Anda di halaman 1dari 25

JOURNAL READING

ULASAN ASPEK KONTROVERSIAL DARI TORSIO TESTIS


AKUT
(A REVIEW OF MAIN CONTROVERSIAL ASPECTS OF
ACUTE TESTICULAR TORSION)

Oleh:

I Gde Arya Dharmika Palguna (1302006184)

Pembimbing:
Dr. dr. Gde Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes, SpU(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KLINIK KEPANITERAAN


MADYA DI BAGIAN/SMF BEDAH RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP
SANGLAH DENPASAR
2018
Lembar Pengesahan

ULASAN ASPEK KONTROVERSIAL DARI TORSIO TESTIS AKUT


(A REVIEW OF MAIN CONTROVERSIAL ASPECTS OF ACUTE TESTICULAR
TORSION)

Oleh

I Gde Arya Dharmika Palguna


(1302006184)

Mengetahui

Pembimbing, Kepala Bagian Ilmu Bedah


FK UNUD/ RSUP SANGLAH

Dr. dr. Gde Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes, SpU(K) Prof. Dr.dr. Sri Maliawan, SpBS (K)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya kami berhasil menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul “Ulasan Aspek
Kontroversial Dari Torsio Testis Akut (A Review Of Main Controversial Aspects Of
Acute Testicular Torsion)” yang diperuntukkan dalam rangkaian mengikuti kepaniteraan
klinik madya Bagian/SMF Bedah RSUP Sanglah-FK UNUD.
Tidak lupa pula saya sampaikan rasa terima kasih atas masukan, petunjuk, inspirasi,
dan komentar yang diberikan dari banyak pihak, terutama :
1. Dr. dr. Gde Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes, SpU(K), selaku pembimbing dalam
penyusunan tinjauan pustaka ini.
2. Sub bagian Bedah Saraf RSUP Sanglah/FK UNUD.
3. Rekan – rekan mahasiswa lain, serta pihak – pihak pendukung lainnya atas bantuan
moral dan semangat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Saya menyadari akan kesalahan – kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini, untuk itu
saya memohon saran dan kritik dari para pembaca untuk kesempurnaannya. Akhir kata,
semoga sari pustaka ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan perkembangan ilmu
pengetahuan.

Denpasar, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................................................. 1
1. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
2. AETIOLOGY ..................................................................................................................... 2
3. PATOFISIOLOGI .............................................................................................................. 3
4. DIAGNOSIS DAN DIFFERENSIAL DIAGNOSIS .......................................................... 4
4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 4
4.2. Urinalisis ..................................................................................................................... 5
4.3. Teknik Pencitraan ........................................................................................................ 6
5. PENATALAKSANAAN .................................................................................................... 8
5.1. Kasus Perinatal ............................................................................................................ 8
5.2. Kasus Pubertas dan Dewasa ........................................................................................ 8
5.3. Orchiopexy .................................................................................................................. 9
5.4. Orchiectomy .............................................................................................................. 11
5.5. Obat dan Terapi lainnya ............................................................................................ 12
6. DAMPAK LANJUT ......................................................................................................... 12
7. DISKUSI........................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

iii
Ulasan Aspek Kontroversial dari Torsio Testis Akut
(A review of main controversial aspects of acute testicular torsion)
Adam Miklos Feher, Zoltan Bajory*
Department of Urology, University of Szeged, Szeged, Hungary

ABSTRAK
Torsio Testis (TT) merupakan keadaan gawat darurat urologi yang disebabkan oleh
terpuntirnya korda spermatikus. TT membutuhkan diagnosis dan terapi segera. Sayangnya,
pentingnya hal tersebut masih sering diabaikan dalam kehidupan sehari-hari: TT yang
terdeteksi dini dapat disembuhkan dalam hampir tiap kasus, sedangkan identifikasi yang
terlambat dapat menyebabkan kehilangan testis. Penulis menampilkan ulasan komprehensif
terkait TT, termasuk etiologi, faktor risiko, diagnosis, terapi, dan luaran, berdasarkan artikel
terbaru. Hal unuk dan kontroversial dari topik ini juga ditampilkan. Basis data The PubMed
dan ScienceDirect digunakan untuk mencari kata kunci: TT, torsion of the spermatic cord dan
acute scrotum, dengan fokus pada artikel yang dipublikasi 5 tahun terakhir. Aspek genetik TT
didiskusikan bersamaan dengan kemungkinan alat diagnosis, seperti sonografi, radionuklida,
dan pencitraan fluorosen. Juga dilakukan pencarian tentang teknik pembedahan yang efektif
dan obat-obatan potensial untuk mengurangi kerusakan molekular. Akhirnya aspek
kontroversial terbesar dari TT dipertimbangkan. Konsep baru dari TT menunjukkan bahwa
fitur tertentu masih belum jelas. Alat diagnostik yang baru, lebih akurat dan manajemen segera
dapat berkontribusi untuk prognosis yang lebih baik dan mencegah hilangnya testis.

1. PENDAHULUAN
Torsio testtis (TT) merupakan keadaan gawat darurat urologi yang disebabkan oleh
terpuntirnya korda spermatikus yang mengakibatkan gangguan suplai darah dan iskemi
testis. Insiden tahunan dari TT berkisar 1 dari 4000 laki-laki berusia di bawah 25
tahun[1], walaupun studi lain menemukan insiden tahunan 3,8-4,5 dari 100000 laki-laki.
[1–3] Terdapat dua puncak kejadian TT berdasarkan usia, perinatal dan pubertal. Meski
begitu, TT tidak diekskluasi pada orang dewasa atau pasien tua. [6].
TT membutuhkan identifikasi dan terapi segera. Disetujui secara umum bahwa
perubahan ireversibel terjadi setelah > 6 jam atau hanya setelah 4 jam dalam kasus testis
yang terpuntir cukup ekstrim. [5,7] Maka, waktu merupakan faktor paling penting dalam
kegawatdaruratan TT, tingkat penyelamatan testis dan luaran akhir bergantung pada hal
ini. [3,8–10] Keberhasilan pembedahan yang dilakukan dalam 4-8 setelah onset dari
gejala berkisar antara 90-100%, 50% pada 12 jam, dan hanya 10% pada 1 hari.[9]
Penundaan dapat menjadi fatal dan mengakibatkan gangguan fertilitas dan hilangnya
testis.
Meskipun perawatan medis dari TT membutuhkan bukti yang baik karena
ketersediaan waktu yang sempit, terdapat sejumlah pertanyaan yang diperdebatkan yang

1
dapat memperlambat manajemen. Ulasan ini mengevaluasi hasil terbaru dan aspek
kontroversial dari TT, mulai dari etiologi, diagnosis, dan terapi. Basis data dari The
PubMed dan ScienceDirect digunakan untuk mencari kata kunci: TT, torsion of the
spermatic cord dan acute scrotum, dengan fokus pada artikel yang dipublikasi 5 tahun
terakhir.

2. AETIOLOGY
TT dibagi menjadi tipe ekstravaginal dan intravaginal. Aetiologi dan onset berbeda
pada subkelompok ini.
Pada saat perinatal, TT hanya memiliki beberapa faktor aetiologi. Pada masa ini, testis
masih dalam proses penurunan atau sudah turun menuju ke skrotum, tetapi tunika
vaginalis belum sepenuhnya terfiksasi kepada lapisan skrotum bagian dalam. Pada kasus
ini, korda spermatikus dapat terpuntir ke arah proksimal menuju tunika vaginalis, situasi
yang disebut sebagai ekstravaginal torsion. Mesorchium panjang dengan cryptochism
telah dipelajari sebagai kondisi yang meningkatkan kejadian TT. Beberapa kasus
dilaporkan saat terjadi puntiran pada undesensus testis, temuan klinisnya berupa hernia
ingunalis inkarserata [11,12].
Pada masa pubertas atau dewasa, TT disebut sebagai intravaginal torsion; dengan
penyebab yang paling sering adalah deformitas bell clapper. Bagian posterior dari testikel
dan epididimis normalnya terfiksasi kepada tunika vaginalis. Pada intravaginal torsion,
fiksasi ini terletak lebih proksimal terhadap korda spermatikus sehingga menyebabkan
testis yang tergantung dapat terpuntir di dalam tunika vaginalis. Meskipun deformitas
bell clapper ditemukan pada 12% populasi pria, insiden dari deformitas tersebut yang
berhubungan derngan torsio lebih rendah. [13]. Deformitas bell clapper sering juga
ditemukan pada testis kontralateral. Sebuah penelitian dari 27 kasus TT masa pubertas
menunjukkan bahwa testis kontralateral juga terdampak pada 78% laki-laki. Hal ini
kontras dengan temuan hanya 1 deformitas bell clapper ditemukan dari 50 kasus masa
perinatal [14]. Faktor predisposisi lainnya adalah peningkatan volume testis yang cepat,
yang merupakan hal normal pada masa pubertas hingga masa dewasa awal yang juga
dapat terjadi pada kasus keganasan [3,10].
Aetiologi dari TT belum sepenuhnya dimengerti. Aktivitas fisik dapat menyebabkan
torsio, dengan kasus yang sering dilaporkan adalah karena bersepeda. Mekanisme
terjadinya TT pada bersepeda: testis dapat lebih mudah berotasi pada axisnya di antara

2
kaki yang bergerak dan refleks cremaster jugda dapat ditimbulkan karena aktivitas fisik
atau karena aliran udara dingin [15].
Kejadian traumatik dapat menyebabkan akut skrotum dengan TT. Hal ini merupakan
kondisi yang jarang dengan hanya terjadi pada 4-8% pasien. Identifikasi dari trauma yang
disebabkan oleh TT cukup sulit karena skrotum yang terluka atau hematom dapat
memberi kesan yang salah pada pemriksa. Tingkat keselamatan pada TT traumatik
sekitar 40%. Faktor yang paling penting pada torsio adalah waktu [16].
Faktor keturunan dari TT juga masih belum jelas, meskipun terdapat beberapa elemen
yang dicurigai sebagai penyebab genetik, seperti hormon insulin-like 3 dan reseptornya,
Rxlf2. Pada manusia, peran pasti dari faktor ini masih belum diketahui, meskipun
cryptochism dan intraabdominal TT mampu dibuktikan pada tikus dengan
dihilangkannya hormon insulin-like 3 [3,17]. Ditemukan beberapa kasus dari torsio yang
terjadi secara familial dan urologis harus tetap mempertimbangkan penyebab secara
keturunan [3,18]. Sebuah studi pada 70 laki-laki dengan TT menemukan bahwa sebanyak
11,4% kasus memiliki riwayat positif TT pada keluarga. Satu keluarga memiliki riwayat
positif hingga 3 generasi [19]. Hal ini menjadikan riwayat keluarga juga harus diperiksa,
serta pasien atau orang tua pasien harus diberitahu mengenai kemungkinan terjadinya
torsio pada keluarga. Follow up ketat juga direkomendasikan pada kasus-kasus ini
[19,20].
Terdapat teori menarik yang dikemukakan, bahwa kondisi cuaca dapat mempengaruhi
insiden TT. Beberapa peneliti menemukan kejadian TT yang tinggi selama bulan-bulan
dengan cuaca dingin. Hal ini dihipotesiskan dengan adanya suhu dingin, serabut otot
cremaster berkontraksi secara asimetris [21–23]. Sedangkan peneliti lain tidak
menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada kejadian musiman pada TT [3,24].

3. PATOFISIOLOGI
Saat terjadi TT, korda spermatikus dan testis terpuntir pada axisnya, yang
menyebabkan hambatan pada suplai darah kemudian diikuti dengan iskemia dan
nekrosis.
Sessions et al. mengadakan pemeriksaan retrospektif pada 186 laki-laki dengan TT
yang menjalani pembedahan eksplorasi [25]. Ditemukan kejadian torsio kiri sekitar 52%
dan kanan 48%. Sekitar 162 torsio dievaluasi berdasarkan arah dan derajat torsionya.
Secara historis, torsio ke arah dalam yang umum ditemukan, tetapi penelitian ini
menemukan torsio ke arah luar sebanyak 33%. Torsio yang terjadi berkisat antara 180˚

3
hingga 1080˚, dengan median 540˚ pada kasus orchiectomy (38%) dan 360̊ pada pasien
dengan yang tetisnya dapat diselamatkan (62%) [25].
TT intermiten dan permanen dapat dibedakan. Pada TT intermiten, korda spermatikus
terpuntir pada axisnya sehingga menyebabkan keluhan, tetapi dapat kembali ke posisi
normal secara spontan dengan aliran darah normal. Episode intermiten yang berulang
dapat menyebabkan kerusakan iskemik kronis, yang dapat berdampak pada fungsi testis
seperti spermatogenesis dan produksi hormon. Hayn et al. menyimpulkan bahwa TT
intermiten dengan fiksasi testis bileteral elektif dapat menyelamatkan testis dan
mencegah risiko dari infark akut pada testis [26].

4. DIAGNOSIS DAN DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Bergantung dari waktu yang telah terlewat dari waktu munculnya gejala, torsio
dibagi menjadi akut (0-24 jam), subakut (1-10 hari), dan kronik (lebih dari 10 hari)
[27].
Pasien dengan TT akut biasanya memiliki keluhan skrotum asimetris yang tiba-
tiba, seperti skrotum yang bengkak, merah, dan nyeri, serta gejala sistemik seperti
demam, mual, dan muntah. Kondisi ini juga dapat disertai dengan keluhan saluran
kemih atau abdomen [5,9].
Pada pemeriksaan fisik, temuan mencurigakan yang biasa ditemukan antara lain,
Prehn's sign positif (ketika nyeri tidak berkurang ketika testis ditinggikan pada testis
yang mengalami keluhan), high riding testis dan terletak horizontal (Brunzel’s sign),
atau retraksi pada kulit skrotum (Ger’s sign) [9,27,28]. Temuan terakhir umumnya
ditemukan pada deformitas bell clapper. Refleks cremaster yang negatif merupakan
tanda sensitif dari TT, dengan spesifisitas hanya 66%, karena tanda ini juga dapat
terjadi pada penyakit lain [30]. Meskipun begitu, pada beberapa kasus TT terjadi
dengan refleks cremaster yang positif [31,32].
Kecurigaan diagosis terhadap torsio harus berdasarkan riwayat penyakit saat ini,
gejala, dan pemeriksaan fisik. Terdapat beberapa penyakit yang dapat menyerupai
gejala torsio. TT ditemukan pada 10-54% pasien dengan akut skrotum. Prevalensi
yang luas ini bergantung dari cara dipilihnya pasien [4,5,7,9,32,33]. Dua diagnosis
lain yang umum ditemukan adalah torsio appendix testis (TAT) (14-67%) dan
epdidimo-orchitis (EO) (5-62%) [4,7,32,33]. Meskipun keluhan dan gejala biasanya
mirip, tetapi juga ada perbedaan. Pada kejadian terpuntirnya appendix, appendix

4
yang nekrosis dapat terlihat dari skrotum; yang disebut sebagai blue dot sign. Hal ini
sering muncul pada usia lebih muda daripada kasus TT [4,8,9]. Pada EO, keluhan
utamanya adalah tenderness karena proses inflamasi. Kebanyakan kasus EO terjadi
setelah pubertas, ketika pasien aktif secara seksual, meskipun dapat juga disebabkan
pada usia lebih muda karena kelainan anatomis dari saluran genitourinaria [5,9].
Secara umum, karena gejala yang mirip, pemilihan diagnosis banding tidak bisa
hanya didasarkan riwayat medis saja. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi
yang lebih sering muncul pada penyakit tertentu. Demam biasanya terjadi pada EO,
riwayat trauma umumnya terdapat pada ksus TAT dan nausea lebih khas kepada TT.
Secara signifikan, gejala muncul lebih awal pada TT dibandingkan EO atau TAT
[4,5,9].
Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan diferensial diagnosis, meskipun
tiap penyakit memiliki gejala aku skrotum. Blue dot sign dan tenderness terisolasi
dari bagian atas testis biasanya muncul pada TAT. Letak testis abnormal, tenderness,
dan refleks cremaster negatif merupakan ciri khas TT. Pada EO, edema skrotum dan
tenderness pada epididimis lebih sering terjadi [4,9,33].
Literatur lainnya memberikan beberapa diferensial diagnosis lainnya yang
potensial pada akut skrotum, seperti hidrocele, haematocele, varicocele, scrotal
hernia, tumor, dan trauma [8–10]. Sebaliknya, TT dapat dipertimbangkan pada kasus
dengan keluhan sistemik seperti nyeri perut bawah dan nausea atau muntah [34].
Secara alamiah, terdapat, dalam jumlah sedikit, tetapi kasus unik pada literatur yang
serupa pada gejala akut skrotum, seperti filariasis, Henoch-Schonlein purpura,
edema skrotum idiopatik, bahkan appendicitis [35–38]. Dari sudut pandang
banyaknya penyebab akut skrotum, pemeriksaan fisik dan anamnesis kurang cukup
untuk menegakkan diagnosis tertentu [39].

4.2. Urinalisis
Tes urin dengan stick merupakan metode cepat dan mudah untuk mengeksklusi
potensi terjadinya penyakit infeksi saat menentukan deferensial diagnosis. EO dapat
memberikan hasil positif, sedangkan hasil normal pada TT. Kultur urin juga dapat
positif pada EO, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama dan tidak
direkomendasikan sebagai penunjang diagnosis rutin [4,7].

5
4.3. Teknik Pencitraan
Meskipun ultrasonografi biasa tidak sepenuhnya bisa mengidentifikasi TT pada
fase awal karena echogenisitas yang dapat terlihat normal; terdapat banyak tanda
dari TT, seperti posisi tesits atau epididimis abnormal, pembesaran teastis, penebalan
dinding skrotum atau adanya hidrocele [27,40]. Pada fase lanjut, echotekstur testis
yang inhomogen dapat terlihat, yang berarti butuh dilakukan orchiectomy, karena
infark pada testis [41].
Metode diagnostik yang paling umum digunakan untuk TT pada praktik saat ini
adalah pencitraan color Doppler Ultrasound (CDUS), yang memiliki sensitifitas 63-
99% dan spsifisitas 97-100% [4,9,42,43]. Aliran darah pada korda spermatikus dapat
divisualisasi melalui CDUS. Khususnya pada korda spermatikus yang terpuntir,
dengan whirlpool sign yang dapat terlihat. [44]. Kekurangan dari CDUS adalah
temuan yang didapat bergantung dari pengalaman dari operator dan terdapat banyak
kondisi yang dapat menyebabkan kesalahan temuan diagnosis. Sinyal CDUS yang
salah dapat ditemukan pada testis prepubertas, dengan belum terbentuknya
vaskularisasi normal secara sempurna atau terdapat peningkatan volume aliran darah
paratesistikular dari pembuluh darah yang berhubungan. Pada fase awal TT,
hiperemia dan dilatasi vena juga dapat terlihat. Pada kasus yang dicurigai TT,
temuan CDUS pada testis ipsilateral harus dibandingkan dengan temuan pada
kontaralteral [42].
Kalfa et al. mempublikasi uji multisenter yang melibatkan 919 pasien dengan akut
skrotum [45]. Pada seluruh kasus, dilakukan CDUS dan highresolution
ultrasonography (HRUS). Hilangnya aliran darah intratestikular ditemukan pada
158 kasus (76%) dari 208 kasus yang dibedah dan dikonfirmasi sebagai TT.
Sebaliknya, puntiran korda spermatikus ditemukan HRUS pada 199 kasus (96%)
dari 208 kasus TT, sedangkan 711 kasus lainnya berupa temuan normal dengan
spesifitas 99% [45].
Ultrasonografi dengan kontras memberikan visualisasi lebih baik daripada CDUS
biasa, khususnya pada kasus dengan testis kecil, seperti neonatus. Pemeriksaan ini
juga cukup sensitif pada infrak testis awal [42,46].
Pencintraan resonasi magnetik bertanda kontras memiliki resolusi tinggi dan lebih
sensitif untuk diagnosis TT, dengan kemampuan untuk membedakan dari penyakit
skrotum akut lainnya. Kelemahannya adalah ketegantungan zat pewarna, tidak
tersedia secara luas dan mahal. Pada umumnya, tidak ada waktu untuk menunda

6
dengan melakukan MRI dan mengevaluasi hasilnya. Demikian, MRI bukan
merupakan salah satu opsi diagnostik lini pertama.
Scintigrafi skrotum, cara lainnya untuk mendeteksi TT, menggunakan intravena
99m
pewarna radionuklida Tc-Pertechnetate untukmenggambarkan kelainan suplai
darah. Tidak adanya mikrosirkulasi testis divisualisasikan sebagai titik dingin.
Scintigrafi lebih sensitif pada fase awal TT dibandingkan pada akhir periode, karena
hyperfusion terlambat dapat memberikan sebuah sinyal positif yang salah.
Kelemahannya adalah biaya yang lebih tinggi, manajemen yang lebih panjang dan
radiasi yang berpotensi membahayakan.
Near-infrared spectroscopy (NIRS) adalah alat diagnostik yang relatif baru,
dengan tingkat oksigenasi jaringan dan kondisi aliran darah dapat diukur.
Perhitungan dilakukan dengan konsentrasi hemoglobin beroksigen dan terkosigenasi
dan jumlah total hemoglobin. Kelebihannya adalah hal itu tidak invasif, tetapi NIRS
belum mudah untuk diakses dan masih lebih mahal dibandingkan CDUS. Teknik
fluoresensi mendekati inframerah memvisualisasikan aliran darah dengan
indocyanine pewarna intravena. Ini terbukti berhasil dalam melokalisasi pecekikan
dalam model tikus dan memberikan kepekaan tinggi pada deteksi TT. Mudah-
mudahan, di masa depan metode ini akan menjadi tersebar luas dan hemat biaya
untuk meningkatkan efisiensi dalam diagnosis TT.
Bajory et al. menunjukkan kegunaan diagnostik dari pencitraan orthogonal
polarization spectral (OPS) untuk mengevaluasi mikrosirkulasi setelah kejadian TT
pada model tikus [51]. Hal ini dilakukan dengan menggunakan cahaya inert
terpolarisasi secara biologis untuk mengevaluasi mikrosirkulasi testis. Tidak
terdapat perbedaan signifikan pada efisiensi dibandingkan dengan video mikroskopi
fluorosens intravital. Keunggulan utama dari OPS adalah ukurannya yang praktis
dan pencitraan tanpa penggunaan fluorosens. OPS adalah alat diagnostik optimal
pada penggunaan bedside, pada gawat darurat, bahkan pada kamar operasi [51].
Terdapat hal kontroversial terkait pemilihan pembedahan eksplorasi dan
sonografi. Meskipun pembedahan eksplorasi memberikan diagnosis yang pasti dari
TT dan dapat memberikan terapi segera, namun pada kasus non TT, pembedahan
dapat memberikan tindakan yang tidak diperlukan. Beberapa penulis menyarankan
bahwa ketika pasien datang dengan akut skrotum, diagnosis dini harus segera
dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan anamnesis, serta diikuti dengan
pembedahan eksplorasi segera, namun kelalaian dapat menyebabkan kehilangan

7
testis [32,52]. Sebagai perbandingan, penulis lain merekomendasikan selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik, prosedur pencitraan seperti CDUS atau HRUS
merupakan hal penting [45,53,54]. Sayangnya, temuan negatif palsu pada CDUS
tidak dapat mengeksklusi TT; sehingga ketika anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengindikasikan TT, pemebedahan harus segera dilakukan tanpa penundaan
[54,55].

5. PENATALAKSANAAN
5.1. Kasus Perinatal
Terapi pada kasus TT masa perinatal masih area kontroversial pada bidang
urologi. TT masa prenatal masih dianggap tidak dapat diselamatkan, karena sulitnya
mendeteksi, tidak adanya gejala, dan terbatasnya pilihan terapi [7,56]. Meski begitu,
TT neonatal masih dapat diselamatkan dengan tingkat keberhasilan 21,7% atau
bahkan hingga 50%, sedangkan peneliti lain melaporkan keberhasilan yang rendah,
khususnya pada pengalaman oleh Kaplan dan Silber [56–58]. Kasus TT bilateral
merupakan temuan yang jarang, tetapi membutuhkan pembedahan segera [3,56]. Hal
kontroversial adalah waktu dilakukannya pembedahan pada kasus TT masa perinatal
unilateral atau bilateral. Beberapa peneliti menyarankan untuk menunda
pembedahan karena dampak yang dapat ditimbulkan dari anaestetik pada neonatal
[59,60]. Terlepas dari potensi komplikasi seperti hidrokel atau infeksi [59], Beberapa
peneliti merekomendasikan pembedahan segera [56,57,61]. Terdapat beberapa
pilihan pembedahan seperti orchiopexy atau orchiectomy ipsilateral, tetapi prosedur
yang paling umum adalah orchiectomy ipsilateral dikombinasikan dengan
orchiopexy kontralateral. Hal ini untuk mencegah terjadinya TT pada kemudian hari
dan mencegah atrofi testis kontralateral [3,7,56,57,59,61]. Sayangnya, pada banyak
kasus, peneyelamatn testis tidak dapat dilakukan karena penemuan yang tertunda.
Tanggung jawab dari orang tua sangatlah penting karena temuan dan diagnosis dini
serta pembedahan segera memungkinakan terselamatkannya testis [11].

5.2. Kasus Pubertas dan Dewasa


Pada masa pubertas atau dewasa, TT kemungkinan dapat disembuhkan jika
dideteksi dini dan dengan pemberian manajemen awal. Detorsi manual
direkomendasikan oleh beberapa peniliti sebagai solusi yang ceapat, mudah, dan
non-invasif [7,62]. Detorsi manual dapat dilakukan dengan atau tanpa anaestesi atau
analgesik. Penggunaan medikasi ini sebelum detorsi manual memberi efek tidak

8
menguntungkan karena tanda kesuskesan tindakan ini berupa hilangnya nyeri dan
gejala pada skrotum. Anaestesi atau analgesik dapat memberi persepsi palsu pada
dokter padahal testis masih mengalami puntiran. Ketika terdapat masalah lain (TAT
atau EO), gejala tetap berlanjut [62]. Bagaimanapun, analgesik atau anaestetik
direkomendasikan oleh penulis lainnya dari segi peningkatan kepatuhan pasien dan
peningkatan efisiensi detorsi melalui relaksasi otot cremaster [9].
Pada kebanyakan kasus TT, puntiran testis terjadi ke arah dalam dan detorsi harus
dilakukan ke arah luar, seperti gerakan membuka buku. Pada sepertiga kasus TT,
testis terpuntir ke arah lateral [25]. Jika detorsi manual dapat sukses dilakukan, testis
tersebut dapat turun kembali ke skrotum [8].
Bahaya dari detorsi manual adalah residual TT karena detorsi testis yang tidak
sempurna. Hal ini bisa terjadi karena jangkauan puntiran sangat bervariasi, dari 180˚
hingga 1080˚. Sessions et al. menemukan residual TT pada 32% kasus setelah
manual detorsi [25].
Pilihan yang lebih baik antara detorsi manual dan pembedahan masih
kontroversial. Bebrapa peneliti menyarankan pembedahan segera dan lainnya lebih
memilih teknik non-invasif dan pembedahan elektif. Secara alamiah, banyak pilihan
bergantung dari keparahan gejala dan faktor waktu, melalui pengalaman dokter
dengan detorsi manual adalah faktor penting. Jika detorsi manual tidak dapat
dilakukan, pembedahan segera harus dilakukan secepatnya untuk menghindari
hilangnya testis. Namun, detorsi manual tidak dapat menggantikan tindakan
orchiopexy. Setelah tindakan detorsi manual yang sukses, harus direncanakan
orchiopexy bilateral elektif untuk mencegah kejadian TT berulang [7,9,62].

5.3. Orchiopexy
Orchiopexy, tindakan fiksasi testis terhadap dinding skrotum bagian dalam, yang
bertujuan untuk mencegah kejadian TT berulang. Orchiopexy kontralateral
disarankan oleh banyak peneliti karena deformitas bell clapper umumnya ditemukan
pada testis kontralateral. Letratur tersebut memberikan berbagai pilihan dalam
melakukan orchiopexy [7–9,14,63].
Satu kelompok penelitian dengan metode pembedahan melibatkan fiksasi tunika
albuginea. Dalam melakukan prosedur, penjahitan dilakukan melalui tunika
albuginea untuk menciptakan titik fiksasi terhadap septum median atau dinding
skrotum lateral atau inferior [64,65]. Pada prosedur orchipexy lainnya, lapisan tunika

9
vaginalis juga dilibatkan untuk menghasilkan adhesi yang kuat antara tunika
albuginea dan dinding skrotum bagian dalam [66]. Antao et al. baru-baru ini
memaparkan teknik fiksasi aksial [65]. Penulis mempertimbangkan bahwa retorsi
setelah orchiopexy dini disebabkan karena insufisiensi penjahitan. Kemudian
penulis melakukan continous suture sirkuler dengan benang non-absorbable secara
longitudinal pada tunika albuginea kedua testis serta bagian atas dan bawah dari
septum median. Oleh karena itu, terbentuk 4 titik fiksasi, yang berbeda dengan
prosedur sebelumnya [65]. Peneliti lain menyatakan bahwa penjahitan melalui
tunika albuginea dapat meningkatkan insiden kelainan spermatogenesis [67].
Tingkat antibodi antisperma yang lebih tinggi terdeteksi pada studi hewan dengan
sawar darah testis yang mengalami perlukaan [68,69].
Pada kelompok studi lain, teknik pembedahan dilakukan tanpa penjahitan pada
tunika albuginea. Testis difiksasi pada posisi ekstravaginal melalui dartos pouch
pada subkutan [70,71]. Pada proses reparasi Jaboulay, tunika vaginalis dieversi,
yang menyebabkan penempelan antara integumen testis [72]. Mazaris et al.
memaparkan teknik baru untuk melakukan fiksasi testis terhadap fascia dartos [68].
Lapisan parietal tunika vaginalis yang dieversi dijahit secara continous
menggunakan benang absorbable dan testis difiksasi terhadap fascia dartos melalui
bagian yang dieversi dengan 3 jahitan non-absorbable. Fiksasi 3 titik ini
memberikan sambungan yang lebih baik dan dalam jangka waktu lebih panjang [68].
Sebuah diskusi kasus memaparkan seorang pasien dengan satu testis dan TT 720˚
9 jam setelah timbulnya gejala. Terlepas dari fakta bahwa secara subjektif testis
tersebut tampak mati, dilakukan orchiopexy. Tingkat testosteron yang normal dan
aliran darah intratestikular yang normal diremukan pada minggu 4 dan 12. Spesimen
semen yang dibekukan (50 jam setelah pembedahan) juga menunjukkan hasil yang
normal. Kesimpulan utama yang ditemukan bahwa masih terdapat kemungkinan
penyelamatan testis meskipun testis secara subjektif tampak mati atau tidak
terselamatkan [73].
Kutikov et al. memaparkan pentingnya reperfusi setelah detorsi karena adanya
kejadian sindroma kompartemen lokal [74]. Hipoksia atau volume aliran darah yang
banyak menyebabkan edema pada tesits. Tunika albuginea menghambat terjadinya
pembesaran jaringan testis, sehingga edema diasosiasikan dengan peningkatan
tekanan intrakompartemen dan penurunan mikrosirkulasi. Pada sindroma
kompartemen testis, penurunan viabilitas dari testis berhubungan dengan waktu

10
yang telah terlewat. Pada penelitian ini, dibentuk sebuah celah pada tunika albugiena
(proses yang disebut fasciotomi testikular) setelah detorsi. Tekanan
intrakompartemen menurun secara dramatis dan warna dari testis kembali normal.
Celah ini kemudian ditutup dan tekanan serta waran testis kembali normal. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi iskemik dan hiperemik dapat menyebabkan sindroma
kompartemen. Seluruh testis yang fasciotomi testikular (n=3) dapat diselamatkan
setelah mengalami iskemia selama 6 jam [74].
Figueroa et al. menujukkan bahwa tingkat penyelamatan testis setelah
pembedahan detorsi lebih baik setelah fasciotomi dikombinasi dengan penutupan
katup tunika vaginalis [75]. Dari 59 pasien, tingkat orchiectomi sebesar 35,9%
sebelum dan 15% setelah prosedur ini. Fasciotomi dan penutupan katup
direkomendasikan oleh penulis pada kasus TT marginal [75].

5.4. Orchiectomy
Testis nekrotik dan yang tidak dapat diselamatkan harus dihilangkan melalui
tindakan pembedahan. Orchiectomy merupakan pilihan terakhir pada manajemen
TT, tetapi dapat menjadi urgensi. Sayangnya, banyak pasien yang ditemukan dengan
gejalan lanjut, dengan kemungkinan kecil atau tidak ada kemungkinan untuk
melakukan terapi [5,9]. Pada studi terbaru, orchiectomy dilakukan pada 31,9-41,9%
kasus TT yang diterapi dengan pembedahan [2,24]. Pilihan untuk melakukan
orchiectomy harus berdasarkan kondisi aktual dari testis dan harus dilakukan detorsi
terlebih dahulu utnuk meyakinkan bahwa testis tidak dapat diselamatkan [73].
Setelah orchiectomy, ahli urologi harus mempertimbangkan kepercayaan diri
pasien. Pada kebanyakan laki-laki, adalah hal sulit untuk hidup tanpa testis dan hal
ini dapat menyebabkan masalah psikologis. Implantasi testis prosthesis dapat
membantu memperbaiki kepercayaan diri pasien. Secara umum, terdapat berbagai
indikasi untuk melakukan penggantian testis prosthesis. Sekitar 25% dari prosedur
dilakukan karena riwayat orchioectomy setelah mengalami TT. Setelah melakukan
implantasi prosthesis, 68-91% pasien merasa puas dengan prosthesis dan dengan
kepercaayn dirinya [76].
Waktu merupakan faktor terpenting, tetapi pemilihan tepat antara orchiopexy dan
orchiectomy harus selalu dilakukan berdasarkan kondisi masing-masing pasien.
Ketika terdapat peluang penyelamatan testis, harus dilakukan usaha untuk
menyelamatkan testis tersebut

11
5.5. Obat dan Terapi lainnya
Selama terjadi TT dan setelah detorsi, testis dapat mengalami cedera
iskemik/reperfusi. Kondisi ini sangat bergantung dari keseimbangan reactive oxygen
species (ROS) dan pertahanan anti oksidan. Secara alamiah, banyak komponen
lainnya yang terlibat pada proses kompleks ini, seperti leukosit, sistem komplemen,
dan peningkatan permeabilitas vaskular. ROS diproduksi selama terjadi hipoksia dan
dapat merusak jaringan dengan mengoksidasi lemak membran sel , protein, bahkan
DNA. Pada kondisi normal, tubuh dapat mengeliminasi ROS melalui mekanisme
pertahanan anti oksidan. Selama terjadi TT, terjadi ketidakseimbangan antara ROS
dan mekanisme pertahanan, yang dapat berdampak pada viablitas sel, produksi
hormon, dan spermatogenesis. Efek berbahaya pada reperfusi adalah percepatan
terjadinya apoptosis [77,78]. Hal paradoks ditemukan pada kondisi iskemia terkait
TT bahwa kondisi ini juga membahayakan testis kontralateral pada model tikus. [79]
Banyak obat-obatan dan bahan kimia potensial yang telah sukses pada studi
hewan untuk mengurangi kerusakan akibat iskemia/reprefusi pada kejadian TT,
seperti selective endothelin-a receptor inhibitor, apocynin, nifedipine,
phosphodiesterase type 5 inhibitors, coenzyme Q10, lycopene, ginkgo biloba,
rosuvastatin or tyrosine kinase inhibitors [80–88]. Oksigen hiperbarik dan
pendinginan skrotum eksternal dapat mengurangi keparahan dari cedera yang terjadi
[89,90]. Seluruh temuan positif ini menunjukkan peran penting dari obat-obatan
antiinflamasi pada terapi TT di masa depan. Namun, usaha terapi tersebut belum
dapat sukses dibuktikan pada manusia hingga saat ini
Sebuah studi eksperimental mengevaluasi kefektifan electroacupuncture (EA)
dalam mengubah aliran darah pada TT 180˚ pada model tikus. Total digunakan 10Hz
EA pada dermatom T13 dan L4 selama 5 menit dan srikulasi testis diobservasi
menggunakan CDUS. Ditemukan perbaikan aliran darah secara signifikan pada
testis ipsilateral dan kontralateral pada kelompok EA. Di masa depan EA mungkin
cocok dikombinasikan dengan terapi obat-obatan atau pembedahan [91].

6. DAMPAK LANJUT
Kejadian atrofi testis ditemukan pada 25% kasus yang telah menjalani pembedahan.
Moritoki et al. menjelaskan bahwa tekanan intratestikel meningkat selama terjadi torsio
dan menurun setelah dilakukan detorsio [92]. Tekanan intratestikel yang tidak adekuat
setelah detorsio dihubungkan dengan gangguan spermatogenesis pada model tikus. Hal

12
ini menyediakan hasil awal terkait viabilitas testis dan memfasilitasi keputusan terkait
dilakukannya orchiectomy pada saat pembedahan eksplorasi [92].
TT dan orchiopexy atau orchiectomy dapat mempengaruhi fertilitas laki-laki. Sekitar
0,5% pasien infertil memiliki riwayat positif TT dan TT hanya memiliki pengaruh kecil
dalam memperburuk fertilitas. Beberapa peneliti melaporkan hasil yang buruk pada
analisis semen setelah kejadian TT [3]. Artikel terbaru menjelaskan tidak terdapat
perbedaan signifikan pada motilitas dan jumlah sperma, meskipun ditemukan morfologi
sperma irreguler dan tingkat antibodi anti sperma yang tinggi [73,93]. Tingkat hormon
juga dievaluasi dan ditemukan tingkat testosteron, follicle stimulating hormone and
luteinizing hormone yang normal [73,94]. Tingkat inhibin B menurun setelah terjadinya
TT, relatif terhadap grup kontrol [94].

7. DISKUSI
TT adalah keadaan darurat urologis yang nyata, terutama ditemui pada pria muda. Itu
mungkin terkait dengan risiko infertilitas yang tinggi dan itu menuntut perawatan segera
dan mendesak, tanpa ada penundaan. Sebaliknya, masih terdapat beberapa debat yang
tidak pasti, umumnya tentang diagnosis dan pengobatan TT. Setelah diagnosis dari TT,
perawatan mendesak dibutuhkan untuk menyelamatkan testis yang terpengaruh.
Meskipun ada banyak upaya pengobatan untuk melindungi jaringan akibat cedera
iskemik/reperfusi atau pendeketan lainnya, pembedahan adalah satu-satunya terapi
permanen yang dapat dilakukan pada situasi gawat darurat ataupun elektif. Apakah
terdapat konsep baru pada etiologi? Apakah pemeriksaan fisik dan anamnesis pasien
cukup untuk mengeksklusi penyebab lainnya yang mungkin menyebabkan akut skrotum?
Apakah pemeriksaan penunjang seperti CDUS atau pencitraan radionuklida penting
dilakukan sebelum pembedahan eksplorasi? Di mana peran detorsi manual pada terapi
TT? Apa pilihan terapi yang baru? Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah sebagian kecil
dari pertanyaan yang muncul karena perhatian pada aspek kontroversial TT.
Konsep aetiologi terbaru terkait dengan keterlibatan gen. Beberapa kelainan genetik
yang dicurigai diasosiasikan dengan TT [3]. Banyak kasus yang telah dipublikasikan
melibatkan insiden TT yang terjadi pada satu keluarga dalam beberapa keturunan [3,18–
20]. Namun, dari seluruh mutasi ini tidak ada yang terbukti sebagai penyebab
Peran dari cuaca masih belum pasti. Terlepas dari fakta bahwa ribuan kasus telah
diinvestigasi di seluruh dunia, tidak sepenuhnya jelas apakah cuaca memiliki dampak
pada TT [3,21,22,24,32]. Sebuah studi komprehensif menunjukkan bahwa penting untuk

13
menginvestigasi pengaruh musiman pada TT, termasuk variablitias regional, ras,
temperatur atmosfer dan kelembaban.
Meskipun beberapa gejala lebih sering ditemukan pada akut skrotum, tidak terdapat
bukti untuk mengeksklusi penyakit lain berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik.
Penyebab akut skrotum yang bervariasi dapat menyerupai satu sama lain dan tiap gejala
dapat hilang atau muncul pada berbagai kondisi [39]. Sayangnya, sonografi bahkan
CDUS juga tidak bisa menegakkan diagnosis benar 100% [41,42]. Literatur yang diulas
mengindikasikan bahwa ditemukan adanya hasil pemeriksaan pencitraan yang
mencurigakan, pasien harus segera menjalani pembedahan eksplorasi [54,55].
Scintigrafi, MRI, near-infrared fluorescence, NIRS dan OPS memberikan gambaran
yang baik tetapi tidak 100% efisien untuk mendiagnosis TT dan Scintigrafi, MRI, near-
infrared fluorescence membutuhkan pemberian kontras, sedangkan sisanya tidak tersedia
secara luas dan dapat diaskes secara mudah [47–51]. Kabar baiknya, teknik-teknik
pencitraan ini akan semakin tersedia secara luas pada masa yang akan datang.
Beberapa penulis menggambarkan tingkat kesuksesan yang baik dari tindakan detorsi
manual [62]. Meski begitu, detorsi manual hanya dapat menjadi solusi temporer karena
orchiopexy adalah hal yang harus dilakukan setelah TT. Jika dokter tidak memiliki
pengalaman yang cukup untuk melakukan detorsi manual, tidak diperkenankan untuk
mencoba melakukan percobaan detorsi karena dapat menunda waktu pemberian terapi.
[7,9].
Dianjurkan untuk memberi perlindungan pada tunika albugiena saat melakukan
orchiopexy. Cedera dapat berdampak pada gangguan spermatogenesis pada testis
kontralateral [69]. Sejumlah teknik pembedahan baru telah dicoba dan mampu mencegah
rekurensi TT, seperti fiksasi aksial empat titik (four-point axial fixation) dan fasciotomi
testikular dikombinasi dengan penutupan celah tunika vaginalis [65,75]. Sejumlah obat-
obatan dan bahan kimia juga telah diteliti beberapa tahun ini [80–88]. Obat-obatan ini
berhasil untuk mengurangi cedera iskemik/reperfusi pada model hewan dan dapat
menjadi obat yang potensial untuk manusia pada masa yang akan datang, tetapi penelitian
pada manusia harus dibutuhkan. Penelitian pada hewan dengan hasil yang menjanjikan
telah dilakukan dengan EA, pendinginan skrotum eksternal, dan terapi oksigen
hiperbarik [89–91].

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Williamson RC. Torsion of the testis and allied conditions. Br J Surg 1976; 63(6): 465-
76.
2. Zhao LC, Lautz TB, Meeks JJ, Maizels M. Pediatric testicular torsion epidemiology
using a national database: incidence, risk of orchiectomy and possible measures toward
improving the quality of care. J Urol 2011; 186(5): 2009-13.
3. DaJusta DG, Granberg CF, Villanueva C, Baker LA. Contemporary review of testicular
torsion: new concepts, emerging technologies and potential therapeutics. J Pediatr Urol
2013; 9(6 Pt A): 723-30.
4. Kadish HA, Bolte RG. A retrospective review of pediatric patients with epididymitis,
testicular torsion, and torsion of testicular appendages. Pediatrics 1998; 102(1 Pt 1): 73-
6.
5. Yang C, Song B, Tan J, Liu X, Wei GH. Testicular torsion in children: a 20-year
retrospective study in a single institution. ScientificWorldJournal 2011; 11: 362-8.
6. Davol P, Simmons J. Testicular torsion in a 68-year-old man. Urology 2005; 66(1): 195.
7. Drlík M, Koˇcvara R. Torsion of spermatic cord in children: a review. J Pediatr Urol
2013; 9(3): 259-66.
8. Gatti JM, Patrick Murphy J. Current management of the acute scrotum. Semin Pediatr
Surg 2007; 16(1): 58-63.
9. Sharp VJ, Kieran K, Arlen AM. Testicular torsion: diagnosis, evaluation, and
management. Am Fam Physician 2013; 88(12): 835-40.
10. Crawford P, Crop JA. Evaluation of scrotal masses. Am Fam Physician 2014; 89(9): 723-
7.
11. Zilberman D, Inbar Y, Heyman Z, Shinhar D, Bilik R, Avigad I, et al. Torsion of the
cryptorchid testis–can it be salvaged? J Urol 2006; 175(6): 2287-9.
12. Weiss AP, Van Heukelom J. Torsion of an undescended testis located in the inguinal
canal. J Emerg Med 2012; 42(5): 538-9.
13. Caesar RE, Kaplan GW. Incidence of the bell-clapper deformity in an autopsy series.
Urology 1994; 44(1): 114-6.
14. Martin AD, Rushton HG. The prevalence of bell clapper anomaly in the solitary testis in
cases of prior perinatal torsion. J Urol 2014; 191(5 Suppl): 1573-7.
15. Leibovitch I, Mor Y. The vicious cycling: bicycling related urogenital disorders. Eur Urol
2005; 47(3): 277-86.

15
16. Seng YJ, Moissinac K. Trauma induced testicular torsion: a reminder for the unwary. J
Accid Emerg Med 2000; 17(5): 381-2.
17. Sozubir S, Barber T, Wang Y, Ahn C, Zhang S, Verma S, et al. Loss of Insl3: a potential
predisposing factor for testicular torsion. J Urol 2010; 183(6): 2373-9.
18. Shteynshlyuger A, Yu J. Familial testicular torsion: a meta analysis suggests inheritance.
J Pediatr Urol 2013; 9(5): 683-90.
19. Cubillos J, Palmer JS, Friedman SC, Freyle J, Lowe FC, Palmer LS. Familial testicular
torsion. J Urol 2011; 185(6 Suppl): 2469-72.
20. Shteynshlyuger A, Freyle J. Familial testicular torsion in three consecutive generations
of first-degree relatives. J Pediatr Urol 2011; 7(1): 86-91.
21. Korkes F, Cabral PR, Alves CD, Savioli ML, Pompeo AC. Testicular torsion and weather
conditions: analysis of 21,289 cases in Brazil. Int Braz J Urol 2012; 38(2): 222-8.
22. Chiu B, Chen CS, Keller JJ, Lin CC, Lin HC. Seasonality of testicular torsion: a 10-year
nationwide population based study. J Urol 2012; 187(5): 1781-5.
23. Srinivasan AK, Freyle J, Gitlin JS, Palmer LS. Climatic conditions and the risk of
testicular torsion in adolescent males. J Urol 2007;178(6): 2585-8.
24. Cost NG, Bush NC, Barber TD, Huang R, Baker LA. Pediatric testicular torsion:
demographics of national orchiopexy versus orchiectomy rates. J Urol 2011; 185(6
Suppl): 2459-63.
25. Sessions AE, Rabinowitz R, Hulbert WC, Goldstein MM, Mevorach RA. Testicular
torsion: direction, degree, duration and disinformation. J Urol 2003; 169(2): 663-5.
26. Hayn MH, Herz DB, Bellinger MF, Schneck FX. Intermittent torsion of the spermatic
cord portends an increased risk of acute testicular infarction. J Urol 2008; 180(4 Suppl):
1729-32.
27. Prando D. Torsion of the spermatic cord: the main gray-scale and doppler sonographic
signs. Abdom Imaging 2009; 34(5): 648-61.
28. Corriere JN Jr. Horizontal lie of the testicle: a diagnostic sign in torsion of the testis. J
Urol 1972; 107(4): 616-7.
29. Rabinowitz R. The importance of the cremasteric reflex in acute scrotal swelling in
children. J Urol 1984; 132(1): 89-90.
30. Nelson CP, Williams JF, Bloom DA. The cremasteric reflex: a useful but imperfect sign
in testicular torsion. J Pediatr Surg 2003; 38(8): 1248-9.
31. Hughes ME, Currier SJ, Della-Giustina D. Normal cremasteric reflex in a case of
testicular torsion. Am J Emerg Med 2001; 19(3):241-2.

16
32. Murphy FL, Fletcher L, Pease P. Early scrotal exploration in all cases is the investigation
and intervention of choice in the acute paediatric scrotum. Pediatr Surg Int 2006; 22(5):
413-6.
33. Yin S, Trainor JL. Diagnosis and management of testicular torsion, torsion of the
appendix testis, and epididymitis. Clin Pediatr Emerg Med 2009; 10: 38-44.
34. Pogorelic Z, Mrklie I, Juric I. Do not forget to include testicular torsion in differential
diagnosis of lower acute abdominal pain in young males. J Pediatr Urol 2013; 9(6 Pt B):
1161-5.
35. Di Tonno F, Mazzariol C, Piazza N, Murer B. Filariasis: an emergent cause of acute
scrotal pain. Urologia 2010; 77(2): 147-9.
36. Hara Y, Tajiri T, Matsuura K, Hasegawa A. Acute scrotum caused by Henoch-Sch¨onlein
purpura. Int J Urol 2004; 11(7): 578-80.
37. Klin B, Lotan G, Efrati Y, Zlotkevich L, Strauss S. Acute idiopathic scrotal edema in
children–revisited. J Pediatr Surg 2002;37(8): 1200-2.
38. Vlazakis S, Vlahakis I, Kakavelakis KN, Charissis G. Right acute hemiscrotum caused
by insertion of an inflamed appendix. BJU Int 2002; 89(9): 967-8.
39. Mellick LB. Torsion of the testicle: it is time to stop tossing the dice. Pediatr Emerg Care
2012; 28(1): 80-6.
40. Cokkinos DD, Antypa E, Tserotas P, Kratimenou E, Kyratzi E, Deligiannis I, et al.
Emergency ultrasound of the scrotum: a review of the commonest pathologic conditions.
Curr Probl Diagn Radiol 2011; 40(1): 1-14.
41. Kaye JD, Shapiro EY, Levitt SB, Friedman SC, Gitlin J, Freyle J, et al. Parenchymal
echo texture predicts testicular salvage after torsion: potential impact on the need for
emergent exploration. J Urol 2008; 180(4 Suppl): 1733-6.
42. Yusuf GT, Sidhu PS. A review of ultrasound imaging in scrotal emergencies. J
Ultrasound 2013; 16(4): 171-8.
43. Karmazyn B, Steinberg R, Kornreich L, Freud E, Grozovski S, Schwarz M, et al. Clinical
and sonographic criteria of acute scrotum in children: a retrospective study of 172 boys.
Pediatr Radiol 2005; 35(3): 302-10.
44. Vijayaraghavan SB. Sonographic differential diagnosis of acute scrotum: real-time
whirlpool sign, a key sign of torsion. J Ultrasound Med 2006; 25(5): 563-74.
45. Kalfa N, Veyrac C, Lopez M, Lopez C, Maurel A, Kaselas C, et al. Multicenter
assessment of ultrasound of the spermatic cord in children with acute scrotum. J Urol
2007; 177(1): 297-301.

17
46. Coley BD, Frush DP, Babcock DS, O'Hara SM, Lewis AG, Gelfand MJ, et al. Acute
testicular torsion: comparison of unenhanced and contrast-enhanced power Doppler US,
color Doppler US, and radionuclide imaging. Radiology 1996; 199(2): 441-6.
47. Terai A, Yoshimura K, Ichioka K, Ueda N, Utsunomiya N, Kohei N, et al. Dynamic
contrast-enhanced subtraction magnetic resonance imaging in diagnostics of testicular
torsion. Urology 2006; 67(6): 1278-82.
48. Amini B, Patel CB, Lewin MR, Kim T, Fisher RE. Diagnostic nuclear medicine in the
ED. Am J Emerg Med 2011; 29(1): 91-101.
49. Shadgan B, Fareghi M, Stothers L, Macnab A, Kajbafzadeh AM. Diagnosis of testicular
torsion using near infrared spectroscopy: a novel diagnostic approach. Can Urol Assoc J
2014; 8(3-4): E249-52.
50. Lin EP, Bhatt S, Rubens DJ, Dogra VS. Testicular torsion: twists and turns. Semin
Ultrasound CT MR 2007; 28(4): 317-28.
51. Bajory Z, Szab´o A, De´ak G, Varga R, Pajor L. Orthogonal polarization spectral
imaging: a novel tool for examination of microcirculatory changes in the testis. J Androl
2012; 33(3): 499-504.
52. Soccorso G, Ninan GK, Rajimwale A, Nour S. Acute scrotum: is scrotal exploration the
best management? Eur J Pediatr Surg 2010; 20(5): 312-5.
53. Altinkilic B, Pilatz A, Weidner W. Detection of normal intratesticular perfusion using
color coded duplex sonography obviates need for scrotal exploration in patients with
suspected testicular torsion. J Urol 2013; 189(5): 1853-8.
54. Lam WW, Yap TL, Jacobsen AS, Teo HJ. Colour Doppler ultrasonography replacing
surgical exploration for acute scrotum: myth or reality? Pediatr Radiol 2005; 35(6): 597-
600.
55. Pepe P, Panella P, Pennisi M, Aragona F. Does color Doppler sonography improve the
clinical assessment of patients with acute scrotum? Eur J Radiol 2006; 60(1): 120-4.
56. Nandi B, Murphy FL. Neonatal testicular torsion: a systematic literature review. Pediatr
Surg Int 2011; 27(10): 1037-40.
57. Sorensen MD, Galansky SH, Striegl AM, Mevorach R, Koyle MA. Perinatal extravaginal
torsion of the testis in the first month of life is a salvageable event. Urology 2003; 62(1):
132-4.
58. Kaplan GW, Silber I. Neonatal torsion-to pex or not? In: King LR, editor. Urology
surgery in neonates and young infants. New York: Elsevier Science; 1988, p. 386-95.

18
59. Djahangirian O, Ouimet A, Saint-Vil D. Timing and surgical management of neonatal
testicular torsions. J Pediatr Surg 2010; 45(5): 1012-5.
60. Snyder HM, Diamond DA. In utero/neonatal torsion: observation versus prompt
exploration. J Urol 2010; 183(5): 1675-7.
61. Yerkes EB, Robertson FM, Gitlin J, Kaefer M, Cain MP, Rink RC. Management of
perinatal torsion: today, tomorrow or never? J Urol 2005; 174(4 Pt 2): 1579-82.
62. Cornel EB, Karthaus HF. Manual derotation of the twisted spermatic cord. BJU Int 1999;
83(6): 672-4.
63. Bolln C, Driver CP, Youngson GG. Operative management of testicular torsion: current
practice within the UK and Ireland. J Pediatr Urol 2006; 2(3): 190-3.
64. Hamdy FC, Hastie KJ. Torsion of the testis: a new technique for fixation. Eur Urol 1994;
25(4): 338-9.
65. Antao B, MacKinnon AE. Axial fixation of testes for prevention of recurrent testicular
torsion. Surgeon 2006; 4(1): 20-1.
66. Morse TS, Hollabaugh RS. The “window” orchidopexy for prevention of testicular
torsion. J Pediatr Surg 1977; 12(2): 237-40.
67. Coughlin MT, Bellinger MF, LaPorte RE, Lee PA. Testicular suture: a significant risk
factor for infertility among formerly cryptorchid men. J Pediatr Surg 1998; 33(12): 1790-
3.
68. Mazaris E, Tadtayev S, Shah T, Boustead G. Surgery illustrated– focus on details: a novel
method of scrotal orchidopexy: description of the technique and short-term outcomes.
BJU Int 2012;110(11): 1838-42.
69. Cerasaro TS, Nachtsheim DA, Otero F, Parsons CL. The effect of testicular torsion on
contralateral testis and the production of antisperm antibodies in rabbits. J Urol 1984;
132(3): 577-9.
70. Redman JF, Barthold JS. A technique for atraumatic scrotal pouch orchiopexy in the
management of testicular torsion. J Urol 1995; 154(4): 1511-2.
71. Shanbhogue LK, Miller SS. Subcutaneous dartos pouch fixation for testicular torsion. Br
J Surg 1987; 74(6): 510.
72. Lent V, Stephani A. Eversion of the tunica vaginalis for prophylaxis of testicular torsion
recurrences. J Urol 1993; 150(5 Pt 1): 1419-21.
73. Woodruff DY, Horwitz G, Weigel J, Nangia AK. Fertility preservation following torsion
and severe ischemic injury of a solitary testis. Fertil Steril 2010; 94(1): 352.e4-5.

19
74. Kutikov A, Casale P, White MA, Meyer WA, Chang A, Gosalbez R, et al. Testicular
compartment syndrome: a new approach to conceptualizing and managing testicular
torsion. Urology 2008; 72(4): 786-9.
75. Figueroa V, Pippi Salle JL, Braga LH, Romao R, Koyle MA, B¨agli DJ, et al.
Comparative analysis of detorsion alone versus detorsion and tunica albuginea
decompression (fasciotomy) with tunica vaginalis flap coverage in the surgical
management of prolonged testicular ischemia. J Urol 2012; 188(4 Suppl): 1417-22
76. Bodiwala D, Summerton DJ, Terry TR. Testicular prostheses: development and modern
usage. Ann R Coll Surg Engl 2007; 89(4): 349-53.
77. Elshaari FA, Elfagih RI, Sheriff DS, Barassi IF. Oxidative and antioxidative defense
system in testicular torsion/detorsion. Indian J Urol 2011; 27(4): 479-84.
78. Eltzschig HK, Collard CD. Vascular ischaemia and reperfusion injury. Br Med Bull
2004; 70: 71-86.
79. Sukhotnik I, Miselevich I, Lurie M, Nativ O, Coran AG, Mogilner JG. The time
relationship between ipsilateral testicular ischemia and germ cell apoptosis in the
contralateral testis in rat. Pediatr Surg Int 2005; 21(7): 512-6.
80. Bajory Z, Varga R, Janovszky A´ , Pajor L, Szabo´ A. Microcirculatory effects of
selective endothelin-A receptor antagonism in testicular torsion. J Urol 2014; 192(6):
1871-7.
81. Ozbek O, Altintas R, Polat A, Vardi N, Parlakpinar H, Sagir M, et al. The protective
effect of apocynin on testicular ischemiareperfusion injury. J Urol 2015; 193(4): 1417-
22.
82. Mestrovic J, Drmic-Hofman I, Pogorelic Z, Vilovic K, Supe- Domic D, Seselja-Perisin
A, et al. Beneficial effect of nifedipine on testicular torsion-detorsion injury in rats.
Urology 2014; 84(5): 1194-8.
83. Ust¨un H, Akg¨ul KT, Ayyildiz A, Yagmurdur H, Nuhoglu B, Karag¨uzel E, et al. Effect
of phospodiesterase 5 inhibitors on apoptosis and nitric oxide synthases in testis torsion:
an experimental study. Pediatr Surg Int 2008; 24(2): 205-11.
84. Erol B, Bozlu M, Hanci V, Tokgoz H, Bektas S, Mungan G. Coenzyme Q10 treatment
reduces lipid peroxidation, inducible and endothelial nitric oxide synthases, and germ
cell-specific apoptosis in a rat model of testicular ischemia/reperfusion injury. Fertil
Steril 2010; 93(1): 280-2.

20
85. Hekimoglu A, Kurcer A, Aral F, Baba F, Sahna E, Atessahin A. Lycopene, an antioxidant
carotenoid, attenuates testicular injury caused by ischemia/reperfusion in rats. Tohoku J
Exp Med 2009; 218(2): 141-7.
86. Akg¨ul T, Karag¨uzel E, S¨urer H,
Ya g
murdur H, Ayyildiz A, Ust¨un H, et al. Ginkgo biloba (EGB 761) affects apoptosis and
nitric-oxide synthases in testicular torsion: an experimental study. Int Urol Nephrol 2009;
41(3): 531-6.
87. Karakaya E, Ates¸ O, Akg¨ur FM, Olguner M. Rosuvastatin protects tissue perfusion in
the experimental testicular torsion model. Int Urol Nephrol 2010; 42(2): 357-60.
88. Karaguzel E, Sivrikaya A, Mentese A, Yulug E, Turkmen S, Kutlu O, et al. Investigation
of tyrphostin AG 556 for testicular torsion-induced ischemia reperfusion injury in rat. J
Pediatr Urol 2014; 10(2): 223-9.
89. Zhang Y, Lv Y, Liu YJ, Yang C, Hu HJ, Meng XE, et al. Hyperbaric oxygen therapy in
rats attenuates ischemia-reperfusion testicular injury through blockade of oxidative
stress, suppression of inflammation, and reduction of nitric oxide formation. Urology
2013; 82(2): 489.e9-15.
90. Haj M, Shasha SM, Loberant N, Farhadian H. Effect of external scrotal cooling on the
viability of the testis with torsion in rats. Eur Surg Res 2007; 39(3): 160-9.
91. Acar O, Esen T, Colakoglu B, Camli MF, Cakmak YO. Improving testicular blood flow
with electroacupuncture-like percutaneous nerve stimulation in an experimental rat
model of testicular torsion. Neuromodulation 2015; 18(4): 324-8.
92. Moritoki Y, Kojima Y, Mizuno K, Kamisawa H, Kohri K, Hayashi Y. Intratesticular
pressure after testicular torsion as a predictor of subsequent spermatogenesis: a rat model.
BJU Int 2012; 109(3): 466-70.
93. Arap MA, Vicentini FC, Cocuzza M, Hallak J, Athayde K, Lucon AM, et al. Late
hormonal levels, semen parameters, and presence of antisperm antibodies in patients
treated for testicular torsion. J Androl 2007; 28(4): 528-32.
94. Romeo C, Impellizzeri P, Arrigo T, Antonuccio P, Valenzise M, Mirabelli S, et al. Late
hormonal function after testicular torsion. J Pediatr Surg 2010; 45(2): 411-3.

21

Anda mungkin juga menyukai