Anda di halaman 1dari 13

 

PERKEMBANGAN PELAYANAN KEBIDANAN

Tenaga yang sejak dulu hingga saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan
kebidanan adalah dukun bayi. Dukun diminta pertimbangan pada masa kehamilan, mendampingi
persalinan hingga selesai dan mengurus ibu serta bayinya dalam masa nifas.

Dukun bayi biasanya seorang wanita, umumnya berumur diatas 30 tahun dan buta huruf. Dukun
adalah pekerjaan turun temurun di keluarga, ia mendapat pelatihan dari dukun yang elbih tua
yang kelak akan digantikan. Pengetahuan mereka tentang fisiologi dan patologi kehamilan,
persalinan dan nifas sangat terbatas hingga timbul komplikasi, ia tidak mampu mengatasi dan
tidak menyadari akibatnya, meski demikian dukun dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang
besar, tidak hanya memberi pertolongan tapi juga emosional kepada wanita yang sedang bersalin
serta keluarganya karena ia dapat membantu jalannya proses persalinan karena adanya doa-
doanya.

Praktek kebidanan modern dibawa masuk ke Indonesia oleh dokter Belanda yang bekerja pada
pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1850 dibuka kursus kebidanan yang pertama, tapi
kemudian ditutup pada tahun 1873, kemudian pada tahun 1879 dibuka kembali.

Pendidikan dokter secara sederhana dimulai pada tahun 1815 dengan didirikannya Sekolah
Dokter Jawa. Berkat peningkatan di segala bidang pendidikan termasuk tenaga kesehatan hingga
pada pertengahan tahun 1979 telah ada 8000 dokter dan lebih dari 16.888 tenaga bidan. Khusus
pelayanan kebidanan untuk masyarakat desa sebagian besar masih di dominasi tenaga-tenaga
tradisional. Pada tahun 1978 kira-kira 90% persalinan masih ditangani dukun, 6% oleh bidan dan
hanya 1 % yang ditangani dokter. Pada tahun 1950 dilaksanakan Program Kesehatan Ibu dan
Anak (BKIA) yang pada umumnya dipimpin oleh bidan. Pada BKIA itu diselenggarakan
pemeriksaan antenatal, post natal, KB, pemeriksaan dan pengawasan penyuluhan gizi pada anak
dibawah umur 5 tahun serta pembinaan dukun bayi

Bidan juga dapat dipanggil ke rumah jika dapat kesulitan dalam persalinan. Di BKIA juga
diadakan persalinan dukun bayi karena pada waktu itu tenaga dukun masih sangat diperlukan
sehingga mereka dapat lebih cepat mengenal tanda-tanda bahaya yang dapat timbul dalam
kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan pada bidan.

Demikian pula dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu peragaan terintegrasi kepada
masyarakat yang dinamakan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Pada tahun 1957
puskesmas memberikan pelayanan didalam gedung dan diluar gedung dan berorientasi di
wilayah kerja. Pelayanan kebidanan yang diberikan diluar gedung adalah pelayanan kesehatan
dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (posyandu). Pelyanan di posyandu mencakup empat
kegiatan yaitu pemeriksaan hamil, KB, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan.

Mulai tahun 1990 pelaksanaan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sesuai instruksi presiden tahun 1992 yaitu penempatan
bidan di desa sebagai pelaksana kesehatan KIA khususnya pelayanan kesehatan ibu hamil,
bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir termasuk pembinaan dukun bayi.
Serta mengembangkan pondok bersalin sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Bidan yang di
rumah sakit memberikan poliklinik antenatal, senam hamil, kamar bersalin, ruang nifas, dan
ruang perinatal kamar opersai kebidanan.

Bidan dalam melaksanakan peran fungsinya didasarkan pada kemampuan yang diberikanyang
diatur melalui permenkes dimulai dari :

1). Permenkes no 5380/IX/1963 wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal
secara mandiri disamping tugas yang lain

2). Permenkes 623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi 2 yaitu wewenang umum dan khusus
dalam hal ini bidan melaksanakan tindakan dibawah pengawasan doker

3).  Permenkes no 572/VI/1996 tentang registrasi dan praktek bidan dalam melaksanakan
tindakan

2.     PERKEMBANGAN PENDIDIKAN BIDAN

Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan, yang dimaksud


dengan pendidikan kebidanan adalah pendidikan formal dan non formal

1)         Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan hindia belanda, tahun 1851 dokter
militer belanda membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di batavia

2)       Tahun 1904 mulai diibuka pendidikan bidan di rumah sakit militer di batavia

3)       Tahun 1911/1912 dimulai tenaga keperawatan di RSUP semarang dan batavia

4)       Tahun 1935-1938 pemerintah belanda mendidik bidan lulusan mulo (setingkat SMP) dan
dibuka sekolah bidan di RSB Budi Kemuliaan Jakarta, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo
di Semarang

5)       Tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17
tahun dan lama pendidikan 3 tahun. Mengingat kebutuhabn tenaga untuk menolong persalinan
cukup banyak, dibuka pendidikan pembantu bidan /jenjang kesehatan E dan ditutup tahun 1976

6)       Tahun 1953 dibuka kursus tambahan bidan (KTB) di yogaykarta lamanya kursus antara 7-
12 minggu

7)        Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan bersama dengan guru perawat di bandung, dan
awal 1972 institusi pendidikan dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP), dan pendidikan ini
menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan bidan

8)       Tahun 1970 dibuka program pendididkan yang menerima lulusan sekolah pengatur rawat
ditambah 2 tahun pendidikan bidan yang disebut sekolah pendidikan lanjutan jurusan kebidanan
dan ini tidak dilaksanakan secara merata dari seluruh provinsi
9)         Tahun 1974 dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga di
lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal

10)     Tahun 1975-1985 institusi pendidikan bidan ditutup

11)       Tahun 1981 dibuka pandidikan D, kesehatan ibu dan anak, yang berlangsung hanya satu
tahun

12)      Tahun 1985 dibuka program pendidikan bidan lulusan SPB dan SPK, lamanya pendidikan
1 tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim

13)      Tahun 1989 dibuka Cresh program pendidikan bidan secara normal yang lulusan SPK
untuk langsung masuk program pendidikan bidan (PPB/A), lama pendidikan 1 tahun dan
lulusannya ditempatkan di desa dengan tujuan untuk memberikan pelajaran kesehatan terutama
ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebgaai
pegawai tidak tetap (PTT)

14)      Tahun 1993 dibuka PPB program bidan yang peserta didukungnya dari lulusan akper
dengan lama pendidikan 1 tahun yang tujuannya untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada
program pendidikan bidan A

15)      Tahun 1993 dibuak PPB program C yang menerima lulusan SMP dilakukan di 11
provinsi di wilayah sumatera, kalimantan, sulawesi selatan, NTT, maluku dan irian

16)      Tahun 1994-1995 pemerintah menyelenggarakan uji coba pendidikan PPB jarak jauh di 3
Provinsi jawa barat, jawa tengah, jawa timur. Pengaturan penyelenggaraan telah diatur dalam SK
menkes no 1247/menkes/SK/XII/1994

17)      Tahun 1994 dilakukan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
LLSS

18)      Tahun 1996 Ibi bekerja sama dengan depkes dan American College of Nurse Midwife
(ACNM) dan RS swasta menjadikan training kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS
yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PP IBI

19)      Tahun 1995-1998 IBI bekerja sama dengan mother care melakukan pelatihan dan peer
review bagi bidan RS, bidan puskesmas dan bidan desa di provinsi kalimantan selatan

20)    Tahun 2000 ada pelatihan APN yang dikoordinasikan untuk maternal neonatal health
(MNH) sampai saat ini telah melalui APN di beberapa provinsi
Sejarah Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Indonesia

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Hendrik William Daendles, para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan.

Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada
di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia, tepatnya di
Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot Subroto. Seiring
dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi
wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda bernama dr. W. Bosch. Lulusan
sekolah ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan
kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.

Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan
kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih berlangsung sampai sekarang.
Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan
yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta,
yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan
pelatihan tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai
penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta penyuluhan
gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi pertolongan persalinan di rumah keluarga dan
melakukan kunjungan rumah sebgai upaya tindak lanjut pascapersalinan.

Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat
yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas
memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja.
Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan
anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung.
Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan
pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan
yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan
lingkungan.

Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang disampaikan
secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik bidan
untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA,
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan
bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa
juga menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan
dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas
pokoknya, bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya,
mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta mengembangkan Pondok Bersalin
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan
bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja di rumah
sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di poliklinik
antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin, kamar operasi
kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi pelayanan bagi klien yang
mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi
pendidikan perinatal.

Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan
pada kesehatan reproduksi (reproductive health), memperluas area garapan pelayanan bidan,
area tersebut meliputi :

1. Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.

2. Keluarga berencana
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi

4. Kesehatan reproduksi remaja

5. Kesehatan reproduksi orang tua

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan serta
kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta kebijakan pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut terdiri atas :

1. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.

2. Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989, menyatakan
bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam
wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksananan tindakan khusus di bawah pengawasan
dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab dan
bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan
melaksanakan praktik perorangan di bawah pengawasan dokter.

3. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam
melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai
kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :

a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak


b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat

4. Permenkes No. 900.Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan.
Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan untuk memberikan pelayanan yang
meliputi :
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal, intaranatal,
postnatal, bayi baru lahir, dan balita.
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat kontrasepsi
melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan AKBK tanpa
penyulit.

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan


sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan dalam
pelayanan kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi : oral
(pil KB), suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), alat kontrasepsi
bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan. Pada keadaan darurat, bidan juga
diberi wewenang untuk memberikan pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan
jiwa (misalnya: kuretasi digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia dan hipotermia).

Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya harus
sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta berdasarkan standar
profesi. Di samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasu yang tidak dapat ditangani,
menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilaksanakan, memberi
informasi, serta membuat rekam medis dengan baik. Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci
mengenai kewenangan bidan terdapat pada petunjuk pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam
Lampiran Keputusan Dirjen Binkesmas No. 1506/tahun 1997.

Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena
kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan bahwa bidan
sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian
kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan
bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan


profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu, adanya Konsil
Kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada profesioanl dan
akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat
utama untuk percepatan penigkatan kualitas pelayanan kebidanan.

b. Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Dalam Negeri

Pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya


berjalan beriringan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap pelayanan
kebidanan. Pendidikan bidan mencakup pendidikan formal dan nonformal.

Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851, seorang
dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik akibat adanya
larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.

Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di Batavia
pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga dibuka di
Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan di mana pun tenaga mereka
dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma.
Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan.
Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).

Tahun 1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di


Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di
Batavia dengan lama pendidikan selam empat tahun. Calon murid berasal dari lulusan Holandia
Indische School (setingkat SD selama 7 tahun) dan pada awalnya hanya menerima peserta didik
pria. Pada tahun 1914, peserta didik wanita mulai diterima untuk mengikuti program pendidikan
tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, perawat wanita dapat meneruskan ke
pendidikan kebidanan selama dua tahun, sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke
pendidikan keperawatan lanjutan juga selama dua tahun.

Pada tahun 1935-1938, pemerintah colonial Belanda mulai membuka pendidkan bidan
lulusan Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di
beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang
Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang
mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar
pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu
(Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi
bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah
bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan
zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan
mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.

Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong
persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang
Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan
setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar.
Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.

Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7
sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini
adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA
dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan,
terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup.

Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan
perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun
kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun
1972, institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini
menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah
Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan
Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di
seluruh provinsi.
Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24
kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan
nonsarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang salah satu tugasnya adalah menolong
persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang
berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong
persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.

Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup sehingga selama 10 tahun
tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan
wajar.

Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan
kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua
institusi.

Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan dari
PR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan ibu dan anak setta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu
tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.

Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan lulusan
SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program
Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidkan satu tahun. Lulusannya ditempatkan di
desa-desa dengan tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap
ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di
tiap desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT)-kontrak dengan pemerintah selama tiga tahun
yang kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.-

Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan
berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinis sebagai
bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling, dan kemapuan untuk
mengerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program
Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup banyak. Diharapkan pada
tahu 1996, sebagian besar desa sudah memiliki inimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini
kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagi
seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun) dan
jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk praktik di klinik
kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang
bidan profesional tidak dapat tercapai.

Pada tahun 1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan
akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah
menyiapkan tenaga pengajar Pendidikan Program Bidan A. hasil penelitian terhadap kemampuan
klinis kebidanan lulusan ini menunjukkan bahwa kompetensi bidan yang diharapkan tidak
tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya satu tahun. Pendidikan ini
hanya berlangsung selama dua angkatan (1995-1996) kemudian ditutup.

Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang menerima murid dari
lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Riau
(wilayah Sumatera); Kalimanta Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (wilayah
Kalimantan); Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan ini
memiliki kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.

Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga provinsi
yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas
cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur
dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/VII/1994.

Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya serta diharapkan dapat memebri
dampak pada penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.

Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di
Provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi. Pada Tahap II (1996-1997), DJJ
dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997-1998), DJJ dilaksanakan di 26 provinsi.
Secara kumulatif pada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439
(55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999), DJJ dilaksanakan fi 26 provinsi dengan
jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang, kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi
Tengah masing-masing hany 40 orang, dan Provinsi Jambi 50 orang.

Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal (Life Saving Skill, LSS) dengan materi pembelajaran
berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasikan oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen
Binkesmas., sedangkan pelaksananya dilakukan di rumah sakit provinsi/kabupaten. Ditinjau dari
prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif.

Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan
dan American College of Nurse Midwife (ACNM) serta rumah sakit swasta mengadakan training
of trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota IBI berjumlah 8 orang, yang kemudian
menjadi tim pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan acara TOT
dan pelatihan untuk para bidan desa. (yang dilaksanakan di 14 provinsi) dan bidan praktik swasta
(yang dilaksanakan secara swadaya) serta kepada guru/dosen dari diploma kebidanan.

Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer
review bagi bidan rumah sakit., bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi Kalimantan
Selatan.

Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang
dikoordinasikan oleh Mterna Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah memberi
pelatihan APN di beberapa provinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya dijukan
untuk bidan di pelayanan tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di sekolah/akademi
kebidanan.
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga
diadakan seminar dan lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi
(Organization Development, OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996
sampai tahun 2000 dengan biaya dari UNICEF.

Anda mungkin juga menyukai