Anda di halaman 1dari 5

Pendapat Mahasiswa Kedokteran Tentang Role Model Pada Proses Pendidikan Klinik

I Gde Arya Dharmika Palguna, Ni Putu Indah Kartika Putri, Made Agastia Wicaksana1, Ida
Ayu Sri Indayani2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, 2Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah

Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap sarjana dan tahap profesi
yang merupakan suatu kesatuan. Pendidikan tahap profesi merupakan tahapan pendidikan
kedokteran yang penting untuk mengaplikasikan pengetahuan yang sudah didapatkan pada
tahap sarjana atau preklinik. Pada tahap ini mahasiswa kedokteran juga berkesempatan untuk
melakukan kontak langsung dengan pasien di rumah sakit yang tentunya menuntut sikap dan
perilaku profesionalisme seorang dokter, selain kemampuan skills dan kognitif. Oleh karena
itu, peran seorang pengajar sebagai role model menjadi penting dalam proses pembelajaran
pada tahap profesi ini.
Role modeling dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai menganut atau meneladani,
sebagai suatu proses saat anggota dari kelompok, dalam hal ini adalah pengajar,
mendemonstrasikan kemampuan klinis, model, dan proses berpikir serta menampilkan
karakteristik profesional yang positif.1 Pendidikan tahap profesi masih menggunakan metode
apprenticeship (magang). Mahasiswa akan mengamati dan mengikuti interaksi dosen atau
dokter pembimbing klinik dengan pasien maupun kolega. Informasi yang diamati dari role
model, selanjutnya akan diretensi oleh mahasiswa, diproses dalam memori, dan selanjutnya
akan menimbulkan motivasi untuk melakukan perilaku sesuai model yang diamati. Oleh
karena itu, role model merupakan aspek penting dalam proses pendidikan kedokteran karena
dapat memfasilitasi mahasiswa dalam proses belajar dan membantu pengembangan identitas
profesional melalui observasi yang mereka lakukan terhadap pengajar dalam cara mereka
berperilaku dan berinteraksi dengan pasien maupun kolega.2
Pada penelitian yang dilakukan di Universitas McGill Canada, 90% mahasiswa
ternyata telah mengidentifikasi satu atau lebih dokter yang dijadikan sebagai role model pada
tahap profesi, setidaknya salah satu dokter yang berusaha mereka tiru adalah residen.3
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa sudah mengidentifikasi
role model sebelum masuk pada tahap profesi. Role model seharusnya menampilkan
karakteristik professional yang positif. Menurut Passi4, seorang role model yang baik
hendaknya mempunyai 3 karakteristik, yaitu kompetensi klinis, keterampilan mengajar, dan
kualitas personal. Studi yang dilakukan di salah satu universitas di Asia Selatan2
menyebutkan bahwa kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu karakteristik penting
yang harus dimiliki seorang dokter pembimbing sebagai role model. Kemampuan komunikasi
yang diharapkan ada pada seorang role model adalah kemampuan komunikasi yang efektif
dalam peranan dokter sebagai klinisi dan pengajar. Di samping itu, integritas, kejujuran, serta
sikap profesional dipandang sebagai atribut penting seorang role model untuk menciptakan
dan mempromosikan lingkungan profesional.
Tidak hanya itu, ternyata role model yang diharapkan oleh mahasiswa berkaitan erat
dengan kemampuan mengajar atau teaching skills. Studi yang dilakukan di Yogyakarta5
menunjukkan bahwa alasan utama mahasiswa menentukan role model yang baik adalah
cukupnya waktu membimbing, pemberian feedback dari dosen, memberikan kesempatan
berlatih, memiliki pengetahuan yang luas, dan kemampuan memberikan motivasi belajar
kepada mahasiswa.5 Pada tahap profesi, mahasiswa dihadapkan dengan situasi pembelajaran
yang melibatkan pasien secara langsung. Tidak jarang ditemukan adanya ketidaksesuaian
mengenai relational skills antara tahap preklinik dengan perilaku yang diamati oleh
mahasiswa pada tahap profesi, sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan mahsiswa
mengharapkan masukan dosen pembimbing klinik untuk memberikan konfirmasi terhadap
pengetahuan dan tindakan yang telah dilakukan.
Berdasarkan data-data tersebut, maka hal-hal yang dirasakan penting untuk diberikan
oleh tenaga pengajar sebagai role model adalah kemampuan mengajar yang meiliputi
pembelajaran terfasilitasi, perawatan pasien, dan pengembangan profesional berkelanjutan.
Kemudian diikuti oleh aspek lain seperti, keamanan lingkungan dan pengarahan
pengembangan personal dan profesional. Kompleksitas yang dihadapi pada tahap pendidikan
profesi, seperti kondisi lingkungan pembelajaran di rumah sakit yang kadang-kadang tidak
optimal dikarenakan ketidaktersediaan ruangan dengan jumlah mahasiswa yang banyak,
jumlah pasien yang banyak dengan waktu yang terbatas sehingga lebih banyak dialokasikan
untuk pelayanan, berpengaruh terhadap dosen pembimbing klinik untuk berperan sebagai
role model yang baik. Tentu tidak mudah sebagai pendidik atau dosen untuk memenuhi
kriteria role model yang baik.5
Faktor role model dalam hal ini pembimbing klinik pada proses pendidikan tahap
profesi di FK Unud selama ini belum pernah dicari tahu dan dievaluasi. Sehingga penulis
melakukan survey berisi beberapa pertanyaan singkat yang ditujukan kepada mahasiswa FK
Unud yang sedang menjalani proses pendidikan profesi untuk mengetahui persepsi dan
pendapat mahasiswa terhadap peran role model dalam proses pendidikan kedokteran.
Pertanyaan survei kami susun dan ringkas berdasar dari sumber pustaka yang kami peroleh
sehingga pertanyaan survei ini terdiri dari 3 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan mengenai
karakter ideal sebagai seorang role model dalam pendidikan kedokteran, serta pendapat
mengenai karakter pengajar yang baik untuk dijadikan role model dan karakter pengajar yang
tidak baik untuk dijadikan sebagai role model.
Survey ini diikuti oleh mahasiswa kedokteran FK Unud angkatan 2013 dan 2014 yang
sedang menjalani proses pendidikan klinis. Pada pertanyaan tentang karakter ideal dan
dianggap penting untuk dimiliki oleh seorang role model, responden disilakan memilih 3
jawaban yang menurut responden menjadi karakter ideal pada seorang role model dan
jawaban teratas adalah memiliki kemampuan komunikasi yang baik (86,8%), mampu
menciptakan suasana belajar yang nyaman (57,9%), dan mampu memotivasi dan memberikan
feedback (55,3%), memberikan waktu untuk membimbing (52,6%) kemudian diikuti oleh
pilihan lainnya yang dipilih oleh kurang dari 50% responden, mempunyai pengetahuan yang
luas, antusias dalam mengajar, tepat waktu dan disiplin, mampu bersikap profesional, dan
memiliki empati terhadap pasien. Hasil ini menunjukkan mahasiswa kedokteran
menginginkan seorang role model dangan kombinasi kemampuan komunikasi yang baik
secara umum serta ditunjang kemampuan mengajar yang baik dilihat dari kemampuan
menciptakan suasan belajar, memberikan umpan balik yang membangun untuk mahasiswa
serta bisa memberikan waktu untuk membimbing mahasiswanya. Hal ini sejalan dengan hasil
yang diperoleh Haidar et al, bahwa kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu
karakteristik penting yang harus dimiliki seorang dokter pembimbing sebagai role model.2
Kemungkinan hal ini karena untuk menyampaikan materi serta pengajaran dibutuhkan
kemampuan komunikasi yang efektif kepada mahasiswanya.
Pertanyaan mengenai karakter pengajar yang baik dan kurang baik dalam dijadikan
panutan diberikan dalam bentuk pertanyaan terbuka sehingga mahasiswa dapat memberikan
pendapatnya dengan lebih lugas. Dari seluruh jawaban dari pertanyaan terbuka tersebut,
dapat diperhatikan beberapa topik yang sering muncul mengenai karakter pengajar yang
dianggap baik sebagai role model antara lain kesungghan dan antusias dalam mengajar yang
dapat dilihat pada jawaban seperti “dokter yang sungguh-sungguh dan antusias dalam
mengajar.... dapat memotivasi”, “ mampu membimbing..... cara berkomunikasi yang
baik.....membuat mahasiswa nyaman dalam berdiskusi”, dan “memiliki metode yang
terstruktur dan sistematis” lalu juga muncul topik terkait sikap profesional yang ditunjukkan
dalam komunikasi dan empati berupa “profesionalisme dan komunikasi kepada pasien, serta
attitude” “....berkomunikasi, menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti”, “disiplin”,
“....empati pada siswa dan pasien, serta mampu membimbing dengan sabar”.
Dari jawaban-jawaban tersebut, mahasiswa mengharapkan seorang role model dari
pengajar yang mampu mengajar dengan kesungguhan dan kesabaran, penyampaian bahasa
yang lugas dan mudah dimengerti, memotivasi dan terbuka, serta mencontohkan
profesionalitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak jauh berbeda dengan temuan oleh
Haider dan Kusumawati yang menyatakan bahwa karakter serperti kemampuan komunikasi
yang baik serta dapat memberikan pengajaran yang nyaman dan mendorong mahasiswa
untuk berkembang menjadi acuan mahasiswa untuk menjadikan pengajar tersebut sebagai
role model.2,5
Sedangkan topik yang sering muncul untuk karakter pengajar yang kurang baik
dijadikan role model banyaknya berupa kebalikan dari apa yang diinginkan oleh mahasiswa
pada role model pengajarnya berupa pernyataan seperti “tidak disiplin”, “tidak
membangkitkan motivasi mahasiswa”, “adanya barrier antara mahasiswa dan pengajar”,
“....komunikasi yang kurang baik”, “tidak disiplin, tidak empati”.
(1) Irby DM. Clinical teaching and the clinical teacher. J Med Educ. 1986; 61(9 Pt 2):35–45.
Epub 1986/09/01. PMID: 3746867.
(2) Haider SI, Snead DRJ, Bari MF. Medical students’ perceptions of clinical teachers as role
model. PLoS One. 2016;11(3):1–9.
(3) Scott W, Annie Wong, Carol N. The impact of role models on medical students. J Gen
Intern Med. 1997;12:53-56.
(4) Passi V, Manjo D, Peile Ed, et al. Developing medical professionalism in future doctors: a
systematic review. Int.J.Medical Education. 2010; 1:19-29.
(5) Kusumawati W, Siti ATSE, Seshy T. Role model di rumah sakit pendidikan. Mutiara
Medika. 2014; 14(1):63-74.

Anda mungkin juga menyukai