Anda di halaman 1dari 23

HUKUM WASIAT PENDONORAN DAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

(Kajian Anatomis Analisis Ushul Fiqh: Penalaran Lughawiah, Ta’lililah dan Istishlahiah)

Fahriansah

Dosen IAIN Langsa

Abstrak
Organ tubuh manusia yang diwasiatkan melalui donor yang dilakukan melalui aktivitas
transplantasi menjadi solusi pengobatan terhadap penyakit yang tidak dapat diobati. Namun
hukum praktiknya secara islami masih dipertanyakan karena banyak pihak yang
mengharamkannya. Untuk itu, peneliti akan mengkaji hukum wasiat pendonoran dan
transplantasi organ tubuh yang merupakan kajian anatomis dengan menggunakan analisis ushul
fiqh melalui penalaran lughawiyah, ta’liliyah dan istishlahiya untuk memecahkan serta
memberikan jalan keluar hukum wasiat organ tubuh manusia, serta dalam proses penggalian
hukumnya (isṭinbāt al-ḥukmi) harus dengan pertimbangan kemaṣlaḥatan dan meminimalisir
keḍaruratan demi tercapainya tujuan-tujuan syari’at (maqāṣid asy-syarī’ah).

Kata kunci: wasiat, pendonoran, transplantasi, ushul fiqh

A. Pendahuluan
Pendonoran dan transplantasi anggota tubuh merupakan dua faktor dalam pemindahan
jaringan atau organ tubuh dari tubuh (pendonor) ke penerima donor. Pendonoran dan kegiatan
transplantasi sering dilakukan dengan tujuan pengobatan beberapa bentuk penyakit, di antaranya:
(1). Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada kematian.
Seperti transplantasi jantung, ginjal dan hati. (2). Pengobatan untuk menghindari cacat fisik
secara permanen, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal bibir sumbing. Transplantasi
jenis ini dilakukan bukan untuk menghindari kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk
menghindari cacat seumur hidup.1 Sehingga kegiatan transplantasi secara umum juga termasuk
pada anggota tubuh yang telah didonorkan melalui wasiat.
Kasus mendonorkan anggota tubuh baik melalui wasiat oleh yang bersangkutan sendiri
sebelum meninggal atau melalui izin oleh pihak keluarga setelah orang (pemilik organ)
meninggal. Begitu juga dengan praktik dokter dalam melakukan transplantasi baik dengan izin

1
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Hlm. 180.

1
atau tanpa izin (illegal) sudah mulai marak terjadi di berbagai Negara tidak terkecuali Negara
muslim seperti Arab Saudi, atau Negara yang rakyatnya dominan muslim seperti Indonesia,
Malaysia, Mesir. Sekalipun praktik itu telah sering terjadi, namun perbuatan tersebut belum
diklarifikasikan ke dalam kategori praktik ibadah, mu’amalah atau jinayah sehingga hukum
mendonorkan angota tubuh sendiri sebelum meninggal atau melalui izin dari pihak keluarga yang
meninggal, serta hukum praktik dokter dalam menstransplantasikan anggota tubuh tersebut
menjadi buram tidak mendapat status hukum yang jelas.
Praktik mendonorkan dan transplantasi organ tubuh terjadi karena tidak terlepas manusia
sebagai makhluk sosial membutuhkan bantuan dari manusia lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.2 Adanya rasa kemanusiaan yang tinggi untuk membantu orang lain yang mengalami
kegagalan fungsi organ tubuh menjadi dasar seseorang memanfaatkan organ tubuhnya melalui
wasiat. Untuk itu, penulis ingin meneliti dan mengungkap hukum perbuatan-perbuatan
mendonorkan anggota tubuh baik melalui wasiat oleh yang bersangkutan sendiri sebelum
meninggal atau melalui izin oleh pihak keluarga setelah orang (pemilik organ) meninggal. Begitu
juga dengan praktik dokter dalam melakukan transplantasi baik dengan izin atau tanpa izin
(illegal) transplantasi dengan mengikuti dan meninjau beberapa hal penting seperti defenisi,
dalil-dalil, kebiasaan/adat, khazanah fiqh, prinsip-prinsip dalam transplantasi dan hal-hal penting
lainnya yang bersangkutan dengan transplantasi yang kemudian dianalisis melalui penalaran
lughawiah, ta’liliah, dan istishlahiah guna menjawab sebagian permasalahan yang makin
berkembang dalam wasiat pendonoran dan transpantasi organ tubuh.

B. Donor Organ dan Transplantasi


Donor organ tubuh atau cadaver adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau
berniat dengan sungguh-sungguh untuk memberikan jaringan atau organ tubuhnya kepada yang
memerlukan apabila ia telah meninggal dunia secara wajar.3 Transplantasi adalah penggantian
organ atau jaringan tubuh yang fungsinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan organ
atau jaringan sehat yang berasal dari orang lain atau tubuh sendiri. 4 Transplantasi organ diatur
dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan PP Nomor 18 Tahun 1981 tentang

2
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam Jilid II, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hal. 167.
3
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, cet I,(Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, 2001), hlm. 104.
4
Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan
Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis, Hukumm, dan Agama Islam, (Yogyakarta: Aditya Media), hlm. 37-38.

2
Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan
Tubuh Manusia.5
1. Praktik Pendonoran dan Transplantasi Organ Tubuh
a) Praktik Pendonoran Organ Tubuh
Pemanfaatan organ tubuh melalui donor untuk transplantasi di Indonesia dilakukan pertama
kali oleh Budi Setiawan, pada tahun 2003 di Malang, Jawa Timur, Ia membuat wasiat di hadapan
notaris Pramuharyono sejak tahun 1987. Ia menyatakan akan mewasiatkan tubuhnya setelah
meninggal dunia kepada laboratorium anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
Malang agar tubuhnya dapat tetap bermanfaat khususnya bagi dunia pendidikan kedokteran dan
bagi masyarakat pada umumnya, serta mendonorkan kornea matanya bagi pasien yang
mengalami kebutaan. Budi meninggal karena mengalami pembengkakan jantung, setelah
disemayamkan tiga hari di rumah duka Panca Budi, Malang. Jenazah Budi dibawa ke
Laboratorium Anatomi Universitas Brawijaya, Malang. Sesuai wasiat Budi, tubuhnya diserahkan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan dilakukan serah terima dari pihak keluarga kepada
pihak Universitas.6

b) Praktik Transplantasi Organ Tubuh


Dalam sejarah masyarakat Islam utamanya masa Rasulullah, operasi plastik menggunakan
organ buatan sudah dikenal. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari
Abdurrahman bin Tharfah,7 “bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya
pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut
mulai membau (membusuk), maka Rasulullah SAW. menyuruhnya untuk memasang hidung
(palsu) dari logam emas”.8 Dan telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman
(bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak atau tidak berfungsi sama sekali bukanlah
inovasi abad modern. Jeff E. Zhorne dalam bukunya Organ Transplants: How Far Dare We Go?
menyatakan bahwa sejak awal abad ke-8 SM, para ahli bedah hindu telah melakukan

5
http://binchoutan.files.wordpress.com/.../sekilas-tentang-donor-organ-dari-sudut-pandang-hukum-
pidana7.pdf, hlm. 1.
6
Brawijaya, Donorkan Sekujur Tubuh, edisi Rabu, 30 Juli 2003, http://old-prasetya.ub.ac.id/jul03.html, diakses
21 Desember 2015.
7
Sunan Abu Dawud, Hadits. no.4232.
8
Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58)

3
transplantasi kulit untuk mengganti hidung yang hilang karena penyakit sifilis, perang fisik, atau
hukuman atas suatu kejahatan.9
Tahun 600 SM di India Susruta telah melakukan transpalantasi kulit. Semantara jaman
Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal
yang sama. Diduga John Hunter (1728 – 1793) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk
bedah transplantasi. Dia mampu membuat kriteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu
jaringan transplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistem golongan darah dan sistem
histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum
ditemukan.10
Pada abad ke–20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan
menemukan golongan darah system ABO dan sistem Rhesus. Hingga saat ini perkembangan
ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi. Perkembangan
teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu
transplantasi modern makin berkembang dengan ditemukannya metode–metode pencangkokan,
seperti:11
a. Pencangkokkan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr.
George E. Green.
b. Pencangkokkan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard,
walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.12
c. Pencakokkan sel–sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson
oleh Dr. Andreas Bjornklund. Dan sejak berhasil melakukan transplantasi organ kepada
pasien gagal ginjal di Amerika Serikat pada 1954, donor organ dan studi tentang
cangkok organ tubuh semakin berkembang pesat.
2. Dalil Pendonoran dan Transplantasi Organ
Allah SWT berfirman:
            

9
Jeff E. Zhorne, “Organ Transplants: How Far Dare We Go?”, Plain Truth (Cape Town: Ambassador College
Agency, 1985), hal. 10.
10
Joan Liebman-Smith, Jacqueline Nardi Egan, Body Signs – How to Be Your Own Diagnostic Detective,
Penerjemah: Lulu Rahmah, Sinyal-Sinyal Bahaya Tubuh Anda BODY SIGNS Dari Ujung Rambut Hingga Ujung
Kaki, Cet-I, (Jakarta: PT. Cahaya Intan Suci, 2008) Hal. 64.
11
Jeff E. Zhorne, “Organ Transplants: How Far Dare We Go?”.., Hal. 14.
12
Christiaan N. Barnard, “ Reflections on the First Heart Transplant”, South African Medical Journal
(Pinelands: Publications Division of the Medical Association of South Africa, 1987),hal. xx.

4
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah
dikembalikan segala urusan.”(Q. S. Ali Imran : 109).
Pada ayat di atas menggambarkan secara umum bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
adalah milik Allah swt dan pada hakikatnya bahwa manusia tidak memiliki apapun karena
manusia juga milik Allah swt. Kemudian pada surat yang lain Allah SWT berfirman:
         
       
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan,13 Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS.
Al-Isra' : 70).
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa Allah swt sangat memuliakan manusia dari pada
ciptaan-Nya yang lain dengan memberikan fasilitas hidup yang lebih sempurna. Sehingga
menjadi sebuah pelecehan atau merendahkan harkat dan martabat manusia jika terjadi
pengrusakan (devastation) terhadap apa yang telah diciptakan Allah swt. Sebagaimana Allah
pertegas dalam surat An-Nisaa’terhadap larangan pengrusakan (devastation) manusia itu sendiri:
          
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (Q. S. An-Nisaa’:29)
Larangan membunuh diri sendiri mencakup larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat manusia merupakan suatu
kesatuan. Kesatuan manusia terbukti dari lafaz  taqtuluu dengan bentuk jama’ dan
mukhattabnya (orang kedua) adalah manusia, ini berarti manusia memiliki hakikat yang sama di
mata Allah swt, sebagaimana firman Allah SWT:
       14
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Q.S. Al-
Baqarah : 195).15
Dan dalam surat Al-An’am:
            
16
          
13
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan
untuk memperoleh penghidupan.
14
Al-Qur’anul Karĩm…, Hlm. 30.
15
Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’ãnĩhi Ilã Al-lughati Al-Indūnĩsĩyati…, Hlm. 47.
16
Al-Qur’anul Karĩm…, Hlm. 148.

5
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.17Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Q.S. Al-An’am : 151).18
Selain membuktikan bahwa umat manusia merupakan suatu kesatuan, dua ayat di atas
memberi keterangan bahwa setiap individu manusia diharamkan melakukan perbuatan yang
mendekati keji baik secara lahir maupun bathin kecuali dengan ketentuan-ketentuan yang telah
dibenarkan oleh Allah swt untuk dapat dilakukan seperti membunuh si pembunuh (qishas).
Pengecualian pada ayat tersebut membuka peluang terhadap beberapa praktik yang secara hukum
asalnya haram, menjadi boleh dengan beberapa alasan pembenaran (illa bil haq). Sebagaiman
perintah Allah swt untuk saling memberi pertolongan:
          
19
 .
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S. Al-Maidah : 2).20
Kemudian Rasulullah saw pernah bersabda:

‫ َع ْن‬،‫ َع ْن ُج َويْبِ ٍر‬،‫ ثنا َع ْب َدةُ بْ ُن ُسلَْي َما َن‬،‫الضبِّ ُّي‬


َّ ‫اد‬ ٍ ‫ ثنا الْحسن بن ح َّم‬،‫الس َق ِط ُّي‬ ٍ ‫َح َّد َثنَا أَبُو َح ْف‬
َ ُْ ُ َ َ َّ ‫وب‬ َ ُّ‫ص عُ َم ُر بْ ُن أَي‬
‫ َم ْن‬:َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم‬ ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن أَبِي ُه َر ْي َر َة‬،‫ْحنَ ِف ِّي‬ ِ ‫ َعن أَبِي‬،‫اس ٍع‬ ِ ‫مح َّم ِد ب ِن و‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ ‫صال ٍح ال‬ َ ْ َ ْ َُ
( ‫ )رواه مسلم‬.‫ب َي ْوِم ال ِْقيَ َام ِة‬ ِ ‫الد ْنيَا َف َّر َج اللَّهُ َع ْنهُ ُك ْربَةً ِم ْن ُكر‬
َ ُّ ‫ب‬ ِ ‫َخ ِيه ُك ْربَةً ِم ْن ُكر‬
َ
ِ ‫َف َّرج عن أ‬
َْ َ
“Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawi seorang mukmin, maka Allah SWT
akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. (H. R. Muslim).21
Ayat dan hadis di atas mempertegas bahwa manusia harus saling memberi pertolongan,
bahkan Rasulullah saw memberitahukan bahwa Allah swt akan menghilangkan kesulitan
seseorang di hari akhirat kelak jika pernah menghilangkan kesulitan (membantu) seorang
mukmin selama di dunia. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah swt memerintahkan manusia
untuk menjauhi kerusakan dengan saling tolong menolong demi menjaga kemuliaan manusia

17
Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
18
Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’ãnĩhi Ilã Al-lughati Al-Indūnĩsĩyati…, Hlm. 214.
19
Al-Qur’anul Karĩm, Kairo: Dãr al-Ma’rifah Al-zahar, 1999. Hlm. 102.
20
Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’ãnĩhi Ilã Al-lughati Al-Indūnĩsĩyati, Madinah: Komplek Percetakan al-
Qur’an al-Karim Kepunyaan Raja Fahd, 1418 H. Hlm. 156.
21
Shahih Muslim, no. 2564.

6
sebagai hamba-Nya baik ketika masih hidup atau setelah mati, sebagaimana dalam sabda
Rasululllah saw:

‫لى اهلل‬+‫ول اهلل ص‬+‫ع رس‬+‫ازة م‬+‫ا في جن‬+‫ خرجن‬:‫ال‬+‫ا ق‬+‫ي اهلل عنهم‬+‫رض‬ ‫د اهلل‬+‫جابر بن عب‬ ‫بإسناده عن‬ ‫ابن منيع‬ ‫روى‬
‫نا‬++‫بر وجلس‬++‫فير الق‬++‫ فجلس النبي صلى اهلل عليه وسلم على ش‬،‫عليه وسلم حتى إذا جئنا القبر فإذا هو لم يفرغ‬
‫ ال‬:‫لم‬++ ‫ه وس‬++ ‫لى اهلل علي‬++ ‫بي ص‬++ ‫ال الن‬++ ‫ فق‬،‫رها‬++ ‫ذهب ليكس‬++ ‫ ف‬- ‫دا‬++ ‫اقا أو عض‬++ ‫ س‬- ‫ا‬++ ‫ار عظم‬++ ‫أخرج الحف‬++ ‫ ف‬،‫ه‬++ ‫مع‬
(‫أبي داود‬ ‫رواه‬.)‫ ولكن دسه في جانب القبر‬،‫ فإن كسرك إياه ميتا ككسرك إياه حيا‬،‫تكسرها‬
Ibnu Mani' meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, berkata : kami berangkat bersama
Rasulullah SAW mengiringi suatu jenazah, ketika sampai ditempat penguburan, kami melihat
kuburan masih belum selesai digali. Maka, Nabi SAW duduk dipinggir kuburan yang sedang
digali itu dan kamipun duduk bersamanya. Tiba-tiba penggali kubur mengeluarkan sepotong
tulang betis atau lengan, lalu dia hendak mematahkannya, maka Nabi SAW
bersabda: "Janganlah kamu mematahkannya, karena sesungguhnya jika engkau mematahkan
tulang itu, sama dengan engkau patahkan saat ia masih hidup. Akan tetapi, benamkanlah tulang
itu kedalam sisi kubur". (H.R. Abu Dawud).22
Hadis di atas menceritakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan penggali kuburan untuk
membenamkan tulang betis manusia yang ditemukan di sisi kuburan. Perintah Rasulullah
tersebut menunjukkan bahwa kemuliaan manusia tidak hanya ketika hidup. Sehingga dari dalil-
dalil di atas secara keseluruhan dapat dipahami bahwa kesempurnaan dan kemuliaan manusia
harus dijaga dengan utuh baik secara lahir maupun bathin dan apakah ketika hidup maupun
setelah mati.

3. Pendapat Pembolehan Donor dan Transplantasi Organ Tubuh


Pada dasarnya pemanfaatan organ tubuh manusia masih menjadi perdebatan dalam hukum
Islam oleh para pakar Islam di dunia karena sebagian mereka menganggap tidak lazim.
Pencangkokan atau transplantasi yang merupakan pemindahan organ tubuh yang masih
mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain.23
Di sini, penulis hanya mengungkap secara panjang lebar tentang pendapat pembolehan
donor dan transplantasi organ karena pendapat yang mengharamkan pendonoran dan
Sunan Abi Daud, vol. 2  (tt: Dar al-Fikr, tt), Hal. 231
22

Hasballah Thaib dan Zamakhsyari, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer Dalam Perspektif Islam, (Medan:
23

Perdana Publishing, 2011), hal. 87.

7
transplantasi merujuk kepada salah satu metode analisis dalam penelitian ini yaitu metode
penalaran lughawiyah.
a) Pendapat Pembolehan Donor Organ Tubuh
Donor ialah individu dari mana jaringan atau organ diambil untuk ditanam di tempat lain.
Donor ada dua macam: living donor dan cadaver donor. Living donor terdiri dari orang-orang
yang masih hidup dan sewaktu-waktu bersedia untuk diambil salah satu organnya. Pada cadaver
donor organ diambil dari donor pada waktu menjelang kematian atau pada waktu tepat sesudah
kematian.
Donor organ melalui wasiat adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau
berniat dengan sungguh-sungguh untuk memberikan jaringan atau organ tubuhnya kepada yang
memerlukan apabila ia telah meninggal. Sedangkan ulama fiqih mendefinisikan wasiat dengan
pengesahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang
tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun manfaat.24
Menurut Ahmad Rofiq, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah
pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat, meninggal dunia dengan jalan
kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru.25 Wasiat segala benda atau manfaat, seperti buah
dari pohon adalah sah, yang penting benda atau manfaat itu dapat diserahkan kepada orang yang
menerima wasiat pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia. 26 Yusuf al-Qaradhawi
menganalogkan pemberian organ tubuh seseorang kepada orang lain dengan bersedekah harta.
Jika seseorang dibolehkan memberikan hartanya kepada orang lain maka ia pun dibolehkan
memberikan organ tubuhnya kepada orang lain bahkan hal ini lebih mulia. 27 Menurut M. Nu’aim
Yasin, untuk menetapkan syarat dibolehkannya mendonorkan anggota tubuh melalui wasiat
untuk kepentingan pengobatan, sebagai berikut:28
1. Kemampuan para ahli kedokteran untuk memprediksi kemashlahatan yang akan terjadi
pada pendonor setelah dilakukan pemindahan anggota tubuhnya kepada penerima organ
berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah yang tepat.

24
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hal 128.
25
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia cet IV, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 438.
26
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal. 254.
27
Sigit Pranowo, Cangkok Anggota Tubuh, http://www.eramuslim.com/ustadz menjawab/cangkok-organ.htm,
diakses 22 Mei 2015.
28
M. Nu’aim Yasin, Fiqih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hal.162

8
2. Hendaknya pendonoran anggota tubuh menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
orang yang akan didonor dari kerusakan.
3. Tidak boleh mendonorkan anggota tubuh untuk orang yang telah murtad dari agama
Islam.
4. Pemindahan organ tubuh tidak boleh menyebabkan adanya pelecehan terhadap
kehormatan manusia. Maksudnya pelecehan terhadap kehormatan manusia terjadi apabila
pendonor beranggapan bahwa organ tubuhnya bisa dijual untuk mendapatkan
keuntungan.
5. Pendonor harus benar-benar mengetahui mengenai resiko yang akan terjadi dalam
transplantasi organ tubuh, sehubungan dengan ini tidak diterima donor dari anak kecil
atau orang yang tidak waras.
Pembuatan wasiat dalam hukum Islam dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis.
Terhadap wasiat yang diucapkan secara lisan juga berlaku sah, sepanjang diucapkannya
dihadapan dua orang saksi atau notaris. Hal ini diatur dalam Pasal 195 ayat 1 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) bahwa wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris. Maka Idealnya setiap perbuatan hukum harus
dapat dibuktikan dengan alat bukti yang dikenal oleh Undang-Undang, maka perbuatan hukum
wasiat juga sebaiknya dibuat secara tertulis di hadapan notaris.29
b) Pendapat Pembolehan Transplantasi Organ Tubuh
Dalam perspektif global, khususnya di negeri Muslim membolehkan praktek transplantasi
organ dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana yang
telah di bahas pada:
1. Konferensi OKI di Malaysia pada April 1969 telah memberikan fatwa membolehkan,
demikian pula;
2. Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam pada Januari 1985 di Mekah.
Sedangkan untuk level Negara:
1. Majelis Ulama Arab Saudi telah membolehkan dengan SK No. 99 tertanggal 6/11/1402
H.
2. Kerajaan Yordania melalui Panita Tetap Fatwa Ulama.
3. Kuwait (menurut SK Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam No.97 tahun 1405 H).

29
Suhrawadi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.47

9
4. Mesir (SK. Panitia Tetap Fatwa Al-Azhar no. 491).
5. Al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972).
Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek
tersebut diantaranya: Jadal Haq,30 DR. Yusuf Qardhawi,31 DR. Rauf Syalabi,32 DR. Abd. Jalil
Syalabi,33 DR. Hasyim Jamil.34 Pada umumnya, syarat diperbolehkannya transplantasi organ
terdiri atas: a) harus dengan persetujuan orang tua mayit/walinya atau wasiat mayit, b) hanya bila
dirasa benar-benar memerlukan dan darurat, c) bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen
atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur (tanpa
transaksi dan kontrak jual-beli).
Para ahli medis menyatakan bahwa organ tubuh yang bisa ditransplantasi dan memberikan
hasil yang diharapkan adalah setelah donor dinyatakan mati hanya secara medis dan yuridis,
tetapi tidak secara biologis, sehingga secara yuridis para pelaksana transplantasi tidak bisa
dituntut. Apabila transplantasi dilakukan setelah donor mati secara biologis, maka organ tubuh
yang akan ditransplantasi tidak berfungsi lagi, sehingga transplantasi tidak berguna. 35
Menurut Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis dan Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia,
transplantasi organ adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan
tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan
alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. 36 Dengan demikian, transplantasi dan
keberadaan donor diperbolehkan dalam perspektif kesehatan Islam dan dapat menjadi inspirasi bagi
masyarakat untuk merelakan organnya untuk didermakan kepada yang membutuhkan .

4. Prinsip Pendonoran dan Transplantasi Organ Tubuh


a) Prinsip Pendonoran Organ Tubuh

30
Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 Edisi Romadhan 1403.
31
Fatawa Mu’ashirah II/530.
32
Harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989.
33
Harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.
34
Majalah Risalah Islamiyah, Edisi 212, Hal. 69.
35
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, cet I,..hal. 232.
36
M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Buku Kedokteran
EGC, 1999), hal. 112.

10
Dalam dunia kedokteran, para ahli medis menetapkan tiga tipe donor organ tubuh, yaitu
donor dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan koma, dan donor dalam keadaan wafat.
Adapun penjelasan tiga tipe tersebut sebagi berikut:
a. Tipe Pertama adalah donor dalam keadaan hidup sehat. Untuk melakukan transplanlasi
organ tubuh dari orang hidup yang sehat diperlukan seleksi dan penelitian cermat serta
menyeluruh baik terhadap donor maupun terhadap penerima organ tubuh (resipien).37
Tujuannya adalah untuk menghindari gagalnya transplantasi karena penolakan tubuh
resipien terhadap organ yang ditransplantasi, sekaligus mencegah terjadinya resiko bagi
donor. Akibat dari kegagalan ini menurut ahli medis dinyatakan bahwa seorang dari seribu
donor dalam transplantasi organ tubuh meninggal dunia. Disamping itu penting pula
diperhatikan adanya rasa was-was dan tidak aman bagi donor karena menyadari bahwa organ
tubuhnya dikurangi dan ditranplantasi kepada orang lain. Misalnya, daya tahan fisik
seseorang yang mendonorkan sebuah ginjalnya kepada orang yang gagal ginjal akan
semakin melemah dengan hanya satu ginjal.
b. Tipe Kedua adalah donor dalam keadaan koma, atau diduga kuat akan segera meninggal.
Untuk pengambilan organ tubuh orang lain dalam keadaan seperti ini diperlukan alat kontrol
yang ketal dan alat penunjang kehidupan, seperti bantuan alat pernafasan khusus. 38 atau
ditandai dengan berhentinya fungsi otak.39
c. Tipe Ketiga adalah donor dalam keadaan mati. Para ahli medis menyatakan bahwa tipe
tranplantasi organ tubuh dari donor yang telah mati adalah tipe yang ideal, karena para
dokler hanya menunggu kapan donor dianggap mati secara medis dan yuridis. 40 Dalam hal
ini, para ahli medis menyatakan bahwa pengertian (mati) dalam syariat Islam maupun dalam
dunia kedokteran perlu dipertegas. Tujuannya adalah agar organ tubuh donor dapat
dimanfaatkan, oleh sebab itu perlu dibedakan antara mati (wafat) secara klinis/medis, secara
yuridis dan secara biologis. Penentuan kondisi mati ini diperlukan agar dokter yang akan
melaksanakan transplantasi organ tubuh dari donor kepada resipien dapat bekerja dengan
tenang dan tidak dituntut sebagai pelaku pembunuhan oleh keluarga donor.41
37
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hal. 84.
38
Rumusan PP No. 18/1981.
39
Rumusan Kongres IDI tahun 1985.
40
“Donor Tubuh”, Panji Masyarakat, No. 514, Tahun XXVIII, 1 September 1986, hal. 14-21.
41
Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.lchtiar Bam Van Hoeve, 2000)
hal. 105-109.

11
Dr. Tanzilur Rahman berpandangan bahwa segera sesudah seseorang mencantumkan
kehendak untuk mendonorkan organ tubuhnya dalam wasiat, kehendak itu akan berlaku dan
mengikat menurut syariat, asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan berikut:42
a. Pendonoran (melalui wasiat) itu semata-mata ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
ada unsur uang atau perhitungan-perhitungan apa pun.
b. Kebutuhan rasipien benar-benar mendesak dan genting, tanpa ada pilihan penyembuhan
lain, dan telah diperkuat oleh pernyataan dua ahli medis muslim yang terpercaya.
c. Donor tidak memiliki ahli waris. Jika donor memiliki ahli waris, maka persetujuan dari
para ahli waris harus ada. Jika salah satu dari para ahli waris itu tidak setuju, maka
wasiat tersebut tidak dapat dilaksanakan.
d. Jika wasiat tersebut berhubungan dengan organ mata, maka organ mata tersebut dapat
dikeluarkan atau diambil dari tubuh si pemberi wasiat sesudah adanya sertifikat kematian
dari dua orang ahli medis muslim yang terpercaya, dan dilakukan sejauh mengenai
keperluan yang dikemukakan dalam wasiat tersebut sebulum diadakan penguburan, serta
tidak boleh ada tindak perusakan lain yang tidak perlu terhadap mayat tersebut.
b) Prinsip Transplantasi Organ Tubuh
Jika ditinjau dari segi etika keperawatan, transplantasi organ akan menjadi suatu hal yang
salah jika dilakukan secara illegal. Hal ini memiliki pada kode etik keperawatan, pokok etik 4
pasal 2 yang mengatur tentang hubungan perawat dengan teman sejawat. Pokok etik tersebut
berbunyi “Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal”. Selain itu dalam prakteknya,
seorang tenaga kesehatan khususnya perawat juga harus tetap menghargai kehidupan manusia
sebagai individu yang unik, serata harus dihargai sebagai seorang manusia. Jika dalam praktek
transplantasi organ, sumber organnya didapat dari seseorang secara paksa seperti dalam
penculikan, tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik keperawatan pokok etik 1 alinea
2.
Selain pokok etik 1  dan 4 ada juga pokok etik lain yang harus diperhatikan, yaitu pokok etik
2 alinea 2 yang menjelaskan bahwa seorang perawat harus memelihara mutu pelayanan yang
tinggi serta kejujuran. Dalam praktek professionalnya, tentu saja seorang perawat dilarang untuk
berbohong. Apalagi mengenai kondisi pasien. Dalam penerapannya di kasus transplantasi organ,
Abdul Fadl Mohsin Ibrahim, Fikih Kesehatan Kloning, Eutanasia, Tranfusi Darah, Transplantasi Organ,
42

dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Hal.105.

12
seorang tenaga kesehatan khususnya perawat, harus berkata yang sebenarnya, tentu saja
menggunakan etiket-etiket yang berlaku. Perawat dalam menjalankan profesinya juga diwajibkan
untuk tetap mengingat tentang prinsip-prinsip etik, antara lain :
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
43
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan
adalah seseorang melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan
tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah
dipertimbangkan secara matang.
b. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.44 Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kasus transplantasi organ yang didasari dengan
prinsip untuk berbuat baik, tentu saja tidak melanggar prinsip ini.
c. Keadilan (Justice)45
Dalam praktek transplantasi tentu saja prinsip ini harus diperhatikan  karena keadilan harus
diperoleh oleh kedua pihak yang mendonor dan pihak yang menerima donor. Kasus kategori
pertama tentu saja melanggar prinsip ini, karena oknum-oknum yang melakukan tentu saja sama
sekali tidak memperhatikan keadilan bagi para korban penculikan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan semaksimal
mungkin bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien.46
e. Kejujuran (Veracity)

43
Curtin, Deirdre M dan Ige F. Dekker, Governance As A Legal Concep Within the European Union: Puposes
and Principles, (Netherland: Europa Institute, Utrecht University, 2002), Hal. 93..
44
Priharjo. R , Pengantar etika keperawatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal.45.
45
Priharjo. R , Pengantar etika keperawatan.., Hal. 46. Lihat: Rawls J. A Theory of Justice, (Cambridge MA:
Harvard University Press, 1971), Hal. 73.
46
Aiken. Dasar-dasar Keperawatan Profesional. (Jakarta: Widya Medika, 2003), Hal.

13
Dari prinsip ini, seorang dokter harus menyampaikan kondisi yang sebenarnya bagi pihak
pendonor dan resipien. Hal sedetail apapun dalam proses transplantasi organ harus disampaikan
agar tidak terjadi kesalahan dalam proses yang akan dilakukan.47
Dari prinsip-prinsip di atas maka yang harus diperhatikan bahwa dalam memutuskan untuk
melakukan transplantasi organ harus disertai pertimbangan yang matang dan tidak ada paksaan
dari pihak manapun, adil bagi pihak pendonor maupun resipien, tidak merugikan pihak manapun
serta berorientasi pada kemanusiaan. Selain itu dalam praktek transplantasi organ juga tidak
boleh melanggar nilai-nilai dalam praktek perawat professional. Sebagai contoh nilai tersebut
adalah, keyakinan bahwa setiap individu adalah mulia dan berharga. Jika seorang perawat
menjunjung tinggi nilai tersebut dalam prakteknya, niscaya seorang perawat tidak akan begitu
mudah membantu melaksanakan praktek transplantasi organ hanya dengan motivasi komersiil.

C. Analisis Ushul Fiqh


1. Hukum Pendonoran Organ Tubuh
Untuk menelaah hukum pendonoran organ tubuh secara komprehensif, dengan merujuk dan
mempertimbangkan defenisi donor organ, transplantasi dan dalil-dalilnya serta pendapat ulama,
prinsip-prinsip dalam donor organ dan transplantasi maka dapat dianalisis melalui beberapa
penalaran:
a. Analisis Penalaran Lughawiah dalam Pendonoran Organ Tubuh
Dalam memahami teks-teks dua sumber (al-Qur’an dan Hadis) yang berbahasa Arab, para
ulama telah menyusun semacam “semantic (tentang makna atau arti)” yang akan digunakan
dalam praktik penalaran fiqih. Karena bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai
cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Para ahli telah membuat beberapa kategori lafal
atau redaksi, diantaranya yang sangat penting adalah masalah ‘am dan khas, lafaz yang samar
makna dan yang terang makna, dan lainnya. Dari kategori lafal atau redaksi itulah terbentuk
hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
Jika melihat dalil-dalil di atas, secara tidak langsung ditemukan banyak hal yang dapat
dikaitkan dengan kasus wasiat donor organ tubuh. Di antaranya lafadz:
a)       
47
Kozier. Fundamentals of Nursing: Concept Theory and Practices.  (Philadelphia: Addison Wesley,
2000). Hal. 76.

14
b)      
c)     
d)       
e)     
f) ‫فإن كسرك إياه ميتا ككسرك إياه حيا‬

Lafadz-lafadz di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa donor organ dan transplantasi
hukumnya haram. Karena Allah swt “melarang” (nahyu) manusia secara umum (‘amm) “untuk
tidak” menghargai manusia baik secara lahir (fisik) maupun bathin yang dikuatkan dengan hadis
Nabi saw yang menyatakan bahwa memotong bagian tubuh mayat sama dengan memotong tubuh
manusia yang masih hidup. Maka dapat dikesimpulkan bahwa donor organ baik melalui wasiat
atau melalui izin pihak keluarga ketika donor sudah meninggal hukumya haram karena secara
zhahir ayat menunjukkan bahwa larangan (nahyu) Allah swt kepada manusia (‘amm) melakukan
segala kerusakan, terutama pada diri manusia itu sendiri baik secara lahir maupun bathin.
b. Analisis Penalaran Ta’liliyah dalam Pendonoran Organ Tubuh
Analisis penalaran ta’liliyah merupakan semua kegiatan penafsiran terhadap al-Qur’an/
hadits, untuk menemukan hukum syar’i, dengan menggunakan pertimbangan illat hukum (rasio
legis). Dalam penalaran ini dimasukkan semua kegiatan penafsiran hukum yang berupaya untul
menemukan illat dari suatu aturan (norma).
Illat hukum dibedakan menjadi tiga:
1). Illat tasyri’i, yaitu illat yang digunakan untuk mengetahui apkah suatu ketentuan hukum
dapat terus berlaku, atau sudah sepantasnya berubah, karena illat yang mendasarinya telah
berubah. Perubahan hukum tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, pemahaman tentang illat
hukum itu sendiri telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Contohnya
illat zakat pertanian. Kedua, pemahaman terhadap illat tidak berubah, tetapi tujuan penerapan
hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan yang di harapkan. Contohnya adalah pembagian
tanah Fai’ (tanah yang diserahkan oleh kaum kafir harbi tanpa peperangan karena gentar
berperang).
2) Illat qiyasi, adalah illat yang dipergunakan untuk mengetahui apakah perluasan hukum dari
suatu nash dapat diberlakukan terhadap kasus lain.
3) Illat Istihsani, yaitu illat husus yang digunakan untuk mengetahui apakah perluasan hukum
dari suatu nash itu tetap diberlakukan pada kasus lain atau dikecualikan. Contohnya terdapat

15
sebuah hadits yang menyatakan bahwa sisa minuman binatang buas adalah najis. Melalui
pendekatan qiyas, aturan ini seharusnya diberlakukan juga bagi sisa minuman burung buas, tetapi
para ulama menganggap bahwa hal tersebut tidak dapat disamakan.
Pada dasarnya syarat sesuatu yang dapat diwasiatkan adalah dapat berpindah milik dari
seseorang kepada orang lain, objek tersebut harus ada ketika wasiat dibuat, dapat memberi
manfaat, dan tidak dilarang oleh hukum. Objek wasiat tidak terbatas pada harta benda, nasihat
juga dapat diwasiatkan. Dalam penelitian ini, organ tubuh sebagai objek wasiat dapat
dipindahkan atau ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan. Pada
umumnya wasiat adalah peningalan harta dengan maksimal pemberian 1/3 dari seluruh harta
yang mewasiatkan.
Untuk menggunakan yang hampir sama dengan penggunaan Qiyas, diperlukan empat rukun,
yaitu Far’u, Ashl, Hukum Ashl dan persamaan Illat. Jika kasus pendonoran organ tubuh dilihat
dari segi penalaran ta’liliyah, maka langkah yang ditempuh adalah menemukan ‘illat pendonoran
dan transplantasi organ. Untuk menemukan ‘illat, tidak hanya dapat dilakukan memalui metode
qiyas tetapi dapat dilakukan dengan metode istihsan. Kemudian mempertimbangkan poin dalil-
dalil, parktik-paktik dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pendonoran dan transplantasi
tubuh. Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendonoran melalui wasiat oleh
pendonor atau melalui izin pihak keluarga hukumnya boleh (mubah) berdasarkan:
1. Far’u atau Maqis dalam masalah ini adalah wasiat menggunakan organ tubuh.
2. Al-Ashl, atau Maqis Alaih dalam masalah ini adalah berwasiat dengan harta, dalam ayat
al-Quran, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban kewajiban atas orang yang bertaqwa.”
3. Hukum ashalnya adalah Ibahah (boleh).
4. Illat-nya, penentuan illat hukum dalam masalah ini menggunakan proses ta’lilul hukmi
yang mempunyai emapat proses, yaitu :
a. ‫السبر‬          : Bermanfaat, Berharga dan Benda.
b. ‫التقسيم‬         : Mundhabit; Benda.
c. ‫تنقيح‬ ‫المناط‬  : Ghairu Mundhabit; Berharga dan Bermanfaat.
d. ‫ تحقيق المناط‬: Benda.

16
Jadi untuk persamaan illat antara harta dan organ tubuh adalah benda. Sehingga untuk
hukum mewasiatkan organ tubuh adalah boleh. Dr. Tanzilur Rahman, mantan Hakim Agung
Pakistan, berpendapat bahwa pencantuman donor kornea, misalnya dalam surat wasiat seseorang,
bisa dipandang sebagai sesuatu yang dibolehkan berdasarkan hukum keterpaksaan. Ia
menerangkan bahwa hukum keterpaksaan didasarkan pada prinsip al-istihsan (prefensi yuridis),
yakni bahwa kebutuhan orang yang masih hidup lebih didahulukan dari pada orang yang sudah
mati.48 Dengan demikian, pencantuman donor dalam wasiat seseorang dapat dipandang sebagai
langkah positif dalam rangka mengatasi masalah keterbatasan derma organ di seluruh dunia.
c. Analisis Penalaran Istishlahiah dalam Pendonoran Organ Tubuh
Analisis penalaran istishlahiah merupakan kegiatan pengambilan keputusan hukum yang
didasari atas pertimbangan kemaslahatan karena tidak ditemukan atau tidak ada nash yang tegas
yang dapat digunakan secara spesifik untuk menetapkan hukumnya. Dalam kegiatan ini ayat-
ayat/hadits Nabi yang mengandung kemaslahatan digabungkan satu sama lain, kemudian
dijadikan sebagai patokan umum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum. Misalnya aturan
kegiatan lalu lintas dan sebagainya.
Pada dasarnya, tujuan dibuatkannya hukum Islam oleh syāri’, adalah untuk menjaga
ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal ini maṣlaḥah merupakan unsur esensial
sebagai tujuan utama dalam membangun sebuah hukum.49 Menurut al-Ghazali, pada prinsipnya
yang dimaksud dengan maṣlaḥah adalah suatu usaha untuk mencapai manfaat dan mencegah
maḍarat. Meraih manfaat merupakan tujuan kemaṣlaḥatan manusia dalam meraih maksudnya.50
Maka yang dimaksud dengan maslahah adalah memelihara maqāṣid al-syarī’ah.
Maqāṣid al-syarīah merupakan tujuan dari dibentuknya hukum Islam yang melibatkan
maksud dari Sang legislator (qaṣd al-syāri’), di antaranya; aspek pertama, intensi primer dari
syari’ dalam melembagakan hukum. Aspek kedua, intensinya dalam melembagakan hukum agar
bisa dipahami (ifham). Aspek ketiga, intensinya dalam melembagakan hukum untuk menuntut
taklīf. Aspek keempat, intensinya dalam memasukkan mukallaf di bawah perintah hukum itu.51

48
Abdul Fadl Muhsin Ibrahim, Fikih Kesehatan Kloning, Eutanasia, Tranfusi Darah, Transplantasi Organ,
dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Hal.104.
49
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W Asmin
(Surabaya: Al Ikhlas), Hal. 227.
50
Yudian Wahyudi, Maqashid al-Syari’ah Sebagai Doktrin dan Metode, dalam Amin Abdullah, Metodologi
Islamic Studies, cet.ke-1 (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 148
51
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,…hlm.228.

17
Dalam aspek yang keempat ini, maksud dan tujuan megikutsertakan mukallaf di bawah
perintah hukum itu adalah untuk teraplikasikan tujuan-tujuan hukum Islam yang telah diperinci
dalam lima pokok al-Maqāṣid al-Khamsah yang akrab disebut dengan maqāṣid al-syarīah
(tujuan-tujuan syari’ah). Di antaranya; ḥifẓu al-dīn, ḥifẓu al-nafs, ḥifẓu al-‘aql, ḥifẓu al-nasl,
ḥifẓu al-māl. Ḥifẓu al-nafs yang merupakan satu dari kelima tujuan syarā’ dalam membentuk
suatu hukum, berkaitan dengan pembahasan ini. Penjagaan jiwa (hidup) seseorang tidak serta
merta disanggupi oleh seseorang yang memiliki jiwa tersebut. Sementara yang dimaksudkan
dengan menjaga maqāṣ id al-syarī’ah adalah memelihara al-mabādi’ al-khamsah atau yang juga
dikenal dengan istilah al-kulliyat al-khamsah, atau ad-ḍarūriyat al-khamsah; yaitu menjaga
agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.52
Ibadah wasiat yang merupakan pemberian seorang manusia pada yang lain dalam bentuk
benda atau manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat (al-musha lahu) atas hibah itu setelah
kematian pewasiat. Dalam hal ini kerelawanan sesama sangat berperan dalam rangka menjaga
kehidupan masing-masing individu dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi menyangkut
keberlangsungan hidup seseorang, yang dalam hal ini upaya pemindahan (transplantasi) organ
tubuh seseorang kepada seseorang yang lebih membutuhkan.
Melihat konteks maqāṣid al-syarīah dan ibadah wasiat pada organ tubuh yang bertujuan
memberikan pertolongan terhadap manusia yang sedang membutuhkan pertolongan untuk
keberlangsungan hidupnya maka terdapat kemaṣlaḥatan bagi pihak pendonor maupun resipien.
Kemashlahatan itu dapat berupa; a). Bagi pendonor dalam hal ini menggunakan akad wakaf
dalam pentaṣarrufan transplantasi organ tubuh manusia, berimplikasi dalam hal pahala yang
diperoleh pendonor. Yaitu dengan menggunakan akad wasiat, maka secara tidak langsung pahala
yang diperoleh oleh pendonor dimulai saat diserahkan anggota tubuh yang diwasiatkan tersebut
terus dimanfaatkan. b). Bagi resipien, dapat membantu dalam keberlangsungan kehidupannya.
Karena menyangkut masalah organ tubuh yang mau tidak mau harus lengkap demi terciptanya
sistem organ tubuh yang normal. Hal ini merupakan pencapaian maqāṣid asy-syarī’ah. Yang
merupakan tujuan utama syāri’ dalam mensyari’atkan hukum-Nya ialah kemaṣlaḥatan.
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh

52
Ahmad Hafidh, “Membaca Gelombang Pemikiran Maslahah dan Implikasinya dalam Pengkajian Hukum
Islam Kontemporer”, dalam Meretas Nalar Syariah konfigurasi Pergulatan Akal dalam Pengkajian Hukum Islam,
cet.ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 178.

18
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari tempat lain
pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.53
Pembahasan transplantasi organ tubuh pada tulisan ini membatasi pada praktik dokter dalam
melakukan transplantasi baik melalui wasiat atau izin dari pihak keluarga atau tidak ada izin
sama sekali.
a. Analisis Penalaran Lughawiyah dalam Transplantasi Organ Tubuh
Sebagaimana dalam Hukum Pendonoran Organ Tubuh pada penalaran lughawiyah di atas
bahwa dalam memahami teks-teks dua sumber (al-Qur’an dan Hadis) yang berbahasa Arab, para
ulama telah menyusun semacam “semantic (tentang makna atau arti)” yang akan digunakan
dalam praktik penalaran fiqih. Para ahli telah membuat beberapa kategori lafadz atau redaksi,
diantaranya yang sangat penting adalah masalah ‘am dan khas, lafadz yang samar makna dan
yang terang makna, dan lainnya. Dari kategori lafal atau redaksi itulah terbentuk hukum-hukum,
seperti wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Oleh karena itu penalaran lughawiyah
cenderung untuk menganalisis dan memahami teks dalil-dalil dalam menetapkan suatu hukum,
dalam hal ini hukum transplantasi organ tubuh melalui wasiat atau izin dari pihak keluarga atau
tidak ada izin sama sekali.
Adapun teks dalil yang berkaitan dengan aktivitas transplantasi, juga sebagaimana teks-teks
dalil yang terdapat dalam Hukum Pendonoran Organ Tubuh pada penalaran lughawiyah, yaitu:
a)       
b)     
c)    
d)      
e)    
f) ‫فإن كسرك إياه ميتا ككسرك إياه حيا‬

Sesuai redaksi lafadz dalil-dalil di atas, sekalipun tidak tertulis secara tegas namun
menggambarkan bahwa transplantasi organ mendekati perbuatan penghinaan terhadap anak-anak
Adam, membuat kerusakan dan praktik keji yang dikuatkan dengan hadis qauliy yang
menggambarkan bahwa mematahkan atau memotong mayat sama dengan mematahkan atau
memotong manusia yang masih hidup. “Larangan” (nahyu) Allah swt dan Nabi saw tersebut

53
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, cet I,(Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, 2001), hlm. 101.

19
berbentuk umum (‘amm). Maka dapat dikesimpulkan bahwa praktik transplantasi atas dasar
wasiat atau melalui izin pihak keluarga ketika donor sudah meninggal hukumya haram karena
secara zhahir ayat menunjukkan larangan (nahyu) Allah swt kepada manusia (‘amm) melakukan
segala kerusakan, terutama pada diri manusia itu sendiri baik secara lahir maupun bathin.
b. Analisis Penalaran Ta’liliyah dalam Transplantasi Organ Tubuh
Untuk dapat dianalisis kasus transplantasi melalui penalaran ta’liliyah, terlebih dahulu
melihat kembali pada hukum pendonoran organ tubuh. Dimana pada kedua kasus tersebut
mempunyai keterkaitan, karena jika pada kasus pendonoran diharamkan maka hukum
transplantasi organ tersebut juga diharamkan sebagaimana dalam ketentuan saddu zarai’yah
dalam ushul fiqh.
Berpedoman pada hukum pendonoran baik melalui wasiat oleh pendonor atau melalui izin
pihak keluarga hukumnya boleh (mubah) berdasarkan:
1. Far’u atau Maqis dalam masalah ini adalah wasiat menggunakan organ tubuh.
2. Al-Ashl, atau Maqis Alaih dalam masalah ini adalah berwasiat dengan harta, dalam ayat
al-Quran, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban kewajiban atas orang yang bertaqwa.”
3. Hukum ashalnya adalah Ibahah (boleh).
4. Illat-nya, penentuan illat hukum dalam masalah ini menggunakan proses ta’lilul hukmi
yang mempunyai emapat proses, yaitu :
e. ‫السبر‬          : Bermanfaat, Berharga dan Benda.
f. ‫التقسيم‬         : Mundhabit; Benda.
g. ‫تنقيح‬ ‫المناط‬  : Ghairu Mundhabit; Berharga dan Bermanfaat.
h. ‫ تحقيق المناط‬: Benda.
Dikaitkan dengan kaidah saddu zarai’yah pada hukum transplantasi organ tubuh yang
mempunyai ketentuan bahwa jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti
yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat
perbuatan adalah kerusakan, maka hukumnya tidak boleh.54 Maka dalam kondisi tidak ada
pilihan lain yang lebih baik maka transplantasi organ tubuh dengan contoh pengambilan katup

54
Syarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal. 112.

20
jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan
oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih
hidup) dan izin keluarga/ahli warisnya. Dan jika tidak diwasiatkan dan tidak mendapat izin dari
pihak keluarga/ahli waris maka hukumnya haram.
c. Analisis Penalaran Istishlahiyah dalam Transplantasi Organ Tubuh
Sebagaimana pada analisis penalaran istishlahiah dalam pendonoran organ tubuh bahwa
penalaran istishlahiyah merupakan kegiatan pengambilan keputusan hukum yang didasari atas
pertimbangan kemaslahatan karena tidak ditemukan atau tidak ada nash yang tegas yang dapat
digunakan secara spesifik untuk menetapkan hukumnya dengan mempertimbangkan maqāṣid al-
syarīah (tujuan-tujuan syari’ah) yang di antaranya; ḥifẓu al-dīn, ḥifẓu al-nafs, ḥifẓu al-‘aql, ḥifẓu
al-nasl, ḥifẓu al-māl. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ tubuh, maka memelihara
al-mabādi’ al-khamsah dikategorikan sebagai mashlahah yang bersifat ḍarūrī, kullī, dan qat’ī.
Dan maṣhlaḥāh yang tidak selaras dengan tujuan syari’ah harus ditolak, karena maṣlaḥāh
ditujukan untuk mempertahankan maqāṣid al-syarī’ah.55
Dalam hal transplantasi organ tubuh manusia bahwa kegiatan ini (transplantasi organ tubuh
manusia) boleh atau dilarang dilakukan jika;
Pertama, merusak tanpa tujuan kemaṣlaḥatan adalah dilarang. Namun apabila “merusak”
dengan tujuan kemaṣlaḥatan yang lebih besar dibolehkan. Ibn Qudamah (w. 620 H/1223 M)
dalam al- Mughny mengatakan, “boleh membedah perut si mayit untuk mengeluarkan sesuatu
yang berharga kepunyaan orang lain yang ditelannya waktu hidup, demi keselamatan harta orang
yang masih hidup”.
Kedua, dalam pertimbangan manfaat, seseorang yang masih hidup lebih berhak untuk
memanfaatkan anggota tubuhnya. Karena itu wajib memelihara dan mempertahankan
kesehatannya. Bagi si mati, secara lahiriyah organ tubuhnya tidak bermanfaat lagi. Sementara
ada penderita yang masih hidup sangat membutuhkannya. Jika transplantasi tidak dilakukan,
akan membahayakan dirinya. Di sini berlaku kaidah “maṣ laḥat yang lebih besar didahulukan
daripada maṣlaḥat yang lebih kecil”. Atau ketika terjadi dua muḍarat maka wajib memilih
maḍarat yang lebih kecil”.56 ‫اب اخفهما‬4‫ررا بارتك‬4‫ا ض‬4‫دتان رعي اعظمهم‬4‫اذا تعارض المفس‬dengan kata lain,

55
Ahmad Hafidh, “Membaca Gelombang Pemikiran Maslahah dan Implikasinya dalam Pengkajian Hukum
Islam Kontemporer”, cet -1 (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 178-179.
56
Jalāl ad-Dīn Abd. Ar-Rahmān Abi Bakar as-Suyūṭi, al-Asybāh wa an-Naẓāir fi al-Furū’ (Bairut: Dār al-Fikr,
tt), hlm: 62.

21
mengambil organ tubuh si mati yang organ tubuhnya tidak lagi dimanfaatkan madharatnya lebih
kecil, dibandingkan dengan madharat orang yang masih hidup yang organ tubuhnya tidak lagi
dapat difungsikan.
Ketiga, organ tubuh bagi pemiliknya adalah hak pakai (ikhtiṣaṣ). Ia lebih berhak atas organ
tubuhnya, tetapi juga bisa memberikan atau mengizinkan kepada orang lain sepanjang tidak
merusak dirinya. Dalam hal transplantasi organ tubuh, bisa didahului dengan wasiat yang
disaksikan ahli waris atau keluarganya, atau kalau tidak, dikembalikan pada prinsip
mendahulukan kemaṣlaḥatan yang lebih besar.57
Pada tranplantasi organ tubuh manusia, mengandung paling tidak 2 kemashlahatan,58 yaitu:
1. Bagi resipien, dapat melanjutkan kehidupannya.
2. Bagi donor, merupakan sarana amal jariyah yang tidak ternilai harganya dan sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut:
59
      
Maka dari itu telah jelas dari sekian pendapat para ulama terdahulu maupun ilmuwan
muslim kontemporer bahwasanya mentransplantasikan organ tubuh manusia dibolehkan dengan
catatan tidak menimbulkan kemuḍāratan antar pihak maupun disekitar para pihak. Penyusun
menjadikan pijakan dari keputusan hukum kebolehan mentransplantasikan organ tubuh manusia
ini dari berbagai pro dan kontra berbagai ulama. Namun satu-satunya landasan awal yang
menjadi ujung dari ijtihad ini adalah kemashlaḥatan. Penyusun berpendapat bahwa pelestarian
jiwa orang yang masih hidup lebih diutamakan daripada jiwa yang telah mati secara medis.
Tanpa mengabaikan kehormatan si mayit. Dalam hal ini satu dari lima sendi maqāṣid al-syarī’ah
telah berhasil dicapai, yakni ḥifẓu al-nafs.

D. Penutup
Hukum Islam selalu memerintahkan manusia untuk saling tolong-menolong dalam berbuat
kebaikan, sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2 mengatakan
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Kemudian Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 32:
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia

57
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 146-148.
58
Ali Gufron Mukti, dkk, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan operasi Kelamin
dalam Tinjauan Medis, Hukum, dan Agama Islam (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), hlm.43.
59
QS. Al-Maidah (3):32

22
memelihara kehidupan manusia semuanya.
Syarat penting yang harus dipenuhi dalam membuat wasiat mengenai organ tubuh adalah
adanya ijin atau persetujuan dari pihak keluarga. Apabila salah satu dari para ahli waris tidak
setuju, maka wasiat tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, keluarga sebagai ahli waris
yang memiliki hubungan darah dengan pewasiat merupakan orang yang paling dekat dengan
pewasiat, nantinya akan menjadi orang yang pertama sekali mengetahui kematian pewasiat dan
mereka bertanggung jawab untuk mengurus tubuh pewasiat setelah meninggal. Selanjutnya pihak
keluarga akan menjadi pihak penghubung antara pewasiat dengan menyerahkan secara resmi
organ tubuh pewasiat kepada pihak penerima wasiat, contohnya rumah sakit atau apabila ingin
memberikan kornea mata, dapat diserahkan kepada Bank Mata.
Pemanfaatan organ tubuh manusia melalui wasiat menurut pandangan hukum Islam, ada
ulama yang mengharamkan dan ada ulama yang membolehkan. Alasan yang mengharamkan
disebabkan kehormatan jenazah, tetapi karena kemashlahatannya lebih besar daripada mudhrat
yang timbul, yaitu untuk menolong orang yang membutuhkan organ melalui transplantasi organ
dan untuk pengembangan pendidikan kedokteran maka hukum Islam membolehkan. Harus
memenuhi syarat yaitu dinyatakan secara tegas dalam wasiat, dilakukan dengan sukarela, tidak
ada unsur paksaan, dan harus ada persetujuan atau izin dari pihak keluarga.

23

Anda mungkin juga menyukai