Anda di halaman 1dari 6

TRANSPLANTASI DALAM HUKUM ISLAM 

(FIQH)
Oleh: Nur Kholis, Lc., M.HI.

Pendahuluan

Mengukir sejarah dalam kehidupan bukan suatu hal yang mudah sebagaimana membalik
kedua telapak tangan atau segampang yang dibayangkan, lebih-lebih pada masa sekarang
semuanya serba maju dan berkembang terutama dalam IpTek (Ilmu pengetauan dan
Tehnologi). Akan tetapi, kemarin tepatnya hari Sabtu (24/4/2010) RSU dr Soetomo, mampu
mengukir sejarah yang sangat cemerlang yaitu melakukan operasi cangkok hati dari seorang
ibu kepada anaknya. Hal sejarah tersebut, sebagaimana diungkapkan Wakil Gubernur Jatim,
Saifullah Yusuf (Gus Ipul) “Ini adalah sejarah RSU dr Soetomo dan sejarah para dokter. Ini
pertama kali di Surabaya. Jatim ukir sejarah,”[1]

Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode
kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal
ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu. Transplantasi dilakukan dengan
tujuan pengobatan penyakit sebagai berikut :

1. Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada
kematian. Seperti transplantasi jantung, ginjal dan hati.
2. Pengobatan yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik yang akan menimbulkan
gangguan psikologi pada penderita, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal
bibir sumbing. Transplantasi jenis ini dilakukan bukan untuk menghindari kematian,
tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup.[2]

Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga
kemudian disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari
organ manusia kepada organ manusia.

Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam
kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia
dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ?.

Kalau kita lihat dalam literatur Arab transplantasi bukan suatu hal yang baru. Karena, pada
abad VI H., masalah tersebut sudah dibahas dalam literatur Arab. Akan tetapi, transplantasi
tidak menjadi perbincangan publik karena transplantasi merupakan fiqh iftiradi
(pengandaian) yang biasa didapatkan dalam literatur Arab dan kemungkinan terjadinya tidak
bisa dipastikan dengan kapan dan di mana.

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, sebenarnya banyak masalah yang berkaitan dengan transplantasi yang
harus dikaji hukumnya khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Dalam tulisan ini
penulis hanya fokus pada salah satu masalah atau bagian dari masalah-masalah transplantasi.
Masalah yang penulis akan kaji khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam, ialah :
Bagaimana pendapat ulama fiqh (pakar hukum Islam) berkenaan dengan praktek
transplantasi?.

Bab. II

PEMBAHASAN

Transplantasi

1. Pengertian Transplantasi

Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place
to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu
kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke
tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari
individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.[3]

Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga
merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain.

Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan istilah naql al-
a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a’[4]. Kalau dalam literatur Arab klasik
transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan).[5] Adapun pengertian
transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya
dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal
dengan istilah pencangkokan.

2. Pembagian Transplantasi

Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua
bagian :[6]

1. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.


2. Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.

Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang
ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada
tiga macam pencangkokan :

1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu.


Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging
dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu
yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan
manusia).

Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih
hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor,
sedang resipien masih hidup.
1. Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan
jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya
manusia.

Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga
jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien
dalam jangka waktu yang cukup lama..

Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :

1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka
transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini
hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang
tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan
pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka
kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.

Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih
dengan menggunakan cadaver donor, karena :

1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang
immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat
hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang
percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang
sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.

Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih
dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat
sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan
mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.

3. Pendapat Ulama Tentang Transplantasi

Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh
manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan
pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi
organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan
kontemporer:

Imam al-Nawawi> (w. abad VI) dalam karyanya Minha>j al-T}a>libi>n mengatakan,

‫ مات لم ينزع‬ ‫ فإن‬,‫ولو وصل عظمه بنجس لفقد الطاهر فمعذور وإال وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا قيل وإن خاف‬
]7[.‫على الصحيح‬
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang
yang suci maka hukumnya udhu>r (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci
kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan
bahaya”.

Zakariya> al-Ans}ari> (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahha>b Sharh Manhaj al-
T}ulla>b, kitab Manhaj al-T}ulla>b merupakan kitab ringkasan dari kitab Minha>j al-
T}a>libi>n karya imam al-Nawawi (w. abad VI). Zakariya> mengatakan :

‫ولو وصل عظمه لحاجة إلى وصله بنجس من عظم ال يصلح للوصل غيره عذر في ذلك فتصح صالته معه وإال بأن لم‬
‫يحتج أو وجد صالحا غيره من غير أدمي وجب عليه نزع النجس وإن اكتسى لحما إن أمن من نزعه ضررا يبيح التيمم ولم‬
]8[‫يمت‬

“Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang
yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan
sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada
unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib
membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging.
Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan)
dan tidak menyebabkan kematian”.

Al-Bujayrami>, dalam komentarnya atas ‘iba>rah (teks) kitab Fathu al-Wahha>b di atas,
mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika
yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh
karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung
tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh.[9]

Senada dengan Zakariya>, ialah Ibnu Hajr dalam Tuh}fah-nya :

ْ‫ق فِي اآْل َد ِم ِّي بَ ْينَ َأ ْن يَ ُكونَ ُمحْ تَ َر ًما َأو‬ َ ْ‫س َواَل فَر‬ ِ ‫ظ ِم النَّ ِج‬ ْ ‫ب ن َْز ِع ِه َك ْال َع‬ ِ ‫َظ ُم َغي ِْر ِه ِم ْن اآْل َد ِميِّينَ فِي تَحْ ِر ِيم ْال َوصْ ِل بِ ِه َو ُوجُو‬ ْ ‫َوع‬
ْ ْ
‫ص ُل َما ا ْن َك َس َر ِم ْن عَظ ِم ِه إاَّل بِ َعظ ِم َما يُْؤ َك ُل‬ ْ ‫َأ‬ ْ
ِ َ‫ص ِر بِقَوْ لِ ِه َواَل ي‬ َ َ‫ْض ال ُمتَ ِّخ ِرينَ فَقَ ْد نَصَّ فِي ال ُم ْخت‬ ِ ‫اَل َك ُمرْ تَ ٍّد َو َحرْ بِ ٍّي ِخاَل فًا لِبَع‬
‫َأْل‬ ْ َ َ َ
‫صل ُح َو َعظ َم آ َد ِم ٍّي كذلِ َك َو َج َب تق ِدي ُم ا َّو ِل ا‬ ْ ُ ْ َ ‫سا ي‬ ً ‫لَحْ ُمهُ َذ ِكيًّا َويُْؤ َخ ُذ ِم ْنهُ َأنَّهُ اَل يَ ُجوز ال َج ْب ُر بِ َعظ ِم ا َد ِم ّي ُمطلقا فل ْو َو َج َد ن ِج‬
َ َ َ ً َ ْ ‫آْل‬ ْ ْ ُ
َ َ
‫ص ِل ِب ِه إذا فقَ َد‬ ْ ‫ضيَّتُهُ َج َوا ُز ا ْل َو‬ ِ َ‫س ق‬ ِ ‫ص ُل بِ َع ْظ ِم اآْل َد ِم ِّي َوقَ ْولُهُ َكا ْل َعظ ِم النَّ ِج‬
ْ ْ ‫صلُ ُح َجا َز ا ْل َو‬ ْ َ ‫سا ي‬ ً ‫ضيَّتُهُ َأنَّهُ لَ ْو لَ ْم يَ ِج ْد نَ ِج‬ ِ َ‫هـ َوق‬
‫ظ ِم اآْل َد ِم ِّي َم َع ُوجُو ِد‬ ْ ‫ َوه َُو ِم ْن آ َد ِم ٍّي ) هَ َذا إنَّ َما يُقَيِّ ُد ا ْمتِنَا َع ْال َجب ِْر بِ َع‬، ‫َغ ْي َرهُ َوا ْمتِنَا ُعهُ إ َذا َو َج َد َغ ْي َرهُ ( قَوْ لُهُ َأوْ َم َع ُوجُو ِد ِه‬
‫ت َك َما يَجُو ُز‬ ِ ِّ‫ظ ِم اآْل َد ِم ِّي ْال َمي‬ ْ ‫صالِحًا َغ ْي َرهُ فَيَحْ تَ ِم ُل ِحينَِئ ٍ˜ذ َج َوا ُز ْال َجب ِْر بِ َع‬ َ ‫ح ِم ْن َغي ِْر ِه َولَوْ نَ ِجسًا َوبَقِ َي َما لَوْ لَ ْم يَ ِج ُد‬ ِ ِ‫الصَّال‬
‫ث‬ ‫ح‬ ْ
‫ب‬
ِ َ َ ِ ِ ِ ِ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ت‬ ‫آْل‬‫ا‬ ‫ح‬ ‫ار‬ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫م‬
ُ ‫َاَل‬‫ك‬ ‫ه‬ ُ
‫د‬
ُ ِ َ ‫ي‬ ‫ف‬ُ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ
‫ك‬ ْ
‫ط‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ي‬َّ ‫ت‬‫ال‬
ِ ُّ َ َ ِ ُ ‫ح‬ ‫ي‬‫ب‬‫م‬ ‫اَّل‬‫إ‬ ‫ش‬ ْ
‫خ‬ ‫ي‬
َ َ ْ ‫َ ُ َ ِإ‬ ‫م‬َ ‫ل‬ ْ
‫ن‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ْر‬‫ي‬‫غ‬َ ‫د‬َ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ت‬ ِّ
ِ َ ِّ ِ‫ي‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫د‬
َ ‫آْل‬‫ا‬ ‫ل‬
ُ ‫ك‬ ْ ‫َأ‬ ‫ر‬
ِّ َ ‫ط‬ ْ‫ض‬ ‫لِ ْل ُم‬
‫آْل‬ ُ ‫َأْل‬
]10[.‫ف ذاكَ َويَُؤ يِّ ُد ا َّو َل قَوْ لهُ ا تِي‬ َ ْ
ِ ‫ق بِبَقَا ِء ال َعظ ِم هُنَا فَااِل ْمتِهَانُ دَاِئ ٌم بِ ِخاَل‬ ْ ‫َأ‬
َ ‫ار َويَحْ تَ ِم ُل ْن يُفَ َّر‬ ِ ‫ااِل ضْ ِط َر‬

Dalam ‘iba>rah (teks) di atas, Ibn Hajr senada dengan al-Bujayrami, bahwa ia
memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia dalam keadaan jika
sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan/ada tulang yang najis maka
tidak boleh memakai tulang manusia.

Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua
pendapat :

Pertama, Ibn Ba>z ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek transplantasi
anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada
orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi saw :
]11[.‫كسر عظم الميت ككسره حيا‬

“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.

Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya
dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain,
maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan
ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di
dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.[12]

Kedua, berbeda dengan Ibn Ba>z para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya
Qard}a>wi>, al-Bu>t}i>, Abd Allah Kanu>n[13] dan Abd Allah al-Faqi>h[14] yang
mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad
(bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan
menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang
punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua.

Qard}a>wi> dalam fatwanya mengatakan : Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya


seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah
seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak
hatinya. Lanjut Qard}a>wi>, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan
dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya,
sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk
kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang
mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja
perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan
seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia
tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit
dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.[15]

Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam


ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang
membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan
tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu. [16]

Dari penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan
pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak berdasarkan hadith
Nabi saw dan dalil ‘aqli> bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri
melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga hidup dan mati.

Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti
dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana
pendapat pertama yaitu tidak boleh.

Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar hukum
Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual
beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa
praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.

Bab. III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas penulis mengesimpulkan bahwa transplantasi dalam hukum Islam
terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah boleh atau tidak. Kebanyakan ulama
baik ulama klasik dan kontemporer mengatakan bahwa trasplantasi organ tubuh manusia
dengan organ tubuh hewan yang suci hukumnya boleh. Jika tidak didapatkan maka bisa
memakai organ tubuh hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Dan jika keduanya (yang
suci dan yang najis) juga tidak didapatkan maka bisa menggunakan organ tubuh manusia
dengan catatan tidak menimbulkan bahaya baik bagi pendonor begitu juga bagi resipien dan
keluarga resipien ikhlas dan rela dengan pendonoran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai