Anda di halaman 1dari 37

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

“KESEHATAN IBU DAN ANAK SERTA KESEHATAN REPRODUKSI


REMAJA”

Kelompok : A-11
Ketua : Dian Sukma Afista (1102017070)
Sekertaris : Dwi Alma Salsabilla (1102017075)
Anggota : Bilqish Karidza (1102017050)
Cantika Putri Zatnika (1102017055)
Chintya Prima Chairunnisa (1102017056)
Dova Millenia Aisyah Nasution (1102017074)
Harry Raihan Alzikri (1102017102)
Intan Minati Rahmatia Bintahir (1102017112)
Irsanny Nur Asyiah Amelia (1102017115)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2019/2020
Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 021-4244574 Fax. 021-4244574
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................1
SKENARIO.....................................................................................................................................2
KATA SULIT..................................................................................................................................3
BRAINSTORMING........................................................................................................................3
JAWABAN BRAINSTORMING...................................................................................................4
HIPOTESIS.....................................................................................................................................5
SASARAN BELAJAR....................................................................................................................5
HASIL SASARAN BELAJAR.......................................................................................................6
1. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan yang Berisiko Pada Remaja...................6
2. Memahami dan Menjelaskan Dampak dari Perilaku Kesehatan yang Berisiko Pada
Remaja.........................................................................................................................................9
3. Memahami dan Menjelaskan Risiko Tinggi Kehamilan....................................................12
4. Memahami dan Menjelaskan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB).........................................................................................................................................14
5. Memahami dan Menjelaskan Audit Kematian Maternal Perinatal.....................................18
6. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengenai Hubungan Suami Istri di Luar
Nikah, Kehamilan di Luar Nikah dan Aborsi............................................................................29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................35

1
SKENARIO
Kesehatan Ibu dan Anak Serta Kesehatan Reproduksi Remaja
Wanita umur 16 tahun, datang ke puskesmas diantar oleh teman lelakinya dengan perdarahan
segar dan banyak lewat jalan lahir sejak 1 hari yang lalu. Menurut temannya, wanita tersebut
merupakan kekasihnya yang sedang mengandung, mereka telah berhubungan dekat sejak kelas 2
SMP. Dalam pandangan Islam, hubungan suami istri di luar pernikahan dan menggugurkan
kandungan tidak dibenarkan.

Sebelumnya pasien pergi ke dukun untuk menggugurkan kandungan, diajak oleh tetangganya
yang pernah menggugurkan kandungan karena anaknya yang sudah terlalu banyak dan masih
kecil-kecil, pasien juga ada riwayat minum obat peluruh haid atau obat penggugur kandungan,
namun sayang keadaan pasien sudah tidak dapat ditolong lagi saat tiba di puskesmas.

Dokter puskesmas mengatakan pasien memiliki risiko tinggi kehamilan (4 (empat) terlalu) dan
terlambat dibawa ke puskesmas (3 (tiga) terlambat). Kondisi seperti ini ikut berkontribusi
terhadap tingginya AKI (Angka Kematian Ibu)/IMR (Infant mortality rate) akibat kehamilan dan
persalinan di Indonesia. Berdasarkan data SDKI 2012, AKI Indonesia 359/100.000 kelahiran
hidup. Dengan kejadian tersebut, kemudian puskesmas melakukan pencatatan untuk audit
kematian maternal perinatal terhadap pasien tersebut.

2
KATA SULIT
1. SDKI: Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia, menyediakan data mengenai perilaku
fertilitas, KB, Kesehatan ibu dan anak, kematian ibu, pengetahuan tentang AIDS dan IMS
yang dapat digunakan oleh para pengelola
2. AKI: Jumlah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau
penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera.
3. Audit Kematian Maternal Perinatal: Suatu kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan
kematian pada ibu dan perinatal dengan maksud untuk mencegah kesakitan dan kematian
di masa yang akan datang.

BRAINSTORMING
1. Mengapa kejadian tersebut harus dicatat di audit kematian maternal perinatal?
2. Apa hubungan umur ibu dengan AKI?
3. Apa yang harus dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi kehamilan?
4. Apa saja penyebab meningkatnya AKI?
5. Bagaimana aborsi menurut islam?
6. Apa penanganan yang harus dilakukan oleh dokter di puskesmas?
7. Bagaimana pandangan islam mengenai hubungan suami istri di luar nikah?
8. Apa saja faktor/perilaku yang dapat meningkatkan AKI dan AKB?
9. Bagaimana cara mencegah peningkatan AKI dan AKB?
10. Apa saja perilaku yang dapat menyebabkan aborsi pada ibu hamil?
11. Apa saja yang termasuk kehamilan risiko tinggi?
12. Apa yang dimaksud dari data SKDI AKI Indonesia 359/100.000 kelahiran hidup?
13. Apakah ada program kesehatan reproduksi remaja di puskesmas?
14. Apa saja perilaku remaja yang berisiko terhadap kesehatan reproduksi?

3
JAWABAN BRAINSTORMING
1. Untuk mengetahui dan mengevaluasi AKI dan AKB.
2. Hamil pada usia < 20 tahun memiliki alat reproduksi yang belum matang dan berisiko
mengganggu perkembangan janin yang menyebabkan kecacatan dan umur yang > 35
tahun juga bisa menyebabkan kecacatan janin.
3. Antental care, konsumsi makanan yang bergizi, pola hidup sehat, menghindari stress,
akitivitas berat dan modifikasi gaya hidup.
4. Adanya perdarahan parah yang sebagian besar pasca persalinan, infeksi, preeclampsia tau
eclampsia, partus lama, dan aborsi yang tidak aman.
5. Aborsi dalam islam, beberapa madzhab jika < 120 hari umur janin masih dibolehkan, jika
> 120 hari maka haram hukumnya.
6. Antenatal care, persalinan normal, dan imunisasi untuk ibu hamil.
7. Berdasarkan surat al-isra ayat 32 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
Hukum zina adalah haram dan merupakan perbuatan yang sangat terlarang dan
merupakan dosa yang amat besar.
8. Usia kehamilan < 20 thn, sosial ekonomi yg rendah, asupan gizi yg kurang atau buruk,
tingkat kesadaran dan pengetahuan yang rendah untuk melakukan pemeriksaan rutin di
pelayanan kesehatan.
9. Setiap ibu hamil dianjurkan memeriksakan diri sesuai jadwal yang diberikan oleh
dokter/bidan (minimal 4x dalam kehamilan). Melakukan konseling atau penyuluhan
dalam memahami perkembangan kehamilannya, konsumsi nutrisi yang cukup,
mempersiapkan fisik dan mental, dan dukungan keluarga.
10. Aktivitas berat, penyakit yang diderita selama kehamilan dan gizi buruk.
11. kehamilan di usia muda < 20 tahun, hipertensi dalam kehamilan, DM dalam kehamilan,
preeklampsia, eklamsia, infeksi, maupun penyakit sebelum kehamilan.
12. 359 kematian ibu terhadap 100.000 kelahiran hidup.
13. Program puskesmas terkait kesehatan remaja: PKPR/ pelayanan kesehatan peduli remaja
yang didalamnya termasuk konseling tentang reproduksi remaja. PKPR (Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja) yang termasuk juga program engenhai kesehatan reproduksi
remaja.
14. ekonomi yang rendh biasanya mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya dibawah
20 tahun untuk melepas tanggung jawab ortu untuk menafkahi anaknya sehingga resiko
kesehatan reproduksi meningkat.

4
HIPOTESIS
Faktor risiko tinggi kehamilan seperti kehamilan di usia muda < 20 tahun, hipertensi
dalam kehamilan, DM dalam kehamilan, preeklampsia, eklamsia, infeksi, maupun penyakit
sebelum kehamilan dapat menyebabkan peningkatan AKI dan AKB yang dicatat untuk audit
kematian maternal dan perinatal. AKI dan AKB dapat dicegah dengan konseling kesehatan
reproduksi dan setiap ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin kehamilan di
pelayanan kesehatan, salah satu contoh konseling kesehatan reproduksi yaitu PKPR. Kehamilan
di usia remaja dengan pengetahuan yang minim dan usaha melakukan aborsi juga turut
meningkatkan AKI dan AKB. Menurut pandangan islam mengenai aborsi dan hubungan suami
istri di luar nikah adalah hukumnya haram.

SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan yang Berisiko Pada Remaja
2. Memahami dan Menjelaskan Dampak dari Perilaku yang Berisiko Pada Remaja
3. Memahami dan Menjelaskan Risiko Tinggi Kehamilan
4. Memahami dan Menjelaskan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB)
5. Memahami dan Menjelaskan Audit Kematian Maternal Perinatal
6. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengenai Hubungan Suami Istri di Luar
Nikah, Kehamilan di Luar Nikah dan Aborsi

5
HASIL SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan yang Berisiko Pada Remaja
Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 hingga 19 tahun.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk
dalam rentang usia 10-18 tahun. Sementara itu, menurut Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan
belum menikah (Kusumaryani, 2017).
Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai
definisi tentang remaja, sebagai beikut:
a. Menurut World Health Organization (WHO) remaja adalah jika anak berusia 12
sampai 24 tahun.
b. Usia remaja menurut UU perlindungan anak no. 23 tahun 2002 adalah 10–18 tahun.
c. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seorang
anak telah mencapai umur 10–18 tahun (untuk anak perempuan) dan 12–20 tahun
(untuk anak laki-laki).
d. Menurut UU no. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu
yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
e. Menurut UU Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16–18
tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.
f. Menurut UU Perkawinan no. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup
matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun (untuk anak perempuan) dan 19 tahun
(untuk anak laki-laki).
g. Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai
dengan saat lulus Sekolah Menengah.
Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial
dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan sebagai berikut (Iskandarsyah, 2006):
a) Masa remaja awal/dini (early adolescence): umur 10–13 tahun
1) Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya
2) Tampak dan merasa ingin bebas
3) Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai
berfikir khayal (abstrak).
b) Masa remaja pertengahan (middle adolescence): umur 14–16 tahun
1) Tampak dan merasa ingin mencari identitas diri,
2) Ada keinginan untuk berkencan atau tertarik pada lawan jenis,
3) Timbul perasaan cinta yang mendalam,
4) Kemampuan berfikir abstrak (berkhayal) makin berkembang,
5) Berkhayal mengenai hal-hal yang bekaitan dengan seksual.
c) Masa remaja lanjut (late adolescence): umur 17–19 tahun
1) Menampakkan pengungkapan kebebasan diri,
2) Dalam mencari teman sebaya lebih selektif,

6
3) Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya,
4) Dapat mewujudkan perasaan cinta,
5) Memiliki kemampuan berfikir khayal atau abstrak.
(Rahayu, 2017).
Masa remaja itu diasosiasikan dengan masa transisi dari anak-anak menuju
dewasa. Masa ini merupakan periode persiapan menuju masa dewasa yang akan melewati
beberapa tahapan perkembangan penting dalam hidup. Selain kematangan fisik dan
seksual, remaja juga mengalami tahapan menuju kemandirian sosial dan ekonomi,
membangun identitas, akuisisi kemampuan (skill) untuk kehidupan masa dewasa serta
kemampuan bernegosiasi (abstract reasoning) (Kusumaryani, 2017).
Perubahan fisik yang pesat dan perubahan hormonal merupakan pemicu masalah
kesehatan remaja serius karena timbulnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan
remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi (kespro), kehamilan
remaja dengan segala konsekuensinya yaitu hubungan seks pranikah, aborsi, Penyakit
Menular Seksual (PMS), HIV-AIDS serta narkotika (Kusumaryani, 2017).
Dewasa awal merupakan masa peralihan dari masa remaja menuju ke masa
dewasa. Masa muda (youth) adalah istilah ahli sosiologi Kenneth Kenniston (dalam
Santrock, 2002), untuk periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang
merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Masa ini
merupakan masa individu untuk mulai dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan
kebutuhan pribadi secara mandiri (Lybertha, 2016).
Masa remaja masih mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang tentu saja menuntut
pemenuhan secepatnya sesuai darah mudanya yang bergejolak. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut, menurut Edward adalah meliputi:
(1) kebutuhan untuk mencapai sesuatu
(2) kebutuhan akan rasa superior, ingin menonjol, ingin terkenal
(3) kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan kebutuhan akan keteraturan
(4) kebutuhan akan adanya kebebasan untuk menentukan sikap sesuai dengan
kehendaknya
(5) kebutuhan untuk menciptakan hubungan persahabatan
(6) adanya keinginan ikut berempati
(7) kebutuhan mencari bantuan dan simpati
(8) keinginan menguasai tetapi tidak ingin dikuasai
(9) menganggap diri sendiri rendah
(10) adanya kesediaan untuk membantu orang lain
(11) kebutuhan adanya variasi dalam kehidupan
(12) adanya keuletan dalam melaksanakan tugas
(13) kebutuhan untuk bergaul dengan lawan jenis
(14) adanya sikap suka mengkritik orang lain.
(Putro, 2017).

7
Yang dimaksud dengan perilaku berisiko adalah perilaku yang berisiko terhadap
kesehatan (merokok, narkoba, minuman keras), berisiko terhadap masa depan (putus
sekolah, kehamilan tidak diinginkan, konsep diri yang tidak cukup) dan berisiko terhadap
lingkungan sosialnya (pengangguran, kriminalitas). Oleh karena itu, perilaku berisiko
dapat membahayakan aspek-aspek psikososial sehingga remaja sulit berhasil dalam
melalui masa berkembangnya (Kusumaryani, 2017).
Tingkah laku berisiko cenderung dihubungkan satu sama lain dengan
memperkirakan bahwa permulaan dari suatu perilaku dapat menunjukkan bahwa perilaku
lain mempunyai kemungkinan besar sebagai awal dari masa yang akan datang. Hubungan
yang erat antara minum alkohol dan kecelakaan yang tidak disengaja telah banyak
diketahui. Hubungan alkohol dengan kecelakaan kendaraan bermotor merupakan
penyebab utama kematian pada akhir remaja (Soeroso, 2001).
Kenakalan remaja yang menonjol diantaranya adalah mengendarai kendaraan
bermotor dengan kecepatan tinggi, dengan persentase sebesar 22.4% di daerah urban
Jawa Barat. Proporsi cedera pada anak usia 7 -12 tahun adalah sebesar 9.1% sedangkan
pada remaja muda usia 13-15 tahun adalah sebesar 9.2%. Dari cedera yang dialami anak
dan remaja tersebut, sebagian besar adalah karena jatuh (7.1%) diikuti oleh kecelakaan
transportasi (19.6%) dan luka karena benda tajam ataupun benda tumpul (16,9%)
(Kusumawardani, 2015).
Penyalahgunaan obat mempunyai hubungan positif dengan mulanya perilaku
seksual dini. Pada anak wanita, merokok sering merupakan prediksi yang penting untuk
penyalahgunaan obat bius yang lain. Penggunaan obat bius secara umum akan
mengakibatkan mudahnya penggunaan obat bius yang lain yang menyebabkan efek
kumulatif dari semua obat bius (Soeroso, 2001).
Secara umum, remaja laki-laki yang menyatakan pernah melakukan hubungan
seks pra nikah lebih banyak dibandingkan remaja perempuan. Dibandingkan dengan
tahun 2007, bahkan persentasenya cenderung meningkat. Padahal, seks pra nikah pada
remaja berisiko terhadap terjadinya kehamilan di usia muda dan penularan penyakit
menular seksual. Kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja perempuan dapat
berlanjut pada aborsi dan pernikahan dini. Kedua risiko ini akan berdampak pada masa
depan remaja tersebut, janin yang dikandung dan keluarga remaja tersebut (Kusumaryani,
2017).
Aspek-aspek perilaku seksual pada pasangan yang melakukan hubungan seksual,
menurut Pangkahila (2003), meliputi: rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis atau
seksual), relasi (pengikat yang lebih mempererat hubungan pribadi suami istri), prokreasi
(menciptakan atau meneruskan keturunan), dan institusi (membentuk dan memperkokoh
lembaga perkawinan, sekaligus pelindung kehidupan suami-istri). Pasangan yang
melakukan hubungan seksual didasari oleh salah satu atau lebih dari aspek tersebut.
Keturunan (Sajidah, 2014).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menemukan bahwa kehamilan
pada usia kurang dari 15 tahun terutama terjadi di perdesaan, meskipun dengan proporsi
8
yang sangat kecil (0,03%). Sementara itu, proporsi kehamilan di usia 15-19 tahun adalah
sebesar 1,97 persen, dengan proporsi di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan
(Kusumaryani, 2017).
Menurut TCSC dan IAKMI (2010), usia merokok pertama bergeser ke usia yang
lebih muda, yaitu 5-9 tahun dengan prevalensi tertinggi pada usia di atas 15 tahun.
Menurut data Riskesdas tahun 2010, prevalensi merokok remaja berusia 15-24 tahun
sebesar 36,7 persen. Di antaranya, 65,9 persen adalah laki-laki; 37,4 persen tinggal di
perdesaan; dan 37,8 berpendidikan rendah (tidak tamat SD). Kelompok usia 15-19 tahun
adalah usia mulai merokok yang paling nggi, proporsinya mencapai 43,3 persen, disusul
dengan usia 20-24 tahun yang proporsinya hanya 14,6 persen (Kusumaryani, 2017).
Pada tahun 2012, remaja laki-laki yang mengkonsumsi alkohol sebesar 39 persen,
meningkat dibandingkan tahun 2002- 2003 yang proporsinya sebesar 34 persen. Dari 39
persen tersebut terdiri 23 persen yang pernah berhenti (mantan), 16 persen kadang-
kadang minum dan kurang dari 1 persen adalah yang minum setiap hari. Proporsi remaja
perempuan yang meminum alkohol meningkat, dari 2,5 persen (2002-2003) menjadi 6
persen (2007) dan 5 persen di tahun 2012 (Kusumaryani, 2017).
Terkait perilaku merokok, alkohol dan seks pra nikah, berdasarkan hasil survei
tersebut diketahui bahwa merokok, minum alkohol dan perilaku seks pra nikah adalah
salah satu yang mempengaruhi penyalahgunaan narkoba. Hasil survei tersebut
menunjukkan bahwa pelajar/mahasiswa penyalahguna narkoba jauh lebih banyak yang
merokok, sebesar 3-4 kali lebih banyak (Kusumaryani, 2017).
Selain itu, perilaku risiko pada remaja juga terdapat gizi yang tidak seimbang,
hygiene dan sanitasi individu. Sebagian besar makanan jajanan anak sekolah tidak
memenuhi syarat gizi. Makanan jajanan di Indonesia belum menerapkan standar yang
direkomendasikan WHO, sehingga dinilai berkualitas buruk dan tak memenuhi standar
gizi (Kusumawardani, 2015).
Kualitas makanan jajanan yang tidak memenuhi standar gizi termasuk sanitasi,
dapat menyebabkan berbagai penyakit menular, serta dalam jangka panjang dapat
menyebabkan penyakit tidak menular, seperti kanker dan beberapa penyakit degenaratif
lainnya. Di samping masalah gizi kurang, masalah gizi yang juga muncul pada usia
remaja di beberapa kota besar adalah kegemukan atau kebiasaan makan makanan sumber
lemak yang berlebihan dan didukung oleh kurangnya aktifitas fisik, yang apabila tidak
segera dikendalikan pada usia sedini mungkin dapat menciptakan kecenderungan
kegemukan pada usia dewasa (Kusumawardani, 2015).
2. Memahami dan Menjelaskan Dampak dari Perilaku Kesehatan yang Berisiko Pada
Remaja
Konsekuensi medis dari perilaku berisiko dapat berdampak jangka pendek
maupun jangka panjang dari tingkah laku berisiko. Dampak jangka pendek terlihat dalam
beberapa minggu atau bulan, yaitu selama masa remaja; efek jangka panjang akan
muncul umumnya setelah masa remaja (Soeroso, 2001).

9
Konsekuensi jangka pendek dari penggunaan alkohol terlihat pada umumnya di
ruang gawat darurat yang dikaitkan dengan kecelakaan. Bahan psikoaktif delta-9-tetra
hidrokanabinol dalam mariyuana menyebabkan perubahan suasana hati. Disfungsi
psikologis pada umumnya sering dilaporkan dalam penggunaan obat bius. Petunjuk
penting untuk kekurangan disfungsi termasuk di sini adalah gangguan motivasi secara
umum dan gangguan perkembangan di dalam sekolah (Soeroso, 2001).
Etanol adalah bentuk molekul sederhana dari alkohol yang mudah diserap di
saluran cerna. Daerah saluran cerna yang yang menyerap alkohol paling banyak adalah
bagian atas usus halus. Minum minuman beralkohol berarti mengkonsumsi 10-12 gram
etanol. Konsentrasi alkohol dalam darah dan efeknya adalah sebagai berikut:
a. 20-30 mg/dl: psikomotor dan kemampuan berfikir menurun
b. 30-80 mg/dl: psikomotor dan masalah kognitif meningkat
c. 80-200 mg/dl: gangguan koordinasi, emosi, dan kognisi yang menurun
d. 200-300 mg/dl: nistagmus, bicara cadel
e. >300mg/dl: gangguan tanda vital dan berakibat fatal
(Rahayu, 2017).
Seseorang dikatakan keracunan amfetamin jika memenuhi kriteria sebagai berikut
(Sidiartha dan Westa, 2010):
a. segera setelah menggunakan amfetamin,
b. gangguan tingkah laku (maladaptif) atau euforia, afek tumpul, mudah tersinggung,
gangguan penilaian, gangguan fungsi sosial dan kerja,
c. mengalami dua atau lebih gejala seperti takikardi atau bradikardi, pupil dilatasi,
tekanan darah naik turun, demam, mual atau muntah, berat badan menurun, gangguan
psikomotor, otot lemah atau depresi pernafasan atau nyeri dada atau aritmia, bingung
atau kejang atau distonia atau koma,
d. tidak disebabkan oleh kondisi medis lainnya
(Rahayu, 2017).
Remaja melakukan hubungan seks dapat disebabkan antara lain tekanan
pasangan, merasa sudah siap melakukan hubungan seks, keinginan dicintai,
keingintahuan tentang seks, keinginan menjadi popular, tidak ingin diejek “masih
perawan”, pengaruh media massa (tayangan TV dan internet) yang menampakkan bahwa
normal bagi remaja untuk melakukan hubungan seks, serta paksaan dari orang lain untuk
melakukan hubungan seks. Pergaulan seks bebas berisiko besar mengarah pada terjadinya
kehamilan tak diinginkan (KTD) (Rahayu, 2017).
Selain itu tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan
reproduksi, memaksa remaja mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Majalah,
buku dan film pornografi dan pornoaksi memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa
mengajarkan tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama
mereka. Mereka juga mempelajari seks dari internet. Hasilnya, remaja yang beberapa
generasi lalu masih malu-malu kini sudah melakukan hubungan seks di usia dini, yakni
13-15 tahun (Zainafree, 2015).
10
Kehamilan tak diinginkan (KTD) terjadi karena beberapa faktor seperti faktor
sosio-demografik (kemiskinan, seksualitas aktif dan kegagalan dalam penggunaan
kontrasepsi, media massa), karakteristik keluarga yang kurang harmonis (hubungan antar
keluarga), status perkembangan (kurang pemikiran tentang masa depan, ingin mencoba-
coba, kebutuhan akan perhatian), penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan. Selain
itu kurangnya pengetahuan yang lengkap dan benar tentang proses terjadinya kehamilan
dan metode pencegahannya, kegagalan alat kontrasepsi, serta dapat juga terjadi akibat
tindak perkosaan (Rahayu, 2017).
Dampak dari KTD pada usia muda secara fisik dapat menyebabkan persalinan
prematur, BBLR, kelainan bawaan, keguguran, mudah terinfeksi, anemia pada kehamilan
dan keracunan kehamilan (Gestosis). Dampak yang terjadi ini disebabkan oleh karena
belum siapnya alat reproduksi untuk menerima kehamilan.
Kehamilan tidak diinginkan (KTD) berdampak bukan hanya secara fisik, psikis
namun juga sosial. Siswi yang mengalami kehamilan biasanya mendapatkan respon dari
dua pihak. Pertama, dari pihak sekolah, biasanya jika terjadi kehamilan pada siswi, maka
yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah meresponnya dengan sangat buruk dan
berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. Remaja menjadi putus
sekolah, kehilangan kesempatan bekerja dan berkarya dengan menjadi orang tua tunggal
dan menjalani pernikahan dini yang tidak terencana (Rahayu, 2017).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kehamilan
pranikah adalah sebagai berikut:
1) Membangun keterbukaan dan komunikasi positif antara anak dan orangtua
2) Orangtua sebagai partner bagi anak dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja
3) Upaya-upaya preventif dan promotif dari pihak puskesmas maupun sekolah
Upaya-upaya tersebut misalnya penyuluhan kesehatan reproduksi remaja,
penyuluhan pacaran yang sehat, pelatihan asertivitas, pembentukan kader sebaya di
sekolah, dll.
(Aryani, 2013).
Kedua, dari lingkungan dimana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan cenderung
mencemooh dan mengucilkan siswi tersebut. Hal tersebut terjadi jika karena masih
kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita. Akibatnya siswa akan kesulitan
beradaptasi secara psikologis, kesulitan berperan sebagai orang tua (tidak bisa mengurus
kehamilan dan bayinya), akhirnya berujung pada stress dan konflik, aborsi illegal yang
lebih lanjut berisiko mengakibatkan kematian ibu dan bayi (Rahayu, 2017).
Berdasarkan beberapa literatur yang didapat, ada beberapa dampak perilaku seks
berisiko anak muda terhadap kesehatan reproduksi, antara lain: pertama, kehamilan yang
tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Kehamilan yang tidak diinginkan membawa
anak muda pada dua pilihan, melanjutkan kehamilan atau menggugurkannya. Hamil dan
melahirkan dalam usia muda merupakan salah satu faktor risiko kehamilan yang tidak
jarang membawa kematian ibu (Kasim, 2014).
11
Menurut Wibowo (1994) terjadinya perdarahan pada trisemester pertama dan
ketiga, anemi dan persalinan kasip merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
kehamilan anak muda. Selain itu kehamilan di usia muda juga berdampak pada anak yang
dikandung, kejadian berat bayi lahir rendah (BBLR) dan kematian perinatal sering
dialami oleh bayi-bayi yang lahir dari ibu usia muda (Kasim, 2014).
Dampak lain dari perilaku seks berisiko anak muda terhadap kesehatan reproduksi
adalah tertular PMS termasuk HIV/AIDS. Anak muda seringkali melakukan hubungan
seks yang tidak aman dengan kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal seks
menyebabkan anak muda semakin rentan untuk tertular penyakit menular seksual seperti
sifilis, gonore, herpes, klamidia, dan AIDS (Kasim, 2014).
Ketiga, adalah konsekuensi psikologis. Kodrat untuk hamil dan melahirkan
menem patkan anak muda perempuan dalam posisi terpojok yang sangat dilematis.
Dalam pandangan masyarakat, anak muda perempuan yang hamil merupakan aib
keluarga yang melanggar norma-norma sosial dan agama (Kasim, 2014).
Penghakiman sosial ini tidak jarang meresap dan terus tersosialisasi dalam
dirinya. Perasaan bingung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami pelajar setelah
mengetahui kehamilannya bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa
depan yang kadang disertai dengan rasa benci dan marah baik kepada diri sendiri maupun
kepada pasangan, dan kepada nasib yang membuat kondisi sehat secara fisik, sosial, dan
mental yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi anak muda tidak
terpenuhi (Kasim, 2014).
3. Memahami dan Menjelaskan Risiko Tinggi Kehamilan
Ibu dengan Kehamilan risiko tinggi adalah ibu hamil yang mempunyai risiko atau
bahaya yang lebih besar pada kehamilan/persalinan dibandingkan dengan kehamilan atau
persalinan normal (Nursal, 2015).
Ada sekitar 5-10% kehamilan yang termasuk dalam kehamilan risiko tinggi. Ibu
hamil yang termasuk golongan risiko tinggi adalah ibu dengan riwayat kurang baik pada
kehamilan dan persalinan yang lalu, tinggi badan kurang dari 145 cm, berat badan
rendah, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, memiliki tiga anak atau lebih,
jarak antara dua kehamilan kurang, riwayat menderita anemia atau kurang darah,
perdarahan pada kehamilan, tekanan darah, kelainan letak janin dan riwayat penyakit
kronik (Nursal, 2015).
Lebih kurang 65% kehamilan masih terjadi karena “4 terlalu” yang berhubungan
dengan kehamilan “terlalu muda (kurang dari 20 tahun), “terlalu tua: (lebih dari 35
tahun), “terlalu sering (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun, “terlalu banyak” (lebih dari
3 anak) (Astuti, 2018).
3 terlambat yaitu terlambat mengenali kehamilan dalam situasi gawat, jauh dari
fasilitas kesehatan, biaya, persepsi mengenai kualitas dan efektivitas dari pelayanan
kesehatan. Terlambat kedua, dipengaruhi oleh lama pengangkutan, kondisi jalan dan
biaya transportasi. Faktor yang mempengaruhi terlambat ketiga adalah terlambat
mendapatkan pelayanan pertama kali di RS rujukan (Astuti, 2018).
12
Kusumaningsih (2012) menambahkan lebih rinci, bahwa kehamilan yang berisiko
tinggi dapat berasal dari ibu, janin, atau faktor lain. Faktor Ibu antara lain adalah:
kehamilan pada usia di atas 35 tahun atau di bawah 18 tahun, kehamilan pertama setelah
3 tahun atau lebih pernikahan, kehamilan kelima atau lebih, kehamilan dengan jarak
antara di atas 5 tahun/kurang dari 2 tahun, tinggi badan ibu kurang dari 145 cm dan ibu
belum pernah melahirkan bayi cukup bulan dan berat normal, kehamilan dengan penyakit
(hipertensi, diabetes, tiroid, jantung, paru, ginjal, TBC, dan penyakit sistemik lainnya),
kehamilan dengan keadaan tertentu (mioma uteri, kista ovarium), kehamilan dengan
anemia (Hb kurang dari 10,5 gr%), kehamilan dengan riwayat bedah sesar sebelumnya
(Fourianalistyawati, 2014).
Faktor dari janin dapat disebabkan oleh: kelainan letak janin (sungsang, lintang,
oblique/diagonal, presentasi muka), janin besar (taksiran lebih dari 4000 gram), janin
ganda (kembar), janin dengan PJT (pertumbuhan janin terhambat), janin kurang bulan
(prematur), janin dengan cacat bawaan/kelainan kongenital, janin meninggal dalam
rahim. Adapun faktor lain-lainnya adalah: ketuban pecah dini (ketuban pecah dan tidak
diikuti dengan tanda-tanda persalinan), perdarahan antepartum (sebelum bayi lahir), dan
plasenta previa (plasenta menutupi jalan lahir) (Fourianalistyawati, 2014).
Bidan sebagai petugas pelayanan kesehatan yang memiliki hubungan langsung
dengan ibu hamil dalam pemberian asuhan atau perawatan kehamilan (antenatal care)
berperan penting untuk mengelola pencegahan risiko melalui skrinning sehingga dapat
menentukan tingkat risiko sesuai dengan tingkat kegawatan dari faktor risiko tersebut
(Hidayah, 2018).
Menurut Manuaba kehamilan risiko tinggi dapat diketahui melalui: 1). Anamnesis
terbagi atas: umur pasien, riwayat operasi, riwayat kehamilan sebelumnya, riwayat
persalinan sebelumnya. 2). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik: hasil pemeriksaan umum
dan hasil pemeriksaan kehamilan. 3). Saat in partu meliputi: ketuban pecah dini, infeksi
intra uterin, persalinan lama, persalinan terlantar, ruptureimminen, ruptur uteri, persalinan
dengan kelainan letak, distosia karena tumor, dan perdarahan ante partum (Nursal, 2015).
Menurut Sarwono Prawiroharjo faktor risiko dikelompokkan dalam 3 kelompok
yaiti FR I (Ada Potensi Gawat Obstetrik/ APGO), FR II (Ada Gawat Obstetrik/ AGO)
dan FR III (Ada Gawat Darurat Obtetrik/ AGDO) (Prawirohardjo, 2010).
Kartu Skor Poedji Rochajti (KSPR) adalah alat untuk mendeteksi dini kehamilan
berisiko dengan menggunakan skoring. Jumlah skor kehamilan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu Kehamilan Risiko Rendah (jumlah skor 2 dengan kode warna hijau),
Kehamilan Risiko Tinggi (jumlah skor 6-10 dengan kode warna kuning), dan Kehamilan
Risiko Sangat Tinggi (jumlah skor 12 dengan kode warna merah). Skor yang digunakan
adalah angka bulat dibawah angka 10 yaitu 2, 4, 8. Skor awal ibu hamil adalah 2 dan tiap
faktor risiko memiliki skor 4 kecuali pada riwayat sectio caesarea, letak sungsang, letak
lintang, perdarahan antepartum, preeklampsia berat dan eklampsia (Prawirohardjo, 2010).
Menurut poedji rochjati dalam obstetric modern, adanya potensi risiko kehamilan
dan persalinan kemungkinan akan berpengaruh terhadap risiko terjadinya komplikasi
13
pada persalinan dan komplikasi atau kegawatan pada persalinan juga dapat dipengaruhi
oleh derajat faktor risiko. Apabila semakin tinggi tingkatan risiko faktor risiko pada ibu
hamil maka semakin tinggi juga ibu akan mengalami komplikasi. Selain itu, faktor
predisposisi juga dapat mempengaruhi tingkat risiko kehamilan antara lain pengetahuan,
faktor sosial ekonomi juga dapat berpengaruh pada gizi ibu hamil yaitu tentang biaya
dalam perawatan kehamilan dan persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Untuk menghindari risiko komplikasi pada kehamilan dan persalinan, setiap ibu
hamil memerlukan asuhan antental sebanyak minimal 4 kali, yaitu satu kali pada
trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester kedua (usia
kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu
sampai persalinan) (Khadijah, 2018).
4. Memahami dan Menjelaskan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB)
 Angka Kematian Ibu
Menurut WHO (Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 2016:2)
kematian ibu yaitu kematian dari setiap wanita selama kehamilan, bersalin atau dalam 42
hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, tanpa melihat usia dan lokasi
kehamilan oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh
kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau incidental (faktor
kebetulan) (Wulandari, 2017).
Rumus menghitung AKI:
Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab
kehamilan/melahirkan/nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup.
Jumlah kelahiran hidup adalah banyaknya bayi yang lahir hidup pada tahun tertentu dan
di daerah tertentu.

Angka Kematian Ibu :


∑ Kematian ibu x 100.000
∑ Kelahiranhidup
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), informasi mengenai tingginya MMR akan
bermanfaat untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama
pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making
pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga
kesehatan, penyiapan sistem rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan,
penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya
bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan
reproduksi.
Menurut laporan WHO tahun 2014 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia yaitu
289.000 jiwa. Data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 AKI kembali
menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan dan menjadi salah satu komponen indeks pembangunan maupun

14
indeks kualitas hidup. Menurut Ketua Komite Ilmiah International Conference on
Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH), Meiwita Budhiharsana,
hingga tahun 2019 AKI Indonesia masih tetap tinggi, yaitu 305 per 100.000 kelahiran
hidup. Padahal, target AKI Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000 kelahiran
hidup (Susiana, 2019).
Meningkatkan kesehatan ibu adalah tujuan kelima Millenium Development Goals
(MDGs) yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015, termasuk
Indonesia. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan AKI sebesar
359 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) 2015 menunjukkan AKI sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup, masih sangat
tinggi dibandingkan perkiraan Kementerian Kesehatan. Dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), target AKI adalah 70 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2030 (Susiana, 2019).
Masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, termasuk AKI tidak
dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain status
kesehatan ibu dan kesiapan untuk hamil, pemeriksaan antenatal (masa kehamilan),
pertolongan persalinan dan perawatan segera setelah persalinan, serta faktor sosial
budaya (Susiana, 2019).
Dalam konteks Indonesia, terbatasnya 14 akses perempuan terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, terutama bagi perempuan miskin di
Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) merupakan salah satu
tantangan yang dihadapi dalam pencapaian MDG 5 Target 5A. Faktor lain yang
mempengaruhi tingginya AKI adalah akses jalan yang buruk ke tempat pelayanan
kesehatan (Susiana, 2019).
Secara nasional, menurut Detty S. Nurdiati, pakar Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan, penyebab AKI paling tinggi adalah pendarahan. Sedangkan menurut
McCharty J. Maine DA sebagaimana dikutip Nurul Aeni (2013), kematian ibu
merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang dapat
dibedakan atas determinan dekat, determinan antara, dan determinan jauh. Determinan
dekat yang berhubungan langsung dengan kematian ibu merupakan gangguan obstetrik
seperti pendarahan, preeklamsi/eklamsi, dan infeksi atau penyakit yang diderita ibu
sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan seperti
penyakit jantung, malaria, tuberkulosis, ginjal, dan acquired immunodeficiency syndrome
(Susiana, 2019).
Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yang
berhubungan dengan faktor kesehatan, seperti status kesehatan ibu, status reproduksi,
akses terhadap pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan fasilitas pelayanan
kesehatan. Determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural
(Susiana, 2019).
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan
perempuan yang tidak baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga,
15
lingkungan masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung diduga ikut
berperan dalam meningkatkan kematian ibu (Susiana, 2019).
Menurut Saddiyah Rangkuti faktor penyebab kematian ibu dapat disebabkan oleh
2 faktor yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung
berupa pendarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi. Sedangkan
penyebab tidak langsung berupa status perempuan dalam keluarga, keberadaan anak,
sosial budaya, pendidikan, sosial ekonomi, dan geografis daerah (Wulandari, 2017).
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka
kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui: (1) peningkatan pelayanan
antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai,
(2) pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil,
pelayanan pasca persalinan dan kelahiran, serta (3) pelayanan emergensi kebidanan dan
neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau (Kemenkes,
2010).
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas dengan cara menyediakan tenaga kesehatan
dalam jumlah yang memadai dan berkualitas, menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
yang mampu dalam penanganan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal sesuai standar di
ngkat dasar maupun rujukan melalui PONED dan PONEK yang dapat diakses 24 jam
dalam 7 hari atau dikenal dengan sebutan PONED 24/7 dan PONEK 24/7, serta
memobilisasi seluruh lapisan masyarakat terutama untuk pelaksanaan Program
Perencanaan Persalinan dengan Pencegahan Komplikasi (P4K) (Kemenkes, 2015).
Dalam rangka upaya percepatan penurunan AKI maka pada tahun 2012
Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal
Survival (EMAS) yang diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan neonatal
sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah
kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut
disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam
provinsi tersebut.
Program EMAS berupaya menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian
neonatal melalui: 1) meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru
lahir minimal di 150 Rumah Sakit PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas PONED) dan
2) memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Berdasarkan trias penyebab kematian ibu (preeklampsia, perdarahan dan infeksi)
maka intervensi kunci yang dapat dilakukan oleh peran petugas kesehatan adalah:
o Preeklampsia-eklampsia:
a. Pencegahan preeklampsia melalui penguatan asuhan antenatal yang terfokus,
antara lain dengan mendeteksi kemungkinan risiko, edukasi pengenalan dini tanda
bahaya kehamilan.

16
b. Penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia dengan penatalaksanaan awal dan
manajemen kegawatdaruratan(dengan penggunaan magnesium sulfat)
o Perdarahan pasca persalinan:
a. Identifikasi risiko perdarahan pasca persalinan: anak besar, kehamilan multipel,
polihidramnion, riwayat seksio sesar, partus lama, partus presipitatus, anemia.
b. Pencegahan komplikasi dengan manajemen aktif kala III ( uterotonika, masase
fundus dan peregangan tali pusat terkendali).
c. Manajemen kegawatdaruratan perdarahan persalinan ( kompresi bimanual,
uterotonika, tamponade balon kateter hingga penatalaksanaan bedah.
o Infeksi intrapartum:
a. Pencegahan partus lama melalui penggunaan partograf.
b. Penggunaan antiobiotik secara rasional.
c. Manajemen ketuban pecah dini.
d. Manajemen pasca persalinan
(Chalid, 2016).
 Angka Kematian Bayi
Berdasarkan SDKI tahun 2012, AKB 32 per 1.000 kelahiran hidup dan AKABA
masih 40 per 1.000 kelahiran hidup. Target MDG's tahun 2015, AKB menurun menjadi
23 per 1000 kelahiran hidup, AKABA menurun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup.
Angka yang menunjukkan banyaknya kematian bayi usia 0 sampai kurang dari 1
tahun dari setiap 1000 kelahiran hidup pada tahun tertentu atau dapat dikatakan juga
sebagai probabilitas bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (dinyatakan
dengan per seribu kelahiran hidup). Rumus AKB:

Angka Kematian Bayi :


∑ D0−¿ 1tahun x K
∑ lahir hidup
Dimana:
Angka kematian bayi: AKB umur 0 sampai < 1 bulan
∑ D 0−¿1 tahun= Jumlah kematian bayi umur 0 sampai < 1 tahun pada satu tahun tertentu di
daerah tertentu.
∑ lahir hidup = Jumlah kelahiran hidup pada satu tahun tertentu di daerah tertentu.
K= 1000
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Angka kematian bayi merupakan indikator
yang penting untyk mencerminkan keadaan derajat kesehatan di suatu masyarakat, karena
bayi yang baru lahir sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan tempat orang tua si bayi
tinggal dan sangat erat kaitannya dengan status sosial orang tua si bayi. Kemajuan yang
dicapai dalam bidang pencegahan dan pemberantasan berbagai penyakit penyebab
kematian akan tercermin secara jelas dengan menurunnya tingkat AKB. Dengan
demikian angka kematian bayi merupakan tolok ukur yang sensitif dari semua upaya
intervensi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di bidang kesehatan.

17
Penyebab kematian bayi, ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi
endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa bayi sejak
dilahirkan, yang dapat diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi. Sedangkan
kematian bayi eksogen atau kematian postneonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang
berkaitan dengan pengaruh lingkungan luar (Wulandari, 2017).
Menurut Prasetyawati mengungkapkan pendapat lain tentang penyebab kematian
pada bayi. Tingginya angka kematian bayi disebabkan oleh penyakit infeksi saluran
pencernaan (diare), infeksi saluran pernapasan atas (ispa), penyakit infeksi lain seperti
campak (morbili), kurang gizi dan lain-lain. Adanya penyakit tersebut disebabkan karena
lingkungan dan sanitasi yang buruk, pendidikan yang rendah serta kemiskinan
(Wulandari, 2017).
Sebanyak 80% dari seluruh kemaan balita, terjadi pada usia kurang dari 1 tahun
(kemaan bayi), dan 59,4% dari kemaan bayi terjadi pada usia neonatal (kemaan
neonatal). Sebanyak 78,5% kematian neonatal terjadi pada usia 0-6 hari yang sebagian
besar disebabkan oleh gangguan/kelainan pernapasan (35%), prematuritas (32%) dan
sepsis/infeksi (12%) (Kemenkes, 2015).
Kematian neonatal ini sangat terkait dengan masalah pada saat kehamilan, persalinan
dan perawatan bayi baru lahir. Prevalensi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia
masih tinggi, yaitu 10,2% (Riskesdas, 2013). BBLR berhubungan dengan kondisi
kehamilan ibu dan status gizi ibu yang dapat meningkatkan risiko relaf kejadian asfiksia
2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. BBLR juga rentan
terhadap hipotermi dan infeksi yang merupakan penyebab kematian langsung pada
neonates (Kemenkes, 2015).
5. Memahami dan Menjelaskan Audit Kematian Maternal Perinatal
 Definisi
Audit Maternal Perinatal (AMP) adalah proses penelaahan bersama kasus
kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan menggunakan
berbagai informasi dan pengalaman dari suatu kelompok terdekat, untuk mendapatkan
masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan dalam upaya peningkatan
kualitas pelayanan KIA (Fahmi, 2017).

 Tujuan
Tujuan umum Audit Maternal Perinatal/Neonatal Kabupaten/Kota adalah untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan KIA di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi,
dan nasional melalui upaya penerapan tata kelola kinik yang baik (clinical governance)
dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan angka kematian
Perinatal/Neonatal (Kemenkes, 2010).
AMP merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
melalui kegiatan pembahasan kasus kesakitan, kematian ibu dan perinatal yang bertujuan
sebagai pembelajaran sehingga tidak terjadi lagi kasus yang sama pada masa yang akan
datang (Fahmi, 2017).
18
 Fungsi
Audit maternal perinatal yang berfungsi untuk membahas kasus kematian mulai
dari riwayat Antenatal care, riwayat penyakit sampai dengan riwayat persalinan dan
mencari penyebab-penyebab kematian. Hasil dari audit adalah adanya keputusan bersama
tentang penyebab kematian ibu, bayi dan balita. AMP ini sebaiknya dilakukan di tingkat
puskesmas sampai tingkat propinsi. Kegiatan audit ini bukan merupakan ajang untuk
mengadili tenaga kesehatan/sarana kesehatan. Tetapi lebih banyak menjadi pembelajaran,
analisis penyebab kematian serta rekomendasi dan alternatif tindak lanjut (Fahmi, 2017).
 Kebijakan
Undang-undang Nomor 36 tentang Kesehatan tahun 2009 dan UU nomor 44
tentang Rumah Sakit pasal 39 tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati
hak pasien. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan sehubungan dengan Audit Maternal
Perinatal/Neonatal adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus menerus melalui program
jaga mutu di puskesmas, di samping upaya perluasan jangkauan pelayanan. Upaya
peningkatan dan pengendalian mutu antara lain dilakukan melalui kegiatan AMP.
2) Peningkatan fungsi Kabupaten/Kota sebagai unit efektif yang mampu memanfaatkan
semua potensi dan peluang yang ada untuk meningkatkan pelayanan KIA di seluruh
wilayahnya.
3) Peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat pelayanan dasar (puskesmas
dan jajarannya) dan di tingkat rujukan (RS Kabupaten/Kota).
4) Peningkatan kemampuan Kabupaten/Kota dalam perencanaan program KIA dengan
memanfaatkan hasil kegiatan AMP mampu mengatasi masalah kesehatan setempat.
5) Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari para pengelola dan
pelaksana program KIA melalui kegiatan analisis manajemen dan pelatihan klinis.
(Kemenkes, 2010).
 Strategi
Strategi yang diambil dalam menerapkan AMP adalah:
1) Semua Kabupaten/Kota sebagai unit efektif dalam peningkatan program KIA secara
bertahap menerapkan kendali mutu, yang antara lain dilakukan melalui AMP di
wilayahnya atau di Kabupaten/Kota lain (lintas batas). Dinas Kesehatan Provinsi
diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan AMP di Kabupaten/Kota bila terjadi
kematian lintas batas.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berfungsi sebagai penanggung jawab yang bekerja
sama dengan RS Kabupaten/Kota dan melibatkan puskesmas dan jejaringnya serta
unit pelayanan KIA swasta lainnya dalam upaya kendali mutu di wilayah
Kabupaten/Kota.
3) Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk tim AMP, yang selalu mengadakan pertemuan
rutin untuk mengumpulkan dan menyeleksi kasus, menganonimkan kasus yang akan

19
dikaji, membahas kasus dan membuat rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan
dari kegiatan audit.
4) Perencanaan program KIA salah satunya dibuat dengan memanfaatkan hasil temuan
dari kegiatan audit, sehingga diharapkan berorientasi kepada pemecahan masalah
setempat.
5) Pembelajaran dan pembinaan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
bersama dengan RS Kabupaten/Kota (untuk aspek teknis medis) dan lintas sektor
(untuk aspek non-medis) dilaksanakan sesuai kebutuhan dalam bentuk yang
disepakati oleh tim AMP. Pembelajaran dan pembinaan dari suatu proses kegiatan
AMP harus dapat dimanfaatkan oleh seluruh komunitas pelayanan KIA yang ada di
Kabupaten/Kota (RS pemerintah dan swasta, puskesmas dan jejaringnya, RS ibu dan
anak, Rumah Bersalin, bidan dan dokter praktek swasta).
(Kemenkes, 2010).
 Manajemen AMP Kabupaten/Kota
Pelaksanaan AMP di kabupaten/kota memerlukan manajemen yang dikelola
secara berjenjang dalam lingkup kabupaten/kota tersebut. Untuk itu, diperlukan adanya
suatu tim yang bekerja secara legal dengan dibekali Surat Penugasan atau Surat
Keputusan dari Bupati/Walikota sebagai Pelindung kegiatan AMP ini.
Tim AMP Kabupaten/Kota dibentuk melalui Surat Penetapan dari Bupati atau
Walikota. Tim AMP Kabupaten/Kota terdiri dari Tim Manajemen, Tim Pengkaji, dan
Komunitas Pelayanan.
1) Pelindung
Pelindung kegiatan AMP adalah Bupati/Walikota setempat. Tugas Pelindung
adalah menyediakan payung hukum dan kebijakan bagi para pihak yang terkait dalam
kegiatan AMP baik sebagai Tim Manajemen, Tim Pengkaji, maupun Komunitas
Pelayanan.
2) Tim Manajemen AMP
a. Penanggung Jawab
Penanggung Jawab Tim AMP adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Tugasnya adalah memastikan terlaksananya AMP di
Kabupaten/Kota wilayahnya, memfasilitasi Koordinator Tim Manajemen dalam
penyelenggaraan dan pengalokasian dana pelaksanaan AMP Kabupaten/Kota,
serta mengupayakan tindak lanjut rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan.
b. Koordinator Tim Manajemen
Koordinator Tim Manajemen adalah petugas Penanggung Jawab Program
KIA atau Program Yankes yang ditunjuk di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Tugasnya adalah mempersiapkan dan menyelenggarakan pertemuan kajian 11
kasus secara rutin (minimal 3 bulan sekali, sesuai dengan kemampuan
masingmasing Kabupaten/Kota), mengelola data hasil kajian kasus, dan
mengatur pemanfaatan hasil-hasil kajian kasus untuk keperluan pembelajaran,
pelaporan, dan perencanaan.
20
c. Sekretariat
Sekretariat yang berkedudukan di Kabupaten/Kota terdiri dari beberapa
orang staf KIA Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang penunjukannya diusulkan
oleh Koordinator Tim Manajemen. Sekretariat bertugas membantu Koordinator
Tim Manajemen dalam bidang administrasi, termasuk menjadi notulis dalam
pertemuan kajian kasus maupun sesi pembelajaran dan memfasilitasi
pelaksanaan pertemuan AMP.
3) Tim Pengkaji
Tim pengkaji adalah para klinisi atau para pakar yang bidang keahliannya terkait
dengan pelayanan maternal-Perinatal/Neonatal.
a. Pengkaji Internal
Pengkaji internal adalah para pakar di kabupaten atau kota setempat yang
terkait dengan proses pemberian pelayanan ibu dan anak serta aspek-aspek yang
terkait dengan morbiditas dan mortalitasnya; seperti dokter spesialis kebidanan,
dokter spesialis anak, bidan senior, dan pengelola progam KIA.
Pengkaji internal bertugas melakukan pengkajian kasus, merumuskan
rekomendasi, dan bila memungkinkan mengembangkan pedoman praktik (local
practice guideline) bagi komunitas pelayanan di wilayahnya.
b. Pengkaji Eksternal
Pengkaji eksternal adalah Dokter Spesialis Obstetri dan Ginkologi dan
Spesialis Anak atau para pakar yang berasal dari luar Kabupaten/Kota yang
biasanya berasal dari pusat-pusat pendidikan kedokteran atau dari
Kabupaten/Kota tetangga yang mempunyai kemampuan untuk menjadi pengkaji.
Tugas utama Pengkaji Eksternal adalah memberikan masukan kepada Pengkaji
Internal tentang suatu kasus yang dikaji, dan menyediakan informasi tentang
bukti-bukti ilmiah (evidence-based practice).
4) Komunitas Pelayanan
Komunitas Pelayanan adalah para pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam pemberian pelayanan maternal-Perinatal/Neonatal. Ada
empat kelompok yang membentuk Komunitas Pelayanan maternal-Perinatal/Neonatal
di Kabupaten/Kota, yaitu: kelompok masyarakat, kelompok petugas kesehatan,
kelompok pimpinan fasilitas pelayanan, dan kelompok pembuat kebijakan.
a. Kelompok Masyarakat
Kelompok Masyarakat Termasuk dalam kelompok ini adalah para pasien
dan keluarganya serta kelompok atau organisasi kemasyarakatan.
b. Kelompok Petugas Kesehatan
Kelompok Petugas Kesehatan adalah pihak yang secara langsung
memberikan pelayanan maternal-Perinatal/Neonatal. Kelompok Petugas
kesehatan terdiri dari para petugas misalnya para bidan, perawat, dan dokter.

21
Kelompok Petugas Kesehatan dapat memberikan input berupa informasi
atas kematian yang ditelusuri dari masyarakat atau diperoleh dari fasilitas
pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit dan sebagainya).
c. Kelompok Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kelompok Pimpinan Fasilitas Pelayanan terdiri dari para Kepala
Puskesmas, Direktur Rumah Sakit, dan para pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Tugas kelompok ini adalah memfasilitasi kegiatan
pengumpulan dan pelaporan data kematian, serta memfasilitasi implementasi
rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan fasilitas yang dipimpinnya.
d. Kelompok Pembuat Kebijakan
Kelompok Pembuat Kebijakan adalah pihak yang berwenang dalam
pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan terkait pelayanan
maternalPerinatal/Neonatal di Kabupaten/Kota. Pimpinan Dinas Kesehatan,
anggota DPRD yang membidangi kesehatan, pihak pengelola asuransi kesehatan,
adalah beberapa contoh komponen kelompok ini.
 Pencatatan
a. Formulir pemberitahuan kematian maternal dan Perinatal/Neonatal individual (PKmM
atau PKmP)
Formulir ini diisi setiap kali terjadi kematian maternal dan Perinatal/Neonatal oleh
bidan di desa, BPS, RB, puskesmas, dan RS. Formulir yang diisi oleh bidan di desa, BPS,
RB dan puskesmas dikirimkan ke puskesmas di tingkat kecamatan. Sedangkan formulir
yang diisi di RS dikirimkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
b. Formulir daftar kematian maternal di tingkat puskesmas (DKM) dan Formulir daftar
kematian Perinatal/Neonatal di tingkat Puskesmas (DKP)
Formulir ini diisi setiap kali ada laporan pemberitahuan kematian maternal oleh
Bidan Koordinator atau Bidan yang ditunjuk.
Formulir ini dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setiap awal bulan
sebagai rekapitulasi kematian maternal dan Perinatal/Neonatal yang terjadi pada bulan
sebelumnya. Informasi dari formulir-formulir tersebut diatas akan direkapitulasi
menggunakan Formulir Daftar Kematian Maternal/Perinatal/Neonatal di tingkat
kabupaten/kota.
c. Formulir Otopsi Verbal Maternal (OVM)
Formulir ini diisi untuk setiap kematian maternal yang terlaporkan di tingkat
kabupaten. Pengisian dilakukan oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari
Puskesmas Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Formulir ini digunakan
untuk kepentingan verbal otopsi bagi kematian maternal yang terjadi di komunitas. Selain
itu, formulir ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi non-medis di seputar
kematian maternal, baik untuk kematian maternal di masyarakat maupun di fasilitas
kesehatan.
d. Formulir Otopsi Verbal Perinatal/Neonatal (OVP)

22
Formulir ini diisi untuk setiap kematian Perinatal/Neonatal yang terlaporkan di
tingkat kabupaten. Pengisian dilakukan oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari
Puskesmas Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Formulir ini digunakan
untuk kepentingan verbal otopsi bagi kematian Perinatal/Neonatal yang terjadi di
komunitas. Selain itu, formulir ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi non-
medis di seputar kematian Perinatal/Neonatal, baik untuk kematian Perinatal/Neonatal di
masyarakat maupun di fasilitas kesehatan.
e. Formulir Rekam Medik Kematian Maternal (RMM)
Formulir ini diisi untuk setiap kematian maternal yang terjadi di fasilitas
kesehatan. Untuk kematian yang terjadi di bidan di desa, BPS, RB, dan Puskesmas
formulir akan diisi oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari Puskesmas
Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Sedangkan untuk kasus yang
meninggal di RS, formulir akan diisi oleh dokter penanggung jawab perawatan dengan
diketahui oleh direktur RS.
f. Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal (RMP)
Formulir ini diisi untuk setiap kematian Perinatal/Neonatal yang terjadi di fasilitas
kesehatan. Untuk kematian yang terjadi di bidan di desa, BPS, RB, dan Puskesmas
formulir akan diisi oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari Puskesmas
Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Sedangkan untuk kasus yang
meninggal di RS, formulir akan diisi oleh dokter penanggung jawab perawatan dengan
diketahui oleh direktur RS. Untuk kasus 20 yang meninggal di perjalanan dan sampai RS
sebagai DOA, maka formulir RMP tetap diisi oleh Petugas RS.
g. Formulir Rekam Medik Kematian Maternal Perantara (RMMP)
Formulir ini diisi untuk mendapatkan informasi layanan kesehatan pada kasus
kematian yang pernah mendapat perawatan di fasilitas kesehatan lain sebelum dirawat di
fasilitas kesehatan tempat ibu meninggal.
h. Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal Perantara (RMPP)
Formulir ini diisi untuk mendapatkan informasi layanan kesehatan pada kasus
kematian yang pernah mendapat perawatan di fasilitas kesehatan lain sebelum dirawat di
fasilitas kesehatan tempat bayi meninggal.
i. Formulir Pengkaji Maternal dan Perinatal/Neonatal
Formulir ini akan diisi oleh tim pengkaji sebagai panduan dalam melakukan
kajian kasus dan untuk menilai apakah kasus kematian ini dapat dicegah atau tidak.
j. Formulir Ringkasan Pengkaji Maternal dan Perinatal/Neonatal
Formulir ini merupakan ringkasan kajian kasus yang meliputi seluruh informasi di
seputar kematian, baik faktor medis (misalnya, ada tidaknya layanan sub-standar)
maupun non-medis (misalnya, faktor sosial ekonomi dan pola pencarian pertolongan
medis).
 Alur Pelaporan

23
Gambar 1. Alur Pelaporan Formulir (Kemenkes, 2010).

Gambar 2. Keterangan Alur Pelaporan Formulir (Kemenkes, 2010)

1. Formulir Pemberitahuan Kematian Maternal (PKmM) dan Formulir Pemberitahuan


Kematian Perinatal/Neonatal (PKmP) diisi oleh bidan di desa, BPS, RB, puskesmas, dan
RS. Formulir ini selambat-lambatnya harus dikirimkan oleh Bidan desa/RB/Puskesmas
atau fasilitas kesehatan lain 3 hari setelah terjadinya kematian.

24
2. Untuk formulir PKmM dan PKmP yang diisi oleh bidan di desa, BPS, RB, puskesmas
dikirim ke Puskesmas Kecamatan.
3. Untuk formulir PKmM dan PKmP yang diisi bidan RS dikirim langsung ke Sekretariat
AMP di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Begitu laporan kematian diterima Puskesmas Kecamatan, Bidan Koordinator/Bidan
yang ditunjuk dapat segera melakukan pengumpulan data menggunakan Formulir
OVM/OVP serta melaporkan hal tersebut ke Sekretariat AMP di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila kematian terjadi di fasilitas kesehatan (kecuali RS), Bidan
Koordinator juga dapat langsung mengumpulkan data dengan menggunakan Formulir
RMM/RMP serta langsung melaporkannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
5. Untuk formulir OVM dan OVP yang diisi oleh Bidan RS untuk kematian yang terjadi di
RS Pemerintah dan Swasta dikirimkan ke Sekretariat AMP di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
6. Untuk formulir RMM/RMP, serta RMMP/RMPP (bila ada) yang telah diisi oleh dokter
Penanggung Jawab Pasien dan Bidan RS yang ditunjuk dari RS atau bidan dari Fasilitas
Kesehatan selain RS tempat ibu/bayi meninggal, atau dari RS tempat ibu/bayi pernah
mendapat perawatan sebelum meninggal. Kemudian formulir ini dikirim ke Sekretariat
AMP di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
7. Secara berkala, berkas RMM & RMP, RMMP & RMPP dan OVM & OVP yang telah
lengkap, telah dianonimkan dan dipilih untuk dikaji akan dikirimkan ke tim pengkaji
untuk dilakukan telaah pada pertemuan yang telah dijadwalkan sebelumnya oleh
Sekretariat AMP Kabupaten/Kota.
8. Hasil telaah yang tertuang dalam Formulir Pengkaji dan Formulir Ringkasan Pengkaji
akan diserahkan ke Koordinator dan Penanggung Jawab AMP Kabupaten/Kota sebagai
dasar dirumuskannya mekanisme umpan balik (termasuk pembelajaran dan pembinaan)
untuk upaya perbaikan kualitas pelayan kesehatan maternal dan Perinatal/Neonatal.
(Kemenkes, 2010).
 Pelaksanaan
Pelaksanaan AMP terdiri dari tujuh langkah berurutan yang melibatkan seluruh
komponen Tim AMP: Tim Manajemen, Tim Pengkaji, dan Komunitas Pelayanan.
1. Identifikasi Kasus Kematian dan Pelaporan Data Kematian
Informasi tentang kejadian kematian dapat diperoleh secara formal melalui
laporan petugas kesehatan atau secara informal melalui pemberitahuan anggota
masyarakat atau pihak lain di luar petugas kesehatan. Pemberitahuan secara informal
dari masyarakat kepada petugas kesehatan tentang adanya lahir mati, kematian
neonatal, atau kematian wanita usia subur perlu dilembagakan melalui program
kemitraan yang bersifat lokal.
Seluruh kematian maternal, perinatal/ neonatal harus dilaporkan kepada Tim
Manajemen AMP. Setelah mendapat laporan adanya kejadian kematian,
Penanggungjawab Tim AMP Kabupaten/Kota meminta data kematian kepada Bidan

25
Koordinator (untuk kejadian kematian di masyarakat) atau kepada Pimpinan Fasilitas
Pelayanan(termasuk puskesmas dan rumah sakit).
Formulir data kematian yang sudah diisi oleh Bidan Koordinator atau oleh
petugas yang ditunjuk oleh Pimpinan Fasilitas Pelayanan tidak perlu diarsipkan oleh
pihak pengisi/ pengirim untuk meminimalkan risiko kegagalan anonimasi. Formulir
yang telah diisi dengan lengkap sebelum dikirim harus diketahui (dibubuhi tanda
tangan mengetahui) oleh Kepala Puskesmas (untuk kejadian kematian di masyarakat)
atau Pimpinan Fasiltas Pelayanan (bila kejadian kematian di fasilitas pelayanan
kesehatan) sebagai penanggungjawab pengiriman berkas.
Berkas dikirim kepada Penanggungjawab Tim AMP melalui Koordinator Tim
Manajemen AMP Kabupaten/Kota dalam amplop tertutup dengan label RAHASIA
pada sisi kanan atas amplopnya. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas yang
bersangkutan atau oleh kurir yang ditunjuk oleh pihak penanggung-jawab
pengiriman. Pengirim berkas berhak mendapatkan bukti penerimaan berkas dari
Sekretariat Tim Manajemen AMP Kabupaten/Kota.
2. Registrasi dan Anonimasi
Sekretariat AMP Kabupaten/Kota pada waktu menerima berkas yang dikirimkan
membuat bukti penerimaan berkas. Bukti penerimaan berkas itu juga berisi
pernyataan komitmen dari Tim Manajemen AMP untuk menjaga kerahasiaannya.
Selanjutnya Sekretariat langsung menyampaikan berkas kepada Koordinator Tim
Manajemen. Koordinator Tim Manajemen selanjutnya akan membuka amplop dan
memeriksa kelengkapan pengisiannya bagi keperluan pengkajian. Berkas yang belum
lengkap tetap disimpan di Sekretariat Manajemen AMP, dan Koordinator Tim
Manajemen AMP meminta kepada Bidan Koordinator atau Pimpinan Fasilitas
Pelayanan untuk menyusulkan tambahan informasi yang diperlukan (Kemenkes,
2010).
Berkas yang sudah dinilai lengkap, identitas kasusnya didokumentasikan terlebih
dahulu dalam Buku Register Kematian Maternal/Perinatal/Neonatal dan dijaga
kerahasiaannya oleh Tim Manajemen AMP. Informasi dalam buku register tersebut
akan dipakai untuk keperluan pembelajaran, pelaporan, dan perencanaan.
Registrasi diikuti kegiatan anonimasi, yaitu proses memberikan nomor kode kasus
dan menghilangkan seluruh identitas pasien, pemberi layanan kesehatan, serta
institusi kesehatan yang terkait (Kemenkes, 2010).
Tim Manajemen AMP tidak boleh mengubah-ubah isian formulir yang
diterimanya. Sebelum dilakukan anonimasi, berkas data (formulir yang sudah diisi)
tidak boleh digandakan atau disimpan dalam format elektronik. Koordinator Tim
Manajemen AMP tidak berhak memindahtangankan atau membeberkan isi berkas
data ke pihak lain selain untuk keperluan AMP. Pengelolaan berkas dan penjagaan
konfidensialitas data menjadi tanggung jawab Tim Manajemen AMP Kabupaten/Kota
(Kemenkes, 2010).
3. Pemilihan Kasus dan Pengkajinya, serta Penjadwalan Pengkajian
26
Apabila memungkinkan dilakukan kajian atas seluruh kasus kematian maternal
maupun Perinatal/Neonatal. Akan tetapi, bila terdapat keterbatasan waktu dan sumber
daya, maka dapat dilakukan sampling yang representatif terhadap seluruh kematian
yang terjadi di wilayah Kabupaten/Kota terkait (Kemenkes, 2010).
Setelah kasus-kasus kematian yang akan dikaji ditetapkan, langkah selanjutnya
adalah memilih pengkaji (internal dan eksternal) dari daftar yang dimiliki. Untuk
kematian maternal, tim pengkaji minimal yang diperlukan adalah 1 dokter spesialis
kebidanan, 1 bidan senior/kompeten, dan 1 staf unit KIA Kabupaten/Kota
(Kemenkes, 2010).
Untuk kematian Perinatal/Neonatal, tim pengkaji minimal yang diperlukan adalah
1 dokter spesialis kebidanan, 1 dokter spesialis anak, 1 bidan senior/kompeten, 1 staf
unit KIA Kabupaten/Kota. Disarankan untuk melibatkan pengkaji eksternal (dokter
spesialis atau pakar yang berasal dari luar Kabupaten/ Kota) pada setiap pertemuan
pengkaji (Kemenkes, 2010).
Dokter dari spesialisasi lain yang terkait dengan permasalahan yang hendak dikaji
dapat dilibatkan sebagai pengkaji kasus kematian maternal atau Perinatal/Neonatal.
Bila jumlah pengkaji dalam satu Kabupaten/Kota cukup banyak, maka dapat dibuat
beberapa tim yang bekerja secara bergiliran. Sekretariat AMP Kabupaten/Kota
selanjutnya menyusun jadwal pelaksanaan pertemuan pengkaji (Kemenkes, 2010).
4. Penggandaan dan Pengiriman Bahan Kajian
Bahan kajian yang telah dinyatakan lengkap, diregistrasi, dianonimkan, dan
terpilih untuk dikaji kemudian digandakan untuk arsip dan dikirim kepada Pengkaji
Internal serta Eksternal sehingga dapat diterima beberapa hari sebelum pelaksanaan
kajian. Setelah dikirim, Koordinator Tim Manajemen AMP memastikan apakah
dokumen yang dikirim sudah diterima dan menanyakan seandainya ada informasi lain
yang diperlukan oleh para pengkaji (Kemenkes, 2010).
Proses ini akan memberi kesempatan yang cukup bagi para pengkaji yang akan
diundang untuk mempelajari kasusnya atau memberikan masukan kepada
Koordinator Tim Manajemen AMP bila masih ada informasi lain yang diperlukan.
Tim Manajemen AMP menindaklanjuti permintaan tambahan informasi dengan
melakukan pengumpulan data yang lebih mendalam terhadap kasus tersebut. Maksud
dilakukannya langkah 4 adalah pelaksanaan pertemuan pengkaji akan berjalan lancar
dan efektif. Perlu diperhatikan, penggandaan berkas (formulir yang sudah diisi) hanya
boleh dilakukan setelah anonimasi selesai dilakukan (Kemenkes, 2010).
5. Pertemuan Pengkajian Kasus
Ada tiga hal yang dilakukan oleh Tim Pengkaji ketika melakukan pertemuan
pengkajian kasus: analisis kematian, klasifikasi penyebab kematian, penyusunan
rekomendasi. Proses pengkajian kasus dan pembuatan rekomendasi harus dilakukan
dengan azas profesionalisme (professional judgement) dan mengedepankan etika
(Kemenkes, 2010).
6. Pendataan dan Pengolahan Hasil Kajian
27
Pertemuan pengkajian kasus diakhiri dengan pendataan hasil kajian. Agar dapat
diolah (ditabulasi, dihitung, dan dibandingkan), maka harus ada kesepakatan tentang
data apa saja yang dihasilkan dan dicatat dari pertemuan Audit Maternal/
Perinatal/Neonatal. Data yang dikumpulkan dikelompokkan menjadi dua: (1) data
identitas, dan (2) data kejadian kematian (Kemenkes, 2010).
Data identitas berisi informasi tentang identitas pasien, petugas-petugas kesehatan
terkait, dan sarana-sarana pelayanan yang terlibat. Data ini bersifat rahasia dan
dikelola hanya sampai tingkat Kabupaten/Kota untuk keperluan perencanaan sesi
pembelajaran individual (Kemenkes, 2010).
Data kejadian kematian berisi informasi tentang penyebab kematian, peringkat
pemenuhan standar pelayanan, area klinis dan area rujukan yang memerlukan
perbaikan, akar penyebab timbulnya masalah di area klinis dan area rujukan, dan
rekomendasi-rekomendasi spesifik. Data kejadian kematian dikirim ke tingkat
Provinsi hingga Nasional untuk bahan penyusunan kebijakan dan penyusunan
program (Kemenkes, 2010).
Untuk setiap kejadian kematian maternal, Perinatal/Neonatal, Tim Pengkaji
menyimpulkan hal-hal tersebut di bawah ini:
1) Diagnosis penyebab kematian (sesuai ICD-10) yang terdiri dari penyebab akhir,
penyebab antara, dan penyebab dasar.
2) Komorbiditas apa saja yang ada (sesuai ICD-10)
3) Komplikasi apa saja yang terjadi (sesuai ICD-10)
4) Peringkat pemenuhan standar pelayanan
5) Masalah dalam area klinis (diagnosis, monitoring, terapi/tindakan) dan uraian
singkatnya
6) Masalah dalam area rujukan dan uraian singkatnya
7) Akar penyebab masalah yang dapat dicegah dalam area klinis (diagnosis,
monitoring, terapi/ tindakan)
8) Akar penyebab masalah yang dapat dicegah dalam area rujukan
9) Rekomendasi spesifik yang dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam
komunitas pelayanan (kelompok masyarakat, kelompok petugas kesehatan,
kelompok pimpinan fasilitas pelayanan, dan kelompok pembuat kebijakan)
(Kemenkes, 2010)
7. Pemanfaatan Hasil Kajian
Pemanfaatan hasil kajian adalah langkah terakhir dalam siklus AMP di
Kabupaten/Kota. Hasil kajian dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran/
pembinaan, pelaporan, dan perencanaan. Pembelajaran/ pembinaan ditujukan kepada
seluruh komponen komunitas pelayanan. Berdasarkan sasarannya, pembelajaran
dapat berupa pembelajaran individual, pembelajaran kelompok terfokus, dan
pembelajaran massal (Kemenkes, 2010).
Hasil kajian juga akan menjadi bahan laporan oleh Tim Manajemen AMP
Kabupaten/Kota. Untuk keperluan perencanaan, hasil kajian dan rekomendasi akan
28
didistribusikan oleh Sekretariat AMP kepada seluruh komponen komunitas pelayanan
sesuai kebutuhannya. Waktu pengirimannya disesuaikan dengan waktu dilakukannya
penyusunan rencana kerja tahunan pihak-pihak bersangkutan (Kemenkes, 2010).
6. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengenai Hubungan Suami Istri di
Luar Nikah, Kehamilan di Luar Nikah dan Aborsi
Zina menurut Islam adalah persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang
tidak terikat perkawinan yang sah. Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-
laki ke dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar) (Huda,
2015).
Untuk pelaku zina sendiri dibagi menjadi dua yaitu zina muḥṣan dan ghair
muḥṣan. Zina muḥṣan adalah suatu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah balig,
berakal, merdeka dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang lain jenis
kelaminnya. Dengan kata lain zina muḥṣan adalah zina yang pelakunya sudah menikah.
Sedangkan zina ghair muḥṣan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah
melangsungkan perkawinan sah. Dalam hal penetapan hukuman pun terdapat perbedaan
antara keduanya. Jika pelaku muḥṣan dihukum rajam, maka pelaku ghair muḥṣan
dihukum dera atau jilid 100 kali kemudian diasingkan. Sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. al-Nūr (24): 2.

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur (24): 2)
Ayat ini menggambarkan ketegasan dalam menegakkan hukuman ḥad, dilarang
memberi belas kasihan dalam menjatuhkan hukuman atas kekejian yang dilakukan oleh
dua orang pezina tersebut, juga ada larangan membatalkan hukuman ḥad atau berlemah
lembut dalam menegakkannya. Oleh karenanya dilarang menunda penegakan agama
Allah dan mengundurkan hak-Nya. Pelaksanaan hukuman hendaknya dilaksanakan di
depan khalayak ramai, yaitu sekelompok orangorang yang beriman, sehingga diharapkan
memberi efek jera dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang telah melakukan perbuatan

29
zina dan memberi pelajaran bagi orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman
tersebut (Huda, 2015).
Terdapat perbedaan dalam tata cara pelaksanaan hukuman dera. Menurut Imam
Malik yang didera adalah punggung dan seputarnya serta harus menanggalkan baju.
Menurut Imam Syafi’i yang didera seluruh anggota badan, kecuali kelamin dan muka
yang harus dihindarkan serta penanggalan baju. Menurut Abu Hanifah seluruh anggota
badan, kecuali kelamin, muka dan kepala serta penaggalan baju (Huda, 2015).
Selain didera seratus kali, pelaku zina ghair muḥṣan juga diasingkan selama
setahun, hal ini bersandar pada keterangan Ibnu al-Munẓir yang mengatakan: “Dalam
kasus seorang pelayan yang berzina dengan majikan putri, Rasulullah saw. bersumpah
bahwa beliau akan memutusinya berdasarkan Kitabullah. Kemudian beliau menyatakan,
bahwasanya pelayan tersebut harus dihukum dera sebanyak seratus kali dan diasingkan
selama setahun. Itulah penjabaran dari firman Allah dan itulah yang dipidatokan oleh
Umar bin Khattab di atas mimbar dan yang kemudian diamalkan atau dipraktekkan oleh
para Khulafā‘ alRāsyidīn dan mengamininya. Hal tersebut menjadi dasar ijma’
(konsensus) (Huda, 2015).
Hukuman bagi pelaku zina yang berstatus muḥṣan adalah rajam. Rajam adalah
hukuman mati dengan cara dilempari dengan batu. Pasal hukum rajam dalam Alquran
tidak ada, tetapi hanya atas pernyataan Umar ibn Khattab yang pernah melihat Nabi
Muhammad SAW memerintahkan perajaman bagi muḥṣan (Huda, 2015).
Pernyataan Umar tersebut sebagaimana termaktub dalam hadis yang berbunyi:
Diriwayatkan dari Sayyidina Umar bin al-Khatab r.a. Katanya: Sesungguhnya Allah telah
mengutus Muhammad saw. dengan kebenaran dan telah menurunkan kepada baginda
kitab Alquran. Di antara yang diturunkan kepada baginda ialah ayat yang menyentuh
tentang hukum rajam. Kami selalu membaca, menjaga dan memikirkan ayat tersebut.
Rasulullah saw. telah melaksanakan hukuman rajam tersebut dan selepas baginda, kami
pun melaksanakan juga hukuman itu. Pada akhir zaman aku merasa takut, akan ada orang
yang akan mengatakan: “Kami tidak menemukan hukuman rajam dalam kitab Allah yaitu
Alquran sehingga mereka akan menjadi sesat karena meninggalkan salah satu kewajiban
yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam
kitab Allah itu mesti dilaksanakan kepada pezina yang pernah kawin baik laki-laki
maupun perempuan bila terdapat bukti yang nyata atau dia telah hamil ataupun dengan
pengakuan sendiri” (Huda, 2015).
Hamil diluar nikah merupakan sesuatu yang sangat tabu di Indonesia dan
merupakan hal yang masuk kategori zina dalam Islam. Hamil di luar nikah merupakan
perbuatan zina yang seharusnya dihukum dengan kriteria Islam. Menikahkan wanita
hamil karena zinah dalam perspektif fikih para ulama berbeda pendapat, ada yang secara
ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah
tanpa mengurangi kehati-hatian mereka (Wibisana, 2017).

30
Menurut Ulama Hanafiyah bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila
yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina
tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, hal ini
didasarkan pada salah satunya QS. An-Nisa ayat 23:

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa: 23)
Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina,
baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang
menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan
wanita yang diharamkan untuk dinikahi (Wibisana, 2017).
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka
sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan
tidak hamil, istibra’nya tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra’nya cukup
satu kali haid, tapi bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibra’nya
sampai melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya
tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang
menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap
dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajib difasakh (Wibisana,
2017).

31
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang
diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi
dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat
berikut : pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan
melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka
akad nikahnya tidak sah.kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina (Wibisana, 2017).
Dalam ilmu medis kedokteran, aborsi dapat digolongkan kepada dua kategori
yaitu abortus spontan dan abortus provokartus. Abortus spontan (terjadi dengan sendiri,
keguguran), sedangkan abortus provokartus (sengaja digugurkan) ada yang berdasarkan
diagnosis pihak medis yang mengharuskan ibu diaborsi. Dan ada juga tanpa diagnosis
pihak medis, yakni atas kehendak ibu karena berbagai alasan seperti ekonomi sulit,
terlalu banyak anak, terjadi hubungan di luar nikah, perkosaan dan lain-lain, inilah
disebut aborsi non therapeuticus (Romli, 2011).
Menurut mayoritas fukaha, melakukan aborsi bagi janin yang telah berusia 120
hari hukumnya haram. Sedang usia sebelum 120 hari terjadi khilâfiyah. Ada yang
berpendapat boleh, makrûh, dan haram (Romli, 2011).
Imâm al-Subki berpendapat bahwa pengguguran kandungan dari hasil perbuatan
zina, dibolehkan asal masih berupa nuthfah atau ‘alaqoh, yaitu sebelum delapan puluh
hari. Demikian juga pendapat Imâm alRamli dari kelompok mahzab Syâfi’i. Alasan
mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim tentang penciptaan
janin yang berusia 40 hari baru kemudian ditiupkan ruh. Sedangkan Abû Ishâq
alMarwaei berpendapat bahwa seseorang yang minum obat untuk menggugurkan
kandungannya selama berbentuk ‘alaqah atau mudghah, maka hal itu dibolehkan.
Demikian pula pendapat kelompok Hanâfiyah yang membolehkannya secara mutlak
(Romli, 2011).
Ibn Wahban berpendapat bahwa pengguguran kandungan dibolehkan jika karena
uzur. Jika tidak, maka hukumnya makrûh. Sedangkan Muhammad Said Ramadhan al-
Bûti menilai pengguguran kandungan dibolehkan asal ada kesepakatan antara ayah dan
ibu si janin (Romli, 2011).
Imâm al-Ghazâli berpendapat bahwa hukum pengguguran kandungan haram
secara mutlak, bahkan sejak bertemunya sperma laki-laki dan ovum wanita. Pendapat ini
didukung Mahmûd Syaltût dan Yûsuf Qaradhawi (Romli, 2011).
Menurut pendapat ‘Abd alRahmân al-Baghdâdi, jika pengguguran itu dilakukan
setelah 40 hari masa kehamilan, yaitu saat mulai terbentuknya janin, maka hukum
pengguguran adalah haram. Sama halnya pengguguran janin setelah ditiupkan ruh.
Sebab, janin yang sedang dalam proses pembentukan organ-organnya dapat dipastikan
sebagai janin yang sedang mengalami proses terbentuknya manusia sempurna. Alasannya
adalah surat al-Mukminûn [23]: 14 yang berbunyi:

32
Artinya: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
(QS. Al-Mu’minun: 14)
Dalam ayat di atas, terutama tentang kata-kata “Khalqan Âkhar” yang ditakwil
dan ditafsirkan bahwa sebelum membentuk “mahluk lain” memang ada fase-fase tertentu
yang secara bertahap sudah dianggap mempunyai ruh atau suatu kehidupan, yaitu rûh
hayawâni dan rûh insâniyah. Rûh hayawâni telah dimiliki sejak pembuahan terjadi,
sedangkan rûh insâni berada ketika janin sudah berbentuk lengkap seperti yang dilakukan
oleh Sayyid Quthub (Romli, 2011).
Serta surat al-Isrâ [17]: 31 yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al-Isra: 31)
Aborsi yang dilakukan setelah berusia 120 hari dan sudah ditiupkan ruh, fukaha
bersepakat haram hukumnya. Karena hal itu dianggap sama dengan membunuh nyawa
manusia yang sudah berwujud. Sebaliknya, pengguguran kandungan yang dilakukan atas
dasar diagnosis dokter, atau disebut juga abortus therapeuticus, para fukaha telah sepakat
menyatakannya boleh. Alasannya adalah untuk menyelamatkan jiwa si ibu dari bahaya
yang mengancamnya tanpa melihat usia kandungan atau janin (Romli, 2011).
Mengenai abortus nontherapeuticus sebelum ditiupkan ruh, pendapat fukaha
terbagi menjadi tiga aliran yaitu boleh, makruh dan haram. maka pendapat aliran yang
ketiga merupakan pendapat yang paling relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Dengan kata lain, aborsi tidak boleh dilakukan kecuali dengan alasan syar’i, yaitu benar-
benar dalam kondisi sangat darurat (Romli, 2011).

33
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, B.D. 2013. Remaja dan Permasalahannya. Jendela Husada Edisi 5: 7-8.
https://dinkes.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2014/01/JH-5_edit-NATAN-fix.pdf Diakses
28 April 2020
Astuti, S., Didah, Martini, N. 2018. Skrening Kehamilan Sebagai Upaya Peningkatan Kesehatan
Ibu Hamil di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Jurnal Aplikasi Ipteks
Untuk Masyarakat Vol 7 No.4: 285-289.
http://jurnal.unpad.ac.id/dharmakarya/article/view/18507 Diakses 27 April 2020
BPS. Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi.
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/80 Diakses 28 April 2020
Chalid, M.T. 2016. Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu: Peran Petugas Kesehatan.
https://www.researchgate.net/publication/320730100_Upaya_Menurunkan_Angka_Kematian_Ib
u_Peran_Petugas_Kesehatan Diakses 27 April 2020
Fahmi, M.A. 2017. Evaluasi Program Audit Maternal Perinatal (AMP) di Kabupaten
Temanggung Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume VIII Nomor 3,
Juli 2017: 109-115. https://forikes-ejournal.com/index.php/SF/article/download/157/8301
Diakases 25 April 2020
Fourianalistyawati, E., Caninsti, R. 2014. Kualitas Hidup Pada Ibu dengan Kehamilan Risiko
Tinggi.

34
https://www.researchgate.net/publication/320597324_Kualitas_Hidup_pada_Ibu_dengan_Keha
milan_Risiko_Tinggi Diakses 27 April 2020
Hidayah, P., Wahyuningsih, H.P., Kusminatun. 2018. Hubungan Tingkat Risiko Kehamilan
dengan Kejadian Komplikasi Persalinan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jurnal
Kesehatan Vokasional Vol 3 No.1: 35-43. http://journal.ugm.ac.id/jkesvo Diakses 27 April 2020
Huda, S. 2015. Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 377-397.
http://oaji.net/articles/2016/1163-1458782805.pdf Diakses 24 April 2020
Kasim, F. 2014. Dampak Perilaku Seks Berisiko terhadap Kesehatan Reproduksi dan Upaya
Penanganannya. JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 1, Mei 2014: 39-48.
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/download/32037/19361 Diakses 25 April 2020
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu di
Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/BUKU
%20PEDOMAN%20PKRT.pdf Diakses 26 April 2020
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Audit Maternal Perinatal Edisi II. Jakatra:
Kementerian Kesehatan. https://kupdf.net/download/pedoman-amp-2010-draft-revisi-
20100531_5b605670e2b6f5c72518b176_pdf Diakses 26 April 2020
Khadijah, S. Arneti. 2018. Upaya Deteksi Dini Resiko Tinggi Kehamilan Ditentukan Oleh
Pengetahuan dan Dukungan Tenaga Kesehatan. Jurnal Sehat Mandiri, Volume 13 No 1 Juni
2018: 27-34. https://media.neliti.com/media/publications/276297-upaya-deteksi-dini-resiko-
tinggi-kehamil-e5af4865.pdf Diakses 27 April 2020
Kusumaryani, M. 2017. Prioritaskan Kesehatan Reproduksi Remaja Untuk Menikmati Bonus
Demografi. https://ldfebui.org/wp-content/uploads/2017/08/BN-06-2017.pdf Diakses 25 April
2020
Kusumawardani, N. dkk. 2015. Perilaku Berisiko Kesehatan Pada Pelajar SMP Dan SMA Di
Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI.
Lybertha, D.P., Desiningrum, D.R. 2016. Kematangan Emosi dan Persepsi Terhadap Pernikahan
Pada Dewasa Awal: Studi Korelasi pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Jurnal Empati, Januari 2016, Volume 5(1), 148-152.
https://media.neliti.com/media/publications/71058-ID-kematangan-emosi-dan-persepsi-terhadap-
p.pdf Diakses 27 April 2020
Nursal, D.G.A. dan Satri, R.M. 2014-2015. Kehamilan Risiko Tinggi di Puskesmas Lubuk
Gadang Kabupaten Solok Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas: Vol. 9, No. 1, Hal. 23-
28. http://jurnal.fm.unand.ac.id/index.php/jkma/ Diakses 25 April 2020
Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT BINA PUSTAKA SARWONO
PRAWIROHARDJO.

35
Putro, K.Z. 2017. Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja. APLIKASIA: Jurnal
Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1: 25-32. http://ejournal.uin-
suka.ac.id/pusat/aplikasia/article/viewFile/1362/1180 Diakses 29 April 2020
Rahayu, A., Noor, M.S., Yulidasari, F., Rahman, F., Putri, A.O. 2017. Buku Ajar Kesehatan
Reproduksi Remaja & Lansia. Surabaya: Airlangga University Press.
https://www.who.int/ncds/surveillance/gshs/GSHS_2015_Indonesia_Report_Bahasa.pdf
Diakses 26 April 2020
Romli, D. 2011. Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Suatu Kajian
Komparatif). AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011: 157-164.
https://media.neliti.com/media/publications/58382-ID-aborsi-dalam-perspektif-hukum-positif-
da.pdf Diakses 24 April 2020
Sajidah, A., Pangkahila, W.I., Pangkahila, J.A. 2014. Frekuensi Hubungan Seksual Tanpa
Kondom Dengan Wanita Penjaja Seks (WPS) Tidak Berhubungan Dengan Tingkat Kepuasan
Seksual Pria Beristri, Tetapi Berhubungan Dengan Risiko Infeksi Menular Seksual (IMS).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 345–352.
https://media.neliti.com/media/publications/20913-ID-the-frequency-of-sexual-intercourse-
without-condom-with-female-sex-workers-fsw-i.pdf Diakses 28 April 2020
Soeroso, S. 2001. Masalah Kesehatan Remaja Masalah Kesehatan Remaja. Sari Pediatri, Vol. 3,
No. 3, Desember 2001: 190 – 198. https://www.saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/1000/930 Diakses 25 April 2020
Susiana, S. 2019. Angka Kematian Ibu: Faktor Penyebab dan Upaya Penanganannya. Bidang
Kesejahteraan Sosial Info Singkat Vol. XI, No.24/II/Puslit/Desember/2019: 13-18.
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-24-II-P3DI-Desember-2019-
177.pdf Diakses 25 April 2020
Wibisana, W. 2017. Perkawinan Wanita Hamil Diluar Nikah Serta Akibat Hukumnya Perspektif
Fikih dan Hukum Positif. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 15 No. 1 – 2017: 29-35.
http://jurnal.upi.edu/file/03_PERKAWINAN_WANITA_HAMIL_DILUAR_NIKAH_-
_Wahyu1.pdf Diakses 24 April 2020
Wulandari, D.A. dan Utomo, I.H. 2017. Responsivitas Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar
dalam Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di
Kabupaten Karanganyar. Jurnal Wacana Publik Vol 1 No 3, 2017: 40-49.
https://jurnal.uns.ac.id/wacana-publik/article/viewFile/18006/14364 Diakses 25 April 2020
Zainafree, I. 2015. Perilaku Seksual dan Implikasinya Terhadap Kebutuhan Layanan Kesehatan
Reproduksi Remaja di Lingkungan Kampus. Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015): 1-7.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph Diakses 28 April 2020

36

Anda mungkin juga menyukai