Anda di halaman 1dari 26

KEMUBAHAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM

TINJAUAN QAWAID FIQHIYYAH


Tugas Mata Kuliah: Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu: Dr. Isyraqun Najah, M. Ag

Oleh: Febrian Zainiyatul Firdaus


NIM: 15750021

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015-2016

A. Latar Belakang

Islam dengan segala tuntunannya hadir membawa


simbol rahmatan lil alamin.

Kemaslahatan dan kebaikan

manusia pun jadi pertimbangan penting dalam berbagai


kajiannya.

Dalam

bidang

kesehatan,

perkembangan

teknologi menemukan sebuah kemaslahatan baru bagi


manusia dalam melawan penyakit yaitu transplantasi.
Namun tentunya, sebagai sebuah terobosan mutakhir, juga
merupakan senjata ampuh dalam upaya penyembuhan
suatu penyakit transplantasi tidak dapat diterima begitu
saja oleh masyarakat luas. Hal ini akan bersinggungan
dengan etika, moral, agama, hukum, budaya, atau sosial
yang juga akan mempengaruhinya menimbang dampak
serta resiko yang ditimbulkan pula.
Mengingat transplantasi merupakan sebuah masalah
yang cukup kompleks dan merupakan masail ijtihadiyyah
karena memang tidak kita temukan secara eksplisit hukum
dan bahasannya dalam al quran maupun sunnah begitu
pula kajian dan analisis dari para fuqaha terdahulu. Maka
amatlah bijak jika kita menganalisis dengan pendekatan
multidisipliner, baik itu kedokteran, hukum, etika, dan
agama

agar

dapat

diperoleh

istinbath

hukum

yang

proporsional dan mendasar.


Menarik untuk mengkaji bagaimana formulasi hukum
transplantasi ini dari bidang medis, juga syarat dan
ketentuannya

baik

bagi

pendonor

maupun

resipien

sehingga menjadi pengetahuan dan rujukan baru dalam


upaya penyembuhan kesehatan. Persinggungan dampak
social yang hadir dari pendonoran ini juga akan kita lihat
dari kacamata Islam.
Ramuan pendekatan multidisipliner tersebut akan
lebih sempurna jika kita sajikan dalam rumusan sederhana

yang lebih easy understanding yang kita kenal dengan


kaidah-kaidah fikih.

Kaidah-kaidah ini dihadirkan sebagai

tashil wa taysir karena merupakan simpulan dari hukumhukum fikih yang ada serta keumuman relevansinya
dengan

permasalahan-permasalahan

kontemporer.

Dengan rumusan yang sederhana ini, pembaca terlebih


masyarakat awam akan lebih mudah dalam mendapat
pengertian dan pemahaman mengenai transplantasi serta
bagaimana anjuran dan tuntunannya yang sesuai dengan
syariat Islam serta maqashidnya yaitu hifzul al din, hifz al
nasl, hifz al nafs, hifz al irdh, serta hifz al-mal.
B. Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris

to

transplant yang berarti move from one place to another,


bergerak

dari

satu

tempat

ke

tempat

lain.

Adapun

pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi


ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke
tempat lain. Yang dimaksud dengan jaringan di sini ialah
kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama
mempunyai fungsi tertentu.1 Sedangkan yang dimaksud
organ ialah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi
berbeda

sehingga

merupakan

satu

kesatuan

yang

mempunyai fungsi tertentu seperti jantung, hati, dan lainlain.2


Melihat dari pengertian di atas, kita dapat lihat
transplantasi terbagi ke dalam dua bagian:
1 Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah,
Transplantasi Organ, dan Eksperimen Pada Hewan; Telaah Fikih dan
Bioetika Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 80
2 Seymour Swartz & G Tom Shires, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah,
(Jakarta: AGC, 2004), hlm. 55
2

1. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan kornea


mata
2. Transplantasi

organ,

seperti

pencangkokan

ginjal,

jantung, dan sebagainya.


Jika melihat hubungan genetik antara donor (pemberi
jaringan) atau organ yang ditransplantasikan) dan resipien
(orang yang menerima pindahan jaringan atau organ),
maka ada 3 macam pencangkokan:
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor
resipiennya

satu

individu.

Seperti

seseorang

yang

pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan


daging dari bagian tubuh yang lain dalam tubuhnya
sendiri.
2. Homo transplantasi, di mana donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya seperti manusia dengan
manusia. Pada transplantasi ini bisa terjadi donor dan
resipiennya dua individu yang masih hidup, maupun
donor yang telah meninggal dunia (cadaver donor)
sedang resipiennya masih hidup.
3. Hetero transplantasi ialah transplantasi yang donor dan
resipiennya merupakan dua individu yang berlainan
jenisnya seperti transplantasi di mana donornya adalah
hewan, dan resipiennya adalah manusia.3
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah
mendatangkan
organ

yang

reaksi penolakan, sehingga jaringan atau

ditransplantasikan

hampir

selalu

dapat

dipertahankan oleh resipiennya dalam jangka waktu yang


cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal 3 kemungkinan
yang terjadi. Kemungkinan pertama, apabila resipien dan
donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur,
3 Syaifuddin, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan,
(Jakarta: Media Akir, 1999), hlm. 111
3

maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan


reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya
serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
Kemungkinan kedua, apabila resipien dan donor adalah
saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya,
maka reaksi penolakan

pada golongan ini lebih besar

daripada golongan pertama. Ketiga, apabila resipien dan


donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara,
maka

kemungkinan

besar

transplantasi

selalu

menyebabkan reaksi penolakan.


Pada waktu sekarang, homo transplantasi paling
sering

dikerjakan

dalam

klinik,

terlebih

dengan

menggunakan cadaver donor. Hal ini disebabkan karena


kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi serta
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi
penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada
hetero
transplantasi
hampir

selalu

menyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat


hebat

dan

sukar

sekali

diatasi.

Maka

dari

itu

penggunaannya masih terbatas pada binatang percobaan.


Meski pernah didapatkan pemberitaan adanya percobaan
mentransplantasikan kulit babi yang sudah diiyophilisasi
untuk

menutup

luka

bakar

yang

sangat

luas

pada

manusia.4
C. Tinjauan Fikih Klasik Mengenai Transplantasi
Mendonorkan anggota badan manusia merupakan
masalah baru yang belum pernah dikaji oleh para fuqaha
klasik

tentang hukum-hukumnya. Karena

masalah ini

merupakan anak kandung dari kemajuan ilmiah dalam


4 Paul D. Anderson, Latihan dan Panduan Belajar Anatomi dan Fisiologi
Tubuh Manusia, (Yogyakarta: EGC), hlm. 96
4

bidang pencangkokan anggota tubuh. Hampir tidak ada


satu pembahasan pun di dalam teks-teks fikih klasik yang
meninggalkan tulisan yang membahas langsung tentang
hukum mendonorkan anggota badan manusia untuk tujuan
dicangkokkan ke dalam tubuh manusia. akan tetapi ada
beberapa teks yang menjelaskan tentang hukum perlakuan
terhadap jasad manusia.5
Secara umum, mereka memberikan ruang yang
sangat sempit untuk membolehkan perlakuan itu pada
jasad manusia, baik pada saat masih hidup maupun
sesudah mati. Hukum yang mereka pegang adalah haram.
Diterangkan dalam al-Mughni bahwa memanfaatkan
anggota tubuh manusia tidak diperbolehkan, ada yang
mengatakan karena najis dan ada yang mengatakan
karena kehormatan. Alasan kedua inilah yang benar. Ibnu
Qudamah juga menulis tentang haramnya menjual anggota
tubuh manusia yang terpotong dengan alasan karena hal
itu tidak bermanfaat.6
An Nawawi juga menegaskan bahwa diharamkan
manusia memotong salah satu anggota tubuhnya dan
memberikannya

kepada

seseorang

keterpaksaan agar dimakannya.7


Namun
demikian,
para

fuqaha

yang

dalam

memberikan

pengecualian dari hukum dasar ini dan membolehkan


5 Muhammad Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), hlm. 138
6 Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa asy-Syarh al-kabir, Juz IV, (Kairo:
Dar el Hadits),hlm. 304
7Abu al-Abbas Ahmad Al-Qalyubi & Syihabuddin Ahmad al-Burlusi,
Hasyiyah Qalyubi wa Umairoh Ala Syarh al-Mahalli, juz IV, (Kairo:
Mushtafa Bab el Halabi), hlm. 264
5

pemanfaatan anggota tubuh manusia yang tentu saja


dengan keadaan terpaksa (darurat). Adapun pengecualian
yang berkaitan dengan jasad yang hidup yaitu, menjual
susu manusia, memakan badan manusia yang hidup yang
berhak untuk dibunuh, serta memotong bagian tubuhnya
sendiri.8
Perihal pengecualian yang diharamkan oleh para
fuqaha dalam memanfaatkan jasad manusia mati adalah:
1. Para fuqaha Syafiiyyah, Abu al-Khattab dari Hanabilah,
dan

Ibnu Arabi dari Malikiyyah membolehkan bagi

orang yang terpaksa untuk memakan badan manusia


mati. Mereka beralasan bahwa kehormatan orang hidup
lebih besar dari kehormatan orang mayat, dan kerusakan
dalam memakan daging mayat manusia lebih kecil
daripada hilangnya kehidupan manusia.
2. Jumhur fuqaha memperbolehkan membedah

perut

mayat untuk mengeluarkan harta yang ditelan ketika dia


hidup, dengan syarat jangan sampai harta itu sia-sia.
3. Sebagian ulama Syafiiyyah dan Hanafiyyah berpendapat
kebolehan membedah perut wanita untuk mengeluarkan
janin yang masih hidup.
4. Sebagian
fuqaha
Syafiiiyah

memperbolehkan

menyambung tulang manusia hidup dengan tulang


mayat jika terpaksa.9
Namun menurut hemat penulis, agaknya kurang
sesuai pengqiyasan ijtihad dalam masalah transplantasi di
zaman sekarang ini dengan kajian-kajian yang telah
dibahas

oleh

para

fuqaha

klasik

tentang

hukum

pemanfaatan dan perlakuan terhadap anggota badan


8 Lihat lagi al-Mughni wa Syarh al-Kabir, juz I, hlm. 79
9 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 142-146
6

hingga walaupun ditarik pada suatu kaidah yang umum


dan menyeluruh sekalipun. Karena pada masa sekarang ini
bentuk-bentuk pemanfaatan itu terus berubah dan berbeda
dengan bentuk yang dibahas oleh para fuqaha terdahulu
baik mazam maupun caranya, disamping adanya kemajuan
pesat di dalam bidang ilmu kedokteran. Hal ini
dengan kaidah fikih:

sejalan

Tidak bisa diinkari perubahan hukum dengan

adanya perubahan zaman.10


D. Hukum & Tinjauan Ulama Kontemporer Mengenai
Transplantasi
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena
karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak
hanya satu tapi beragam bahkan bertolak belakang meski
menggunakan sumber pengistinbatan hukum yang sama.
1. Pandangan Yang Menentang Transplantasi
a. Kesucian hidup/tubuh manusia11
Setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia
dilarang, karena hal ini merupakan perintah yang jelas
baik dalam al quran maupun hadis.
Allah SWT berfirman:

Janganlah kamu membunuh (atau membinasakan)


dirimu

sendiri,

karena

sesungguhnya

Allah

Maha

Penyayang kepadamu. (QS. Al-Nisa, 4: 29)


Dalam kesempatan lain Allah berfirman:

Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam


kebinasaan (QS. Al-Baqarah, 2: 195)

10 Imam Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadzhair, (Beirut: Dar el


Fikr, 1995), hlm. 112
11 Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, hlm. 83-84
7

Perintah ini diperkuat dengan hadis nabi SAW yang


mengutip larangan memanipulasi organ tubuh manusia
meskipun sudah menjadi mayit.

Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama

dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih


hidup.12 (HR. Abu Dawud)
Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah fikih:
Menghindari

kerusakan

didahulukan

dari

menarik

kemaslahatan13
Berkenaan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan memelihara dirinya dari kebinasaan
daripada

menolong

orang

lain

dengan

cara

mengorbankan diri sendiri, akhirnya ia tidak dapat


melaksanakan tugasnya dan kewajibannya, terutama
tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.14
b. Tubuh manusia sebagai amanah15
Hidup dan tubuh manusia pada dasarnya adalah
milik Allah, dititipkan dan dilengkapi Allah dengan segala
apa yang dibutuhkannya mengenai organ-organ tubuh.
Dari hal ini, dalam wewenang apa manusia berhak untuk
merusak yang telah diberikan Allah sebagai amanah.

Bukankah

kami

telah

menjadikan

untuknya

sepasang mata? Dan sepasang bibir?. (QS. Al-Balad,


90:8-9)
12 HR. Abu Dawud. Lihat Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. 2, hlm. 77
13 Imam Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadzhair, hlm. 63
14 Lihat lagi Abuddin Nata, Masail Fiqhiyyah, hlm. 105
15 Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, hlm. 84
8

c. Memperlakukan
material16
Pada

tubuh

dasarnya

manusia

sebagai

benda

organ

tubuh

manipulasi

seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain


dianggap

sebagai

bagiannya

bisa

benda

material

dipindah-pindah.

semata

yang

Ketidakbolehan

ini

dapat dideduksikan dari contoh hadis nabi yang mencela


atau mengutuk orang yang menggabungkan rambut
seorang

wanita

menjadikannya

dengan
tampak

rambut
panjang.

wanita
Dan

lain
nabi

untuk
juga

mengutuk wanita yang rambutnya dipotong untuk tujuan


itu.17
2. Pandangan Pro Transplantasi18
a. Kesejahteraan public (mashlahah)
Islam melarang segala bentuk agresi terhadap
nyawa manusia, termasuk terhadap tubuh seseorang
sesudah menjadi mayat. Meski demikian, perlu dicatat
bahwa

system

hukum

Islam

juga

memasukkan

kepentingan manusia sebagai bahan pertimbangan. Hal


ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut:
Bahaya itu harus dihilangkan


1.

16 Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, hlm. 85-86


17 Lihat lagi Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. 2, hlm. 212-213
18 Diantara argument para ulama yang mendukung transplantasi
organ dikemukakan oleh Syeikh Abd al-Rahman al-Bassam, Syeikh
Muhammad Rasyid Ridha, dan Syeikh Yusuf al-Qardhawi. Bahkan
Syeikh Rasyid Ridha telah menulis dalam masalah transplantasi yang
berjudul Ziraat al-ADha al-Insaniyyah fi Jism al-Insan, Majallat alMajma al-Fiqh. Begitu pula Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Fatwa-fatwa
Kontermporer; Seputar Pencangkokan Organ Tubuh.
9

Makna dari kaedah ini adalah diwajibkan untuk


menghilangkan

bahaya.

Sekalipun

kalimatnya

dinyatakan dalam bentuk kalimat informative akan tetapi


yang dimaksud adalah penekanan atas diwajibkannya
menghilangkan bahaya. Sebab bahaya merupakan suatu
bentuk kezhaliman dalam Islam. Setiap muslim wajib
menghilangkan
Nyawa

kemungkaran

seseorang

dan

merupakan

suatu

mencegahnya.19
bahaya

yang

merupakan suatu kewajiban untuk dihilangkan. Jika


transplantasi dianggap sebagai hulul dari dharurat ini,
maka transplantasi ini harus dilakukan dengan ketentuan
dan syarat yang berlaku.

2


.

Keterpaksaan membuat sesuatu yang terlarang menjadi

boleh
Adapun dalil lahirnya kaidah ini adalah firman allah
swt dalam surat al-baqarah ayat 173 :


Artinya: tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa

(memakannya)

sedang

ia

tidak

menginginkannya dan tidak pula melampaui batas ,


maka tidak ada dosa baginya (QS. Al-Baqarah 173)
Makna kaidah ini adalah bahwa darurat merupakan
suatu keadaan yang memaksa seseorang pada kondisi
mengharuskan seseorang untuk melakukan apa yang
dilarang oleh syariat islam . Seperti anggota badan,
harta atau nyawanya terancam atau akan menimbulkan
rasa sakit yang bersangatan maka darurat seperti inilah
yang membolehkan untuk mengerjakan yang haram
sebagai

jalan

mengangkat

kemudaratan.

Sebagian

19 Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan


Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 118
10

ulama ada yang mendifinisikannya bahwa ia adalah


keadaan seseorang yang sampai pada batas apabila dia
tidak melakukan apa yang dilarang , dia akan binasa
atau

mendekati

kematian.

Sedangkan

definisi

al-

mahzhurat adalah segala sesuatu yang dilarang oleh


syariat islam, atau yang diharamkan oleh syariat islam20.
Dan di antara syarat bolehnya kaidah ini
diberlakukan adalah bahwa kerusakan yang ditimbulkan
dari mengerjakan yang haram itu lebih kecil dari bahaya
yang ditimbulkan. Dan jika sebaliknya maka kebolehan
mengerjakan yang haram tidaklah dapat diberlakukan.
Dan jika tingkatannya sama antara kerusakan yang
timbul dari mengerjakan yang harom dengan kerusakan
yang timbul dari menghilangkan bahaya maka ini adalah
obyek ijtihad yang perlu dikaji secara komprehensif dan
implikasi hukumnya tentunya akan berbeda-beda sesuai
kondisi yang ada.
Maka kesimpulan

yang

dapat

ditarik

dari

penerapan kaidah ini adalah bahwa pada dasarnya


transplantasi

atau

memanipulasi

tubuh

manusia

hukumnya haram, karena dapat menimbulkan bahaya.


tetapi pada kondisi tertentu (darurat) penggunaannya
dapat dibenarkan.












.3


Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari


adalah bahaya yang lebih besar dengan memilih atau
mengambil bahaya yang lebih ringan.

20 Abd.Karim Zaidan alwajiz 100 kaidah fikih dalam kehidupan..hlm.


89-90.
11

Maksudnya jika dalam suatu keadaan berkumpul


dua bahaya, maka harus diteliti mana yang lebih besar
bahayanya

dengan

melakukan

bahaya

yang

lebih

ringan.21 Transplantasi organ tubuh dalam keadaan


tertentu mungkin akan menimbulkan efek baik bagi
pendonor

maupun

ditimbulkan

karena

resipien.

Namun

transplantasi

tidak

resiko

yang

lebih

besar

disbanding nyawa seorang pasien yang tidak akan


tertolong

tanpa

transplantasi

adanya

dari

organ

pendonoran.
tubuh

orang

Terlebih
yang

jika
telah

meninggal, maupun dari pendonor yang masih hidup


dengan mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku
seperti yang akan dikemukakan berikutnya.

4.
Suatu hajat terkadang menempati posisi darurat.
Hajat dalam konteks ini terkadang membolehkan
sesuatu yang terlarang. Kaidah ini dirumuskan oleh
ulama dengan lafaz terkadang agar konotasinya tidak
berlaku secara umum. Para ulama membedakan antara
hajat dan dhorurat dan tidak menjadikannya pada posisi
yang sama. Hajat tingkatannya masih berada di bawah
darurat.

Karena

darurat

adalah

keadaan

memaksa

kepada yang tidak seharusnya dari hal-hal yang dilarang


oleh syariat. Sedangkan hajat adalah keadaan yang
menuntut kemudahan untuk menghilangkan kesulitan
yang menyerupai keadaan darurat.22

21 DahlanTamrin, Kaidah-KaidahHukum Islam, UIN Maliki Press, Malang,


2010, hal. 174
22 Abd.Karim Zaidan, alwajiz 100 kaidah, hlm. 101.
12

Maka

kaidah

diatas

dapat

transplantasi organ tubuh

diterapkan

manusia. dimana

pada
nyawa

seseorang yang dharurat untuk ditolong sebagai hajat


atau kebutuhan.
b. Altruisme (al-itsar)
Terdapat kewajiban yang amat kuat bagi muslim
untuk

membantu

manusia

lain

khususnya

sesame

muslim, pendonoran organ secara sukarela merupakan


altruisme yang amat tinggi. Hal ini sesuai dengan
tuntunan Islam:

Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan


kebajikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah, 5:2)
Nabi SAW juga bersabda:





















~





Orang-orang

beriman,

dalam

kecintaan

dan

simpati mereka satu sama lain adalah bagaikan sekujur


tubuh. Ketika salah satu bagiannya merasakan sakit
maka sekujur tubuh itu merasakan sakit dan demam.
(HR. Muslim)23
Kemubahan

transplantasi

ini

senada

dengan

pendapat Syeikh Yusuf Qardhawi dalam karyanya yang


secara khusus membahas tentang transplantasi organ
tubuh manusia. Akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah
suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat,
23 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 3, (Riyadh: Dar el Salam li alNasyri wa al-Tauzi), hlm. 12
13

melainkan

ada

ketentuan-ketentuan

yang

harus

diperhatikan.24
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan
dirinya

ke

laut

untuk

menyelamatkan

orang

yang

tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api


untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan
pula seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud
materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang
lain yang membutuhkannya.25
Dengan jelas Qardhawi mengatakan bahwa upaya
menghilangkan penderitaan seorang muslim dengan
cara

memberikan

kepadanya

donor

adalah

organ

tubuh

merupakan

yang

tindakan

sehat
yang

diperkenankan syara bahkan terpuji dan berpahala.


Akan tetapi yang harus diperhatikan, kebolehan ini
bukan bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan
tindakan

ini

bisa

dibenarkan

jika

memang

tidak

menimbulkan mudharat bagi si pendonor.26


24 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontermporer; Seputar Pencangkokan
Organ Tubuh, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 759
25 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa, hlm, 758
26 Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa syarat kemubahan
menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup ialah
bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang
menentukan kelangsungan hdup pihak pendonor seperti jantung, hati,
dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ
tersebut akan mengakibatkan ematian pihak pendonor yang berarti dia
telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan
membunuh dirinya sendiri ataumeminta dengan sukarela kepada orang
lain untuk membunuh dirinya. Lihat Abdul Qadim Zallum, Hukum asySyari fi al-Istinsakh, Naqlul Adlaa, al-Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul
Inasy, Ath-Thibbiyyah, al-Hayah wa al-Maut, (Beirut: Dar el Ummah,
1997), hlm. 203. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa, hlm, 759.
14

E. Hukum Global & Syarat Kebolehan Transplantasi


Pasal Pertama: Pendonoran dari orang hidup
1. Mendonorkan Anggota Badan yang Bisa Pulih
Kembali
Para ulama kontemporer agaknya tidak mengalami
kesulitan dalam mengaplikasikan kaidah syariyyah dalam
masalah donor darah, sumsum tulang, bagian dari kulit,
dan beberapa anggota badan manusia lainnya yang bisa
pulih kembali, dimana mengambilnya tidak menyebabkan
bahaya apa

pun dalam jangka

waktu panjang bagi

pendonornya.

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai

ada petunjuk yang mengharamkannya.


Dalam hal ini tidak bertentangan dengan ajaran serta
prinsip dan kaidah manapun,27
2. Mendonorkan Anggota Badan yang Menyebabkan
Kematian Pada Pendonor
Hukum transplantasi anggota badan yang karenanya
pendonor bisa mati seperti hati, limpa, dan jantung adalah
haram. Pendonorannya berarti pengorbanan hidup, yang
hal ini termasuk kemaksiatan dan tidak dianjurkanoleh
syariat.

Syariat

melarang

seseorang

mengorbankan

nyawanya untuk menyelamatkan orang lain dari penyakit


ganas.

Keharaman ini jelas berdasarkan pada ayat al

quran,

hadis,

serta

kaidah

membahayakan diri sendiri.28


3. Mendonorkan
Anggota

fikih
Badan

yang

melarang

yang

Ada

Pasangannya
27 Abuddin Nata, Masail Fiqhiyyah, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 104
28 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 171
15

Pendonoran jenis ini tidak bisa dijelaskan bila hanya


menggunakan satu kaidah san tidak bisa pula jika hanya
ditetapkan dengan satu hukum. Melainkan harus dijelaskan
secara rinci karena adanya perbedaan pengaruh hilangnya
anggota badan ini pada pendonor dan perbedaan pengaruh
pencangkokannya dari orang ke orang. Akan tetapi secara
umum hal ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 keadaan:
Keadaan pertama, donor anggota tubuh yang
menjadi sebab pasti untuk menyelamatkan pengguna dari
kematian, dan tidak menyebabkan bahaya yang serius
pada pihak pendonor, seperti mendonorkan salah satu
ginjal manusia. Transplantasi semacam ini diperbolehkan
selama transplantasi ini dipastikan tidak akan menyiksa
pendonor,

juga

transplantasi

ini

prasangka
akan

kuat

berhasil

dari

ahlinya

dengan

bahwa

syarat

dan

ketentuan yang harus dipenuhi baik oleh pendonor maupun


resipien.29
Kebolehan transplantasi jenis ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa hak Allah yang hampir hilang pada
resipien lebih besar daripada hak Allah yang hilang karena
pendonoran salah satu ginjal itu. Demikian juga karena
para ahli kedokteran yakin bahwa manusia bisa hidup
dengan satu ginjal. Diyakini dan terbukti bahwa satu ginjal
mampu

menghandle

kerja

dua

ginjal

bagi

tubuh.30

Sebaliknya, jika pencangkokan menimbulkan masalah yang


besar, maka akan kembali pada hukum asal pertimbangan
antara kemaslahatan dan kerusakan pada jasad, juga
29 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah; Kapita Selekta Hukum Islam,
(Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 87
30 Lihat Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 174. Lihat pula Seymour
Swartz & G Tom Shires, Intisari Prinsip-prinsip, hlm. 78
16

kembali

bahwa

memperlakukan

(memindahkan

dan

menggugurkan) hak Allah hukumnya haram dalam hal ini.


Keadaan kedua, transplantasi anggota badan yang
ada pasangannya pada jasad itu, menjadi sebab untuk
menyelamatkan

kehidupan

resipien

dan

tidak

menyebabkan kematian pendonor secara langsung, tetapi


menjadikan kehidupan pendonor dan resipien tidak normal
kembali serta senantiasa diliputi bahaya dan gangguan
kesehatan. Seperti pendonoran salah satu jantung kepada
orang

yang

kedua

jantungnya

rusak.

Transplantasi

semacam ini tidak diperbolehkan.31


Keadaan ketiga, pendonoran anggota badan yang
ada

pasangannya

itu

tidak

menjadi

sebab

untuk

menyelamatkan pengguna dari kematian dan tidak pula


menyebabkan kematian pendonor, seperti mendonorkan
kornea mata atau salah satu bagian mata. Masalah ini
dapat digambarkan dalam beberapa keadaan:
a) Mendonorkan semua pasangan anggota badan, maka ini
tidak sah hukumnya karena ini menghilangkan manfaat
anggota

badan

tersebut

dan

tidak

mendatangkan

kemaslahatan yang lebih kepada resipien.


b) Mendonorkan anggota badan kepada seseorang yang
mempunyai

anggota

badan

sepertinya.

Misalnya

seseorang mendonorkan salah satu matanya kepada


orang yang cacat salah satu penglihatannya. Kasus ini
sama hukumnya dengan kasus sebelumnya, yaitu tidak
dibenarkan dalam Islam.32
4. Mendonorkan Alat-alat Reproduksi

31 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 175


32 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 175-176
17

Yang dimaksud dengan alat-alat reproduksi adalah


anggota badan manusia yang berfungsi untuk proses
menurunkan keturunan, yaitu indung telur dan rahim pada
wanita, serta dua biji telor dan buah pelir (penis) bagi lakilaki, yang dengan alat-alat itu dipertemukan antara sperma
laki-laki dan sel telur (ovum) wanita.
Sebagian besar anggota badan ini berbeda letaknya
dengan anggota badan manusia lainnya, karena tujuan
syariat khusus yaitu tujuan syariat untuk menjaga nasab
agar tidak bercampur. Untuk merealisasikan tujuan ini
dalam masyarakat Islam, syariat mengharamkan setiap
tindakan

yang

bisa

menyebabkan

adanya

keturunan

manusia (bertemunya sel sperma dan ovum) yang tidak


melalui jalur syariat yaitu pernikahan.33
Mendonorkan rahim orang yang masih hidup tidak
diperbolehkan

kecuali

dalam

satu

keadaan,

yaitu

mendonorkan rahim wanita yang sudah rusak indung


telurnya sehingga rahim itu tidak berguna lagi baginya.
Kemudian dia mendonorkan kepada wanita lain yang rusak
rahimnya tetapi masih memiliki indung telur yang bagus.34
33 M.H. Dewantoro dan Asmawi, Rekonstruksi Fiqh Perempuan,
(Yogyakarta: Ababil, 1996), hlm. 104,
34 Hukum ini juga berlaku pada pendonoran alat reproduksi pria
(batang & buah pelir). Karena alat ini merupakan satu-satunya. Para
dokter ahli juga mengatakan bahwa alat yang memproduksi sel sperma
laki-laki adalah buah pelir. Jika dilakukan pendonoran, maka resipien
tidak ikut campur dalam dalam pembuatan sperma, selain memberikan
bahan-bahan inti yang dikirim melalui proses kimiawi hormonal kepada
buah pelir asing yang dicangkokkan itu, kemudian diolah sehingga
melahirkan sperma. Jika resipien menggauli istrinya, berarti dia
membuahi sel telurnya dengan sperma yang bukan miliknya sendiri,
melainkan milik pendonor buah pelir. Berdasarkan atas penafsiran
ilmiah tentang bagaimana proses terjadinya sel sperma dalam buah
pelir laki-laki, jelaslah bahw mendonorkannya menyebabkan adanya
18

Pasal

Kedua

Donor

dari

orang

yang

telah

meninggal
Manusia setelah ruhnya keluar masih tetap berhak
untuk dihormati, disamping haknya untuk dimandikan,
dikafani, dishalati, dikubur, dan tidak dianiaya jasadnya.
Telah dipaparkan bahwa hak-hak tersebut bukan hanya
milik manusia saja, melainkan juga milik Allah yang tidak
bisa digugurkan oleh manusia.
Jika kita menerapkan kaidah menahan kerusakan
yang lebih ringan dari dua kerusakan dan mencegah
kerusakan yang lebih besar dengan syarat-syaratnya
maka transplantasi dipandang baik selama diyakini bahwa
tindakan itu tidak diniatkan dan faktanya tidak menganiaya
jasad mayit. Jumhur fuqaha membolehkan membedah
perut wanita untuk mengeluarkan bayi yang masih hidup.
Begitu

pula

kemubahan

mengotopsi

menyingkap pelaku kejahatan.


Dengan
demikian
pula,
mendonorkan

anggota

badan

mayat

berwasiat

hukumnya

boleh

untuk
untuk
jika

terpenuhi syarat-syaratnya yang mencakup semua anggota


badan selain yang menyebabkan pertukaran nasab.35
F. Syarat, Tujuan & Ketentuan Transplantasi
Tujuan pengobatan adalah mencari kesembuhan dari
suatu penyakit. Sehingga dengan adanya transplantasi
yang sebelumnya organ tubuh tidak sempurna menjadi
sempurna, yang sebelumnya tidak berfungsi menjadi
percampuran nasab sehingga donor semacam ini diharamkan.
Keharaman ini juga diberlakukan bagi pendonoran air mani dan sel
telur wanita, dengan illat yang sama yaitu menyebabkan terjadinya
keturunan tanpa melalui jalur pernikahan. Lihat M.H. Dewantoro,
Rekonstruksi Fiqh, hlm. 107
35 Lihat M.H. Dewantoro, Rekonstruksi Fiqh, hlm. 110. Lihat juga Yusuf
Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, hlm. 761
19

berfungsi, atau yang sebelumnya tidak memiliki organ


tubuh menjadi memiliki.

Berobatlah

kamu

hai

hamba-hamba

Allah.

Karena

sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit


kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya,
selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua. (HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dari Usamah ibnu
Syuraih
Jika arti transplantasi adalah pemindahan jaringan dari satu
tempat ke tempat lain, tentu bukan sekedar memindahkan
saja tanpa makud dan tujuan. Indikasi utama dalam
melakukan
pengobatan

transplantasi
lainnya

telah

organ

adalah

dilakukan

ikhtiar

tapi

akhir

mengalami

kegagalan.
Tujuan utama dari transplantasi organ tubuh adalah
bersifat kemanusiaan, menghindarkan suatu kematian
yang diduga akan terjadi jika tidak dilakukan transplantasi
dan melepaskan derita kesakitan atau kelainan biologis.
Sesuai dengan pasal 33 Undang-undang kesehatan No. 23
Tahun 1992 yang menerangkan bahwa:
1. Dalam
penyembuhan
penyakit

dan

pemulihan

kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ atau


jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat atau alat
kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.
2. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta
transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk tujuan komersil.36
36 Rio Christiawan, Aspek Hukum Kesehatan, (Yogayakarta: Universitas
Atma Jaya, 2003), hlm. 88
20

Secara yuridis transplantasi organ tubuh manusia


boleh dilakukan jika:
1. Transplantasi merupakan
pengobatan.
2. Tujuan
utamanya

upaya

bersifat

terakhir

klinis

dan

dalam
bukan

eksperimental.
3. Pelaksanaannya prosedural dan proporsional. Artinya
tidak hanya mempertimbangkan kualitas kehidupan
tetapi mempertimbangkan juga fisibilitas medis.
4. Transplantasi merupakan tindakan medik yang beresiko
tinggi, oleh karena itu tindakan medik transplantasi
dilakukan oleh sebuah tim yang minimal terdiri dari
dokter spesialisasi bedah dengan sub spesialisasi.37
Karena kaidah syariat yang dijadikan dasar bagi
bolehnya mendonorkan anggota badan manusia adalah
kaidah mencari kemudharatan yang lebih kecil untuk
menolak kemudharatan yang lebih besar. Maka perlu
ditentukan syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi
dalam praktik transplantasi ini sesuai dengan kaidah fikih:





Darurat dapat ditentukan sesuai dengan kadarnya
Muhammad Nuaim Yasin mengemukakan syaratsyarat umum yang harus dipenuhi dalam menjalankan
kaidah ini adalah:
1. Kemungkinan bahaya yang dapat dicegah secara pasti.
2. Kemungkinan bahaya yang terjadi jika dilakukan.
3. Perbedaan antara bahaya yang dapat dicegah dan
bahaya yang diakibatkan bisa diperbandingkan secara
jelas dan pasti.

37 Seymour Swartz, Intisari Prinsip-prinsip, hlm. 61


21

4. Secara realitas, tidak mungkin mencegah kedua bahaya


itu secara bersama-sama.38
Dari syarat-syarat umum di atas, direalisasikan
ketetapan

syarat-syarat

pembolehan

mendonorkan

anggota badan manusia, yaitu:


1. Transplantasi organ tubuh merupakan satu-satunya jalan
untuk

menyelamatkan

orang

yang

didonor

dari

kerusakan apabila dibiarkan apa adanya. Jika ada jalan


lain, maka pendonoran tidak dianjurkan.39
2. Kemampuan para ahli kedokteran untuk melakukan
prediksi

yang

kemaslahatan
pendonor,

tepat
yang

dengan

terhadap
akan

kemudharatan

menimpa

melihat

resipien

keadaan

dan
dan

sakitnya,

berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah yang tepat.


3. Hasil dari perbandingan antara kemaslahatan

dan

kerusakan yang diakibatkan oleh praktik pendonoran dan


keadaan apabila dibiarkan apa adanya bisa diketahui
dengan

jelas

kemaslahatan

tingkat

perbedaannya,

pendonoran

lebih

besar

bahwa
daripada

kemaslahatan apabila dibiarkan apa adanya.40


4. Orang yang didonor itu haruslah orang yang terjaga
darahnya secara syariat, mereka adalah orang-orang
Islam atau orang kafir dzimmi.41
38 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001),
hlm. 162
39 Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Ishlah al-Anam (alQawaid al-Kubro), Juz I, (Damaskus: Dar el Qalam), hlm. 98
40 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 164
41 Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang hidup di negeri Islam,
mereka mengadakan akad jizyah (pembayaran pajak badan) dengan
22

5. Merasa yakin atau mempunyai kemungkinan besar


bahwa operasi tersebut akan berhasil.
5. Disyaratkan
jangan
sampai
pendonoran

ini

menghilangkan hak Allah atas anggota badan pendonor.


Seperti jika pendonoran itu mengakibatkan rusaknya
masyarakat atau rusaknya akhlak yang bertentangan
dengan tujuan syariat. Misalnya mendonorkan air mani
karena menyebabkan pencampuran nasab dan merusak
masyarakat.
6. Pendonoran itu

tidak

boleh

menyebabkan

adanya

pelecehan terhadap kehormatan manusia. pelecehan ini


terjadi jika pendonornya beranggapan bahwa anggota
badannya bisa dijual untuk mendapatkan keuntungan
karena adanya orang sakit yang membutuhkannya.42
7. Sang pendonor haruslah orang yang benar-benar
mengerti

tentang

pendonoran

ketika

mendonorkan

(resiko).
8. Kesediaan pihak donor dengan menyatakan secara jelas
untuk menyumbangkan organ tubuhnya.
9. Resipien secara jelas harus mengatakan kesediaannya.
10. Karena
kebolehan
transplantasi
merupakan
pengecualian dari hukum dasar yang disertakan dengan
syarat-syarat

yang

banyak,

maka

pelaksanaan

imam atau wakilnya. Dalam syariat, kafir dzimmi mendapatkan


perlindungan. Kaidah ini menghasilkan larangan mendonorkan anggota
badan kepada orang kafir dalam perang atau murtad. Tidak boleh pula
kepada pezina muhshan yang harus dihukum rajam, kepada perampok,
dan kepada pembunuh secara sengaja yang harus diqishash, yang
tidak bisa digugurkan hukumannya dengan cara apapun.
42 Sesuatu bisa dihargai dengan uang menurut fuqaha disyaratkan
harus adanya dua hal. Pertama, harus secara real bermanfaat dan
syariat membolehkan untuk mengambil manfaat darinya, bukan
karena dalam keadaan terpaksa atau kebutuhan yang mendesak. Lihat
Ibnu Qudamah, Al-Mughni),hlm. 304
23

transplantasi harus dilakukan di bawah pengawasan


yayasan resmi yang diakui secara keilmuan dan moral
agar segala sesuatu yang telah disyaratkan dapat
terpenuhi dengan baik.43

Daftar Pustaka
Anderson, Paul D., Latihan dan Panduan Belajar Anatomi dan
Fisiologi Tubuh Manusia, Yogyakarta: EGC
Abd al-Salam, Izzuddin ibn, Qawaid al-Ahkam fi Ishlah al-Anam
(al-Qawaid al-Kubro), Juz I, Damaskus: Dar el Qalam
Ahmad Al-Qalyubi, Abu al-Abbas & Syihabuddin Ahmad alBurlusi, Hasyiyah Qalyubi wa Umairoh Ala Syarh alMahalli, juz IV, Kairo: Mushtafa Bab el Halabi
Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Asybah wa al-Nadzhair, Beirut: Dar el Fikr,
1995), hlm. 112
Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, jilid 3, Riyadh: Dar el Salam li alNasyri wa al-Tauzi
Christiawan, Rio, Aspek Hukum Kesehatan, Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2003
M.H. Dewantoro dan Asmawi, Rekonstruksi Fiqh Perempuan,
Yogyakarta: Ababil, 1996
Mohsin Ebrahim, Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah,
Transplantasi Organ, dan Eksperimen Pada Hewan; Telaah
Fikih dan Bioetika Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2004
Nata, Abuddin, Masail Fiqhiyyah, Bogor: Kencana, 2003
Qardhawi,
Yusuf,
Fatwa-fatwa
Kontermporer;
Seputar
Pencangkokan Organ Tubuh, Jilid II, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni wa asy-Syarh al-kabir, Juz IV, Kairo:
Dar el Hadits
Swartz, Seymour & G Tom Shires, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu
Bedah, Jakarta: AGC, 2004
Syaifuddin, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan,
Jakarta: Media Akir, 1999
Tamrin, Dahlan, Kaidah-KaidahHukum Islam, UIN Maliki Press,
Malang, 2010, hal. 174

43 Nuaim Yasin, Fikih Kedokteran, hlm. 168


24

Yasin, Muhammad Nuaim, Fikih Kedokteran, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001


Zaidan, Abdul Karim, al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan
Sehari-hari, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
Zallum, Abdul Qadim, Hukum asy-Syari fi al-Istinsakh, Naqlul
Adlaa, al-Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul Inasy, AthThibbiyyah, al-Hayah wa al-Maut, Beirut: Dar el Ummah,
1997
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah; Kapita Selekta Hukum Islam,
Jakarta: Haji Masagung, 1991

25

Anda mungkin juga menyukai