Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin


pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral
dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah Euthanasia.
Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga
melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro
dan kubu yang kontra.

Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di
tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap
Tuhan, karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia
sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi
keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum
perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had
dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan
oleh ulul amr atau lembaga peradilan, nmaupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di
neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[1]

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan
diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah
satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan
belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada
seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk
mempercepat waktu kematiannya.

B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian euthanasia?
b. Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?
c. Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?

C. Tujuan penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian euthanasia
b. Untuk mengetahui hukum islam tentang euthanasia
c. Untuk mengetahui hukum positif tentang euthanasia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian”.[2] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau
taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.[3]

Euthanasia ialah menghilangkan derita si sakit dengan cara mengakhiri kehidupannya.


Secara medis, euthanasia baru dilaksanakan jika penyakit tersebut tidak mungkin di
sembuhkan lagi. Namun demikian, faktor ketidak mampuan biaya juga menjadi
pertimbangan. Dalam dunia medis, di kenal tiga macam euthanasia.

B. Macam Macam Euthanasia

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[4]

1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan


memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobsatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.

2. Euthanasia Pasif

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter

2
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka
dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun
dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[5]

C. Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.

1. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori


pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29). ( DR.Yusuf Qordhawi. hal. 459)

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

3
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-
Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan


memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4
tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[7] Jika dibayar dalam bentuk
dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai
4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram
perak (1 dirham = 2,975 gram perak).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang
tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu.
Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman :
hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan
surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[8]

2. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik


menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan

4
cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang
mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[9]

Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut


ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits
itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang
ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena
penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada
Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan
mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi
indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk


dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya,
maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut
berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun

5
sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada


pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak
haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak
dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).

D. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia

1. Menurut Aspek Medis

Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan


seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang
membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini
berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy
killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah
teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia
tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran
Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila
pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya
sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu
dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

6
2. Menurut Aspek Hukum

Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal
khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi
“barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan
medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut
berbunyi:

“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara....”.

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan

“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.

E. Pandangan Islam Tentang Euthanasia

Islam sangat memperhatikan keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah, islam
melarang seseorang bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada
jasadnya bukanlah miliknya sendiri.Sebaliknya, jiwa merupakan titipan allah SWT yang
harus dipelihara dan digunakan secara benar. Maka dari itu dia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri.

Allah SWT berfirman:

” Dan janganlah kamu membunuh dirimu (sendiri).Sesungguhnya Allah SWT Maha


Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya,
maka kami kelak akan memasukkan ke dalam api neraka. Yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah”.[2]

Dalam komentarnya (tentang ayat ini), Imam Fakhurrazi menyatakan bahwa secara
fitrah, manusia beriman tidak akan melakukan bunuh diri. Akan tetapi, dalam kondisi
tertentu_misalnya karena frustasi,mengalami kegagalan, dan sebagainya_ akan terbuka
peluang cukup besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah, AL-Qur’an melarang keras
kaum mukmin untuk melakukan bunuhdiri.

Karena alasan itu pula, seorang pesakitan dalam islam untuk dianjurkan untuk segera
berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam rangka mempertahankan
kehidupannya.

7
Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan penyakit beserta obatnya. Karena itu,
berobatlah”.

Hadis ini memotivasi kepada manusia agar ketika sakit hendaknya berobat untuk
kesembuhan penyakitnya. Karena setiap penyakit yang diturunkan oleh allah itu pasti ada
obatnya. Meskipun kadang kala, manusia belum mengetahui obatnya. Yang terpenting bagi
manusia adalah bahwa ia telah berikhtiar untk menyembuhkan penyakitnya.

Di sisi lain, seseorang juga dilarang keras membunuh orang lain. Sebagai bukti
keseriusannya, islam memberikan ancaman dan sanksi yang sangat tegas bagi pelakunya.

Allah SWT berfirman:

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah
neraka jahannam, kekal ia didalamnya. Allah murka dan mengutuk kepadanya dan
menyediakan adzab yang besar baginya.[3]

Pada persoalan euthanasia positif, jika inisiatif untuk melakukan euthanasia itu
muncul dari pasien,maka dokter hanya dikenakan ta’zir. Dalam hal ini kebijakan penuh atas
kebijakan hakim.Sedangkan, si pasien justru dianggap sebagai orang yang melakukan bunuh
diri.

Lalu, bagaimana halnya dengan euthanasia negative ?persoalan ini tentu berbeda
dengan dengan yang pertama (euthanasia positif). Tidak lain karena, dalam hal ini si dokter
sudah tidak mampu lagi member pertolongan medis. Karena itu dia tidak bisa dipersalahkan
begitu saja.Lebih-lebih, jika keluarga pasien yang sudah tidak mampu lagi membiayai
pengobatan dan meminta sendiri agar si pasien tidak diobati.[4]

F. Pendapat Kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah.

a. Kalangan Syafi’iyah

Secara global, kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama’ membagi pidana pembunuhan
menjadi tiga,pertama, pembunuhan secara sengaja(al-qatl al-‘amd). Yakni, pembunuhan yang
dilakukan secara sengaja dengan menggunakan alat atau benda yang biasanya dapat
mematikan.Seperti pisau, sabit, besi, racun, dan lain sebagainya.

Kedua,pembunuhan semi sengaja (al-qatl al-syabih al-‘amd).Yaitu, pembunahan yang


dilakukan secara sengaja dengan menggunakan benda yang biasanya tidak mematikan.
Misalnya memukul secsra pelan dengan menggunakan tangan,cambuk atau kerikil kecil.

Ketiga, pembunuhan keliru(al-qatl al-khatha).Artinya pembunuhan secara tidak sengaja,


misalnya seseorang jatuh mengenai orang lain, lalu orang tersebut mati.[5]

8
b. Kalangan Hanafiyah

Lain halnya dengan hanafiyah, mereka membagi bentuk pidana pembunuhan menjadi
lima macam, yang meliputi tiga jenis pembunuhan versi jumhur di tambah dengan dua versi
mereka.

Pertama, pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan yang keliru. Misalnya,


seseorang yang sedang tidur lalu terjatuh mengenai orang lain lalu kemudian menyebabkan
orang itu mati.

Kedua, pembunuhan dengan penyebab secara tak langsung. Seperti, menggali lobang
ditengah jalan umum, lalu ada orang terperosok kedalamnya, kemudian ia mati.

c. Kalangan Malikiyah

Kelompok malikiyah hanya membagi kepada dua pidana seperti diatas, yakni al-‘amd dan
al-katha’.Alasan mereka karena didalam al-Qur’an hanya dibagi menjadi dua jenis
pembunuhan tersebut.Selebihnya, lanjut mereka, tidak ada dasar nashnya.

Dari penjelasan diatas, euthanasia aktif bisa masuk dalam pembunuh sengaja.Karena
dokter melakukan hal itu secara sengaja dan jelas-jelas menggunakan obat yang pada
biasanya memang bisa mempercepat kematian si pasien.Konsekuensinya, si pelaku _dalam
hal ini dokter_ dikenakan hukun qishash. Bahkan jika ada ahli waris yang turut mendukung
praktik tersebut, maka dia tidak dapat memperoleh warisan. Sebagaimana bunyi qaidah fiqh:

“barang siapa mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka terlarang sebab tindak
mempercepatnya itu”.[6]

Kaitannya dengan kaidah ini, bahwa seorang ahli waris yang berusaha untuk
membunuh orang, agar bisa mewarisi harta oarng tersebut, tidak akan memperoleh bagian
warisannyadi kemudian hari. Ini merupakan kutukan islam atas orang-orang yang punya
ambisi tinggi untuk bisa memperoleh warisannya (sebanyak-banyaknya) sebelum waktu yang
semestinya.

d. Pendapat Syeh Sulaiman al-Bujairimi

Beliau menegaskan:

”orang-orang yang sedang sakit disunnahkan berobat, karena ada hadits,’sesungguhnya Allah
tidak menciptakan penyakit tanpa menyertakan obatnya kecuali tua renta. (imam al-Nawawi)
berkomentar dalam kitab al-Majmu’, jika seseorang yang sakit tidak mau berobat semata-
mata karena tawakkal kepada Allah SWT, maka hal itu lebih utama. Maka makruh hukumnya
memaksa ia untuk berobat”[7]

Jika mengikuti jalur ini, menjadi sangat boleh membiarkan kondisi tanpa harus
diobati,pasien yang sudah pasrah total kepada Allah SWT. Tindakan dokter atau juga
keluarganya membiarkan penyakit pasien berlarut-larut tidak bisa dipisahkan. Karena, barang
kali, kondisi inilah yang dikehendaki si pasien. Kalaupun harus mati, si pasien bisa merasa

9
tenang tanpa memikirkan keluarganya dengan tumpukan biaya hutang selama ia sakit
misalnya. Juga, karena mati, pasien bisa lebih cepat bertemu tuhannya. Tuhan yang memang
sudah dirindukannya sejak lama. Karena itu ia tak ingin ada yang menghalangi. Termasuk
dengan cara memberi obat padanya. Keinginannya sudah bulat.Maka jangan sekali kali
menghalangi keinginan mulia dia ini.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia


tidak boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal
tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan
kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak
berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga
adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan
mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam
kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang
dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah
manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan
secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri
kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk
melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika,
seperti membunuh orang dengan cara apapun.

B. SARAN

Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu
menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang
yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan
kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah
teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia
tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

11
DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer

Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta

: Gema Insani Press.

Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung

http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/

[1] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung. hal. 161

[2] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta

: Gema Insani Press. Hal. 177

[3] Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer

Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Hal. 145

[4] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta

: Gema Insani Press. Hal. 178

[5] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta

: Gema Insani Press. Hal. 178

[6] DR.Yusuf Qordhawi. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia. hal. 459

[7] Drs. H. Aliy As’ad. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus. hal. 268

[8] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung. hal. 163

[9] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta

: Gema Insani Press. hal. 180

[10] . http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/

12

Anda mungkin juga menyukai