dan tipe serta urgensi dari prosedur. Banyak
pasien dengan penyakit jantung kongenital nonkompleks yang menjalani operasi
risiko rendah hingga sedang akan berada dalam kondisi baik dengan monitoring
dan perawatan standar. Bagaimanapun, pasien dengan penyakit jantung kongenital
moderat hingga beratakan membutuhkan kebutuhan khusus bahkan ketika hanya
operasi kecil. banyak dokter akan memiliki batas yang lebih rendah untuk
menggunakan monitoring invasif, khususnya kateter arteri pada pasien dengan
hipertensi pulmoner berat (atau sindrom Eisenmenger), lesi tidak terrestriksi atau
lesi shunting jangka panjang, gagal jantung, atau toleransi aktivitas yang sangat
menurun. Akses vena sentral lebih jarang digunakan, khususnya pada pasien
dengan paliatif Fontan yang mana akses kateter sentral akan mengukur teanan
arteri, atau pasien dengan lesi shunting yang mana kateter dapat berada di sirkulasi
sistemik. Interpretasi dari tekanan vena sentral dapat memberikan hasil keliru pada
psaien dengan perubahan penyesuaian jantung kanan atau lesi shunting. Dokter
semakin banyak menggunakan TEE untuk membantu memonitor pasien pada
intraoperatif dan untuk memandu terapi cairan serta administrasi obat inotropik atau
vasoaktif.
Manajemen intraoperaitf terfokus pada optimalisasi distribusi oksigen
untuk seleuruh organ. Menjaga kontraktilias jantung (khususnya ventrikel kanan),
menyeimbangkan rasioa Qp:Qs, terapi disritmia, dan menjaga tekanan darah
sistemik serta saturasi oksigen masih menjadi komponen kunci dalam manajemen
anestesi.

Manajemen Postoperatif
Serupa denga manajemen preoperatif dan intraoperatif, keputusan pilihan
manajemen postoperatif bergantung pada banyak faktor, termasuk tipe prosedur
yang dilakukan, komorbiditas pasien, dan perjalanan intraoperatif. Secara umum,

40
banyak dokter memiliki batas yang lebih rendah untuk menggunakan tempat
perawatan intensif, paling tidak untuk hari pertama, untuk memantau dan
menangani komplikasi umum seperti perdarahan, perubahan status volume,
hipotensi, peningkatan tekanan arteri pulmoner, disritmia, dan trombosis.

Strategi Manajemen Penting untuk Pasien Dewasa dengan Penyakit Jantung


Kongenital
Profilaksis Endokarditif Infeksi
ACC/AHH memperbarui rekomendasi untuk profilaksis endokarditis untuk
pasien dengan penyakit jantung kongenital pada 2007. Setelah meninjau literatur,
lembaga tersebut membatasi rekomendasi untuk penggunaan antibiotik hanya
untuk pencegahan endokarditis pada pasien denga risiko paling tinggi yang
menjalani prosedur risiko tinggi. Pasien dengan risiko tinggi endokarditis termasuk
pasien dengan katup jantung prostetik atau pasien yang menggunakan material
prostetik untuk perbaikan katup jantung, dan pasien yang mendapatkan
transplantasi jantung dan terjadi kardiak valvulopati. Sebagai tambahan,
rekomendasi tersebut berisi bagian terpisah yang berfokus pada penyakit jantung
kongenital. Dinyatakan bahwa hanya pasien dengan penyakit janutng bawan
berikut ini yang memiliki risiko tinggi: pasiendengan penyakit jantung kongenital
sianotik yang tidak diperbaiki (termasuk shunt dan saluran paliatif), pasien yang
pada 6 bulan pertama setelah perbaikan lesi penyakit jantung kongenital yang
menggunakan bahan prostetik atau alat prostetik, dan pasien dengan lesi yang sudah
diperbaiki yang masih memiliki defek residual pada atau dekat dengan patch
prostetik atau alat yang menghambat endotelialisasi (Tabel 7.4).
Profilaksis endokarditis untuk pasien-pasien ini cukup beralasan dan sesuai
jika meraka menjalani tindakan gigi yang melibatkan manipulasi jaringan gingiva,
manipulasi regio periapikal gigi, atau perforasi mukosa mulut. Panduan secara
khsusus tidak merekomendasikan penggunaan profilaksis endokarditis untuk
tindakan non dental, seperti kolonoskopi atau esofagogastroduodenoskopi, jika
pasien tidak terinfeksi secara aktif. Bagaimanapun, panduan tersebut menyatakan
bahwa, profilaksis endokarditis dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu untuk
kelahiran pervaginam pada waktu ruptur membran jika pasien memiliki katup

41
jantung prostetik atau jika menggunakan bahan prostetik untuk perbaikan katup
jantung, dan pada pasien dengan penyakit jantung kongenital sianotik yang tidak
diperbaiki atau paliatif (termasuk pembedahan shunt dan saluran paliatif).

Manajemen Hipertensi Pulmoner


Faktor kunci untuk manajemen pasien dengan hipertensi pulmoner adalah
dengan menurunkan tahanan pembuluh pulmoner (Tabel 7.5) selain juga
mendukung fungsi ventrikel kanan. Untuk penjelasan mendalam tentang pilihan
manajemen hipertensi pulmoner, silahkan melihat Chapter 9, “Systemic and
Pulmonary Arterial Hypertension”.

Menyeimbangkan Tahanan Pulmoner dan Vaskular


Manajemen anestesi pada pasien dengan lesi shunting yang menjalani
pembedahan non kardiak berbeda-beda bergantung dari beratnya lesi yang ada.
Biasanya terdapat komponen aliran darah bidireksional, bagaimanapun, jumlah
total dari shunting pada pasien tanpa sindrom Eisenmenger adalah kiri ke kanan.
Pasien dengan shunting minor (e.g. ASD kecil, dan rasio Qp:Qs <1.5:1) biasanya
hanya akan membutuhkan penyesuaian anastesi yang sedikit. Meski begitu, untuk
semua pasien dengan lesi shunting, perawatan harus dilakukan untuk sebaik-
baiknya menghindari adanya udara pada saluran IV karena dapat menyebabkan
emboli parodoksikal yang bisa mengakibatkan serangan jantung dan stroke.
Dengan pengingkatan derajat left-to-right shunting dan rasio Qp:Qs >1.5:1, maka
penting untuk memanajemen dan membatasi aliran darah pulmoner untuk
mencegah kegagalan ventrikel kanan sekunder akibat volume berlebih.
Memodifikasi tahanan pulmoner dan pembuluh darah sistemik: beberapa
lesi jantung kongenital (e.g. VSD tidak terrestriksi) umumnya responsif dengan
perubahan rasio tahanan pulmoner dan pembuluh darah sistemik. Secara umum,
obat-obatan dan manuver yang meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemik
(hipotermia, stimulasi simpatis, obat vasokonstriksi) dan tahanan pulmoner yang
lebih rendah akan mengakibatkan adanya left-to-right shunting. Hal yang sama juga
pada obat-obatan (e.g. nitrat oksida, milrinone) dan metode nonfarmakologi yang
menurunkan tahanan pembuluh darah pulmoner. Contoh metode non farmakologi

42
tersebut adalah hiperventilasi dengan oksigen inspirasi konsentrasi tinggi, alkalosis,
meminimalkan ventilasi tekanan positif atau tekanan ekspirasi akhir positif
(membuka dada menurunkan tekanan intrapulmoner pada intraoperatif), menjaga
normotermia, dan menurunkan kadar katekolamin (anastesia dalam, mencegah
nyeri dan ansietas). Metode ini menghasilkan aliran darah pulmoner yang lebih
tinggi (peningkatan saturasi oksigen) tetapi juga potensial menyebabkan CHF.
Secara kontras, metode atau cara untuk meningkatkan tahanan pembuluh darah
pulmoner (ventilasi tekanan positif dengan udara kamar, obat [nitrat oksida],
anastesi volatil) atau yang menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik (agen
anastesi, histamin [obat, anafilaksis], penyekat alfa, penyekat ganglionik) akan
menyebabkan penurunan left-to-right shunting (Tabel 7.5).
Onset agen IV dan inhalasi: terdapat kekhawatiran akademisi terkait induksi
anastesia akan terganggu dengan adanya lesi left-to-right shunting, karena waktu
transit yang sebentar pada sirkulasi pulmoner. Bagaimanapun, bahkan pada pasien
dengan aliran darah paru yang sangat meningkat, yang secara teoritis dapat
mendilusi agen anestesi IV dan menyebabkan trasnit yang lambat menuju otak
karena resirkulasi, biasanya terdapat efek kecil atau tidak sama sekali terhadap
kecepatan induksi. Hal serupa pada kecepatan induksi dengan agen volatil tidak
terkena dampak selama curah jantung tetap dipertahankan. Secara kontras, pasien
dengan lesi right-to-left shunting cenderung memiliki onset aksi yang cepat seteleah
administrasi IV. Karena obat melewati paru-paru, obat tersebut menjadi kurang
terdilusi dan mencapai target (e.g. otak) lebih cepat dan pada konsentrasi yang lebih
tinggi dibandingkan pada pasien tanpa lesi shunting. Kebalikannya terjadi pada
anastesi inhalasi, yang memiliki kecepatan induksi yang lebih lambat jika
konsentrasi darah meningkat perlahan.
Left-to-right shunt: pasien dengan peningkatan aliran darah pulmoner
memiliki keuntungan dari obat-obatan dan manuver yang bertujuan untuk
mempertahankan atau sedikit meingkatkan tekanan arteri pulmoner, yang dapat
mengurangi gejala CHF. Pasien dengan lesi left-to-right shunt (saturasi oksigen
tinggi pada basal) biasanya menoleransi anastesi berimbang dengan ventilasi
tekanan positif, inspirasi oksigen konsentrasi rendah, dan penggunaan anastesi uap
untuk menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik, yang akan membantu right-

43
to-left shunting atau paling tidak menurunkan jumlah left-to-right shunting. Dokter
harus meminimalkan penggunaan obat-obatan atau intervensi yang dapat
meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemik atau menurunkan tahanan
pembuluh darah pulmoner (Tabel 7.5).

Tabel 7.5. Kelompok Pasien dengan Risiko Tinggi Mengalami Endokarditis

Penurunan Tahanan Pembuluh Darah Peningkatan Tahanan Pembuluh


Pulmoner Darah Pulmoner
Konsentrasi oksigen inspirasi 100% Hipoksia
Hipokarbia Hiperkarbia (hipoventilasi akibat
premdeikasi atau sedasi)
Alkalosis Asidosis
Normotermia Hipotermia
Tekanan saluran napas rata-rata rendah atau Tekanan saluran napas rata-rata tinggi
ventilasi spontan (ventilasi tekanan positif, tekanan positif
akhir pernapasan)
Pencegahan pelepasan katekolamin Pelepasan katekolamin (karena nyeri,
(mencegah nyeri, cemas, anestesi ringan) cemas, anestesi ringan)
Obat-obatan (nitrat oksida inhalasi, Obat-obatan (phenylephrin, α-agonis,
prostaglandin, milirinon, dll) nitrat oksida, katekolamin, dll)
Peningkatan tahanan pembuluh darah Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik sistemik
Stimulasi simpatetik β2-agonis
α-agonis Anestesia neuraksial
Hipotermia Anestesia umum yang dalam

Right-to-left shunt: pada pasien dengan komponen signifikan right-to-left


shunt, (saturasi oksigen rendah pada basal), skenario yang dapat membantu right-
to-left shunting termasuk (1) peningkatan tahanan pembuluh darah pulmoner, (2)
peningkatan obstruksi RVOT (spasme infundibula), dan (3) penurunan tahanan
pembuluh darah sistemik. Pada pasien dengan obstruksi RVOT tetp, perubahan
pada tahanan pembuluh pulmoner tidak dapat mengubah rasio Qp:Qs, dan

44
mengubah tahanan pembuluh darah sistemik menjadi semakin penting. Secara
umum, dokter dapat menggunakan ketamin untuk induksi IV pada pasien dengan
right-to-left shunt. Meskipun hal ini dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah
pulmoner, ketamin masih bisa memberi efek perbaikan oksigenasi. Perbaikan ini
kemungkinan besar disebabkan karena peningkatan inotropi dan kekuatan
kontraktilitas ventrikel kanan membantu mendorong darah melalui obstruksi dan
peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik serupa yang mengimbangi
pembuluh darah pulmoner.

Jantung Univentrikular pada Tahapan Perbaikan Berbeda


Manajemen Pembedahan
Perbaikan dengan pembedahan pada bayi dengan fisiologi ventrikel tunggal
diselesaikan dalam beberapa tahap untuk mencapai tujuan berikut: (1) menjaga
patensi duktus, (2) menyeimbangkan aliran pulmonet ke sistemik, (3) mengurangi
beban ventrikel sistemik, dan (4) memisahkan penuh kedua sirkulasi, yang berujung
paliasi ventrikel tunggal dengan penyelesaian Fontan.
Kekhawatiran awal pada neonatus adalah untuk menentukan bagaimana
rasio aliran darah pulmoner dan sistemik dan seberapa besar bergantung kepada
PDA. Jika aliran darah pulmoner berkurang, (e.g. atresia trikuspid dengan VSD
intak atau obstruksi RVOT berat), kontribusi signifikan dari aliran darah pulmoner
berasal dari duktus arteriosus. Maka sangat penting untuk menjaga patensi duktus
dengan infus prostaglandin untuk meyakinkan sintasan peripartum.
Tujuan dari opereasi pertama adalah untuk mengeliminasi ketergantungan
terhadap PDA dan menyediakan aliran darah pulmoner dan sistemik yang adekuat.
Jika arteri pulmoner dan aorta dalam ukuran yang cukup, intervensi pembedahan
pertama biasanya berupa shunt Blalock-Tausigg termodifikasi (arteri subklavian
menuju ke cabang utama arteri pulmoner, yang menyediakan sirkulasi pulmoner
yang adekuat pada usia ketika tahanan pulmoner masih tinggi, yang membutuhkan
tahanan driving yang tinggi (arteri). Shunt Blalock-Taussig memberikan
kesempatan pada anak untuk tumbuh dan tahanan pembuluh darah pulmoner turun
hingga tahanan vena cukup untuk mendorong darah sepanjang pembuluh darah di
paru-paru. Skenario lainnya adalah neonatus dengan fisiologi ventrikel tunggal dan
tanpa obstruksi aliran darah pulmoner. Neonatus ini dapat mengalami aliran

45
pembuluh darah yang terlalu banyak dan oversirkulasi paru-paru. Kondisi ini tidak
disertai dengan sianosis tetapi dengan tanda dan gejala gagal jantung. Maka
pertama kali nenonatus ini membutuhkan manajemen medis untuk gagal
jantung.intervensi pembedahan pertama untuk kelompok ini berupa band arteri
pulmoner untuk membatasi aliran darah pulmoner dan mencegah remodeling
pembuluh darah pulmoner serta volome berlebih pada jantung. Secara alternatif,
jika artei pulmoner atau aorta memiliki ukuran atau patensi yang tidak cukup,
prosedur Norwood mungkin dibutuhkan pada tahap ini (Gambar. 7.9A). prosedur
Norwood terdiri dari septektomi atrium untuk mencapai pencampuran darah yang
maksimal di dalam jantung; transeksi dan ligasi arteri pulmoner untuk mengarahkan
semua darah dari jantung ke aorta; rekonstruksi aorta, arkus hipoplastik, dan
kemungkinan koarktasi untuk memastikan aliran darah sistemik tidak terhambat;
dan terakhir, penempatan shunt sistemik ke pulmoner (e.g. shunt Blalock-Taussig
termodifikasi) atau kumpulan dari ventrikel kanan ke arteri pulmoner (Modifikasi
Sano) untuk menyediakan aliran darah (Gambar. 7.9). operasi yang ekstensif ini
dilakukan dengan pasien pada bypass kardiopulmoner dan dalam hipotermia dalam
dan henti sirkulasi selama rekonstruksi aorta. Pada kesimpulan dari prosedur
Norwwod dengan modifikasi Sano, ventrikel tunggal memompa darah ke dalam
sirkulasi sistemik dan pulmoner dalam keadaan paralel. Jika operasi Norwood
dilakukan tanpa modifikasi Sano dan menggunakan shunt Blalcok-Tausigg,
ventrikel kanan memompa darah hanya ke dalam aorta, dan aliran darah pulmoner
dialirkan melalui shunt subklavian menuju arteri pulmoner ke hilir dari aorta.
Terlepas dari tipe operasi awal (atau tanpa intervensi pada kasus aliran
darah yang seimbang), anak tersebut dapat dibiarkan tumbuh hingga cukup besar
untuk tahap paliatif selanjutnya. Dalam beberapa bulan berikutnya, shunt Blalock-
Taussig termodifikasi atau Sano menjadi terlalu kecil untuk aliran darah pulmoner
yang adekuat karena shunt tersebut tidak tumbuh bersama dengan anak tersebut,
dan sianosis mulai meburuk perlahan. Bagaimanapun, tahanan pembuluh darah
pulmoner semakin menurun, menjadikan tekanan vena cukup untuk mengalirkan
darah ke seluruh lapang paru. Maka dari itu, langkah selajutnya dari paliasi, pada
usia 4-6 bulan, bertujuan untuk mengoptimalkan aliran darah pulmoner dan mulai
untuk mengurangi beban ventrikel kanan, yang tidak dapat mensuplai kedua

46
sirkulasi, pulmoner dan sistemik, dalam dekade mendatang. Tujuan-tujuan ini dapat
dicapai dengan anastomosis kavopulmoner bidireksional (shunt Glenn) dan
membongkar shunt Blalock-Taussig termodifikasi atau modifikasi Sano (Gambar.
7.9B).

Gambar 7.9. Prosedur Norwood untuk sindrom jantung kiri hipoplastik. Gambar menampilkan dua
variasi teknik pembedahan menurut cara pembentukan aliran darah pulmoner. A, prosedu klasik
dengan shunt arteri pulmoner sistemik (Blalock-Taussig). B, Modifikasi dengan saluranarteri
pulmoner- ventrikel kanan

Vena kava superior dianastomosis dengan arteri pulmoner kanan, yang


dapat mengalirkan darah vena dari tubuh bagian atas secara pasif ke dalam paru-
paru. Anastomosis ini dapat ikut berkembang dengan pertumbuhan anak,
mengalihkan lebih dari 30% curah jantung dari ventrikal dan mengurangi risiko
gagal jantung. Hal ini juga menyebabkan ventrikel mengalami remodeling dari
kondisi volume berlebih yang mana harus menyediakan aliran darah pulmoner dan
sistemik secara penuh, menuju kondisi ventrikel yang menyediakan aliran darah
sistemik secara penuh dan separuh dari aliran darah pulmoner. Bagaimanapun,
mengingat aliran darah vena mengalit melalui vena kava inferior dari tubuh bagian
bawah sekarang mengalami bypas menuju paru-paru, pada anak setelah shunt
Glenn memiliki saturasi oksigen arteri yang rendah (75-85%) tetapi dapat
ditoleransi secara umum. Anak tersebut kemudian dapat dipulangkan. Setelah
beberapa tahun dengan shunt Glenn, dalam masa tersebut anak dapat tumbuh dan
jantung mengalami perubahan, anak tersebut kembali dibawa untuk tahap paliasi

47
terakhir, penyelesaian Fontan.
Penentuan waktu untuk operasi tahap terakhir berbeda pada tiap institusi
tetapi secara umum antara anak berusia 2-6 tahun, dengan tren dilakukannya
operasi lebih awal pada tahun belakangan. Lebih jauh, jika anak mulai
menampakkan gejala dan tanda gagal jantung, seperti peningkatan sesak napas atau
kelelahan, maka operasi dapat dilakukan lebih awal. Sebelum masuk ke ruang
operasi, anak akan membutuhkan kateterisasi jantung untuk memastikan bahwa
tahanan pulmoner telah menurun dan gradien tahanan vena sistemik terhadap
atrium (tahanan transpulmoner) cukup tinggi untuk dapat terjadinya aliran darah
pasif melalui paru-paru. Setelah semua itu telah dipastikan, anak dapat menjalani
tahap terakhir, penyelesaian Fontan, yang mana sirkulasi pulmoner dan sistemik
dipisahkan secara lengkap. Tahap terakhir dari paliasi Fontan ini telah berevolusi
secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan sekarang memiliki dua metode
utama (1) terowongan lateral dan (2) saluran ekstrakardiak. Metode terowongan
lateral telah dilakukan dalam waktu yang lebih lama dan memerlukan penempatan
penghambat intraatrium yang mengalihkan darah melalui atrium kanan dan melalui
anastomosis menuju arteri pulmoner kanan langsung menuju sirkulasi pulmoner.
Pada metode terowongan lateral yang lebih baru, kanal dibuat dari vena kava
inferior di bawah atrium kanan menuju arteri pulmoner kanan, dan hubungan antara
vena kava superior serta inferior dengan atrium kanan dipisahkan. Pada kedua
metode, shunt Glenn tetap berada di tempat, mengeluarkan darah dari bagian atas
tubuh melalui vena kava superior langsung menuju arteri pulmoner kanan. Darah
mengalir secara pasif melalui gradien tahanan antara sirkulasi vena dan atrium
kanan menuju paru-paru, ke dalam atrium kiri, dan kemudian ke ventrikel sistemik,
yang kemudian dipompa ke aorta. Aliran ini mengembalikan oksigenasi arteri
normal dan mengurangi beban jantung, yang mana sekarang hanya menyediakan
curah jantung tunggal untuk sirkulasi sistemik sedangkan sirkulasi pulmoner terjadi
secara pasif. Untuk catatan, pada pasien dengan gradien tahanan transpulmoner
marginal, dokter bedah mungkin memilih untuk membuat fenestra di antara salura
vena kava inferior dengan atrium kanan. Fenestra ini menyediakan shunt left-to-
right kecil yang melenceng untuk anak dalam keadaan normal. Bagaimanapun,
dalam masa terjadinya pengingktan tahanan pembuluh darah pulmoner (aktivitas,

48
ketegangan), tekanan pulmoner mungkin terlalu tinggi untuk terjadinya alirand arah
pulmoner pasif, yang mana darah dapat mengalir menlalui fenestra (right-to-left
shunt). Shunt ini menghasilkan sedikit penurunan saturasi oksigen (yang ditoleransi
baik) tetapi memastikan pengisian ventrikel yang adekuat dan mencegah hipotensi
yang berbahaya.

Poin Kunci
 Penyakit jantung kongenital adalah penyakit kongenital yang sering
ditemukan, sekitar 5-10 kasus/1000 kelahiran, tidak termasuk katup aorta
bikuspi, yang dapat meningkatkan insiden dua bahkan tiga kali lipat
 Penyakit jantung kongenital yang paling sering pada anak dan bayi adalah
defek septum ventrikel/VSD
 Pencitraan noninvasif, khususnya ekokardiografi merupakan dasar
diagnosis dan klasifikasi dari lesi penyakit jantung kongenital.
 Penyakit jantung kongenital bukan merupakan kondisi terisolasi/berdiri
sendiri tetapi mempengaruhi banyak organ lainnya, menjadikannya sebagai
penyakit multiorgan
 Menyeimbagkan aliran darah pulmoner dan sistemik serta membantu kerja
ventrikel kanan merupakan kunci manajemen
 Memodifikasi tahanan pembuluh darah sistemik dan pulmoner secara
selektif dapat dicapai dengan mengubah PO2, PCO2, pH, temperatur
pasien, tekanan intratorakal, mengontrol pelepasan katekolamin, dan
dengan memberikan obat-obatan tertentu
 Pasien dewasa dengan penyakit jantung kongenital jumlahnya melibihi
kasus anak pada negara berkembang. Pasien ini tidak hanya datang untuk
operasi jantung tetapi juga operasi non kardiak yang semakin meningkat
yang sama sekali tidak berhubungan dengan lesi penyakit jantung
kongenital mereka. Lebih jauh, pasien ini datang pada berbagai tahapan
perbaikan atau tahap paliatif yang berbeda serta dengan berbagai
komorbiditas (gagal jantung kongestif, hipertensi pulmoner, disritmia,
trombosis, diastesis perdarahan, dll) yang memberikan tantangan unik pada
dokter ahli anastesi.

49
 ACC/AHA bersama-sama telah menerbitkan panduan yang membatasi
antibiotik profilaksis endokarditis hanya untuk pasien dengan risiko paling
tinggi yang menjalani prosedur risiko tinggi

50
DAFTAR PUSTAKA

Andropoulos DB, Stayer SA, Skjonsby BS, et al. Anesthetic and perioperative
outcome of teenagers and adults with congenital heart disease. J Cardiothorac
Vasc Anesth. 2002;16:731-736.
Baum VC, Perloff JK. Anesthetic implications of adults with congenital heart
disease. Anesth Analg. 1993;76:1342-1358.
Bouchardy J, Therrien J, Pilote L, et al. Atrial arrhythmias in adults with congenital
heart disease. Circulation. 2009;1201679–1686.
Burch TM, McGowan FX, Kussman BD, et al. Congenital supravalvular aortic
stenosis and sudden death associated with anesthesia: what’s the mystery?
Anesth Analg. 2008;107:1848-1854.
Cannesson M, Earing MG, Collange V, et al. Anesthesia for noncardiac surgery in
adults with congenital heart disease. Anesthesiology. 2009;111:432-440.
Diller GP, Dimopoulos K, Okonko D, et al. Exercise intolerance in adult congenital
heart disease: comparative severity, correlates, and prognostic implication.
Circulation. 2005;112:828-835.
Dimopoulos K, Diller GP, Koltsida E, et al. Prevalence, predictors, and prognostic
value of renal dysfunction in adults with congenital heart disease. Circulation.
2008;117:2320-2328.
Eagle SS, Daves SM. The adult with Fontan physiology: systematic approach to
perioperative management for noncardiac surgery. J Cardiothorac Vasc
Anesth. 2011;25:320-334.
Gratz A, Hess J, Hager A. Self-estimated physical functioning poorly predicts
actual exercise capacity in adolescents and adults with congenital heart disease.
Eur Heart J. 2009;30:497-504.
Hoffman JI, Kaplan S. The incidence of congenital heart disease. J Am Coll
Cardiol. 2002;39:1890-1900.
Hoffman JI, Kaplan S, Liberthson RR. Prevalence of congenital heart disease. Am
Heart J. 2004;147:425-439.
Jacobs ML. Congenital Heart Surgery Nomenclature and Database Project: truncus
arteriosus. Ann Thorac Surg. 2000;69(4 Suppl):S50-S55.
Khairy P, Poirier N, Mercier LA. Univentricular heart. Circulation. 2007; 115:800-
812.
Khairy P, Ionescu-Ittu R, Mackie AS, et al. Changing mortality in congenital heart
disease. J Am Coll Cardiol. 2010;56:1149-1157.
Khairy P, Aboulhosn J, Gurvitz MZ, et al. Arrhythmia burden in adults with
surgically repaired tetralogy of Fallot: a multi-institutional study. Circulation.
2010;122:868-875.
Maxwell BG, Steppan J, Cheng A. Complications of catheter-based
electrophysiology procedures in adults with congenital heart disease: a national
analysis. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2015;29:258-264.
Maxwell BG, Wong JK, Kin C, Lobato RL. Perioperative outcomes of major
noncardiac surgery in adults with congenital heart disease. Anesthesiology.
2013;119:762-769.
Maxwell BG, Wong JK, Lobato RL. Perioperative morbidity and mortality after
noncardiac surgery in young adults with congenital or early acquired heart

51
disease: a retrospective cohort analysis of the National Surgical Quality
Improvement Program database. Am Surg. 2014;80:321-326.
Mullen MP. Adult congenital heart disease. Sci Am Med. 2000:1-10.
Mylotte D, Pilote L, Ionescu-Ittu R, et al. Specialized adult congenital heart disease
care: the impact of policy on mortality. Circulation. 2014;129: 1804-1812.
Perloff JK, Warnes CA. Challenges posed by adults with repaired congenital heart
disease. Circulation. 2001;103:2637-2643.
Sommer RJ, Hijazi ZM, Rhodes Jr JF. Pathophysiology of congenital heart disease
in the adult: part I: shunt lesions. Circulation. 2008;117: 1090-1099.
Sommer RJ, Hijazi ZM, Rhodes JF. Pathophysiology of congenital heart disease in
the adult: part III: complex congenital heart disease. Circulation.
2008;117:1340-1350.
Stumper O. Hypoplastic left heart syndrome. Heart. 2010;96:231-236.
Triedman JK. Arrhythmias in adults with congenital heart disease. Heart.
2002;87:383-389.
Twite MD, Ing RJ. Tetralogy of Fallot: perioperative anesthetic management of
children and adults. Semin Cardiothorac Vasc Anesth. 2012;16: 97-105.
Van Overmeire B, Smets K, Lecoutere D, et al. A comparison of ibuprofen and
indomethacin for closure of patent ductus arteriosus. N Engl J Med.
2000;343:674-681.
Warnes CA, Liberthson R, Danielson GK, et al. Task force 1: the changing profile
of congenital heart disease in adult life. J Am Coll Cardiol. 2001;37:1170-
1175.
Warnes CA, Williams RG, Bashore TM, et al. ACC/AHA 2008 guidelines for the
management of adults with congenital heart disease: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines on the Management of
Adults with Congenital Heart Disease). Circulation. 2008;118:e714-e833.
Wilson W, Taubert KA, Gewitz M, et al. Prevention of infective endocarditis:
guidelines from the American Heart Association: a guideline from the
American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the
Council on Clinical Cardiology, Council on Cardiovascular Surgery and
Anesthesia, and the Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary
Working Group. Circulation. 2007;116:1736-1754.

52

Anda mungkin juga menyukai