Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

TETANUS GRADE III-IV

disusun oleh:
dr. Ega Farhatu Jannah

Dokter Penanggungjawab Pasien:


dr. Awaluddin Noor., SpS

Pendamping:
dr. Yanti

Rumah Sakit Umum Daerah 45 Kuningan


Kabupaten Kuningan
2019
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan......................................................................................3
BAB II Ilustrasi Kasus..................................................................................5
BAB III Tinjauan Pustaka............................................................................16
BAB IV Analisa Kasus................................................................................31
BAB V Simpulan.........................................................................................35
Daftar Pustaka..............................................................................................37

2
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh clostridium tetani, Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatarum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal. 1
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat di mana-mana , dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga
diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. 2 Tetanus terjadi secara
sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas
parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. 1
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995,
tetanus tetap bersifat endemic pada negara-negara sedang berkembang dan WHO
memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia
pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus
neonatarum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika. 1 Angka kejadian
fataliti tetanus pada negara-negara industri dilaporkan sangat bervariasi.
Sebelumnya, angka fataliti tetanus meningkat sampai 40%, karena pada saat itu
belum ada penanganan yang tepat. Pada zaman sekarang, angka kejadian tersebut
telah menurun sampai 10% karena pasien-pasien tetanus banyak telah
mendapatkan penanganan yang baik. Pada negara-negara industry, kasus tetanus
paling banyak dilaporan pada neonates. Sementara, angka fataliti tetanus di negara
berkembang lebih besar dari 50% pada orang dewasa, dan lebih 80% pada bayi.
Angka fataliti tetanus di Aceh dan Jogjakarta pada saat gempa lebih kecil
dikarenakan adanya sistem penanganan bencana yang baik. Angka insidensi
kematian tetanus pada saat bencana sangat tinggi dikarenakan terjadinya hipoksia
dan spasme otot yang berkelanjutan. Meningginya angka kematian tetanus
tersebut karena susahnya akses ke rumah sakit dan periode inkubasi yang pendek.
Periode inkubasi tetanus yang pendek merupakan hal yang utama dalam
menyebabkan infeksi tetanus yang memberat.3

3
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibody tetanus dan difteri yang dilakukan
penduduk tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72%
penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus.
Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun
dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun (pria
45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibody yang kuat.1

BAB II

4
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


 Nama : Tn B
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 48 tahun
 Alamat : Cinagara
 Suku : Sunda
 Status Marital : Menikah
 Pendidikan Terakhir : SD
 Pekerjaan : Buruh
 Tanggal Masuk Rumah Sakit : 31 Juli 2019, pukul 20.10 WIB
 Tanggal Pemeriksaan : 01 Agustus 2019, pukul 07.30 WIB

1.2. Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamnesis)


Keluhan Utama:
Sulit membuka mulut.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluhkan sulit membuka mulut yang dirasakan sejak 12 jam
SMRS. Menurut pasien otot-otot di sekitar mulutnya terasa kaku. Sulit membuka
mulut dirasakan semakin lama semakin memberat. Keluhan disertai kaku disekitar
wajah, leher, dada, perut serta kedua tangan dan kaki. Pasien juga mengeluh tidak
bisa menelan, baik itu menelan makanan ataupun menelan minuman, pasien
langsung tersedak saat setelah mencoba menelan makanan ataupun minuman.
Pasien mengaku baru pertama merasakan keluhan seperti ini. Pasien menyangkal
ada demam sebelumnya, penurunan kesadaran, kejang, mual ataupun muntah.
Sepuluh hari SMRS, pasien mengaku punggung kaki kiri pasien tertusuk
kayu saat sedang bekerja disawah, namun pasien tidak ke dokter untuk
mendapatkan pengobatan dan pasien pun mengaku tidak membersihkan luka

5
tersebut dengan baik. Pasien menyangkal ada keluhan sakit gigi sebelumnya, tidak
ada keluhan keluar cairan dati telinga, tidak ada keluhan tertusuk paku ataupun
terkena gigitan anjing atau kucing sebelumnya. Pasien tidak tahu pernah
mendapatkan imunisasi tetanus atau tidak.

Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes melitus : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Infeksi Telinga : Disangkal
Riwayat benjolan di leher maupun operasi di leher disangkal.
Riwayat penyakit ginjal dan hati disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal terdapat keluarga memiliki keluhan sama.
1.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
 Kesadaran : composmentis
 Keadaan umum : sakit sedang

Tanda vital
o Tekanan darah : 180/120 mmHg
o Nadi : 78 kali/menit
o Suhu : 36 C
o Respirasi : 20 x/menit, reguler

Pemeriksaan Sistem
 Kepala : normocephal
o Konjungtiva tidak anemis
o Sklera tidak ikterik
o Pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+
o Mulut : oral hygiene buruk
o Faring : uvula tampak simetris
 Telinga : tidak ditemukan adanya sekret, pemeriksaan
membran timpani tidak dilakukan
 Leher : pembesaran KGB tidak teraba, kuduk kaku +
 Toraks : bentuk dan gerak dada simetris, retraksi tidak ada
o Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : tidak teraba iktus kordis

6
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler,
murmur (-), gallop (-)
o Paru-paru
Inspeksi : bentuk dan gerak simetris, irama nafas reguler
Palpasi : pergerakan simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
 Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : opistotonus +, hati dan lien tidak dapat dinilai
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) 8 x/menit
 Ekstrimitas atas dan bawah
Bentuk : simetris
Akral : hangat, tidak ada sianosis, tidak ada edema, CRT
<2 detik
 Pemeriksaan tambahan : Chvostek’s sign (-), Trosseau sign (-),
Carpopedal spasm (-)
Status Lokalis
 Dorsum Pedis Sinistra : abses ukuran 2x2 cm, eritem +, edema +.
Status Neurologis
 Rangsal Meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II : -/-
Brudzisnki III : -/-
Brudzinski IV :-
 Saraf Otak
N. Cranialis I : sulit dilakukan pemeriksaan
N. Cranialis II : tajam penglihatan sulit dilakukan pemeriksaan
lapang pandang sulit dilakukan pemeriksaan
funduskopi sulit dilakukan pemeriksaan
N. Cranialis III, IV, VI :
Gerakan bola mata positif ke segala arah
Pupil bulat, isokor d=3mm
Refleks cahaya +/+
N. Cranialis V : Sensoris raba cabang oftalmis, maksilaris dan
mandibularis +/+
Trismus (jarak gigi rahang atas dan bawah
±2cm)
Rhisus sardonikus
Refleks kornea +/+
N. Cranialis VII :Bibir terangkat simetris
Kerut dahi simetris
Sensoris 2/3 depan sulit dilakukan pemeriksaan

7
N. Cranialis VIII : Sulit dilakukan pemeriksaan
CN IX, X : Suara hipofoni (-) disfonia (-)
Menelan (-)
Uvula simetris
N. Cranialis XI :Sternocleidomastoid kanan=kiri tonus otot baik
Trapezius kanan=kiri tonus otot baik
N. Cranialis XII : Tidak ada deviasi, tidak ada atrofi dan tidak ada
fasikulasi

 Motorik

Kekuatan
Tonus Atrofi Fasikulasi
otot
Ekstrimitas
5/5 Normotoni -/- -/-
atas
Ekstrimitas
5/5 Normotoni -/- -/-
bawah

 Sensorik
Wajah simetris
Ekstrimitas atas kanan=kiri
Batang tubuh tidak dilakukan
Ekstrimitas bawah kanan=kiri

 Refleks

Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Radiobrachialis + +
Patella + +
Achilles
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Oppenheim - -

8
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 17,7 g/dL 14 – 18
Leukosit 12.46 103/uL 4,0 – 10,0
Hematokrit 52,5 % 40,0 – 54,0
Jumlah Trombosit 307 ribu/uL 150 – 450
Jumlah Eritrosit 4,41 juta/uL 4,10 – 5,10
Indeks Eritrosit
MCV 96,4 fL 80 – 96
MCH 32,5 pg/mL 28 – 33
MCHC 33,7 g/dL 33 – 36

Kimia Rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa Darah Sewaktu 90 mg/dL 70 – 120
SGOT 17 u/L 5 – 31
SGPT 10 u/L <=34
Ureum 24 mg/dL 10 – 50
Kreatinin 1.01 mg/dL 0,5 – 1,1

Pemeriksaan Elektrolit
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Natrium 143 mmol/L 135 – 145
Kalium 3,6 mmol/L 3,5 – 5,1
Chlorida 110 mmol/L 95 – 110

1.5. Resume
Seorang laki-laki usia 52 tahun, datang dengan keluhan sulit
membuka mulut sejak 12 jam SMRS, keluhan disertai kaku di sekitar
wajah, leher, dada, perut dan kedua tangan dan kaki. Pasien juga mengeluh
tidak bisa menelan, tersedak saat menelan makan dan minuman. Sepuluh
hari SMRS pasien mengaku tertusuk kayu pada punggung kaki kiri,
namun tidak berobat ke dokter.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang. Ditemukan
oral hygiene buruk dan terdapat trismus derajat 3 dan rhisus sardonikus.
Pada dorsum pedis sinistra terdapat abses.

9
Pemeriksaan penunjang pasien di dapatkan leukositosis.
1.6. Diagnosis Banding
 Tetanus grade III-IV
 Peritonsilar abses
 Tetani

1.7. Usulan Pemeriksaan Penunjang


 EKG
 SGOT, SGPT
 Albumin, kalsium, magnesium
 Rontgen Thorax
 Rontgen STL
 Ultrasound submandibular space
 Kultur swab wound

1.8. Diagnosis Kerja


Tetanus Grade III-IV

1.9. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa:
 Perawatan di ruang isolasi
 Pasang DC dan NGT
 IVFD Asering/8jam
 Perawatan luka

Medikamentosa:
 ATS 10.000 U IM
 Metronidazole 3x500 mg IV
 Diazepam 4 x 10mg IV
 Amlodipin 1 x 10 mg per NGT
 Irbesartan 1 x 300 mg per NGT

10
1.10. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

1.11. Follow Up Pasien


Tanggal Pemeriksaan Instruksi
02 Agustus 2019 S: dr. Awaluddin., SpS
07.30 Kejang 2x, Nyeri menelan,  Metronidazole 3 x 500
sulit membuka mulut, mg IV
badan kaku  Diazepam 4 x 10 mg, IV
 Amlodipin 1x10 mg
O:
Kes= cm  Irbesartan 1x300 mg
TD : 170/80
HR 81
RR 21
T 37,1
Trismus 2 cm
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kaku kuduk (-)
Kejang rangsang (-)

A:
Tetanus Grade III-IV
03 Agustus 2019 S: dr. Awaluddin., SpS
07.30 Kejang 3x, Pasien sulit  Metronidazole 3 x 500
membuka mulut, sulit mg IV
menelan  Diazepam 4 x 10 mg, IV
Badan kaku terasa kaku
 Amlodipin 1x10 mg per
NGT
O:
Kes = cm  Irbesartan 1x300 mg per
TD 170/110 mmHg NGT
N 92 x/menit  Phenitoin 3x1 per NGT
T 36,5
R 22x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
05 Agustus 2019 S:
05.30 Kejang 2x, Pasien sulit

11
membuka mulut, sulit
menelan
Badan kaku terasa kaku

O:
Kes = cm
TD 140/80 mmHg
N 82 x/menit
T 36,7
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
06 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 2x, Pasien sulit
membuka mulut, sulit
menelan
Badan kaku terasa kaku

O:
Kes = cm
TD 120/80 mmHg
N 80 x/menit
T 36,3
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
07 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 1x, Pasien sulit
membuka mulut berkurang,
sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang

O:
Kes = cm
TD 140/80 mmHg
N 90 x/menit
T 36,8
R 21x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)

12
Trismus 3 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
08 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang tidak ada, Pasien
sulit membuka mulut
berkurang, sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang

O:
Kes = cm
TD 150/100 mmHg
N 99 x/menit
T 36,6
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)
Trismus 4 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
09 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 2x, Pasien sulit
membuka mulut berkurang,
sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang

O:
Kes = cm
TD 150/100 mmHg
N 99 x/menit
T 36,6
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)
Trismus 4 cm

A:
Tetanus Grade III-IV
10 Agustus 2019 S:
04.30 Pasien apneu

O:
TD tidak teraba
HR tidak teraba
Dilakukan RJP 5 siklus
tidak berhasil
Pasien dinyatakan

13
meninggal pukul 04.45

A:
Tetanus Grade III-IV dan
respiratory distress

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Tetanus


Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day
Disease ". Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti strychnine, kemudian
dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk
kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun
luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).3

3.2. Epidemiologi Tetanus


Insidens tetanus di dunia berkisar 1 juta kasus setiap tahun dengan

kematian yang bervariasi pada setiap negara.1 Di Indonesia, berdasarkan Survei


Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak
141 kasus pada tahun 2007, turun menjadi 114 kasus pada tahun 2011 dengan case

fatality rate (CFR) 60,5%.2 Profil Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan


kenaikan kasus tetanus neonatorum menjadi 119 kasus, namun jumlah pasien
meninggal turun menjadi 59 kasus dengan CFR 49,6%. Tahun 2016 WHO
menunjukkan terdapat 13.502 laporan kasus tetanus.4 Angka kejadian di negara
maju seperti Amerika Serikat hanya sekitar 233 kasus tetanus yang dilaporkan
sejak tahun 2001-2008.5 Negara maju lainnya seperti Inggris hanya memiliki
angka 7 kasus tetanus dilaporkan selama bulan Januari-Desember tahun 2013.6

15
Laporan kasus tetanus di Indonesia pada tahun 1994 berjumlah 3.843
kasus dengan kasus terbanyak ditemukan di provinsi Jawa Timur yakni 1.229
kasus. Penelitian di RSHS antara 1991-1995 menemukan 85 kasus tetanus. Sekitar
64,9% kasus disebabkan karena luka pada kaki. Angka mortalitas mencapai
25,6% dari semua pasien tersebut tidak ada yang pernah mendapatkan imunisasi
dasar.7 WHO melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia sebanyak 25
kasus dan insidensi tetanus secara keseluruhan adalah 506 kasus pada tahun
2017.8

3.3. Etiologi Tetanus


Tetanus disebabkan oleh infeksi Clostridium tetani karena kontaminasi
pada luka setelah operasi, luka bakar, umbilikus pada bayi baru lahir atau port
d’entry lain.3
C. tetani merupakan spesies klostridium berukuran besar dan bersifat
anaerob. C. tetani adalah bakteri gram positif motil. Bentuk sporanya dapat
ditemukan di habitat alamiahnya yaitu tanah, dan traktus intestin binatang.
Sporanya dapat bertahan di tanah atau media kultur sampai beberapa tahun.9

Gambar 3.1
Clostridium tetani

Bentuk vegetatif C. tetani memproduksi eksotoksin yang dinamakan


tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanopasmin adalah toksin yang mempengaruhi
aktivitas pada motor neuron sehingga menyebabkan timbulnya gejala tetanus.
Sementara tetanolisin belum jelas diketahui perannya dalam penyakit tetanus,
tetapi terdapat literatur yang menyebutkan bahwa tetanolisin berperan dalam

16
kerusakan jaringan di sekitar luka atau port d’entry dan menghasilkan lingkungan
anaerob untuk pertumbuhan C. tetani.9-11

3.4. Faktor Risiko


Tetanus merupakan ancaman bagi orang-orang yang memiliki faktor
risiko, terutama orang yang tidak tervaksinasi tetanus. Kelompok yang menjadi
faktor risiko tetanus adalah bayi lahir dari ibu yang belum pernah diimunisasi.
Selain itu, terdapat port d’entry dari tetanus seperti berikut.
 Otitis media.
 Luka tusuk yang telah terkontaminasi.
 Luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang nekrosis, kelahiran dan
bedah yang terkontaminasi tanah.

Pada kasus sefalik tetanus, sebagian besar fokus inokulasi bakteri adanya
trauma di regio wajah serta leher. Dapat pula berhubungan dengan karies gigi,
tindakan ekstraksi, dan abses periodontal.6

Tabel 3.1
Luka Rentan Tetanus
Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan Tetanus
> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman lebih dari 1 cm Superfisial, <1 cm
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (ireguler) Bentuk linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi, purulen (jaringan nekrotik) Bersih

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi9-11


Spora clostridium tetani masuk melalui luka rentan tetanus ke dalam
tubuh. Periode inkubasi biasanya terjadi selama 3-21 hari, rata-rata adalah 8 hari.
Umumnya semakin jauh site of infection dari sistem saraf pusat semakin lama
periode inkubasi. Semakin cepat periode inkubasi semakin buruk prognosis pasie.
Selanjutnya terjadi germinasi C. tetani ditunjang dengan beberapa keadaan
seperti; jaringan nekrotik, garam kalsium, dan infeksi bakteri piogenik lain. C.
tetani vegetatif dapat menghasilkan eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Toksin inilah yang akan menyebar sehingga terjadi toksemia dan

17
menimbulkan gejala tetanus, sementara bakteri tetanus tetap berada di fokus
infeksi.
Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa
literatur menyebutkan tetanolisin berperan menghancurkan jaringan sehat di
sekitar luka dan menurunkan potensi okdasi reduksi sehingga mendukung
pertumbuhan bakteri. Sementara itu tetanospasmin menyebar melalui akson
secara retrograde menuju ke sel-sel di spinal cord. Selanjutnya, berikatan di
reseptornya di sel saraf inhibisi.

Gambar 3.2
Struktur Tetanospasmin

Setelah masuk ke dalam inhibitory neuron, tetanospasmin mengalami


asidasi sehingga rantai disulfida hancur. Rantai berat tetanospasmin berfungsi
untuk translokasi membran dan membentuk pori sehingga rantai ringan dari
tetanospasmin dibebaskan ke dalam sitoplasma. Bagian tetanospasmin ini
menghancurkan sinaptobrevin yang merupakan famili vesicle associated
membran protein (VAMP). Sinaptobrevin berfungsi sebagai protein integral
membran vesikel untuk sekresi dari neurotransmitter inhibisi termasuk glycinergic
interneuron dan aminobutiric acid. Karena hancurnya sinaptobrevin sehingga
tidak terjadi sekresi dari neurotransmitter inhibisi yang menyebabkan terjadi hiper
refleks dan muscle spasm. Otot-otot di wajah lebih sering terkena lebih awal
karena pathway akson yang pendek, sementara saraf simpatetik memerlukan
waktu yang lebih lama untuk memunculkan gejala.
Ikatan toksin dengan reseptornya bersifat terfiksasi. Recovery
membutuhkan pembentukan terminal saraf yang baru. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa penyembuhan tetanus cukup lama.

18
3.6. Tanda dan Gejala12
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama,
beberapa minggu). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:

1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )


Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal
inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif
dan biasanya menghilang secara bertahap. Localized tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai
sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah.
Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik
(seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala,
termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Trismus merupakan gejala
utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan
otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot
muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianosis, asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40
C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4. Neonatal tetanus

19
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan
oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus. (9)

Karakteristik dari tetanus :

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5


-7 hari. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.Setelah 2
minggu kejang mulai hilang.
2. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus,
lockjaw ) karena spasme otot masetter.
3. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
4. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat .
5. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat
terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur
collumna vertebralis ( pada anak ). 5

3.7. Diagnosis12
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa:

1. Gejala klinik : kejang tetanic, trismus, disfagia, risus sardonicus.

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

3. Kultur: C. tetani (+).

4. Laboratorium : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

20
Tabel 3.2
Kriteria Pattel Joag
Kriteria 1 Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan
kaku otot tulang belakang.
Kriteria 2 Spasme tanpa mempertimbangkan
frekuensi maupun derajat keparahan.
Kriteria 3 Masa inkubasi ≤7hari.
Kriteria 4 Onset ≤48 jam.
Kriteria 5 Meningkatnya suhu rektal > 40oC atau
aksila > 37,6oC.
Derajat 1 : Kasus ringan, minimal satu kriteria (kriteria 1 atau 2) mortalitas
0%
Derajat 2 : Kasus sedang, minimal dua kriteria (kriteria 1 dan kriteria 2)
biasanya inkubasi >7 hari, mortalitas 10%
Derajat 3 : Kasus berat (kriteria 1, 2, dan 3) mortalitas 32%
Derajat 4 : Kasus sangat berat, terdapat minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : Memenuhi 5 kriteria, mortalitas 84%

Kriteria beratnya tetanus dapat pula dinilai menggunakan kriteria Ablett’s sebagai
berikut.
Grade 1 (Ringan) : Trismus ringan sampai sedang , spastisitas umum, tidak
ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia.
Grade 2 (Sedang) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, gangguan
pernafasan ringan dengan Takipneu, spasme ringan sampai sedang namun singkat,
disfagia ringan.
Grade 3 (Berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan
sering dengan spasme spontan yang memanjang, gangguan pernafasan takipneu
dengan apnoeic spells, disfagia berat, takikardi lebih dari 120 kali.
Grade 4 (Sangat berat): Grade 3 ditambah gangguan outonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskular.

a. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Biasanya
pemeriksaan penunjang diarahkan untuk mencari komplikasi dari
penyakit.

21
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan adalah.
o Darah lengkap, analisa gas darah, SGOT, SGPT
o Elektrolit, ureum, dan kreatinin
o EKG, rontgen toraks PA/AP

3.8. Tatalaksana5,12,13
3.8.1. Tatalaksana Umum
1. Manajemen luka
Tentukan jenis luka pasien apakah terdapat ke dalam luka rentan
tetanus atau tidak.
Lakukan anamnesis riwayat imunisasi pada pasien. Tetanus toxoid
diberikan pada pasien dengan imunisasi booster terakhir lebih dari 10
tahun sebelumnya. Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu
diberikan pula TIG.
Rekomendasi manajemen luka traumatik adalah sebagai berikut.
a) Semua luka harus dibersihkan dan debridemen sebaiknya
dilakukan jika perlu.
b) Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin.
c) Tetanus toksoid (Tt) harus diberikan jika riwayat booster
terakhir lebih dari 10 tahun. Jika riwayat imunisasi tidak diketahui
Tt dapat diberikan.
d) Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu,
maka TIG harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu
pemberian TIG.

Dosis Tt.
• Usia ≥ 7 tahun : 0,5 mL (5 IU) IM.
• Usia <7 tahun : gunakan DTP atau DtaP sebagai pengganti Tt. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan Dt, dosis 0,5 ml IM.

Dosis TIG:
• Profilaksis dewasa: 250-500 U IM pada ekstrimitas kontralateral
lokasi penyuntikan Tt.
• Profilaksis anak 250 U IM pada ekstrimitas kontralateral lokasi
penyuntikan Tt.

2. Diet yang cukup.

22
Diet diberikan 3500-4500 kalori per hari, dengan perbandingan 100-
150 gram protein dalam bentuk semilikuid atau likuid diberikan
melalui NGT.
3. Dirawat di ruang isolasi.
4. Cairan dan elektrolit.

3.8.2. Tatalaksana Khusus


Prinsip penatalaksanaan tetanus menurut Thwaites adalah sebagai berikut.
1. Eradikasi bakteri kausatif.
2. Netralisasi toksin yang belum terikat.
3. Terapi suportif selama fase akut.
4. Rehabilitasi.
5. Imunisasi

a. Eradikasi bakteri kausatif


Metronidazole 15 mg/kgBB saat awal diikuti 20-30 mg/kg/hari IV
selama 7-14 hari atau sampai hilangnya tanda-tanda infeksi lokal yang
aktif. Penisilin dapat digunakan dengan dosis 100.000 – 200.000
IU/kg/hari. Pasien dengan alergi penisilin disarankan digunakan
menggunakan tetrasiklin atau eritromisin. Namun karena Penicilin bersifat
antagonis GABA, maka metronidazole adalah antibiotik pilihan.
Antibiotik ini digunakan untuk membunuh bakteri anaerob yang
berkembang dari luka yang merupakan port of entry dan untuk membunuh
Clostridium tetani.

b. Netralisasi toksin yang belum terikat


Tetanotoksin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan dan
hanya toksin yang tidak terikat yang dapat dinetralisir. Imunisasi pasif
dengan Human Tetanus Immune Globuline (HTIG) akan memperpendek
perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan angka keselamatan. Dosis
yang dianjurkan adalah 500 unit HTIG diberikan secara intramuskuler
segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Penggunaan HTIG intratekal
tidak dianjurkan. Cook et al menyarankan HTIG 3000-6000 unit IM.
RSHS menggunakan pemberian ATS dengan dosis 10.000 IU
diberikan intramuskuler. Pemberian dilakukan saat awal pasien didiagnosis
tetanus. Meskipun dapat menimbulkan reaksi alergi berupa demam dan
atralgia hingga shock anafilaktik pada 1% kasus.

c. Terapi suportif selama fase akut

23
Kekakuan Otot dan Rigiditas/Spasme Otot
Pasien menghindari stimulasi yang tidak perlu. Terapi utama
diberikan benzodiazepin. Diazepam juga dapat diberikan. Midazolam
kurang menyebabkan kumulasi. Sedasi lain adalah fenobarbital, fenotiazin.
Propofol digunakan sebagai sedasi dengan efek penyembuhan tinggi.
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas baik dengan efek depresi
nafas yang lebih rendah. Diazepam juga memiliki efek antikonvulsan dan
muscle relaxation, sedatif dan anxiolytic. Dosis yang digunakan sebagai
berikut.
• Spasme ringan 5-20 mg p.o setiap 8 jam bila perlu.
• Spasme sedang 5-10 mg i.v bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120mg
dalam 24 jam atau dalam bentuk drip.
• Spasme berat: 50-100 mg dalam 500ml dekstrose 5% dan diinfuskan
dengan kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam.
Jika efek sedasi tidak cukup untuk menghentikan spasme maka perlu
diberikan neuromuscular blocking agents dan ventilator dengan metode
intermittent positive pressure. Untuk efek ini digunakan pancuronium,
namun obat ini dapat menginhibisi reuptake katekolamin dan dapat
memperberat instabilitas otonom pada kasus yang berat.
Baclofen intratekal dilaporkan dapat memiliki efek yang baik. Dosis
yang dianjurkan 500-2000 g per hari, diberikan bolus atau infus.
Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis
70 mg/kgBB dalam bentuk larutan dekstrose 5% 100 ml secara intravena
melalui infus selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2
gram/jam (<60 tahun) dan 1 gram/jam (≥60 tahun) dalam larutan dekstrose
5% 500ml, diberikan selama 6 jam. Dosis kemudian dititrasi dengan cara
menakkan dosis 0,5 gram (<60 tahun) atau 0,25 gram (≥60 tahun) setiap 6
jam sampai spasme umum terkontrol. Kurangi dosis 0,25 gram/jam sampai
terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Observasi keluaran urin
per jam, kemampuan batuk, refleks patella, respirasi, tekanan darah, EKG
12 lead, dan kadar magnesium setiap 3 hari sekali atau setiap hari bila
terdapat tanda toksisitas, tanda klinis hipokalsemia (Chovstek’s dan
Trousseau’s) pemeriksaan kadar kalsium dilakukan setiap 3 hari.
Efektifitas pemberian MgSO4, ini sama dibandingkan diazepam menurut
penelitian.

24
Kontrol Disfungsi Otonom
Pemberian cairan 8 liter per hari disertai dengan pemberian sedasi.
Benzodiazepin, antikonvulsan, dan khususnya morfin dapat dijadikan
pilihan. Morfin dimanfaatkan karena efeknya pada stabilitas
kardiovaskular. Dosis pemberian antara 20-180 mg per hari, diduga
bermanfaat melalui mekanisme pengganti opoid endogen, mengurangi
refleks simpatis dan melepaskan histamin. Fenotiazin, khususnya
klorpromazin, antikolinergik, dan alfa adrenergik antagonis juga memiliki
efek stabilitas kardiovaskular.
Propanolol digunakan untuk mengontrol hipertensi episodik dan
takikardi, namun dapat mengakibatkan hipotensi yang nyata, edema paru
yang berat, dan sudden death. Dosis yang digunakan adalah 5-10mg, dapat
dinaikkan hingga 40mg tiga kali sehari, dosis yang biasa digunakan adalah
5-20mg tiga kali sehari.
Atropin hingga dosis 100mg per hari dapat diberikan pada kasus
diaforesis, bradiaritmia dan hipersekresi. Diharapkan pemberian dosis
besar akan memblk efek muskarinik dan nikotinik, sedasi sentral, dan blok
neuromuskular. Takiaritmia lebih dari 190 kali per menit pada dewasa
muda atau lebih dari 150 pada orang tua dapat diatasi dengan verapamil
40mg dua kali per hari atau dengan dosis kecil propanolol.
Clonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk
mengurangi efek simpatis. Diberikan dengan dosis 2 g/kg diberikan 3 kali
per hari secara intravena hingga tekanan darah normal dicapai secara
stabil.
Magnesium sulfat dapat digunakan terutama pada pasien tetanus
dengan penggunaan ventilator bermanfaat untuk mengurangi komplikasi
disotonomi, pada pasien tanpa ventilator diambil manfaat antispasmenya.

Komplikasi Respirasi
Untuk mengatasi risiko gangguan pernafasan, penggunaan ventilator
dan perawatan di ruangan ICU sangat membantu menurunkan angka
kematian. Trakeostomi dilakukan pada pasien dengan Patel Joag 3 ke atas.
Pada stadium IV dan V trakeostomi tidak secara signifikan mengurangi
angka kematian.

25
Miokarditis dan Gangguan Kardiovaskular Lain
Terapi miokarditis disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Beberapa ahli menggunakan ACE inhibitor untuk mengatasi hipertensi dan
disfungsi ventrikel kiri. Calcium channel blocker digunakan pada kasus
congestive heart failure dan miopati akibat miokarditis. Digoksin
digunakan untuk meningkatkan kontraksi sistolik miokardium. Beta
adrenergic blocker digunakan untuk menurunkan cardiac output dan
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer.

Gangguan Gastrointestinal
Perdarahan lambung sering terjadi dan dapat diatasi dengan
pemberian antasida teratur pada semua pasien tetanus berat. Ranitidin
dapat juga diberikan dengan dosis 150 mg setiap 8 jam sekali.

Gangguan Renal dan Elektrolit


Gangguan ginjal sering disebabkan karena hipovolemia dan
kehilangan darah. Gangguan elektrolit yang dapat terjadi biasanya
hipokalemi yang dikoreksi dengan KCl 20-80 mEq diberikan dalam infus
lambat dalam 24 jam. Hipernatremi dikoreksi dengan pemberian dekstrose
5%. Hiponatremi dikoreksi dengan normal salin, hindari pemberian
diuretik pada hiponatremi dilusional.

3.9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada tetanus dapat meliatkan berbagai sistem
seperti sebagai berikut.perdossi2016
 Saluran pernafasan: asfiksia, pneumonia aspirasi, atelektasis e.c
obstruksi sekret.
 Kardiovaskular: takikardi, hipertensi.
 Tulang dan otot: perdarahan otot, fraktur kolumna vertebra, miositis
osifikan sirkumskripta.
 Lain-lain: laserasi lidah, dekubitus.

3.10. Prognosis
Tetanus generalisata memiliki prognosis ad malam dengan angka
mortalitas mencapai 50%. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan

26
respirasi.merrits Selain itu, tetanus dengan onset yang lebih cepat sekitar tiga sampai
lima hari memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding dengan kasus dengan
onset lama. Namun, jika pasien mampu bertahan, setelah enam bulan biasanya
dapat mencapai perbaikan total.textbook ofclinical neurology christopher
Selain itu terdapat skoring Philips dan Dakar yang dapat digunakan untuk
menilai prognosis pasien.

Tabel 3.3
Skor Prognostik Tetanus, Dakar14

Skor 0-1 : Ringan, mortalitas 10%


Skor 2-3 : Sedang, mortalitas 10-20%
Skor 4 : Berat, mortalitas 20-40%
Skor 5-6 : Sangat berat, outcome tergantung berat penyakit dan fasilitas
pengobatan yang tersedia.

Tabel 3.4
Skor Prognostik Tetanus, Phillips17

27
00

Ringan <9

Sedang 9-16

Berat >16

BAB IV

28
ANALISA KASUS

4.1. Pembahasan Kasus


Keluhan utama pasien adalah trismus (sulit membuka mulut). Menurut
kamus Dorland trismus adalah ketidak mampuan membuka mulut karena
gangguan motorik dari nervus trigeminus, terutama spasme otot mastikasi dengan
kesulitan membuka mulut. Menurut literatur trismus dapat disebabkan karena
etiologi intraartikular dan ekstraartikular. Penyebab intraartikular misalya
ankilosis, dan artritis sinovitis. Sementara penyebab ekstraartikular seperti infeksi,
trauma, serta adanya tumor.15 Anamnesis lain pada pasien yang dilaporkan di atas
adanya riwayat tertusuk kayu sepuluh hari sebelum keluhan muncul. Menurut
WHO tetanus pada orang dewasa memerlukan salah satu dari kriteria trismus,
risus sardonikus, kontraksi otot yang nyeri disertai riwayat cedera atau luka. Maka
berdasarkan anamnesis keluhan utama, pasien telah memenuhi syarat diagnosis
tetanus menurut WHO dengan port d’entry infeksi odontogenik.1
Diagnosis banding berdasarkan keluhan utama pasien yaitu trismus dan
kekakuan pada otot rahang, yaitu tetani, rabies, dan meningoensefalitis.
Sementara dari anamnesis tidak ada riwayat operasi sekitar leher, penggunaan
obat diuretik, dan diare atau muntah lebih dari satu minggu yang merupakan
faktor risiko dari tetani. Tidak ada riwayat digigit anjing atau kucing beberapa
minggu sebelum keluhan muncul disertai sensitif terhadap cahaya atau pasien
menjadi agresif, yang merupakan gejala khas rabies. Tidak terdapat keluhan
demam, penurunan kesadaran, dan kaku kuduk disertai kejang sebagai tanda
meningoencephalitis.5
Secara epidemiologi pasien termasuk ke dalam kelompok yang memiliki
faktor risiko terkena tetanus. Meskipun ketersediaan vaksin tetanus sudah banyak
dan angka cakupan imunisasi mencapai target sehingga Indonesia sekarang bebas
tetanus neonatorum, tidak jarang pasien yang telah melakukan imunisasi tuntas
saat anak-anak, gagal atau tidak mendapatkan imunisasi booster. Vaksinasi
inadekuat adalah faktor utama angka insidensi dan mortalitas yang tinggi pada

29
usia tua (≥65 tahun), juga termasuk faktor lainnya adalah menurunnya
imunogenitas pada usia lanjut.16
Pemeriksaan fisik pasien menunjukkan KU sakit sedang, adanya oral
hygiene buruk dan abses di dorsum pedis sinitra yang mendukung kemungkinan
port d’entry kuman tetanus. Terdapat trismus derajat tiga yaitu jarak inisial gigi
rahang atas dan bawah ketika membuka mulut 2 cm. 16 Tidak ditemukan
Chvostek’s sign dan Trosseau sign yang merupakan patognomonic dari
hipokalsemia yang merupakan salah satu penyebab tetani. Pemeriksaan saraf
dalam batas normal, dengan pemeriksaan refleks normal tidak ditemukan tanda
kelainan upper motor neuron maupun lower motor neuron. Pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan neurologis secara lengkap karena dikhawatirkan terjadinya
kejang rangsang pada kasus tetanus.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis maka diagnosis pasien
adalah Tetanus derajat III-IV berdasarkan kriteria Ablets karena adanya Trismus
berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan sering dengan spasme spontan
yang memanjang dan terdapat gangguan kardiovaskular.
Pemeriksaan penunjang pada pasien tetanus biasanya dilakukan bukan
untuk menegakkan diagnosis, melainkan untuk melihat ke arah komplikasi.
Pemeriksaan darah rutin dan darah kimia pasien terdapat leukositosis yang
menandakan terdapat infeksi bakteri. Hasil elektrolit pasien dalam batas normal
maka menyingkirkan diagnosis banding spasm yang dialami pasien diakibatkan
electrolit imbalance.
Terapi non medikamentosa yang diberikan pada pasien adalah perawatan
di ruang isolasi, untuk meminimalkan spasme paroksimal akibat rangsangan
eksternal, diusahakan ruangan gelap dan tenang. Meskipun ruang isolasi tidak
memenuhi kriteria maksimal untuk perawatan pasien tetanus, salah satunya adalah
terdapat cahaya yang masuk dan masih terdengar suara dari ruang sebelah pasien
mengingat ruangan tidak kedap suara dan berdempet. Monitor kondisi umum dan
tanda vital pasien tidak dapat dilakukan mengingat perawatan hanya dilakukan di
ruang biasa. Selanjutnya pasien dipasang urin kateter untuk memantau urin agar
mengetahui status hidrasi. Hal ini diperlukan sebab salah satu komplikasi dari
tetanus adalah dehidrasi yang diakibatkan intake kurang karena keluhan disfagia.

30
Bersamaan dengan pemantauan urin, pemeriksaan elektrolit juga menjadi salah
satu penuntun terapi cairan serta nutrisi pasien. Pasien diberikan infus asering per
delapan jam. Terdapat keluhan sulit menelan membuat pasien rentan terkena
dehidrasi, maka dilakukan pemilihan cairan Asering yang memiliki komposisi
dekstrosa serta elektrolit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Penting sekali untuk mencegah terjadi aspirasi pada pasien salah satunya
dengan pemasangan NGT juga untuk intake nutrisi. Terapi farmakologis yang
diberikan pada pasien adalah pemberian antitoksin berupa ATS yang diberikan
secara intramuskular dengan dosis 10.000 U. Selama perjalanan penyakit toksin
yang berada dalam tubuh pasien terdapat dua bentuk, yaitu toksin bebas dalam
darah dan toksin yang sudah terikat dengan reseptornya di jaringan saraf.
Pemberian ATS berguna untuk menetralisir toksin yang belum berikatan dengan
reseptor, sementara toksin yang terdapat di jaringan saraf pada reseptornya
bersifat terfiksir sehingga untuk menghilangkan efeknya perlu menunggu sampai
terjadi regenerasi. Terdapat dua jenis antitoksin yang tersedia yaitu Human
Tetanus Imunoglobulin dan antitoksin yang berasal dari hewan yaitu ATS.
Penggunaan TIG lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan ATS karena
memiliki half-life yang lebih panjang. Namun karena keterbatasan ketersediaan
pasien diberikan ATS.
Selain menetralisir toksin bebas, perlu juga diberikan antibiotik untuk
eliminasi sumber dari toksin tersebut, yaitu bakteri C. tetani. Pemberian antibiotik
diharapkan dapat mengeradikasi bentuk vegetatif dari C. tetani. Secara in vitro C.
tetani peka terhadap penisilin, sefalosporin, imipenem, makrolide, dan tetrasiklin.
Dalam beberapa literatur Penisilin G menjadi antibiotik pilihan yang digunakan
untuk membunuh bakteri penyebab tetanus. Namun, penisilin bersifat GABA
antagonis, sehingga pilihan yang dapat digunakan adalah pemberian
metronidazole 3x500 mg, seperti pada pasien. Selain itu, metronidazole memiliki
efikasi lebih tinggi dibandingkan Penisilin. Terdapat penelitian yang
memandingkan efikasi metronidazole dan penisilin sebagai terapi pada tetanus,
melaporkan penurunan mortalitas pada kelompok pasien yang diterapi dengan
metronidazole.

31
Spasme otot generalisata adalah keadaan mengancam jiwa karena dapat
menyebabkan gagal nafas, dan aspirasi. Beberapa obat dapat digunakan untuk
mengontrol spasme ini. Juga harus diperhatikan lingkungan perawatan pasien
untuk mencegah kejang rangsang.
Benzodiazepin digunakan secara umum untuk mengontrol rigiditas dan
spasme pada tetanus.23 Diazepam adalah yang paling sering dipakai, meskipun
jenis benzodiazepin lain pun sama efektifnya dengan diazepam. Pasien dengan
tetanus sering menunjukkan tolerance terhadap efek sedasi dari benzodiazepin
dan dapat masih terjaga sadar penuh setelah mendapatkan dosis yang pada pasien
lain dapat menyebabkan efek anestesi.22 Dosis awal dapat diberikan 10-30mg IV
dengan dosis maksimal 120mg/kgBB/hari. Pada pasien diberikan diazepam
3x10mg.
Selain itu pasien juga diberika amlodipin 1x10 mg dan irbesartan 1x 300
mg, untuk membantu mengatasi gangguang kardiovaskuler yang terjadi pada
pasien karena tetanus.

32
BAB V

SIMPULAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani.

Penegakkan diagnosa tetanus dilakukan bertahap mulai dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Pemeriksaan yang paling penting disini berdasarkan gejala klinis, yaitu:
kejang, trismus, disfagia, dan risus sardonicus. Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Gatoet Ismanoe. 2014. In : Setiati,S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata,


M., Setyohadi, B., dan Syam, A.F. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta. Interna Publishin, 1777.
2. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of
tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP) and Recommendation of ACIP, supported by the Healthcare
Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for Use of
Tdap Among Health-Care Personnel. MMWR 2006;55(No. RR-17):1–33.
3. Pascapurnama et al. 2016. Prevention of Tetanus Outbreak Following
Natural Disaster in Indonesia: Lessons Learned from Previous Disasters.
Tohoku J. Exp. Med., 2016, 238, 219-227.

4. WHO. Tetanus.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/sur
veillance_type/passive/tetanus/en/

5. Tetanus Surveillance United States, 2001-2008. MMWR Morb Mortal


Wkly Rep. 2011;60(12):365-369

6. Public Health England. Research and analysis tetanus in England and


Wales: 2013. https://www.gov.uk/government/publications/tetanus-in-
england-and-wales-2013/tetanus-in-england-and-wales-2013

7. Gunawan D. Tetanus in adults in Bandung, Indonesia. Neurol J Southeast


Asia. 1996;1:43-46.http://www.neurology-asia.org/articles/19962_043.pdf

8. WHO. WHO vaccine-preventable disease monitoring system global


summary.
http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/incidences?
c=IDN

34
9. Champoux J, Drew L, Frederick C.N, James J.P. 2004. Sherris Medical
Microbiology : An Introduction to Infectious Diseases Vol.4th. New York:
Mc Graw Hill.

10. Lisboa, Thiago Costa et al. “Guidelines for the management of accidental
tetanus in adult patients.” Revista Brasileira de terapia intensiva 23 4
(2011): 394-409 .

11. Brooks, G. F., Jawetz, E., Melnick, J. L., & Adelberg, E. A. (2010).
Jawetz, Melnick, & Adelberg's medical microbiology. New York, McGraw
Hill Medical.

12. PERDOSSI. Panduan praktik klinik. Jakarta Pusat: Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia, 2016.

13. Basuki, Andi. 2009. Kegawatdaruraan Neurologi Edisi 2. Bandung :


Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf.

14. Sidhartha, Peter JV, Subhash HS, Cherian M, Jeyaseelan L, Cherian AM.
A proposed new scoring system for tetanus. Indian J Crit Med . 2004 ; 8(3)
: 168-72
15. Dharanjani P.J and Jonaidel O. 2002. Trismus: aetiology, differential
diagnosis and treatment. Specialist, oral & maxillofacial surgery, Riyadh
dental centre. Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia.

16. Center for disease control prevention. Tetanus surveillance-United states,


2001-2008. Morbidity and mortality weekly report. 2011;60(12):365-369.

17. Seo D. H., Cho D. K., Kwon H. C., Kim T. U. A case of cephalic tetanus
with unilateral ptosis and facial palsy. Annals of Rehabilitation Medicine.
2012;36(1):167–170. doi: 10.5535/arm.2012.36.1.167.

18. Guyennet E., Guyomard J. L., Barnay E., Jegoux F., Charlin J. F. Cephalic
tetanus from penetrating orbital wound. Case Reports in Medicine.
2009;2009548343.

35

Anda mungkin juga menyukai