dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan
pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun.[5]
C. Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :
(92 : ). ....
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim).
Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu.
Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman :
hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya. (HR Bukhari dan Muslim).[8]
2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya
faktanya
.Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Haditshadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan
(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku! Nabi SAW berkata,Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.
Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu
berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi,Sesungguhnya auratku sering
tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak
tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka
jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter
berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.
Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan
yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya
masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena
organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien setelah matinya/rusaknya organ otakhukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
D. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia[10]
1. Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan
seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan
atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi
pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan
seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari
bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis
lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak
diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia
tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode
etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka
pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan
pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik
moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien
dan bukan mengakhiri hidup pasien.
2. Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal
khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai pasal euthanasia. Pasal ini berbunyi
barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis
(euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara.....
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu,
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri.
BAB III
ANALISA KELOMPOK
Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal
ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat
menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan
manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk
menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.
Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan
karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak
mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah
yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak
percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat
menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa
kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi hidup
dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta
tolong dokter atau para medis untuk membunuhnya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah
terlalu menyusahakan keluarganya.
Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan
mengtuhankan diri kita sendiri sebagai Tuhan yang dapat menentukan hidup atau matinya
orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka
ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan
pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan
mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga
merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan
membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa
dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang,
karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup
kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau
digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk
mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru
ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan
tak bisa diukur dengan nilai apapun.
Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya
tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan
euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena
ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia
untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan
semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu
tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan
cara membunuh.
Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang
fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut
harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang
dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya,
sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut
untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan
jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia,
karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit,
sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk
memberikan
kematian
yang
nyaman.
Masalahnya
disini
adalah
dokter
belum
bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi
pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk
mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan
hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat
administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang.
Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak
bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa
tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan
tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi
beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini
melanggar hak asasi si pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah
termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter
seharusnya
berusaha
untuk
mempertahankan
kehidupan
pasien
sampai
batas
akhir
kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus
mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara
hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.
Euthanasia
BAB I
PENDAHULUAN
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk
menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di
jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose
maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi
bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang
pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan
pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,
sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia, namun
tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat.
Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap
melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang
penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan
eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti
eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek
eutanasia memang masih kerap terjadi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai
pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan
beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait
eutanasia.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:
a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?
b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?
c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?
d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?
f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek eutanasia?
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metoda studi kepustakaan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit.
Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang.
Hal ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai
hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi
(khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas
pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat
ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa
kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan
kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
2.2
Sejarah Euthanasia
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul
sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut
Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua
tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh
Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah
memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada
tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang
pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa
Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia
secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada
tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia
tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan
Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua
yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai
bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam
suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada
era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan
oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh
Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu
bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada
semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait
dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam
sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang
sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan
eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada
praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
2.3
Klasifikasi
A. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya,
memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
- Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus
malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung
medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan
hidup.
- Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
C.
- Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi
dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang
rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan
eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
2.4 Pendapat Ahli
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti mati
baik. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti
euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG
Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia adalah perbuatan dengan
sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien
atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
euthanasia. Hal ini tidak boleh dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam
agama apapun adalah terlarang.
2. Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien, apalagi jika pasien
tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.
3. Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama dengan dokter untuk
mempercepat kematian pasien karena suatu factor amoral, jelas ini merupakan suatu
pembunuhan.
Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat
keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi
sunah, wajib, mubah, atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun
apabila pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara meminum
obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan lain sebagainya dalam waktu
yang relative lama tetapi penyakitnya tidak mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak
wajib dilakukan, dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.
Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli dengan unsure
membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter
hanya meninggalkan sesuatu yang bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila
pihak keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan
beban pasien dan keluarganya.
Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma misalnya, hal tersebut
hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam
pernapasan dan peredaran darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien
sudah seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan tidak dapat
merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah rusak. Membiarkan pasien
dalam keadaan demikian hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi
penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa
mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya akan membuat
keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi seperti ini,medis diperbolehkan
melepas seluruh instrument yang dipasang pada seseorang meskipun jantungnya masih
berdenyut, karena berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.
B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem
penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program
egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem
modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini
dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman
telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia") yang menguraikan
pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem
penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia,
dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orangorang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu."
Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan
yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
C. Dalam ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan
pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti
kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang
terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi
suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih
tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai
roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia
menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia
ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan),
setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan
kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
C.
Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu
moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa
eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha.
Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran
terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif
kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan
seseorang tersebut.
D.
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh
kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan
kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat
terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
F.
Dalam
ajaran
Agama
Yahudi
Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan
yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun
tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan
Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama
Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut
balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan
bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
:
" penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan
harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani
dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri
hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian
tersebut.
2.6
Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang
euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan
pasal 344 KUHP.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya
lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam
pasal 306 KUHP ayat 2.
Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP
tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.
Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan Fonsdekker yang
mengatakan bahwa oleh karenanya maka justru persetujuan dari orang dirawat yang dipakai
sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua
bertujuan pasien merupakan satu satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang
dokter (Koeswadjie,1996)
Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa KUHP,tidak dapat
sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-kesehatan.
Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern
keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter harus
mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda tangan dan saksi dari
pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki tindakan itu misalnya karena alasan
ekonomi dan lain lain.
A. Belanda
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman melaporkan
bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak
akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.
Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
B. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan
Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang
merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa
seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir
hidupnya
C. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU
yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama.
Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill"
(UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi
bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
D.
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln
( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian
Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan
tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah
satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja
nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah
studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika
mendukung dilakukannya euthanasia.
E. Republik Ceko
F. Cina
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta
seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian
Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan
untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.
BAB III
ANALISA SITUASI
3.1
Kasus terkait 1
berpendapat bahwa jumlah morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian
pasien dan bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.
Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita penyakit terminal yang
menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup,
jika terbukti bersalah, Capute menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin
untuk membantu pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien
karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.
Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni bahwa kematian pasien
disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan bebas dari tuntutan pembunuhan.
3.2
Kasus terkait 2
Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters mengesahkan
euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-suicide). Namun, penetapan
hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda. Oregon voters berpendapat bahwa dokter
atau tenaga medis lain berhak mencari alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi
pasien yang sakit parah dan memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa
pasien berhak menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan
tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.
Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan bantuan bunuh diri (euthanasia) lebih dari 130
pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk para juri yang berhasil membebaskan
dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian
memperoleh pengakuan legal dan etik.
Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan pengakuan bahwa ia
memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan menunjukan video rekaman bagaimana
ia melakukannnya. Pasien tersebut yang mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian
untuk membunuhnya. Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan
menandatanganinya. Dr. Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu
itu hanyalah ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April 1999
pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua sehingga dia dijatuhi
hukuman dua puluh lima tahun penjara.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi nyeri adalah hal
ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah menghilangkan rasa penderitaan
nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat kematian. Tujuan perawat ialah meredakan
penderitaan pasien, bukan membunuh pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan
mempercepat kematian pasien adalah bahaya yang muncul yang terkandung pada penggunaan
obat. Kematian tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek
yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat kematian muncul
pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari nyeri.
Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas, walau apa yang
dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan penderitaan pasien untuk
menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya. Memberikan perawatan secara moral
memang diijinkan,namun pertimbangan atas penderitaan yang dialami pasien lebih kepada
rasa kemanusiaan serta tugasnya dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini
membantu dalam menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk
memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien
yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan pasien
meninggal lebih cepat.
Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan hukumnya. Sebagian
besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat penghilang rasa nyeri dosis tinggi
terhadap pasien yang sedang mengahadapi terminal dengan kondisi yang sangat menyakitkan.
Keengganan ini terjadi akibat rasa takut terhadap hukum karena melanggar kode etik yang
berlaku serta gejolak psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.
4.2
Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang menentang euthanasia.
ANA (American Nursing Association) telah menyatakan penentangannya ini kepada public.
Begitu pula dengan AMA ( American Medical Association). Menurut mereka, euthanasia
membawa lebih banyak keburukan daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran
perawat.
BAB IV
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti
kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai kematian yang
baik.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia, yaitu secara fisik (misalnya
dengan pemutusan leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi
(dengan teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c. Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.
d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis, di
beberapa Negara yang lain, euthanasia masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk
di Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena dianggap mendahului
kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.
5.2
Saran
Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baik untuk
membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan
suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak
lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara
holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurses Legal handbook. 5 th Ed. USA:
Springhouse Corporation.
Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta:
Departemen Agama RI.
www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killingyang-terjadi-di-dunia/
2. Implantasi : usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian
tubuh sendiri atau tubuh orang lain.
Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam
Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup.
mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti
mendonorkan jantung, hati dan otaknya. Hukumnya tidak diperbolehkan,
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran : 1) surat Al Baqorah ayat 195
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan
2) An Nisa ayat 29
dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri 3) Al Maidah ayat 2 dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.
Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam
Transplantasi Organ dari Donor yang Sudah meninggal
Allah SWT telah mengharamkan pelanggaran terhadap
kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan
orang hidup. Allah SWT menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja
dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mu minin
RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Memecahkan tulang mayat itu sama dengan
memecahkan tulang orang
hidup. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia
berkata,Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka
beliau lalu bersabda : Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat
mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan
dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya
orang hidup.
Aspek Hukum Transplantasi Organ
Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu
usaha mulai dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayatanatomis dan
trasplantasi alat serta jaringan tubuh manusia, tercantum
pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut : Pasal 1.
(c). Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang
dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal ( fungsi
tertentu untuk tubuh tersebut. (d). Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai
bentuk dan faal (
fungsi ) yang sama dan tertentu. (e). Tranplantasi adalah rangkaian tindakan
kedokteran utntuk pemindahan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam
rangka pengobatab untuk menggantikan alay dan jaringan tubuh yang tidakberfungsi
degan baik.
(f). Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.
Lanjutan
Pasal 10. Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam pasal
2 huruf a dan huruf b, yaitu harus degan persetujuan tertulis penderita dan
keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia. Pasal 11.
1. transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan olehdokter yang
ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
2. transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12. Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang
dokter yang tidak ada sangkutan paut medik dengan dokter yang melakukan
transplantasi. Pasal 13.
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a, pasal 14 dan
pasal 15 dibuat diatas kertas bermaterai dengan 2 orang saksi.
Lanjutan
Pasal 14. Pengambilan alat dan jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi
atau
bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan degan
persetujuan tertulis keluarga yang terdekat.
Pasal 15. 1.Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberi tahu
oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibatakibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
2. dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahkan calon donor
yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas
kompensasi
material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17. Dilarang memperjual belikan
alat atau jaringan tubuh manusia. Pasal 18.
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk
ke dan dari luar negri.
Kesimpulan
Jadi pandangan agama dan hukum positif terhadap transplantasi tidak dilarang tapi
dalam melakukan transplantasi harus berdasarkan asas hati nurani bukan berdasarkan
nilai material dan transplantasi jangan membahayakan si pendonor.