Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau mayat yang organ tubuhnya
mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak
berfungsi lagi sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat.
Dalam islam transplantasi bisa dikategorikan urusan duniawi. Karena jika kita amati, tidak ada
dalil baik dari Al Quran ataupun hadits.Lalu bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk
di transplantasi?
Allah berfirman:
Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah 5 :2)
Dari firman tersebut maka mendonorkan organ tubuh untuk ditransplantasi itu boleh. Namun
perlu diperhatikan,dalam mendonorkan organ,organ tersebut bukanlah organ vital,yang jika
organ tersebut di ambil maka akan menimbulkan kematian bagi pendonor.
Ada dua jenis donor organ:
A.
Donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian
si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan
mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya,
atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.
Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (QS an-Nisa [4]: 29).
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-Anam [6]: 151)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka
dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.
dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah
2: 195)
B.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh. Sebagian ulama madzhab Maliki dan
Adz-Dzahiri yang berpendapat bahwa npemanfaatan organ tubuh mayat tidak boleh didilakukan
dengan landasan sabda Rosulullah Rasulullah saw., Memotong tulang mayat sama dengan
memotong tulang manusia ketika masih hidup. (HR. Abu Daud). Jadi, mayat harus dihormati
sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Madzhab Hanafi,Maliki,Syafli dan Hambali
berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam
keadaan darurat. Menurut mereka hadits riwayat Abu Dawud tersebut berlaku jika dolakukan
semena-mena tapa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan itu tidak dilarang karena hadits
yang memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih
meyakinkan daripada hadits Abu Daud tersebut.
Transplantasi ini dapat di lakukan dengan syarat si pendonor telah mewariskan sebelum ia
meninggal atau dari ahli warisnya(jika sudah wafat).
Namun ada pula yang berpendapat bahwa hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia
mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah
keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun
istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya.memang di bolehkan
untuk harta namun itu di khususkan hanya untuk harta bukan untuk anggota badan.
Menurut saya, daam keadaan darurat diperbolehkan,dengan asar:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
[2:173]
Hal ini di karenakan demi menyembuhkan penyakit,kerena Allah menurunkan suatu penyakit
beserta obatnya. Dan dalam syariat islam menuntut umatnya agarseluruh penyakit harus di
obati,angan membiarkan penyakit bersarang di tubuh kita yang dapat berakibat fatal,yaitu
kematian. Sesuai dengan firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu.sesungguhnya Allah sangat belas kasihan padamu. (QS
an-Nisa [4]: 29).
A. Pengertian
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai
daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi
dengan baik milik orang lain.
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut
repisien.
Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan
dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.
Ditinjau dari segi kondisi donor (pendonor)-nya maka ada tiga keadaan donor:
Dalam kasus ini, pendonor mengorbankan dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan
kepada dan demi kemaslahatan orang lain, yakni resipien.
3.
Kedua, apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma) atau hampir
meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan (Ibid, 89), berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Hadits Rasulullah:
Artinya:Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain. (HR. Ibnu
Majah).
Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang dalam keadaan sakit
(koma).
2.
Orang tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang sakit (koma)
akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan dari pencangkokan tersebut
adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya orang lain (resipien).
Ketiga, apabila pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara medis maupun
yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Yang membolehkan
menggantungkan pada dua syarat sebagai berikut:
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara
medis dan non medis, tapi tidak berhasil. (ibi, 89).
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan
keadaan sebelum pencangkokan.
Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut:
Artinya;Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
memelihara kehidupan manusia seluruhnya.
Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa manusia.
Dalam kasus ini seseorang yang dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah meninggal, maka
Islam membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya,
lantaran menolong jiwa sesama manuysia atau membanatu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya
yang tidak berfungsi. (Keputusan Fatwa MUI tentang wasiat menghibahkan kornea mata).
1. Hadits
Artinya:Berobatlah wahai hamba Allah, karen sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali Dia
meletakkan jua obatnya, kecuali satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua.
Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara transplantasi organ tubuh.
1. Kaidah hukum Islam
Artinya:Kemadharatan harus dihilangkan
Dalam kasus ini bahaya (penyakit) harus dihilangkan dengan cara transplantasi.
2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris harus melaksanakan wasiat orang yang meninggal.Dalam
kasus ini adalah wasiat untuk donor organ tubuh. Sebaliknya, apabila tidak ada wasiat, maka ahli waris
tidak boleh melaksanakan transplantasi organ tubuh mayat tersebut.
Pendapat yang tidak membolehkan kornea mata adalah seperti Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Masalah
Apabila transplantasi organ tubuh diperbolehkan, lalu bagaimana apabila organ tubuh tersebut dipakai
oleh resipien melakukan tindakan dosa atau tindakan yang berpahala? Dengan kata lain, apakah pemilik organ
tubuh asal akan mendapat pahala, jika organ tubuh tersebut dipakai repisien untuk melakukan perbuatan yang
baik. Sebaliknya, apakah pendonor akan mendapat dosa apabila organ tubuh tersebut dipakai repisien
melakukan dosa?
Pendonor tidak akan mendapat pahala dan dosa akibat perbuatan repisien, berdasarkn dalil-dalil
berikut ini:
1.
Firman Allah:
Artinya:Dan sesungguhnya, tidaklah bagi manusia itu kecuali berdasarkan perbuatannya. Dan
perbuatannya itu akan dilihat. Kemudian akan dibalas dengan balasan yang sempurna.
1. Firman Allah:
1. Hadits Rasulullah:
Artinya:Apabila seseorang meninggal, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu:
shadaqah jariyah, ilmu yang berguna dan anak yang shaleh yang mendoakan kepadanya.
C.
Kesimpulan
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Transplantasi organ taubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat maka hukumnya haram.
2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan
ada yang berpendapat haram.
Di
antara
banyak
pertanyaan
etis
terkait
dengan
agama
mengherankan
Islam
jika
maupun
tak
semua
konteks
sosial
pertanyaan
di
Muslim,
atas
tak
tidak
mendapatkan penekanan yang sama. Secara umum, kelompokkelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan cukup
mendasar pada persoalan boleh tidaknyadari sudut pandang nilainilai keagamaanmelakukan pencangkokan organ.
Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan
fikih (hukum/ jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi
fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram , meskipun tidak
selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah
pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan
merujuk pada sumber tekstual utama (Quran dan hadis) maupun
kitab-kitab hukum fikih.
Dari
segi
metodologi,
untuk
menjawab
masalah-masalah
lama
itu,
atau
kasus-kasus
yang
analog
dengannya.
ada
(keburukan)
prinsip
dari
pertimbangan
suatu
manfaat
dan
prinsip
mendahulukan
keputusan;
mudarat
darurat
(sesuatu
yang
dalam
keadaan
normal
tak
penggunaan
bagian-bagian
tubuh
manusia
untuk
di
bawah,
upaya
ini
dilakukan
dengan
tak
satu
dengan
lainnya
bahkan
terkadang
saling
bertolak
disampaikan
beberapa
pandangan
yang
cukup
populer
mengenai ini dalam Al-Quran. Dalam kaitan ini ada satu hadis
(ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip
untuk
menunjukkan
dilarangnya
manipulasi
atas
tubuh
untuk
menyelamatkan
hidup
manusia,
yang
ini
pun,
ada
beberapa
kualifikasi
yang
mesti
lain
untuk
menyelamatkan
nyawa;
derajat
manusia
lain,
khususnya
sesama
Muslim;
menerima
uang
untuk
tindakannya),
dan
karenanya
dengan
kebolehan
(dan
dalam
kasus
tertentu
suatu
komunitas
Muslim,
adalah
kewajiban
bagi
salah
membutuhkan!
(Sekali
lagi,
tentu
dengan
memenuhi
pembatasan-pembatasan di atas.)
Belakangan ini, di antara lembaga-lembaga pemberi fatwa di
dunia Muslim, pandangan yang dominan adalah pandangan yang
mendukung bolehnya pencangkokan organ. Di antara lembaga
semacam itu yang mendukung pencangkokan organ adalah Akademi
Fikih Islam (lembaga di bawah Liga Muslim Se-Dunia, yang berpusat
di Arab Saudi) pada fatwa-fatwanya pada tahun 1985 dan 1988;
Akademi Fikih Islam India (1989); dan Dar al-Ifta (lembaga otonom
heterotransplantasidalam
darurat)
yang
lebih
tinggi.
urutan
Meski
keterdesakan
demikian,
(situasi
diperbolehkannya
yang
perbuatan
sudah
yang
tak
digali
ternyata
menghormati
terlalu
mayat.
sempit.
Ini
Sementara
jelas
dalam
pencangkokan organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat
mulia. Demikian pula, mengambil organ dengan alasan mulia yang
jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya
memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama
manusia.
Tiga catatan kritis atas wacana fikih yang dominan:
Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh
mengenai apa yang disebut oleh Moosa (2002) sebagai kosmologi
tubuh. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-perbedaan fatwa
tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda.
Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk
memperlakukan tubuhnya sendiri untuk tujuan apapun. Ujungujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang deterministik.
Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi,
misalnya, pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di
antaranya, darah menstruasi dipandang sebagai sesuatu yang najis.
Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai
peristiwa
biologis/alamiah
sepenuhnya,
tanpa
perlu
diberi
signifikansi spiritual. Dalam kasus yang kedua ini lebih tampak jelas
adanya
inkoherensi
antara
pandangan
konservatif
atas
tubuh
kecuali
pembedaan
yang
sifatnya
biologis
semata.
Demikian pula, pembedaan antara tubuh Muslim dengan nonmuslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan.
Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga
kelompok persoalan etis menyangkut pencangkokan organ (yang
dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu condong pada
kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut
pandang pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok
masalah etis kedua (perolehan dan distribusi organ) hanya sedikit
tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok
masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas,
kelompok masalah kedua memang terasa jauh lebih urgen di
tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi prosedur yang
amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis
pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim
pula dilakukan dalam komunitas Muslim; namun persoalan etika
perolehan dan distribusi organ belum cukup mendapat perhatian.
Demikian
pula,
ketakbolehan
memperjualbelikan
organ
Ketiga.
Yang
nyaris
absen
dari
literatur
Islam
adalah
keadilan adalah salah satu nilai etis terpenting Islam, nyaris tak
adanya pembahasan ini tentu patut disesalkan. Perhatian yang
lebih serius pada aspek keadilan sosial-ekonomi kiranya akan
mengubah wacana pemfatwaan masalah pencangkokan organ.
Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum
tradisi etika dalam Islam kontemporer tak cukup berkembang,
terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih berkutat
pada
persoalan-persoalan
legal
mengenai
halal-haram
secara
intrinsik. Di sisi lain, jika dalam kasus pelarangan jual beli organ
yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini karena pembuat
fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang
lebih awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosialekonomi saat ini. Upaya-upaya me(re-) konstruksi suatu sistem etika
Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat munculnya ragam
mazhab-mazhab
etika
yang
cukup
kuat
untuk
mendukung
1323072331
Untuk mengokohkan upayanya, mereka menelikung Islam serta hukum syara' untuk
meloloskan undang-undang tersebut: undang-undang yang mengatur aktifitas
transplantasi anggota tubuh manusia. Maka, merupakan keharusan adanya penjelasan
hukum syara' terhadap masalah ini,
Akan tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam perkara tersebut, adalah merupakan
keharusan pula bahwa setiap pembahasan masalah yang didasarkan pada asas Islam,
harus tunduk pada sudut pandang Islam. Artinya menurut Islam hendaknya manusia
melaksanakan seluruh aktifitasnya di dalam kehidupan sejalan dengan perintahperintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Bahwa standar Islam adalah halal dan
haram saja dan tidak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud halal itu adalah apa
yang dihalalkan Allah, dan haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah. Hukum halal
dan haram tersebut diperoleh dari nash-nash syara' yang diambil dari al-Kitab dan asSunnah, dan hal-hal yang ditunjuk oleh keduanya: (yaitu) ijma' sahabat dan qiyas.
Selanjutnya, yang halal diambil dan yang haram ditinggalkan. Sikap tersebut diambil
tanpa memperhatikan lagi maslahat, atau mafsadat, juga tanpa memperhatikan lagi
manfaat yang didapatkan maupun madzarat yang mungkin menimpa. Sungguh,
pandangan Islam terhadap suatu masalah adalah pandangan pada manusia yang
menghendaki hukum Allah--atau dengan kata lain sesuai dengan kehendak Allah
terhadap masalah tersebut. Juga dengan adanya pemahaman bahwa cita-cita
kemanusiaan, sosial, ekonomi pasti akan terealisir, terlepas apakah hal tersebut
diketahui maupun tidak.
Allah Swt berfirman:
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta". (TQS Thaha [20]: 124)
Namun, apabila pandangan terhadap suatu masalah didominasi oleh sudut pandang
yang bersifat manusiawi, sosial maupun ekonomi, maka berarti pemberlakuan hukum
didasarkan pada akal, atau paling tidak hukum yang ditetapkan sesuai dengan visi akal.
Sedangkan dalam Islam, yang dimaksud dengan membangun Islam berdasarkan akal
adalah bahwa akidah Islam dibangun berdasarkan akal; ketika dalam proses
memahami keberadaan Maha Pencipta yang Maha Pengatur. Juga dalam memahami
bahwa al-Quran adalah datang dari sisi Allah Swt, dan bahwa Muhamad saw adalah
Rasul Allah yang benar dan hak. Demikian pula yang dimaksud oleh Islam bahwa
aktifitas akal manusia adalah untuk memahami nash-nash dari dalil-dalil yang bersifat
syar'i. Bukan untuk membuat syariat maupun hukum. Adapun keterbatasan akal untuk
menjangkau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia adalah hal yang tidak lagi perlu
dijelaskan. Bukankah adanya perbedaan sikap manusia terhadap satu kemaslahatan
pada satu tempat (tertentu) apabila dibandingkan dengan (tempat) yang lain, atau dari
satu masa dengan masa yang lain menunjukkan hal itu?. Oleh karena itu benarlah
pernyataan dimana ada (pemberlakukan) syara' disitu pasti ada maslahat.
Berdasarkan ini pula, para ulama kaum Muslim meletakkan kaedah-kaedah usul dalam
mengistimbathkan hukum syara' yang didasarkan pada tahqiq al-manath. Sedangkan
yang dimaksud dengan tahqih al-manath tidak lain adalah pengkajian terhadap realita
masalah, maupun kajian terhadap nash-nash syara' yang berkaitan dengan perkara
tadi. Selanjutnya dilakukan aktifitas istimbath hukum syara' untuk memberikan solusi
terhadap masalah tersebut. Adapun arahan terhadap sudut pandang maupun
terpengaruhnya perasaan yang dilandaskan pada manfaat maupun maslahat, hal itu
bukanlah bertahkim pada syariat Allah, tetapi bertahkim pada akal.
Berdasarkan asumsi inilah pembahasan hukum transplantasi organ dilakukan
sebagaimana berikut ini:
Adapun anggota tubuh -yang diduga kuat- dapat menyelamatkan kehidupan manusia
maka illat-nya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadangkadang juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti
mampu menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang
('illat al-far'u)dalam hal ini transplantasiadalah terbebas dari pertentangan (dalil)
yang lebih kuat, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh
'illat qiyas. 'Illat qiyas dalam transplantasi organ adalah untuk memelihara kehidupan
manusiasebagaimana pada kasus makan bangkai. Padahal illat tersebut masih
berupa 'diduga kuat'. Ini bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan
jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan hal ini tidak
diperbolehkan (baca: haram) melakukan transplantasi organ; yang dengan transplantasi
tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya.
Sedangkan transplantasi organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung
padanya; atau dengan kata lain kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan
kematian, maka illat yang ada pada pokok ('illah al-ashl) pemeliharaan terhadap
kehidupan manusiatidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini.
Dengan demikian maka tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari
seseorang yang telah mati; sementara dia terpelihara darahnya--baik muslim, kafir
dzimmi, mu'ahid maupun musta'minpada orang lain yang kehidupannya tergantung
pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.
memanfaatkan anggota tubuh kalian ketika masih hidup maupun setelah mati. Lalu
siapa yang dapat mencegah industri kesehatan raksasa Amerika maupun Eropa dalam
mengatur jual-beli anggota (tubuh) di Mesir dan juga aktifitas bank-bank khusus untuk
itu?!.
1323126660224