Anda di halaman 1dari 32

ETIK LEGAL

KEPERAWATAN
PALIATIF
“TRANSPLANTASI ORGAN”
KELOMPOK 5/A18.1
Milla Dia Laila Nurul Islami (22020118120007)
Asti Munifah (22020118120041)
Listiana Nur Baeti (22020118120049)
Nola Monisa Intarwidi (22020118130058)
Novita Nur Utami (22020118130067)
Khoirotun Nisa Fatona (22020118130070)
Khofifah Noviyanti (22020118130095)
Sagita Syiami (22020118130103)
Nurul Farida (22020118140127)
Firda Fadhila (22020118140133)
Amalia Safitri (22020118140140)
Luthfi Hanifah (22020118120002)
Raden Roro Sarah N.A.P. (22020117120029)
Aulia Aliffah Istigfani (22020117120035)
Adinda Malinda Kumalawati (22020117140033)
POINT PEMBAHASAN
1. Latar Belakang 8. Transplantasi Organ dari segi
2. Pengertian Transplantasi Organ Prinsi Etika Keperawatan
3. Tujuan Transplantasi Organ 9. Transplantasi Organ dari Segi
4. Manfaat Transplantasi Organ Norma Masyarakat
5. Sejarah Transplantasi Organ 10. SOP Transplantasi Organ Hati
6. Tipe-tipe Transplantasi Organ 11. Pihak yang Berwenang
7. Transplantasi Organ dari Segi Melakukan Transplantasi Organ
Hukum 12. Case report dan pembahasan
Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi ini
memunculkan banyak manfaat salah satunya di bidang kedokteran.
Salah satu pemanfaatan teknologi dalam kedokteran tersebut adalah
transplantasi organ. Di Indonesia, penerapan transplantasi organ yang
digunakan yaitu transplantasi ginjal dengan jumlah 479 kasus pada
tahun selama tahun 1977-2006.
Salah satu manfaat dari tranplantasi organ yakni meningkatkan
kelangsungan hidup penerima donor. Transplantasi organ seperti hati
dan ginjal juga menjadi salah satu alternatif pengobatan saat terapi
konservatif tidak dapat diterapkan lagi. Meskipun memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang tinggi dan banyak menunjukkan tingkat
keberhasilan, namun pelaksanaan transplantasi dalam kedokteran
masih menjadi dilema. Hal ini berkaitan dengan efek penolakan yang
muncul, komplikasi setelah transplantasi, serta resiko yang timbul dari
pelaksanaan transplantasi (Saifullah, 2016).
Selain itu, penolakan dalam melakukan transplantasi juga
dipengaruhi oleh aspek agama atau keyakinan, budaya, etika,
ideologi, serta belum optimalnya aspek legal tentang
transplantasi. Oleh karena itu diperlukan kajian khusus
diantaranya manfaat, prosedur, tenaga medis yang berwenang,
efek samping, dan penunjang lain dari praktik transplantasi
yang dikaitkan dengan perspektif kedokteran, hukum, norma
masyarakat, dan prinsip etika keperawatan
Pengertian
Transplantasi Organ
• Transplantasi berasal dari ‘to transplant’ yang berarti berarti
‘berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain’ (Simbolon,
2013).
• PP No. 18 Tahun 1981 tentang ‘Bedah Mayat Klinis dan Bedah
Mayat Anatomis serta Transpantasi Alat atau Jaringan Organ
Tubuh manusia’, pasal 1 butir (f) disebutkan bahwa pengertian
“transplantasi adalah serangkaian tindakan kedokteran untuk
pemindahan alat atau jaringan organ tubuh manusia yang berasal
dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan organ tubuh
yang tidak berfungsi dengan baik”.
Tujuan Transplantasi
Organ
Pasal 33 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
menyebutkan transplantasi hanya boleh dilakukan secara
legal yang bertujuan untuk kemanusiaan dan dilarang
dikomersialkan
Manfaat
Transplantasi
01
Organ 02
Membantu Kemanusiaan dan mendahulukan
menyelamatkan kepentingan orang lain untuk
jiwa resipien kesempatan hidup yang lebih baik
dan lebih sehat

(Rohmah, 2018)
Sejarah
Transplantasi
01Organ
Peristiwa
‘Ufrajah

Tahun 1933 telah dilaksanakan


02 transplantasi organ tubuh manusia yaitu
ginjal oleh Yuyu Vonoroy

Tahun 1977 di RSCM Jakarta oleh Dr.


03 Iwan Santoso

(Sudirman, 2018)
Tipe-Tipe Transplantasi Organ
Transplantasi Pemindahan organ tubuh dari satu bagian tubuh
autologous ke bagian tubuh lainnya pada orang yang sama.
Transplanta Pemindahan organ tubuh dari satu orang kepada
si orang lain yang bisa dilakukan dalam keadaann
homologous hidup ataupun meninggal
Transplanta
Pemindahan organ tubuh dari spesies yang
si berbeda
heterologous
(Achadiat, 2007)
Tipe-tipe transplantasi ditinjau dari
segi pendonor jaringan atau orang
Transplantasi dari
tubuh :
Dilakukan dengan pemindahan jaringan atau
Pendonor yang Masih organ tubuh seseorang yang hidup kepada orang
Hidup lain atau ke bagian tubuhnya sendiri.

Transplantasi ini dilakukan dengan pemindahan jaringan


atau organ tubuh mayat atau jenazah kepada tubuh
Transplantasi dari
orang lain yang masih hidup. Jenazah tersebut biasanya
Pendonor yang Telah
seseorang yang baru saja meninggal akibat kecelakaan
Meninggal Dunia
atau mengidap penyakit kritis. Organ yang didonorkan
(Organ Jenazah)
biasanya adalah organ yang tidak memiliki kemampuan
untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal,
pancreas, jantung, dan hati
Pengambilan organ akan dilakukan apabila
donor dalam keadaan koma atau diduga kuat
Transplantasi dalam akan meninggal segera. Donor dalam keadaan
koma membutuhkan alat kontrol dan penunjang
Keadaan Koma
kehidupan misalnya dengan bantuan alat
pernafasan khusus saat proses pengambilan
organ tubuhnya dan setelah selesai alat-alat
penunjang kehidupan tersebut akan dicabut

(Astiwara,2018)
Transplantasi Organ Dari Segi
Hukum
 Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tindakan
transplantasi organ dibahas dalam pasal 64 ayat (1),(2), dan (3)
 Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 65
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ
 Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh
Manusia
Transplantasi Organ Dari
Segi Prinsip Etika
Keperawatan
01 02 03 04 05

Otonomi Berbuat Baik Keadilan Nonmaleficience Kejujuran


(Autonomy) (Beneficience) (Justice) (Tidak merugikan) (Veracity)
Transplantasi Organ Dari Segi
Norma Masyarakat
Transplantasi organ di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara
lain. Jumlah pasien Warga Negara Indonesia yang melakukan transplantasi,
khususnya ginjal di luar negeri diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan
di dalam negeri. Rendahnya jumlah transplantasi di dalam negeri karena sumber
donor masih dari donor hidup dan belum adanya aturan yang dapat memberikan
kepastian hukum untuk transplantasi dengan donor mayat, faktor biaya dan
faktor budaya serta kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang
pentingnya upaya transplantasi organ
(Laoly, 2016)
Standar Operasional
Prosedur Transplantasi
Organ Hati
TUJUAN Persiapan Alat

1. Kesembuhan dari suatu penyakit. 1. Mengecek riwayat kesehatan dan


2. Mengembalikan fungsi suatu organ, melakukan pemeriksaan fisik
jaringan atau sel yang telah rusak. lengkap.
3. Mengurangi penderitaan dan 2. Tes darah lengkap dan skrinning
meningkatkan kualitas hidup pasien. pasien terhadap virus seperti
hepatitis B, CMV, dan HIV.
3. Jika cocok dapat dilakukan
transplantasi organ.
Prosedur
A. TAHAP PRE-INTERAKSI

1. Mempersiapkan alat dan bahan.


2. Cuci tangan dan melepaskan cincin, jam tangan, dan gelang.
3. Memakai APD untuk melaksanakan transplantasi organ.
4. Memakai sarung tangan

B. TAHAP KERJA
1. Pasien penerima donor akan diberikan anestesi untuk mengurangi rasa sakit dan diberi
obat untuk mencegah terlalu banyak kehilangan darah. Prosedur yang akan dilalui penerima
dalam proses transplantasi hati yaitu evaluasi sebelum dan sesudah transplantasi (termasuk
prosedur dan tes yang berhubungan dengan medis dan psikososial).
2. Setelah itu, penerima dan pendonor akan dioperasi secara bersamaan oleh dua tim transplantasi
termasuk dokter ahli bedah
3. Ahli anastesi, perawat dan teknisi pada dua ruangan operasi yang terpisah. Dokter ahli bedah akan
mengambil satu bagian dari hati antara 40% - 60% tergantung usia penerima. Bagian hati yang sudah
diambil tersebut akan dibersihkan dan didinginkan pada es.
4. Hati yang sudah dicangkok kemudian ditransplantasikan kepada penerima sesegera mungkin untuk
memastikan bahwa hati tersebut akan berfungsi dengan baik setelah ditransplantasi dilakukan.
5. Proses operasi untuk pendonor dari ketika pembedahan dilakukan untuk memindahkan liver dan
penjahitan kembali memerlukan waktu sekitar 6 - 8 jam.
6. Dokter bedah yang lain akan mengeluarkan hati yang sudah rusak dari penerima, membiarkan
pembuluh darah utama dijepit dan ditaruh pada tempatnya. Ketika cangkokan hati telah tersedia,
dokter bedah akan meletakkannya ke dalam rongga perut dan memprosesnya untuk dihubungkan
dengan pembuluh darah utama.
7. Setelah itu, dokter radiologi akan melakukan ultrasound scan untuk memastikan bahwa darah
mengalir ke dalam hati yang baru. Operasi transplantasi pada penerima memerlukan waktu sebanyak
8-12 jam
8. Setelah transplantasi, penerima organ harus mendapat obat penekan system kekebalan
(imunosupresan) yang kuat untuk mencegah penolakan organ baru.
(Strazl et al, 1985)
C. TAHAP TERMINASI
1. Cuci tangan dan bersihkan diri
2. Membereskan peralatan

UNIT TERKAIT
ICU (Intensive Care Unit)

DOKUMENTASI
Dokumentasikan prosedur. Catat waktu dan tanggal transplantasi organ hati.
Syarat Pelaksanaan Transplantasi
Organ
Menurut Simbolon (2013)

Terdapat inform Memperhatikan risiko Efektifitas pendonoran


consent dari donor donor organ

Adanya peluang keberhasilan Tidak terdapat unsur


pada penerima donor komersial di dalamnya
Pasal 14 PP No. 18 tahun 1981 :
pengambilan organ dari donor yang sudah meninggal dunia maka perlu
dilakukan persetujuan keluarga terdekat. Namun, apabila dalam waktu 2x24
jam keluarga yang bersangkutan tidak ditemukan, maka pengambilan organ
dapat dilakukan tanpa seizin keluarga. Organ pada jenazah dapat digunakan
apabila telah terdapat pernyataan bahwa jenazah mati batang otak. Selain itu,
kualitas dari organ dijaga dengan mempertahankan sirkulasi dan pernapasan
setelah jenazah meninggal dengan bantuan alat penunjang kehidupan
Pihak Yang Berwenang Melakukan
Transplantasi Organ
Pasal 65 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan di bidangnya dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu

Pasal 11 ayat (1) PP 18/1981


Dokter yang melakukan transplantasi organ adalah dokter yang bekerja di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menkes

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ
Pasal 7 ayat (1)
Setiap rumah sakit harus memenuhi persyaratan dan strandar untuk dapat ditetapkan sebagai Rumah Sakit
penyelenggara Transplantasi Organ.
Pasal 7 ayat (2)
Persyaratan yang harus dipenuhi yaitu rumah sakit harus (a) Terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (b) Memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan kewenangan di bidang
Transplantasi Organ
Pasal 7 ayat (3)
Memiliki sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan penyelenggaraan Transplantasi Organ
CASE REPORT
Seorang pasien x menderita penyakit ensefalopati hepatik. Setelah beberapa penilaian,
diputuskan bahwa pasien membutuhkan transplantasi hati untuk bertahan hidup.
Setelah memenuhi kriteria kelayakan untuk transplantasi hati darurat, pasien tersebut
terdaftar pada Sistem Informasi Organ dan Jaringan di Turki dan dimasukkan ke dalam
daftar tunggu transplantasi hati darurat. Dalam 12 jam, donor hati ditemukan sebagai
tanggapan atas panggilan darurat, dan informasi tentang donor hati dikirim ke pusat
transplantasi organ rumah sakit. Pasien ini mengidap penyakit ensefalopati hepatiknya
sudah kurang lebih 1 tahun sehigga kondisinya kronis dan membutuhkan dukungan
emosional, sosial, dan spiritual. Pusat transplantasi diberi tahu tentang penyebab pasti
kematian otak donor, yang disebabkan oleh tumor SSP, yang jenisnya tidak ditentukan.
Kemungkinan metastasis juga tidak ditentukan, karena biopsi tumor tidak dapat
dilakukan. Ultrasonografi abdomen tidak menunjukkan bukti metastasis Ketika informasi
tentang donor diterima, ensefalopati hepatik pasien berkembang ke derajat 4, dan INR
(rasio normalisasi internasional) dan fungsi hati memburuk.
Pasien mengalami serangan jantung, sehingga resusitasi jantung paru dan intubasi
endotrakeal dilakukan. Sebelum kondisi pasien memburuk, pasien berpesan kepada
perawat untuk tidak melakukan transplantasi apabila kondisinya memburuk. Pada saat
itu, tim transplantasi hati dihadapkan pada dilema, transplantasi hati dari donor dengan
riwayat tumor SSP kepada pasien yang akan meninggal. Kondisi medis dan karakteristik
donor serta penyebab kematian otak donor dijelaskan secara rinci kepada kerabat
pasien, dan informed consent yang berisi semua informasi disampaikan. Gambar
pemeriksaan radiologi dari donor juga disediakan dan dinilai oleh ahli radiologi dari tim
transplantasi. Spesimen biopsi diambil dari massa otak dan cangkok hati dibawa ke
pusat transplantasi, dan dilakukan biopsi pada keduanya. Biopsi hati tidak menunjukkan
temuan patologis dan biopsi massa otak tidak menunjukkan keganasan tingkat tinggi.
Karena fungsi vital pasien memburuk dan pasien kehilangan kesadaran, keluarga pasien
menyetujui dan mendesak tim transplantasi untuk segera melakukan transplantasi
kepada pasien. Setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga tim segera melakukan
transplantasi hati.
PEMBAHASAN

Pada kasus transplantasi hati tersebut perawat dan tenaga kesehatan lain yang terlibat
mengalami dilema etik. Dimana tenaga kesehatan dihadapkan dengan dua pilihan yaitu
melakukan transplantasi hati dengan pendonor yang mengidap tumor SSP (Sistem Saraf
Pusat) dan pasien yang berpesan tidak mau dilakukan transplantasi tetapi kondisi
pasien yang semakin memburuk. Risiko yang dapat ditimbulkan dari transplantasi hati
dengan pendonor yang mengidap tumor dapat meningkatkan perkembangan tingkat
keganasan tumor tersebut sehingga bisa membahayakan nyawa pasien.
Dalam kasus ini, perawat dan tim transplantasi mengalami dilema etik pada prinsip
beneficience dan non maleficience. Dalam prinsip beneficience seorang perawat harus
memberikan manfaat serta dapat menyeimbangkan antara manfaat dan kerugian untuk
pasien atas tindakan yang diberikan. Kondisi pasien yang semakin memburuk membuat
perawat dan tim transplantasi hati memprioritaskan keselamatan nyawa pasien dan
mengabaikan hak hak pasien. Dengan memberikan transplantasi hati secepat mungkin
dapat meningkatkan kesempatan hidup dan memaksimalkan manfaat bagi pasien. Akan
tetapi, perawat dan tim transplantasi hati juga dihadapkan dilema pada prinsip non
maleficience dimana seharusnya perawat dan tim transplantasi tidak membahayakan
keselamatan nyawa pasien dengan memberikan donor hati dari pendonor yang
mengidap tumor. Hal tersebut dapat membahayakan pasien karena meningkatkan risiko
perkembangan tingkat keganasan tumor.

Berdasarkan kasus di atas, ada beberapa pelanggaran kode etik yang terjadi dalam
tindakan transplantasi hati pada pasien yakni perawat atau tim medis sudah melanggar
prinsip otonomi dari pasien dan juga telah melanggar prinsip etik fidelity.
Penyelesaian kasus
Berdasarkan kasus diatas, perlu adanya pemecahan masalah yang berupa
pendekatan yang dilakukan perawat kepada pasien.Perawat memberikan
asuhan keperawatan seperti biasa tanpa memberikan informasi tentang
transplantasi yang dialami pasien terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena
menunggu kondisi pasien stabil dan memastikan kondisi pasien untuk siap
menerima penjelasan dari perawat. Pendekatan tersebut juga bertujuan
supaya pasien tidak panik yang berlebihan atau lebih tenang menghadapi
situasinya ketika mendapatkan informasi seperti itu karena sebelumnya telah
dilakukan pendekatan-pendekatan oleh perawat. Selain itu untuk alternatif
rencana ini diperlukan juga suatu motivasi/support sistem yang kuat dari
keluarga. Mengingat karena keputusan transplantasi tersebut diambil oleh
keluarga.
Sebelumnya juga, dari pihak keluarga telah diberitahu terlebih dahulu oleh
perawat dan tim medis terkait kondisi dari pendonor, hal itu diharapkan agar
pihak keluarga dapat mengantisipasi respon-respon yang muncul dari pasien.
Dengan demikian diharapkan secara perlahan, pasien akan merasa nyaman
dan tenang dengan support yang ada. Sehingga perawat dan tim medis dapat
memberikan penjelasan terkait proses transplantasi yang telah dilakukan.
Dalam hal ini perawatan paliatif pada pasien tetap dilakukan dengan tujuan
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan
paliatif yang dapat dilakukan salah satunya yaitu memberikan dukungan
secara psikis dan spiritual, motivasi, serta dukungan pada pasien untuk tetap
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
KESIMPULAN
Penerapan transplantasi di dunia kedokteran semakin meningkat seiring berkembangnya
teknologi di era globalisasi. Berbagai manfaat dari transplantasi organ menyebabkan,
pengobatan ini menjadi pengobatan alternatif dalam menyelamatkan nyawa penerima donor.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat keberhasilan dari transplantasi di bidang kedokteran yang
cukup tinggi. Dari berbagai pasal di undang-undang didapat bahwa transplantasi organ hanya
dilakukan dalam keadaan urgent demi menyelamatkan nyawa orang atau menyembuhkan
penyakit. Tindakan ini juga harus dilakukan ahli tenaga kesehatan dalam bidang transplantasi
organ sesuai dengan persyaratan dan perizinan yang sudah diatur dalam peraturan tertulis
dan resmi dari negara maupun medis. Tenaga medis sendiri khususnya perawat yang
mendampingi pengobatan tersebut juga tidak boleh melupakan etika dalam keperawatan
sendiri yaitu meliputi prinsip otonomi,berbuat baik(Beneficience),keadilan(justice),tidak
merugikan dan pastinya harus jujur. Transplantasi harus dilakukan di rumah sakit yang sudah
memiliki izin dan memenuhi syarat seperti dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38
Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ Pasal 7 ayat 1 dan 2.

References
Achadiat, C., M. (2007). Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman.
Jakarta: EGC.
• Astiwara, E., M. (2018). Fikih Kedokteran Kontemporer. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
• Aiken. (2003). Dasar-dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika.
• Curtin, Deirdre M dan Ige F. Dekker. (2002). Governance As A Legal Concep Within the
European Union: Puposes and Principles. Netherland: Europa Institute, Utrecht University.
Hal. 93.
• Dewi, A. (2008). Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book.
• DPP PPNI. (2016). Standar Praktik Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
• Ebrahim., E., F., M. (2007). Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan
Eksperiment Pada Hewan. Aceh: Penerbit Serambi.
• Hanifah., Yusuf, M., Amri, A. (2008). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta.
• Laoly, Y. (2016). Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1-3.
• Kemenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ.
• Pemerintah RI. (1981). Pemerintah No 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.
• Pemerintah RI. (2009). Undang- Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
• Priharjo, R., 1995. Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta: Kanisius, Hal.45.
• Rachmawati, F. (2019). Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan Nilai
Kemanusiaan. Jurnal Hukum Media Bhakti, 3 (1), 79-87.
• Rohmah, L. (2018). Kontekstualisasi Hadis Tentang Transplantasi. Hikmah Journal of
Islamic Studies, 14(2), 105-131.
• Saifullah. (2016). Transplantasi Organ Tubuh. Al-Mursalah, 2.
• Simbolon, M. (2013). Transplantasi Organ Tubuh Terpidana Mati. Lex et Societatis, 1(1),
138-147.
• Starzl et al. (1985). Abdominal Operations 8th ed. (Maingot) East Norwalk, CT: Appleton-
century-Crofts.
• Sudarto. (2020). Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah. Pasuruan: Penerbit Qiara Media.
• Sudirman. (2018). Fiqh Kontemporer: (Contemporary Studies of Fiqh). Yogyakarta:
Deepublish.
Thanks!
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was


created by Slidesgo, including icons by Flaticon
and infographics & images by Freepik
Please keep this slide for attribution

Anda mungkin juga menyukai