Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TRANSPLANTASI ORGAN

Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘to transplant’ yang berarti
‘to move from one place to another’ artinya: ‘berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain.’ Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992, Tentang
Kesehatan, Pasal 1 ayat 5 dirumuskan pengertian sebagai berikut: “Transplantasi
adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan
organ tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam
rangka pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan organ tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik.

Dalam kaitan ini, Samil, mendefinisikan transplantasi sebagai pemindahan


suatu jaringan atau organ tertentu dari suatu tempat ke tempat lain dengan kondisi
tertentu.” Sementara Notoatmodjo, transplantasi adalah “tindakan medis untuk
memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia kepada tubuh manusia yang
lain atau tubuhnya sendiri.” Dalam dunia kedokteran pencangkokan atau
transplantasi diartikan sebagai pemindahan jaringan atau organ dari tempat yang
satu ke tempat lainnya. Hal ini bisa terjadi dalam satu individu atau dua individu.
Sedangkan Zuhdi, pengertian transplantasi adalah “pemindahan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik.”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa transplantasi


organ tubuh ialah pemindahan (pencangkokan) alat dan atau jaringan tubuh
manusia (hewan) yang masih berfungsi untuk menggantikan organ tubuh resipien
(penerima) yang sudah tidak berfungsi, dalam rangka pengobatan atau upaya
penyelamatan pihak resipien.. Transplantasi merupakan upaya terbaik untuk
menolong pasien yang mengalami kerusakan organ tubuh dan menggantikan
dengan organ tubuh dirinya sendiri atau organ tubuh orang lain.
Pola transplantasi secara sederhana dapat digambarkan sebagai proses
pemgambilan suatu obyek dari tubuh seseorang (pendonor) lalu ditanamkan
(implantasikan) pada tubuh orang yang sakit. Tindakan transplantasi ini di satu
sisi memang sangat menguntungkan bagi penerima donor (recipient) karena dia
mendapatkan organ baru dan organ yang lama (rusak/tidak berfungsi) diganti
(pada transplantasi organ). Hanya bagi pendonor secara fisik ia akan mengalami
gangguan sebagai akibat berkurangnya satu organ yang disumbangkannya. Jika
pada awalnya, pendonor memiliki dua organ yang sehat untuk menjalani
kehidupannya. Sangat berbeda dengan tubuh penerima donor yang semula hanya
memiliki satu organ (karena organ lainnya rusak) setelah mendapatkan
transplantasi ia memiliki organ yang lengkap. Berangkat dari kondisi inilah
pemahaman secara mendasar tentang hak pasien (pendonor) sangat penting,
terutama di dalam hal ha katas tubuhnya. Praktek transplantasi organ sudah
banyak dilakukan di rumah sakit Indonesia, hanya saja belum terdapat konsep
yang jelas tentang sampai sejauh mana seseorang dapat mendonorkan organnya
atau dengan kata lain memberikan tubuhnya bagi orang lain.

Praktek transplantasi organ dapat dilakukan terhadap orang yang masih


hidup ataupun mayat. Sejarah pengaturan transplantasi organ dimulai dengan
dikeluarkannya keputusan menteri kesehatan No.1513/Birpu tanggal 18 maret
1963 tentang pengabilan selaput bening mata dari tubuh atau mayat. Selanjutnya
pasal 1 butir e PP No. 18 Tahun 1981 yang mendefinisikan “transplantasi organ”
sebagai rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan
tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik.

Pengaturan transplantasi organ pada mayat dilakukan dengan terlebih


dahulu memastikan fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung telah berhenti
sesuai dengan Lampiran Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Kedokteran
Indonesia No. 1336/PB/A 4/1988 (pasal 1 huruf g dan Penjelasaan Pasal 12 PP
No. 18 tahun 1981 jo. Pasal 123 UU Kesehatan) sedangkan pada amanusia yang
masih hidup dilakukan dengan syarat demi tujuan kemanusiaan (Pasal 1 huruf e
PP No. 18 Tahun 1981 jo. Pasal 64 ayat (2) UU Kesehatan).

2.2. Macam-macam Transplantasi


Menurut Law Encyclopedia, ada beberapa tipe transplantasi, yaitu:

a) Autograft, yaitu: Pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat
ke tempat lain dalam tubuh pasien sendiri. Biasanya dilakukan kalau ada
jaringan yang tidak dapat regenerasi atau ada jaringan yang perlu diganti
karena suatu keadaan. Misalnya, operasi bibir sumbing;

b) Allograft, yaitu: Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh


yang lain yang sama spesiesnya, yakni antara manusia dengan manusia.
Transplantasi ‘allograft’ yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya
tinggi antara lain: transplantasi ginjal, dan kornea mata;

c) Xenograft, yaitu: pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke


tubuh lain yang tidak sama spesiesnya, misalnya antara spesies manusia
dengan binatang.

d) Isograft, merupakan transplantasi yang donornya dari saudara kembar


resipien, sangat menguntungkan karena biasanya respons terhadap
kekebalan tubuhnya bagus, keberhasilan transplantasi sangat tinggi.

e) Transplantasi Split, transplantasi organ tubuh (seringnya adalah hati)


dari satu donor dibagi menjadi dua resipien biasanya untuk orang dewasa
dan anak. Tipe ini tidak lazim dilakukan, meskipun memungkinkan sebab
kondisi kedua resipien akan sangat berbeda (lebih buruk) daripada kalau si
resipien menerima organ tubuh secara seutuhnya;

g) Transplantasi domino, biasanya dilakukan pada pasien dengan cystic


fibrosis dengan cara memindahkan jaringan paru yang sehat ke jaringan
paru yang terkena cystic fibrosis pada orang yang bersangkutan.
Transplantasi jenis ini juga dapat dilaksanakan pada transplantasi jantung,
jantung ini dapat ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan.
Atau dapat juga pada penderita dengan familial amyloidotic
polyneuropathy, pada pasien ini, terjadi kelainan organ hati akibat
produksi suatu protein yang dapat merusak organ-organ tubuh yang lain.

Dari berbagai macam organ tubuh maupun jaringan yang


ditransplantasikan, jaringan tersering yang dilakukan transplantasi adalah
kornea mata dan organ tubuh yang sering ditransplantasikan adalah ginjal.
Transplantasi kornea mata di Indonesia berasal dari donor jenazah yang
sudah masuk ke dalam anggota bank mata. Bagi keluarga donor kornea
mata, seluruhnya menyetujui niat baik keluarganya yang memutuskan
untuk mendonorkan kornea matanya apabila sudah meninggal dunia.
Keluarga donor maupun donor semasa hidupnya tidak pernah minta
kompensasi apapun apabila keluarga mereka menjadi donor kornea. Hal
ini berbeda apabila keluarga yang meninggal akan mendonorkan organ
ginjalnya, pada kenyataannya, pihak keluarga tidak tega apabila anggota
keluarganya diambil organ tubuhnya (khususnya ginjal) pada waktu
meninggal meskipun calon donor tersebut sudah menyampaikan niatnya
pada waktu masih hidup. Perdagangan organ tubuh manusia berawal dari
iklan, penderita atau keluarganya, biasanya iklan surat kabar atau di
internet. Isinya berupa pencarian donor ginjal dengan golongan darah
tertentu, usia calon donor dan nomor kontak penderita atau keluarga yang
dapat dihubungi apabila ada yang berminat. Selain dari penderita gagal
ginjal maupun keluarganya, iklan tersebut dapat juga berasal dari calon
donor. Di internet dengan mudah ditemukan orang-orang yang dengan
mudah menawarkan ginjal kepada mereka yang membutuhkan dengan
bayaran tertentu, jadi tidak dapat disebut sebagai donor sukarela. Si
penjual dengan jelas mengungkapkan identitasnya itu mengharapkan
imbalan ratusan juta rupiah dengan disertai alasan terhimpit tekanan
ekonomi. Fenomena lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah tidak
sedikit pasien gagal ginjal di Indonesia yang akhirnya lari mencari ginjal
transplantasian sampai ke luar negeri.
Sedangkan Chrisdiono, dilihat dari hubungan genetic antara donor dan
resipien, ada tiga transplantasi, yaitu:

a) Auto Transplantasi yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu


individu. Misalnya, seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan
bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam
badannya sendiri;

b) Homo Transplantasi yakni transplantasi itu donor dan resipiennya


individu yang sama jenisnya (jenis di sini bukan jenis kelamin tetapi jenis
manusia dengan manusia). Contoh transplantasi homologous dari donor
yang sudah meninggal adalah kornea mata;

c) Hetero Transplantasi ialah donor dan resipiennya dua individu yang


berlainan jenisnya, misalnya, transplantasi yang donornya adalah hewan.
Sedangkan resipiennya adalah manusia.

Sementara Fathurrahman, dilihat dari jenis transplantasi itu sendiri


dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan menambal


bibir sumbing dan

2) transplantasi organ, seperti jantung, hati, dan ginjal. Transplantasi ini


dilakukan untuk melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak
dilakukan transplantasi maka akan membahayakan kelangsungan hidup
penderita.

2.3. Transplantasi menurut hukum Islam

Pada dasarnya, ada beberapa persoalan yang terjadi dalam transplantasi,


sehingga memerlukan dasar hukumnya, di antaranya: 1. Transplantasi organ
tubuh dalam keadaan hidup Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang
yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya haram dengan alasan
sebagaimana firman Allah Surat alBaqarah 195, berbunyi: "Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik." Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita jangan
gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan
akibatnya, yang memungkinkan bisa berakibat fatal bagi diri donor. Meskipun
perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya
seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya, atau sebuah matanya kepada orang
lain yang memerlukannya, karena hubungan keluarga atau karena teman, dan lain-
lain.

Dalam hal ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya
kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal, ia mungkin akan
menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau
ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang di
nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.

Menurut Zuhdi, ada beberapa dalil yang dinilai sebagai dasar


pengharaman transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup.11
Misalnya, Q.S. alBaqarah: 195 dan hadits Rasulullah Saw:

‫ال ضرر وال ضرار‬

Tidak diperbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh
membayakan diri orang lain. (HR. Ibnū Majah). Para ulama Uṣul, menafsirkan
kaidah tersebut dengan pengertian “tidak boleh menghilangkan ḍarar dengan
menimbulkan ḍarar yang sama atau yang lebih besar daripadanya. Karena itu,
tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki.
Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan
menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia
mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu
dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu
organ. Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang
yang mempunyai hak menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap
penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang
(mengutangkan sesuatu kepadanya).

Sedangkan dilihat dari kaidah hukumnya terhadap pendonor yang masih


hidup, yaitu: ‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”


‫الضرر ال يزال بالضرر‬

Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.” Kaidah di atas


menegaskan bahwa dalam Islam tidak dibenarkan penanggulangan suatu bahaya
dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan orang yang mendonorkan
organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka membantu dan
menyelamatkan orang lain adalah dinilai upaya menghilangkan bahaya dengan
konsekuensi timbulnya bahaya yang lain. Seseorang harus lebih mengutamakan
menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara
mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah. Transplantasi seseorang harus lebih mengutamakan
memelihara dirinya dari kebinasaan dari pada menolong orang lain dengan cara
mengorbankan diri sendiri, akhirnya ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dan
kewajibannya terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.

Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu ia masih hidup


sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko, suatu waktu akan mengalami
ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara
berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaat bagi seorang manusia. Maka
bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali.
Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat
penyakit baru bagi si donor. Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila
yang bersumber dari manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati,
disepakati oleh kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila di
cangkokan kepada pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat
dibutuhkan. Simposium Nasional II tentang “transplantasi organ”, telah
ditandatangani sebuah persetujuan antara NU, PP Muhammadiyah dan MUI
tentang kebolehan transplantasi organ dalam keadaan darurat dengan tujuan
menyelamatkan nyawa orang lain. Ulama lain seperti Quraisy Shihab, juga
membolehkan. Menurut beliau maṣlaḥat orang yang hidup lebih didahulukan.
Selain itu, K H. ‘Alī Yafie, juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang
dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu
min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan
pemeliharaannya daripada yang mati.

Dalam kaitan ini, ulama yang tidak membolehkan transplantasi donor yang
hidup, yaitu: transplantasi donor hidup, kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa
hukumnya haram. Dengan alasan bahwa Allah melarang kita untuk
menjerumuskan diri kita dalam kebinasaan. Muḥammad Syafi’ī berpendapat
bahwa transplantasi organ manusia tidak diperbolehkan berdasarkan tiga prinsip:
(1) Kesucian hidup atau tubuh manusia; (2) Tubuh manusia adalah amanah Pada
dasarnya organ-organ tubuh manusia bukan miliknya, melainkan amanah yang
dititipkan kepadanya, sehingga manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan
satu bagian pun dari tubuhnya. Praktek tersebut dapat disamakan dengan
memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material.

1. Transplantasi donor dalam keadaan koma Melakukan transplantasi


organ tubuh donor dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun
menurut dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat
mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Tuhan. Hal tersebut dapat
dikatakan euthanasia atau mempercepat kematian. Tidak etis melakukan
transplantasi dalam sekarat. Orang yang sehat, seharusnya berusaha untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma itu, meskipun menurut dokter, bahwa
orang yang koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada
juga orang yang sembuh kembali walaupun itu hanya sebagian kecil, padahal
menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup. Oleh sebab
itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma tidak boleh menurut
Islam.

2. Transplantasi donor yang telah meninggal Jumhur ulama Fiqh yang


terdiri dari sebagian ulama Maḍhab Ḥanafī, Malikī, Syafi’ī dan Ḥanbali,
berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan
dibolehkan dalam keadaan darurat. Transplantasi dapat dilakukan dengan syarat si
pendonor telah mewariskan sebelum ia meninggal atau dari ahli warisnya (jika
sudah wafat). Menurut jumhur ulama kebolehan transplantasi donor yang telah
meninggal alasannya bahwa transplantasi merupakan salah satu jenis pengobatan,
sedangkan pengobatan merupakan hal yang disuruh dan disyariatkan dalam Islam
terdapat dua hal yang muḍarat dalam masalah ini yaitu antar memotong bagian
tubuh yang suci dan dijaga dan antara menyelamatkan kehidupan yang

membutuhkan kepada organ tubuh mayat tersebut. Namun kemudharatan


yang terbesar adalah kemudharatan untuk menyelamatkan kehidupan manusia.

3. Memberikan donor kepada orang nonmuslim Mendonorkan organ tubuh


itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim
dan non muslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang
memerangi kaum muslim. Misalnya, orang kafir yang memerangi kaum muslim
lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam. Demikian pula tidak
diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari
Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad
berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum
bunuh. Kebolehan bagi seorang muslim untuk menerima organ tubuh non muslim
didasarkan pada dua syarat berikut: (1) organ yang dibutuhkan tidak bisa
diperoleh dari tubuh seorang muslim dan (2) nyawa muslim itu bisa melayang
jika transplantasi tidak segera dilakukan.23 Sedangkan Qardawī, menjelaskan
bahwa mendonor darah kepada orang non muslim yang tidak memusuhi Islam
termasuk sedekah, seperti halnya tidak boleh di berikan kepada orang Murtad,
maka menurut beliau pendonoran kepada non muslim itu di perbolehkan dengan
ketentuan tersebut, tetapi jika terjadi dua orang yang sama-sama membutuhkan
pendonoran yang satu muslim dan yang lain non muslim, maka orang muslim
haruslah yang di utamakan. Jika resipien adalah orang Muslim maka masih tetap
diperbolehkan karena organ tubuh tidaklah bisa di kategorikan muslim atau non
muslim, bahkan menurutnya semua organ tubuh manusia dan makhluk hidup
seluruhnya itu bertasbih dan tunduk kepada Allah Swt tanpa terkecuali organ-
organ tubuh orang kafir.

2.4. HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN

Berikut merupakan peraturanperaturan yang mengatur tentang


larangan jual-beli dan prosedur transplantasi organ yang diurutkan
berdasarkan tahun pembuatan peraturan yang berlaku :

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Sesuai dengan adanya hak asasi manusia dalam Pasal 28A UUD 1945
bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.

Terkait dengan tindak pidana perdagangan transplantasi organ


dan/ atau jaringan tubuh dalam hal ini dijelaskan bahwa hak setiap orang
untuk mempertahankan kehidupan dan mendapat kesehatan dijunjung
tinggi. Maka diperlukan adanya peraturan yang mengatur tentang
kesehatan setiap orang dalam masyarakat.

Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisikan tentang norma-norma,


dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua
komponen (baik pemerintah, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan
setiap warga negara yang berada di Indonesia maupun warga negara
Indonesia yang berada didalam atau luar wilayah Indonesia). Undang-
undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu
hukum dasar yang tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti
undang undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan
setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya
kesemuanya peraturan perundangundangan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan
muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara. Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka
tata urutan perundangan atau hierarki peraturan perundangan di Indonesia
menempati kedudukan yang tertinggi. UUD 1945 juga mempunyai fungsi
sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD 1945 mengontrol apakah
norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum
yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum tersebut
bertentangan atau tidak dengan ketentuan UUD 1945. Selain itu UUD
1945 juga memiliki fungsi sebagai pedoman atau acuan dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah


Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau
Jaringan Tubuh Manusia. Dalam peraturan pemerintah nomor 18 tahun
1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta
transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia mengatur tentang tindak
pidana dan tata cara transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh manusia
hanya sebagai aturan yang melibatkan donor mati atau donor jenasah.
Pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal-pasal 10-20. Isi dalam pasal-
pasal tersebut adalah sebagi berikut : Pasal 10 menjelaskan tentang tata
cara yang utama dalam melakukan transplantasi yaitu mendapat
persetujuan (informed consent)dari pasien atau dari keluarga. Dalam pasal
11 menjelaskan tentang tenaga kesehatan yang ditunjuk dalam undang-
undang dalam melakukan transplantasi. Pasal 12 menjelaskan status
kematian dalam pelaksanaan transplantasi ditentukan oleh 2 (dua) orang
dokter yang tidak memiliki hubungan medik yang melakukan
transplantasi. Dalam pasal 13 menjelaskan tata cara pengajuan informed
consent harus ditandatangani oleh 2 (dua) orang saksi dan ditulis di atas
kertas yang bermaterai. Dalam Pasal 14 menjelaskan tentang pengambilan
organ atau jaringan terhadap donor dari korban meninnggal harus
memiliki persetujuan dari keluarga donor. Pasal 15 menjelaskan
tentang kewajiban dokter dalam memberikan penjelasan dan informasi
terhadap tindakan transplantasi yang akan dilakukan. Pasal 16
menjelaskan larangan pendonor atau keluarga donor terhadap
kompensasi material dari tindakan donor transplantasi. Dalam Pasal 17
menjelaskan larangan tentang jualbeli jaringan tubuh. Pasal 18
menjelaskan tentang larangan pengiriman dan penerimaan alat atau
jaringan tubuh dari luar negeri. Dalam pasal 19 pengecualian dalam
tindakan ilmiah dan dalam Pasal 20 menjelaskan tentang sanksi.

Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut ketentuan dalam


undang- undang yang lebih tegas mengaturnya. 3. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak terdapat beberapa pasal yang terkait
dengan tindak pidana perdagangan transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh manusia. Namun dalam undang-undang ini subjek yang dilindungi
adalah anak. Pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana tersebut
adalah Pasal 47,84 dan Pasal 85. Sebagaimana dikutip berikut ini: Dalam
Pasal 47 menjelaskan bahwa kewajiban negara, pemerintah,
keluarga, maupun orang tua dalam melindungi anak dari perbuatan
pengambilan organ tubuh dan/ atau jaringan tubuh tanpa
memperdulikan kesehatan. Dalam Pasal 84 mengatur tentang larangan
melawan hukum terhadap transplantasi organ anak untuk keuntungan
sendiri. Pada Pasal 85 menjelaskan tentang larangan jual beli organ tubuh
anak.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak
Pidana

Perdagangan Orang.

Dalam undang-undang tindak pidana orang terkait dengan masalah


tindak pidana perdangan transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh
manusia terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang larangan
perdagangan atau pemanfaatan organ dan/ atau jaringan tubuh yang
dikomersilkan dan dengan paksaan yang termasuk kedalam tindakan
eksploitasi. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 1 angka 7 dan
Pasal 27. Berikut berupakan kutipan serta analisa pasal-pasal tersebut :

Dalam Pasal 1 angka 7 menjelaskan pengertian tentang


jenis-jenis tindakan yang tergolong kedalam eksploitasi terhadap tindak
pidana perdagangan orang. Pasal 2 menjelaskan tentang tindakan
perekrutan korban eksploitasi yang dapat dihubungkan dengan calon
korban transplantasi organ. Dalam Pasal 3 dan 4 menjelaskan tentang
larangan mebawa keluar masuk wilayah Indonesia terhadap WNI yang
tujuannya berupa tindakan eksploitasi. Pasal 5 menjelaskan larangan
tentang pengangkatan anak yang tujuannya berupa eksploitasi dan
Pasal 6 mengatur tentang membawa anak keluar masuk wilayah Indonesia
dengan tujuan eksploitasi. Pasal 7 menjelaskan tentang ancaman pidana
terhadap pasal-pasal tersebut.

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Di Indonesia larangan terhadap tindak pidana perdangan


transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh manusia yang terakhir dan
lebih khusus diatur dalam undang-undang kesehatan tahun 2009.
Pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana tersebut diantaranya
adalah Pasal 64 ayat (1),(2), dan (3), 65 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 66, 67
ayat (1) dan (2), dan Pasal 192. Isi dan analisis pasal- pasal tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut : Dalam Pasal 64 menjelaskan tentang
transplantasi, implant obat dan atau alat kesehatan, bedah plastik,
rekuntruksi, penggunaan sel punca hanya untuk pemulihan kesehatan
serta larangan jual beli organ atau jaringan tanpa dalih apapun. Dalam
Pasal 65 menjelaskan tentang syarat kompetensi tenaga kesehatan dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan transplantasi organ
serta perlunya informed consent dalam pelaksanaan transplantasi organ.
Pasal 66 menjelaskan bahwa transplantasi hanya dilakukan apabila
terbukti keamanan dan kemanfaatannya. Dalam Pasal 67 menjelaskan
tentang kompetensi terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan tertentu
dalam melakukan transplantasi terhadap perundang undangan. Pada
Pasal 192 menjelaskan tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana
perdanganan organ tubuh manusia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang bedah


mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat kerja serta
jaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi
sebagai berikut:

1) Pasal 1

a) Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh


yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal
(fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.

b) Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan


faal (fungsi) yang sama dan tertentu.

c) Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk


pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh
orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau
jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.

d) Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan


tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.
e) Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasa, dan atau
denyut jantung seseorang telah berhenti.

Ayat yang di atas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,


karena itu IDI dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang
masalah mati yang dituangkan dalam SK PB IDI No. 336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No.
231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seseorang
dikatakan mati, bila fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti
secara pasti (irreversibel), atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Selanjutnya dalam PP di atas terdapat pasal-pasal berikut:

2) Pasal 10. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia


dilakukan dengan memperhatikan ketentuanketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu harus dengan
persetujuan tertulis penderita dan/ atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia.

3) Pasal 11

a. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh


dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.

b. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh


dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang
bersangkutan.

4) Pasal 12. Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati


ditentukan oleh dua orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik
dengan dokter yang melakukan transplantasi.

5) Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam


pasal 2 huruf a, pasal 14 dan pasal 15 dibuat di atas kertas bermaterai
dengan 2 orang saksi.
2.5. NILAI ETIKA TRANSPLANTASI ORGAN

Dalam Etika Kedokteran dan Sipil

Etika Kedokteran Di Indonesia, lembaga yang mengatur dan


mengawasi tentang pelaksanaan kode etik kedokteran adalah Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang saat ini diketuai oleh dr.
Broto Wasisto, MPH. Selaku ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran,
Broto Wasisto mengemukakan bahwa transplantasi telah dikenal sejak 20
tahun lalu dan sudah sering dilakukan pada kornea mata dengan pendonor
dari cadaver

(mayat), yaitu orang yang meninggalkan wasiat agar organnya


disumbangkan kepada orang lain. Dokter-dokter Indonesia sudah banyak
yang mampu melakukan operasi tersebut, tetapi yang menjadi masalah
adalah minimnya pendonor.2 Sedangkan pendonor dari cadaver , kans
probabilitasnya sangat kecil karena sikap budaya dan agama masyarakat.
Terkait dengan donor organ, Broto Wasisto menyebutkan bahwa peraturan
ehabili etik kedokteran dari seluruh dunia ehabili ehabi sama, yaitu
donasi organ tubuh seseorang kepada orang lain harus dilakukan sukarela
dan atas dasar kemanusiaan serta dengan keinginan-keinginan yang baik.
Prinsip pertama, jual beli organ dilarang karena hakikat pelayanan
kesehatan itu adalah kemanusiaan. Akan tetapi, menurut saya, untuk
beberapa hal, tetap membutuh biaya, tidak sekedar gratis demi nilai
kemanusiaan. Untuk perawatan, misalnya, tetap membutuhkan biaya demi
tercapainya kesehatan yang lebih baik. Donor organ memang harus
dikerjakan secara sukarela. Jika hal itu dilanggar, dengan melakukan jual
beli organ, itu sudah melanggar kode etik kedokteran dan ini merupakan
prinsip yang utama. Prinsip yang kedua adalah anggota tubuh seseorang
adalah diciptakan Tuhan. Orang harus menyadari dan percaya bahwa
organ tubuh adalah anugerah Tuhan secara Cuma-Cuma bukannya untuk
diperjualbelikan. Jika itu diperjualbelikan, prinsip perlindungan kepada
manusia itu dilanggar sehingga suatu hari ia eha saja menjual jarinya,
telinga, dan anggota tubuh yang lain. Akhirnya, hakikat manusia dan
kemanusiaan menjadi hilang. Itu yang dijaga UU dan ketentuan-ketentuan
dalam ilmu kedokteran.3 Sekali lagi secara kode etik kedokteran tidak
diperbolehkan perdagangan organ. Akan tetapi, pada kenyataannya tetap
terjadi banyak orang Indonesia yang mampu (kaya) dan membutuhkan
transplantasi organ pergi ke ehabi-negara tertentu untuk ‘membeli’ organ
tertentu dan melakukan transplantasi organ ke tubuhnya. Sikap dan
kebijakan dokter tertentu, ehabi-faktor budaya dan lain-lain merupakan
ehabi penyebab masalah seperti ini. Perjanjian Internasional yang
diprakarsai oleh WHO, ada larangan itu, tetapi perjanjian ini memang
hanya berupa seruan kepada semua ehabi untuk menghentikan
perdagangan organ ini. Setiap orang yang akan melakukan donor organ
tubuh haruslah melalui prosedur. Donor biasanya diambil dari saudara
dekat atau orang tua. Akan tetapi, tentu saja, dalam setiap proses
pemilihan organ untuk donor pasti dipilihkan organ yang benar-benar baik
dengan melalui tahap-tahap pengujian, bukan semata-mata berdasarkan
garis darah. Misalnya pencocokan organ, kesiapan dari pendonor dan
recipient (penerima), harus benar-benar diperiksa dan diuji seteliti
mungkin. Setelah ada kesepakatan antara keduanya, baru dokter dan
timnya melakukan operasi itu. Selain itu, menurut UU etiknya seharusnya
seorang resipient harus tahu siapa pendonornya dan kualitas donornya.
Seorang dokter yang tahu masalah teknis seperti ini, sehingga seorang
resipient yang tersangkut di sini juga harus tahu informasi ini Dalam kasus
khusus, bagi pendonor yang berasal dari terpidana mati juga harus
diperhatikan waktu kematiannya. Dalam dunia kedokteran ada yang
disebut mati batang otak, yaitu mati pada otaknya saja, tapi jantung masih
ada denyutnya. Jadi, pada saat eksekusi dilakukan, tentu saja petugas
diminta menembak bagian kepala bukan jantung. Jika jantung seketika itu
berhenti, organ ginjalnya tidak dapat digunakan. Kalaupun dipaksakan
untuk dicangkok, akan reject (menolak). Karena pada saat akan dilakukan
pengambilan organ dari tubuh pendonor, masih ada aliran darah dari
jantung. Oleh karena itu, organ dari pendonor hidup itu jauh lebih baik.

Undang – Undang Sipil

Segala sesuatu yang terkait dengan bidang kesehatan, di ehabi kita


diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992
tentang “Kesehatan ”, bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan
kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar
artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia
Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional
yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan memperhatikan
peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi
peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam rangka peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan ( promotif ), pencegahan
penyakit ( preventif ), penyembuhan penyakit ( kuratif ), dan pemulihan
kesehatan ( ehabilitative ) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan. Segala upaya kesehatan didasarkan pada nilai-
nilai kemanusiaan. Begitu juga dengan donor organ dilakukan hanya untuk
tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
BAB III
CONTOH KASUS ISUE ETIK TRANSPLANTASI ORGAN
DAFTAR PUSTAKA

Sifullah, Transplantasi Organ Tubuh. Aceh selatan : 2016

Bintoro, Memahami Nilai etika dan moral donasi organ, Jakarta: 2016

Lintang, Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia


Untuk Kelangsungan Hidup, Jakarta: 2013

Situmorang, Analisis Yuridis Perundang-Undangan Terkait Tindak


Pidana Jual Beli Organ Tubuh Untuk Kepentingan Transplantasi Organ
Ginjal. Sulawesi selatan: 2016

Christianto, Konsep hak seseorang atas tubuh dalam transplantasi organ


berdasarkan nilai kemanusiaan. Surabaya: 2011

Suhariningsih, Perjanjianantara Pendonor Dan Pasien Yang Membutuhkan


“Ginjal” Untuk Transplantasi (Analisis Pasal 64undang-Undang Republik
Indonesia No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Malang

Rachmawati, Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan


Nilai Kemanusiaan. Kediri: 2019

Anda mungkin juga menyukai