Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan
metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat
lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu. Transplantasi
dilakukan dengan tujuan pengobatan penyakit sebagai berikut :
1. Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada
kematian. Seperti transplantasi jantung, ginjal dan hati.
2. Pengobatan yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik yang akan menimbulkan
gangguan psikologi pada penderita, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal
bibir sumbing. Transplantasi jenis ini dilakukan bukan untuk menghindari kematian,
tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup. Pada tahun 40-an
telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian
disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari
organ manusia kepada organ manusia.
Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam
kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada
manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ?.
Kalau kita lihat dalam literatur Arab transplantasi bukan suatu hal yang baru. Karena,
pada abad VI H., masalah tersebut sudah dibahas dalam literatur Arab. Akan tetapi,
transplantasi tidak menjadi perbincangan publik karena transplantasi merupakan fiqh
iftirad} (pengandaian) yang biasa didapatkan dalam literatur Arab dan kemungkinan
terjadinya tidak bisa dipastikan dengan kapan dan di mana.
A. Definisi
Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau
organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik
yang sama maupun berbeda spesies.
Saat ini yang lazim di kerjakan di Indonesia saat ini adalah pemindahan
suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia,
sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan
seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu
tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk
mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain
yang masih berfungsi dari pendonor.

B. Jenis Transplantasi
1. Transplantasi Autograft
Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu
sendiri,yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi.
2. Transplantasi Alogenik
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya, baik
dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
3. .Transplantasi Isograf
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada
gambar identik.
4. Transplantasi Xenograft
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama
spesiesnya.Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari
donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal
sendiri didefinisikan kematian batang otak. Organ-organ yang diambil dari donor
hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah).

Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea,
pancreas, paru-paru dan sel otak. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh
tentu memerlukan peninjauan dari sudut hokum dan etik kedokteran.

C. Tipe Donor Organ


Tipe Donor 1.
Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memrlukan seleksi yang cermat
dan pemeriksaan kesahatan yang lengkap, baik terhadap donor maupun resipien
untuk menghindari kegagalan karena penolakan tubuh oleh resipien dan untk
mencegah resiko bagi donor.
Yang dimaksud adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja yang
memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya
boleh.
Allah Swt berfirman:

ٌ‫يف ِم ْن َربـِّ ُك ْم َو َرمْح َة‬ ِ ِ ٍ ‫ف واَداء اِلـيـ ِـه ب ـِإحــس‬


ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ ‫ك تـَ ْخـف‬
َ ‫ـان ذل‬ َ ْ َْ ٌ َ َ ‫فَ َم ْن عُـف َي لَهُ م ْن اَخ ْـيه َْشيٌئ فَـاتـِّبَـاعٌ باملَ ْـعُر ْو‬
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)
Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut
tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung,
limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si
pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan
orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.

Allah Swt berfirman:


‫َوالَ تـَـقـْـتلُ ُوا اَنـــْفُ َســ ُك ْم‬
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).

Selanjutnya Allah Swt berfirman:


ْ ِ ‫س الـَّتِى حـَـ َّر َم هللا اِالَّ بـ‬
ِّ ‫ـال َحـــ‬
‫ق‬ َ ‫َوالَ تـَـقـْـتلُ ُوا النـ ّ ْف‬
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar.(QS al-An’am [6]: 151)
Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang
dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan.
Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh
Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun
ibunya.
Allah Swt berfirman:
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (TQS
al-Mujadilah [58]: 2)

Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:


“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau
mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat
Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.

Sebagaiman sabda Nabi saw:


“Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga
haram atasnya”.

Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:


“Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum
padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak
akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia
mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari
laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang
yang terdahulu maupun yang kemudian”.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, dia berkata:
ِ ‫ يـَا َرسُـو َل هللا َأالَ نَسْـت َْخ‬: ‫ فَـقــ ُ ْلـنـَا‬، ‫ْــس لـَـنـَا نِسـَـا ٌء‬
‫صي ؟ فـَـنَـهـَانــَا ع َْن َذلِك‬ َ ‫ ُكـنـا نَـ ْغــ ُزوْ ا َم َع النـَّـِب ِّي لـَي‬.
“ Kami dulu pernah berperang bersama Rasulullah sementara pada kami
tidak ada isteri–isteri. Kami berkat :”Wahai Rasulullah bolehkah kami
melakukan pengebirian ?” Maka beliau melarang kami untuk melakukannya,”.
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan
mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam
untuk memelihara keturunan.
Tipe Donor 2.
Donor dalam keadaan koma atau diduga akan meninggal dengan segera.
Untuk tipe ini pengambilan organ donor memrlukan alat control
kehidupan misalnya alat bantu pernafasan khusus. Alat Bantu akan dicabut setelah
pengambilan organ selesai itu.
Hukum Islam pun tidak membolehkan karena salah satu hadist mengatakan
bahwa ”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri
orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Yakni penjelasannya bahwa kita tidak boleh
membahayakan orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Perbuatan tersebut
diharamkan dengan alasan apapun sekalipun untuk tujuan yang mulia.

Tipe Donor 3.
Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal , sebab
secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal
secara medis dan yuridis. Menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada
yang mengharamkan.
Yang membolehkan menggantungkan pada  syarat sebagai berikut:
1. Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang
mengancam dirinya setelah menmpuh berbagai upaya pengobatan yang
lama
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan akibat atau komplikasi yang
lebih gawat
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk
menolong bukan untuk memperjual-belikan.

Yang tidak membolehkan alasannya :
Seseorang yang sudah mati  tidak dibolehkan menyumbangkan organ
tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena seorang dokter
tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang telah
meninggal dunia  untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan.
Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah
SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib
dipelihara sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran
terhadap pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan
orang hidup.

Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin ra. bahwa Rasulullah SAW


bersabda:
‫ْر ِه َحــيًّـا‬
ِ ‫ت َك َكــس‬ ْ ‫َكـ َســ َر ع‬
ِ ‫َظــ ُم ال ْمـَيِّــ‬
“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang
hidup” (HR. Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)
Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil
jantungnya  atau ginjalnya atau hatinya untuk ditransplantasikan kepada orang
lain yang membutuhkan dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal
Islam telah melarang perbuatan ini.

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al-Anshasi RA, dia
berkata :
‫نـَهَى َرسُــوْ ُل هللا َع ِن الـنُّهْـبِي َوال ُمـثَـلَّــ ِة‬
“ Rasulullah SAW telah melarang ( mengambil ) harta hasil rampasan dan
mencincang (mayat musuh ).”(H.R. Bukhari)

Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya


tiga alasan:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh
manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini
dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi
Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan
dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat:
“Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan
melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”
2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada
dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan
syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya
pada orang lain.
3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material
semata: pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang
untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai
benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa
mengurangi ke-tubuh-an seseorang.
Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa
dasar, sebagai berikut
1. Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang
tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang
bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan
hidup manusia, yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam.
Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan:
Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk
menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi ada
persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya); penerima organ
sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )
2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu
manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela
merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan
bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya
dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini pun ada beberapa syarat:
a)  Ada persetujuan dari donor;
b) Nyawa donor tak terancam dengan dilakukan berpeluang berhasil
amat tinggi.
c) Organ tak diperoleh melalui transaksi jual-beli,

Transplantasi ditinjau dari prakteknya, dapat dibedakan menjadi :


1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat
lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain.
3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari satu
spesies ke tubuh spesies lainnya.

D. Aspek hukum transplantasi


Dari segi hukum, transplantasi organ dan jaringan sel tubuh dipandang
sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan
manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu
tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya pengecualian maka perbuatan
tersebut tidak lagi diancam pidana dan dapat dibenarkan. Transplantasi dengan
donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana transplantasi pada satu sisi dapat
membahayakan donor namun di satu sisi dapat menyelamatkan hidup pasien
(resipien).
Di beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang Transplantasi,
terdapat pembalasan dalam pelaksanaan transplantasi, misalnya adanya larangan
untuk transplantasi embrio, testis, dan ovarium baik untuk tujuan pengobatan
maupun tujuan eksperimental. Namun ada pula negara yang mengizinkan
dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di atas untuk kepentingan
penelitian saja.

Diindonesia sudah ada undang undang yang membahasnya yaitu UU No.36


Tahun 2009 mengenai transplantasi :
Pasal 64
1. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat
kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
2. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan.
3. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih
apapun.
Pasal 65
1. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan,
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan
kemanfaatannya.
Pasal 67
1. Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman
spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 68
1. Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan
implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
1. Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
2. Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
1. Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuktujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.
2. Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

E. Aspek Etik Transplantasi


Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien
dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran
tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu:
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran
tertinggi.

Pasal 10
Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi
hidup insani.
Pasal 11
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada
hakekatnya telah mencakup aspek etik, mengenai larangan memperjual belikan
alat ata jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta kompensasi
material. Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan
saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2) orang dokter
yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan
transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi,karena
bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai
terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-
benar meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan
elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak
dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara
spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi
agar hasilnya lebih objektif.

F. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh


Kebanyakan dari para pemerhati masalah transpalnasi ini ketika membahas
hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan transplantasi itudilakukan,
menurut Prof. Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada
saat pendonor dalam keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau
hampir meninggal,  maka hukumnya adalah dilarang(haram), sedangkan apabila
di lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang
mengharamkan,[7] juga ada yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat
tertentu.[8]  Adapun syarat-syarat tersebut adalah :

1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia


sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak
berhasil. 
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat
bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil yang di nilai sebagai
dasar pengharaman transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan
hidup, antara lain :
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195

َ‫َوَأ ْنفِقُوا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواَل تُ ْلقُوا بَِأ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة َوَأحْ ِسنُوا ِإ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬

Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” 

2. Hadits Rasulullah:

‫ال ضرر وال ضرار‬

Artinya: ”Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak


boleh membayakan diri orang lain.” (HR.  Ibnu Majah).

Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya
kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal… ia (mungkin) akan
menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau
ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang di
nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.

3.  Kaidah hukum Islam:

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Artinya:”Menolak kerusakan lebih  didahulukan dari pada meraih
kemaslahatan”.
Pendonor yang masih hidup berararti mengorbankan atau merusak dirinya
engan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi
keselamatan orang lain, yakni respien. Dan iyu tidaklah sesuai dengan kaidah
hukum tersebut.

4.  Kaidah Hukum Islam:


‫الضرر ال يزال بالضرر‬

Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”


Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di benarkan
penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan
orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam
rangka membantu dan menyelamatkan orang lain adalah di nilai upaya
menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.  
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai transplantasi organ
tubuh ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis oleh
syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan di mana kita akan sampai
pada kesimpulan bahwa menurut Beliau transplantasi adalah suatu hal yang di
perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah
meninggal, akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat
mutlak tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan yang harus di perhatikan.
Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan bahwa
upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan
donor organ tubuh yang sehat  kepadanya adalah merupakan tindakan yang di
perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya.
Akan tetapi yang harus di perhatikan,  masih menurut Beliau kebolehan ini
bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di
benarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor. 
Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu
mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa di
benarkan syara’.
Oleh sebab itu,  tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh
yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia 
tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa   adanya   organ  tersebut;  dan  tidak 
diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan  menimbulkan
dharar  pada dirinya.  Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
 "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa)  itu harus
dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar  itu  tidak 
boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula.".
Kemudian ketika menyinggung permasalahan kehormatan mayit di mana
dalam konteks ini Rasulullah SAW pernah bersabda yang  kurang lebih
artinya :  "Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang
hidup." [16]  dalam artian apakah mendonorkan organ tubuh si mayit itu tidak
termasuk mengabaikan kehormatan mayit?, Beliau Yusuf Qardawi menekankan
bahwa mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan
dengan ketetapan syara'.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu
ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil
organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup
dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak
kehormatan tubuhnya.[17]

Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek transplantasi dari


organ si mayit  tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si mayit,
dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu di
perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya.[18] Akan
tetapi transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa berubah
hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit pernah
berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika
meninggal.[19]  Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu wajib di laksanakan
selama tidak merupakan kemaksiatan.
G. Kesimpulan 
1. Transplantasi organ tubuh dilakukan ketika pendonor hidup sehat
diperbolehkan asal organ yang disumbangkan tidak menyebabkan kematian
kepada si pendonor.
2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma),
hukumnya haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal,
ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.
4. Undang – undang yang mengatur tentang transplantasi organ terdapat dalam
UU No. 39 Tahun 2009 pasal 64 – 70.
5. Aspek etik transplantasi yang berlandasan KODKI terdapat dalam PP No.
18 Tahun 1981 pasal 2-11.

4.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas penulis mengesimpulkan bahwa transplantasi
dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah
Boleh melakukan transplantasi atau tidak. Dalam hal ini masih terjadi
perbedaan pendapat antar ulama. Allahu ‘alam bissawab.
4.2 SARAN
Kita sebagai orang muslim harus memahami dengan seksama hukum-
hukum islam mengenai transplantasi, khususnya sebagai calon perawat
yang bekerja di bidang kesehatan yang banyak terdapat pertentangan
dengan agama.
H. DAFTAR PUSTAKA
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih kesehatan. Penerbit Serambi. Jakarta. 2007
Hanafiah,Jusuf.1999.Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Jakarta:EGC
http://meetabied.wordpress.com/2009/11/02/hukum-kloning-tranplantasi-
organ-abortus-dan-bayi-tabung-menurut-islam/
http://fosmik-unhas.tripod.com/buletin.html
http://keperawatanreligiondinnyria.wordpress.com/
http://mata-air-ilmu-pusat-kecemerlangan.blogspot.com/2013/06/hukum-
transplantasi-organ-tubuh.html

Anda mungkin juga menyukai