Anda di halaman 1dari 3

BEDAH MAYAT

1. Pengertian
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris
bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan
istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi
pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta.
Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang
yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.

Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau
pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian
dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang,
baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.

2. Pembagian bedah mayat


Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :

 Otopsi Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.


Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24
jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya.
Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun
sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat
dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik
negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan
mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan
KUHP perdata pasal 935. (1,2,3)
 Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa
kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,pathogenesis penyakit, dan
sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli
waris sendiri yang memintanya.
 Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal
akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara.
 Bedah mayat dengan tujuan menyelamatkan janin yang ada di perut ibunya atau
mengeluarkan benda berharga.

3. Hukum islam yang terkait bedah mayat

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala


wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu? (Q.s Fushshilat(41):53)
pengertian “dalam diri manusia” pada ayat diatas menurut para mufassir berarti di dalam
tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti. Ayat ini dapat
dijadikan acuan untuk penelitian tentang struktur tubuh manusia.

Alquran juga menegaskan manusia adalah makluk mulia

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.( QS.
Al-Isra’ : 70 ).
Hukum bolehnya bedah mayat dengan tujuana anatomis dan klinis tercakup dalam sejumlah
hadis yang menganjurkan untuk berobat, setiap penyakit ada obatnya
Allah yang menurunkan penyakit dan Dia juga yang menjadikan setiap penyakit dan obat
nya, berobatlah, dan jangan berobat dengan yang haram. (HR. Abu Dawud)
Perintah berobat diatas juga berarti perintah untuk mengembangkan ilmu kedokteran.
Untuk menentukan hukum bolehnya bedah mayat forensik yang merupakan salah satu upaya
penegakan hukum secara adil merupakan kewajiban agama pula, sebagaimana ditegaskan
dalam Q.s al-Nisa (4):58

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.s
al-Nisa (4):58)

4. Pendapat ulama klasik tentang bedah mayat


Dalam literatur fikih kontemporer, ditemukan dua pendapat yang berbeda. Pertama, pandangan
mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz).
Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah
hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan
di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk
penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan
tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpan di perut
jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut jenazah, ahli
fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan
harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah
Mayoritas ulama membolehkan, diantaranya Imam Abu Hanafah, Imam Syafii, Muhammad
bin Hasan al-Syaibani, Ulama Syaifi’iyyah, Zhahiriyyah, pendapat yang dipilih oleh sebagian
ulama Malikiyyah, dan ulama Hanabilah. Sementara Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal
menerima dalam kasus harta dan menolak dalam kasus janin.
Fatwa yang lebih maju disampaikan oleh Syaikh Jad al Haqq Ali Jad al Haqq membolehkan
memanfaatkan sebagian tubuh mayat yang tidak diketahui identitasnya untuk pengobatan atau
pratikum bagi mahasiswa kedokkteran, karena kadar kemaslahatnnya jelas.
Menurut Ahmad bin Hanbal dan ulama kalangan Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh
dibedah. Hal itu sesuai dalam hadis yang melarang memecahkan tulang belulang mayat sama
haramnya dengan mematahkan tulang hidup. Dan sebagian menjelaskan jika mayat itu pernah
menelan uang logam, maka mayatnya boleh dibedah untuk mengeluarkan uang logam tersebut.
.
5. Pendapat kontemporer tentang bedah mayat
Sejalan dengan pendapat ulama klasik, Nuruddin Atr menyatakan, jika sekedar
mengeluarkan koin dari perut saja dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui
sebab kematiannya lebih diutamakan. Ketidak bolehan mematahkan tulang sesuai dengan
hadis atas jika dilakukan tidak untuk tujuan yang bermanfaat.

Hasanain Muhammad Makhluf, ahli fikih Mesir, menjelskan hukum bedah mayat dikaitkan
dengan hukum belajar kedokteran. Jika belajar kedokteran fardhu kifayah, maka segala ilmu
yang dapat menuju kesempurnaannya menjadi wajib.
Syaikh Jad al Haqq Ali Jad al Haqq membolehkan memanfaatkan sebagian tubuh mayat yang
tidak diketahui identitasnya untuk pengobatan atau pratikum bagi mahasiswa kedokkteran,
karena kadar kemaslahatnnya jelas.
Sejumlah ulama mengharamkannya, sesuai ayat Al Quran yang mengharuskan menghormati
Bani Adam dan Hadis tentang larangan mematahkan tulang belulang mayat.

Anda mungkin juga menyukai