disusun oleh:
dr. Ega Farhatu Jannah
Pendamping:
dr. Yanti
BAB I Pendahuluan......................................................................................3
BAB II Ilustrasi Kasus..................................................................................5
BAB III Tinjauan Pustaka............................................................................16
BAB IV Analisa Kasus................................................................................31
BAB V Simpulan.........................................................................................35
Daftar Pustaka..............................................................................................37
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibody tetanus dan difteri yang dilakukan
penduduk tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72%
penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus.
Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun
dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun (pria
45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibody yang kuat.1
BAB II
4
ILUSTRASI KASUS
5
tersebut dengan baik. Pasien menyangkal ada keluhan sakit gigi sebelumnya, tidak
ada keluhan keluar cairan dati telinga, tidak ada keluhan tertusuk paku ataupun
terkena gigitan anjing atau kucing sebelumnya. Pasien tidak tahu pernah
mendapatkan imunisasi tetanus atau tidak.
Status Generalis
Kesadaran : composmentis
Keadaan umum : sakit sedang
Tanda vital
o Tekanan darah : 180/120 mmHg
o Nadi : 78 kali/menit
o Suhu : 36 C
o Respirasi : 20 x/menit, reguler
Pemeriksaan Sistem
Kepala : normocephal
o Konjungtiva tidak anemis
o Sklera tidak ikterik
o Pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+
o Mulut : oral hygiene buruk
o Faring : uvula tampak simetris
Telinga : tidak ditemukan adanya sekret, pemeriksaan
membran timpani tidak dilakukan
Leher : pembesaran KGB tidak teraba, kuduk kaku +
Toraks : bentuk dan gerak dada simetris, retraksi tidak ada
o Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : tidak teraba iktus kordis
6
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler,
murmur (-), gallop (-)
o Paru-paru
Inspeksi : bentuk dan gerak simetris, irama nafas reguler
Palpasi : pergerakan simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : opistotonus +, hati dan lien tidak dapat dinilai
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) 8 x/menit
Ekstrimitas atas dan bawah
Bentuk : simetris
Akral : hangat, tidak ada sianosis, tidak ada edema, CRT
<2 detik
Pemeriksaan tambahan : Chvostek’s sign (-), Trosseau sign (-),
Carpopedal spasm (-)
Status Lokalis
Dorsum Pedis Sinistra : abses ukuran 2x2 cm, eritem +, edema +.
Status Neurologis
Rangsal Meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II : -/-
Brudzisnki III : -/-
Brudzinski IV :-
Saraf Otak
N. Cranialis I : sulit dilakukan pemeriksaan
N. Cranialis II : tajam penglihatan sulit dilakukan pemeriksaan
lapang pandang sulit dilakukan pemeriksaan
funduskopi sulit dilakukan pemeriksaan
N. Cranialis III, IV, VI :
Gerakan bola mata positif ke segala arah
Pupil bulat, isokor d=3mm
Refleks cahaya +/+
N. Cranialis V : Sensoris raba cabang oftalmis, maksilaris dan
mandibularis +/+
Trismus (jarak gigi rahang atas dan bawah
±2cm)
Rhisus sardonikus
Refleks kornea +/+
N. Cranialis VII :Bibir terangkat simetris
Kerut dahi simetris
Sensoris 2/3 depan sulit dilakukan pemeriksaan
7
N. Cranialis VIII : Sulit dilakukan pemeriksaan
CN IX, X : Suara hipofoni (-) disfonia (-)
Menelan (-)
Uvula simetris
N. Cranialis XI :Sternocleidomastoid kanan=kiri tonus otot baik
Trapezius kanan=kiri tonus otot baik
N. Cranialis XII : Tidak ada deviasi, tidak ada atrofi dan tidak ada
fasikulasi
Motorik
Kekuatan
Tonus Atrofi Fasikulasi
otot
Ekstrimitas
5/5 Normotoni -/- -/-
atas
Ekstrimitas
5/5 Normotoni -/- -/-
bawah
Sensorik
Wajah simetris
Ekstrimitas atas kanan=kiri
Batang tubuh tidak dilakukan
Ekstrimitas bawah kanan=kiri
Refleks
Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Radiobrachialis + +
Patella + +
Achilles
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Oppenheim - -
8
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 17,7 g/dL 14 – 18
Leukosit 12.46 103/uL 4,0 – 10,0
Hematokrit 52,5 % 40,0 – 54,0
Jumlah Trombosit 307 ribu/uL 150 – 450
Jumlah Eritrosit 4,41 juta/uL 4,10 – 5,10
Indeks Eritrosit
MCV 96,4 fL 80 – 96
MCH 32,5 pg/mL 28 – 33
MCHC 33,7 g/dL 33 – 36
Kimia Rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa Darah Sewaktu 90 mg/dL 70 – 120
SGOT 17 u/L 5 – 31
SGPT 10 u/L <=34
Ureum 24 mg/dL 10 – 50
Kreatinin 1.01 mg/dL 0,5 – 1,1
Pemeriksaan Elektrolit
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Natrium 143 mmol/L 135 – 145
Kalium 3,6 mmol/L 3,5 – 5,1
Chlorida 110 mmol/L 95 – 110
1.5. Resume
Seorang laki-laki usia 52 tahun, datang dengan keluhan sulit
membuka mulut sejak 12 jam SMRS, keluhan disertai kaku di sekitar
wajah, leher, dada, perut dan kedua tangan dan kaki. Pasien juga mengeluh
tidak bisa menelan, tersedak saat menelan makan dan minuman. Sepuluh
hari SMRS pasien mengaku tertusuk kayu pada punggung kaki kiri,
namun tidak berobat ke dokter.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang. Ditemukan
oral hygiene buruk dan terdapat trismus derajat 3 dan rhisus sardonikus.
Pada dorsum pedis sinistra terdapat abses.
9
Pemeriksaan penunjang pasien di dapatkan leukositosis.
1.6. Diagnosis Banding
Tetanus grade III-IV
Peritonsilar abses
Tetani
1.9. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa:
Perawatan di ruang isolasi
Pasang DC dan NGT
IVFD Asering/8jam
Perawatan luka
Medikamentosa:
ATS 10.000 U IM
Metronidazole 3x500 mg IV
Diazepam 4 x 10mg IV
Amlodipin 1 x 10 mg per NGT
Irbesartan 1 x 300 mg per NGT
10
1.10. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
A:
Tetanus Grade III-IV
03 Agustus 2019 S: dr. Awaluddin., SpS
07.30 Kejang 3x, Pasien sulit Metronidazole 3 x 500
membuka mulut, sulit mg IV
menelan Diazepam 4 x 10 mg, IV
Badan kaku terasa kaku
Amlodipin 1x10 mg per
NGT
O:
Kes = cm Irbesartan 1x300 mg per
TD 170/110 mmHg NGT
N 92 x/menit Phenitoin 3x1 per NGT
T 36,5
R 22x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
05 Agustus 2019 S:
05.30 Kejang 2x, Pasien sulit
11
membuka mulut, sulit
menelan
Badan kaku terasa kaku
O:
Kes = cm
TD 140/80 mmHg
N 82 x/menit
T 36,7
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
06 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 2x, Pasien sulit
membuka mulut, sulit
menelan
Badan kaku terasa kaku
O:
Kes = cm
TD 120/80 mmHg
N 80 x/menit
T 36,3
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+)
Kuduk kaku (-)
Trismus 3 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
07 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 1x, Pasien sulit
membuka mulut berkurang,
sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang
O:
Kes = cm
TD 140/80 mmHg
N 90 x/menit
T 36,8
R 21x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)
12
Trismus 3 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
08 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang tidak ada, Pasien
sulit membuka mulut
berkurang, sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang
O:
Kes = cm
TD 150/100 mmHg
N 99 x/menit
T 36,6
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)
Trismus 4 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
09 Agustus 2019 S:
07.30 Kejang 2x, Pasien sulit
membuka mulut berkurang,
sulit menelan
Badan kaku terasa kaku
berkurang
O:
Kes = cm
TD 150/100 mmHg
N 99 x/menit
T 36,6
R 20x/menit
Rhisus sardonikus (+)
Opistotonus (+ menurun)
Kuduk kaku (-)
Trismus 4 cm
A:
Tetanus Grade III-IV
10 Agustus 2019 S:
04.30 Pasien apneu
O:
TD tidak teraba
HR tidak teraba
Dilakukan RJP 5 siklus
tidak berhasil
Pasien dinyatakan
13
meninggal pukul 04.45
A:
Tetanus Grade III-IV dan
respiratory distress
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
Laporan kasus tetanus di Indonesia pada tahun 1994 berjumlah 3.843
kasus dengan kasus terbanyak ditemukan di provinsi Jawa Timur yakni 1.229
kasus. Penelitian di RSHS antara 1991-1995 menemukan 85 kasus tetanus. Sekitar
64,9% kasus disebabkan karena luka pada kaki. Angka mortalitas mencapai
25,6% dari semua pasien tersebut tidak ada yang pernah mendapatkan imunisasi
dasar.7 WHO melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia sebanyak 25
kasus dan insidensi tetanus secara keseluruhan adalah 506 kasus pada tahun
2017.8
Gambar 3.1
Clostridium tetani
16
kerusakan jaringan di sekitar luka atau port d’entry dan menghasilkan lingkungan
anaerob untuk pertumbuhan C. tetani.9-11
Pada kasus sefalik tetanus, sebagian besar fokus inokulasi bakteri adanya
trauma di regio wajah serta leher. Dapat pula berhubungan dengan karies gigi,
tindakan ekstraksi, dan abses periodontal.6
Tabel 3.1
Luka Rentan Tetanus
Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan Tetanus
> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman lebih dari 1 cm Superfisial, <1 cm
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (ireguler) Bentuk linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi, purulen (jaringan nekrotik) Bersih
17
menimbulkan gejala tetanus, sementara bakteri tetanus tetap berada di fokus
infeksi.
Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa
literatur menyebutkan tetanolisin berperan menghancurkan jaringan sehat di
sekitar luka dan menurunkan potensi okdasi reduksi sehingga mendukung
pertumbuhan bakteri. Sementara itu tetanospasmin menyebar melalui akson
secara retrograde menuju ke sel-sel di spinal cord. Selanjutnya, berikatan di
reseptornya di sel saraf inhibisi.
Gambar 3.2
Struktur Tetanospasmin
18
3.6. Tanda dan Gejala12
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama,
beberapa minggu). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
19
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan
oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus. (9)
3.7. Diagnosis12
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa:
20
Tabel 3.2
Kriteria Pattel Joag
Kriteria 1 Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan
kaku otot tulang belakang.
Kriteria 2 Spasme tanpa mempertimbangkan
frekuensi maupun derajat keparahan.
Kriteria 3 Masa inkubasi ≤7hari.
Kriteria 4 Onset ≤48 jam.
Kriteria 5 Meningkatnya suhu rektal > 40oC atau
aksila > 37,6oC.
Derajat 1 : Kasus ringan, minimal satu kriteria (kriteria 1 atau 2) mortalitas
0%
Derajat 2 : Kasus sedang, minimal dua kriteria (kriteria 1 dan kriteria 2)
biasanya inkubasi >7 hari, mortalitas 10%
Derajat 3 : Kasus berat (kriteria 1, 2, dan 3) mortalitas 32%
Derajat 4 : Kasus sangat berat, terdapat minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : Memenuhi 5 kriteria, mortalitas 84%
Kriteria beratnya tetanus dapat pula dinilai menggunakan kriteria Ablett’s sebagai
berikut.
Grade 1 (Ringan) : Trismus ringan sampai sedang , spastisitas umum, tidak
ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia.
Grade 2 (Sedang) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, gangguan
pernafasan ringan dengan Takipneu, spasme ringan sampai sedang namun singkat,
disfagia ringan.
Grade 3 (Berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan
sering dengan spasme spontan yang memanjang, gangguan pernafasan takipneu
dengan apnoeic spells, disfagia berat, takikardi lebih dari 120 kali.
Grade 4 (Sangat berat): Grade 3 ditambah gangguan outonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskular.
a. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Biasanya
pemeriksaan penunjang diarahkan untuk mencari komplikasi dari
penyakit.
21
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan adalah.
o Darah lengkap, analisa gas darah, SGOT, SGPT
o Elektrolit, ureum, dan kreatinin
o EKG, rontgen toraks PA/AP
3.8. Tatalaksana5,12,13
3.8.1. Tatalaksana Umum
1. Manajemen luka
Tentukan jenis luka pasien apakah terdapat ke dalam luka rentan
tetanus atau tidak.
Lakukan anamnesis riwayat imunisasi pada pasien. Tetanus toxoid
diberikan pada pasien dengan imunisasi booster terakhir lebih dari 10
tahun sebelumnya. Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu
diberikan pula TIG.
Rekomendasi manajemen luka traumatik adalah sebagai berikut.
a) Semua luka harus dibersihkan dan debridemen sebaiknya
dilakukan jika perlu.
b) Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin.
c) Tetanus toksoid (Tt) harus diberikan jika riwayat booster
terakhir lebih dari 10 tahun. Jika riwayat imunisasi tidak diketahui
Tt dapat diberikan.
d) Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu,
maka TIG harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu
pemberian TIG.
Dosis Tt.
• Usia ≥ 7 tahun : 0,5 mL (5 IU) IM.
• Usia <7 tahun : gunakan DTP atau DtaP sebagai pengganti Tt. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan Dt, dosis 0,5 ml IM.
Dosis TIG:
• Profilaksis dewasa: 250-500 U IM pada ekstrimitas kontralateral
lokasi penyuntikan Tt.
• Profilaksis anak 250 U IM pada ekstrimitas kontralateral lokasi
penyuntikan Tt.
22
Diet diberikan 3500-4500 kalori per hari, dengan perbandingan 100-
150 gram protein dalam bentuk semilikuid atau likuid diberikan
melalui NGT.
3. Dirawat di ruang isolasi.
4. Cairan dan elektrolit.
23
Kekakuan Otot dan Rigiditas/Spasme Otot
Pasien menghindari stimulasi yang tidak perlu. Terapi utama
diberikan benzodiazepin. Diazepam juga dapat diberikan. Midazolam
kurang menyebabkan kumulasi. Sedasi lain adalah fenobarbital, fenotiazin.
Propofol digunakan sebagai sedasi dengan efek penyembuhan tinggi.
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas baik dengan efek depresi
nafas yang lebih rendah. Diazepam juga memiliki efek antikonvulsan dan
muscle relaxation, sedatif dan anxiolytic. Dosis yang digunakan sebagai
berikut.
• Spasme ringan 5-20 mg p.o setiap 8 jam bila perlu.
• Spasme sedang 5-10 mg i.v bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120mg
dalam 24 jam atau dalam bentuk drip.
• Spasme berat: 50-100 mg dalam 500ml dekstrose 5% dan diinfuskan
dengan kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam.
Jika efek sedasi tidak cukup untuk menghentikan spasme maka perlu
diberikan neuromuscular blocking agents dan ventilator dengan metode
intermittent positive pressure. Untuk efek ini digunakan pancuronium,
namun obat ini dapat menginhibisi reuptake katekolamin dan dapat
memperberat instabilitas otonom pada kasus yang berat.
Baclofen intratekal dilaporkan dapat memiliki efek yang baik. Dosis
yang dianjurkan 500-2000 g per hari, diberikan bolus atau infus.
Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis
70 mg/kgBB dalam bentuk larutan dekstrose 5% 100 ml secara intravena
melalui infus selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2
gram/jam (<60 tahun) dan 1 gram/jam (≥60 tahun) dalam larutan dekstrose
5% 500ml, diberikan selama 6 jam. Dosis kemudian dititrasi dengan cara
menakkan dosis 0,5 gram (<60 tahun) atau 0,25 gram (≥60 tahun) setiap 6
jam sampai spasme umum terkontrol. Kurangi dosis 0,25 gram/jam sampai
terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Observasi keluaran urin
per jam, kemampuan batuk, refleks patella, respirasi, tekanan darah, EKG
12 lead, dan kadar magnesium setiap 3 hari sekali atau setiap hari bila
terdapat tanda toksisitas, tanda klinis hipokalsemia (Chovstek’s dan
Trousseau’s) pemeriksaan kadar kalsium dilakukan setiap 3 hari.
Efektifitas pemberian MgSO4, ini sama dibandingkan diazepam menurut
penelitian.
24
Kontrol Disfungsi Otonom
Pemberian cairan 8 liter per hari disertai dengan pemberian sedasi.
Benzodiazepin, antikonvulsan, dan khususnya morfin dapat dijadikan
pilihan. Morfin dimanfaatkan karena efeknya pada stabilitas
kardiovaskular. Dosis pemberian antara 20-180 mg per hari, diduga
bermanfaat melalui mekanisme pengganti opoid endogen, mengurangi
refleks simpatis dan melepaskan histamin. Fenotiazin, khususnya
klorpromazin, antikolinergik, dan alfa adrenergik antagonis juga memiliki
efek stabilitas kardiovaskular.
Propanolol digunakan untuk mengontrol hipertensi episodik dan
takikardi, namun dapat mengakibatkan hipotensi yang nyata, edema paru
yang berat, dan sudden death. Dosis yang digunakan adalah 5-10mg, dapat
dinaikkan hingga 40mg tiga kali sehari, dosis yang biasa digunakan adalah
5-20mg tiga kali sehari.
Atropin hingga dosis 100mg per hari dapat diberikan pada kasus
diaforesis, bradiaritmia dan hipersekresi. Diharapkan pemberian dosis
besar akan memblk efek muskarinik dan nikotinik, sedasi sentral, dan blok
neuromuskular. Takiaritmia lebih dari 190 kali per menit pada dewasa
muda atau lebih dari 150 pada orang tua dapat diatasi dengan verapamil
40mg dua kali per hari atau dengan dosis kecil propanolol.
Clonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk
mengurangi efek simpatis. Diberikan dengan dosis 2 g/kg diberikan 3 kali
per hari secara intravena hingga tekanan darah normal dicapai secara
stabil.
Magnesium sulfat dapat digunakan terutama pada pasien tetanus
dengan penggunaan ventilator bermanfaat untuk mengurangi komplikasi
disotonomi, pada pasien tanpa ventilator diambil manfaat antispasmenya.
Komplikasi Respirasi
Untuk mengatasi risiko gangguan pernafasan, penggunaan ventilator
dan perawatan di ruangan ICU sangat membantu menurunkan angka
kematian. Trakeostomi dilakukan pada pasien dengan Patel Joag 3 ke atas.
Pada stadium IV dan V trakeostomi tidak secara signifikan mengurangi
angka kematian.
25
Miokarditis dan Gangguan Kardiovaskular Lain
Terapi miokarditis disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Beberapa ahli menggunakan ACE inhibitor untuk mengatasi hipertensi dan
disfungsi ventrikel kiri. Calcium channel blocker digunakan pada kasus
congestive heart failure dan miopati akibat miokarditis. Digoksin
digunakan untuk meningkatkan kontraksi sistolik miokardium. Beta
adrenergic blocker digunakan untuk menurunkan cardiac output dan
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer.
Gangguan Gastrointestinal
Perdarahan lambung sering terjadi dan dapat diatasi dengan
pemberian antasida teratur pada semua pasien tetanus berat. Ranitidin
dapat juga diberikan dengan dosis 150 mg setiap 8 jam sekali.
3.9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada tetanus dapat meliatkan berbagai sistem
seperti sebagai berikut.perdossi2016
Saluran pernafasan: asfiksia, pneumonia aspirasi, atelektasis e.c
obstruksi sekret.
Kardiovaskular: takikardi, hipertensi.
Tulang dan otot: perdarahan otot, fraktur kolumna vertebra, miositis
osifikan sirkumskripta.
Lain-lain: laserasi lidah, dekubitus.
3.10. Prognosis
Tetanus generalisata memiliki prognosis ad malam dengan angka
mortalitas mencapai 50%. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
26
respirasi.merrits Selain itu, tetanus dengan onset yang lebih cepat sekitar tiga sampai
lima hari memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding dengan kasus dengan
onset lama. Namun, jika pasien mampu bertahan, setelah enam bulan biasanya
dapat mencapai perbaikan total.textbook ofclinical neurology christopher
Selain itu terdapat skoring Philips dan Dakar yang dapat digunakan untuk
menilai prognosis pasien.
Tabel 3.3
Skor Prognostik Tetanus, Dakar14
Tabel 3.4
Skor Prognostik Tetanus, Phillips17
27
00
Ringan <9
Sedang 9-16
Berat >16
BAB IV
28
ANALISA KASUS
29
usia tua (≥65 tahun), juga termasuk faktor lainnya adalah menurunnya
imunogenitas pada usia lanjut.16
Pemeriksaan fisik pasien menunjukkan KU sakit sedang, adanya oral
hygiene buruk dan abses di dorsum pedis sinitra yang mendukung kemungkinan
port d’entry kuman tetanus. Terdapat trismus derajat tiga yaitu jarak inisial gigi
rahang atas dan bawah ketika membuka mulut 2 cm. 16 Tidak ditemukan
Chvostek’s sign dan Trosseau sign yang merupakan patognomonic dari
hipokalsemia yang merupakan salah satu penyebab tetani. Pemeriksaan saraf
dalam batas normal, dengan pemeriksaan refleks normal tidak ditemukan tanda
kelainan upper motor neuron maupun lower motor neuron. Pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan neurologis secara lengkap karena dikhawatirkan terjadinya
kejang rangsang pada kasus tetanus.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis maka diagnosis pasien
adalah Tetanus derajat III-IV berdasarkan kriteria Ablets karena adanya Trismus
berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan sering dengan spasme spontan
yang memanjang dan terdapat gangguan kardiovaskular.
Pemeriksaan penunjang pada pasien tetanus biasanya dilakukan bukan
untuk menegakkan diagnosis, melainkan untuk melihat ke arah komplikasi.
Pemeriksaan darah rutin dan darah kimia pasien terdapat leukositosis yang
menandakan terdapat infeksi bakteri. Hasil elektrolit pasien dalam batas normal
maka menyingkirkan diagnosis banding spasm yang dialami pasien diakibatkan
electrolit imbalance.
Terapi non medikamentosa yang diberikan pada pasien adalah perawatan
di ruang isolasi, untuk meminimalkan spasme paroksimal akibat rangsangan
eksternal, diusahakan ruangan gelap dan tenang. Meskipun ruang isolasi tidak
memenuhi kriteria maksimal untuk perawatan pasien tetanus, salah satunya adalah
terdapat cahaya yang masuk dan masih terdengar suara dari ruang sebelah pasien
mengingat ruangan tidak kedap suara dan berdempet. Monitor kondisi umum dan
tanda vital pasien tidak dapat dilakukan mengingat perawatan hanya dilakukan di
ruang biasa. Selanjutnya pasien dipasang urin kateter untuk memantau urin agar
mengetahui status hidrasi. Hal ini diperlukan sebab salah satu komplikasi dari
tetanus adalah dehidrasi yang diakibatkan intake kurang karena keluhan disfagia.
30
Bersamaan dengan pemantauan urin, pemeriksaan elektrolit juga menjadi salah
satu penuntun terapi cairan serta nutrisi pasien. Pasien diberikan infus asering per
delapan jam. Terdapat keluhan sulit menelan membuat pasien rentan terkena
dehidrasi, maka dilakukan pemilihan cairan Asering yang memiliki komposisi
dekstrosa serta elektrolit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Penting sekali untuk mencegah terjadi aspirasi pada pasien salah satunya
dengan pemasangan NGT juga untuk intake nutrisi. Terapi farmakologis yang
diberikan pada pasien adalah pemberian antitoksin berupa ATS yang diberikan
secara intramuskular dengan dosis 10.000 U. Selama perjalanan penyakit toksin
yang berada dalam tubuh pasien terdapat dua bentuk, yaitu toksin bebas dalam
darah dan toksin yang sudah terikat dengan reseptornya di jaringan saraf.
Pemberian ATS berguna untuk menetralisir toksin yang belum berikatan dengan
reseptor, sementara toksin yang terdapat di jaringan saraf pada reseptornya
bersifat terfiksir sehingga untuk menghilangkan efeknya perlu menunggu sampai
terjadi regenerasi. Terdapat dua jenis antitoksin yang tersedia yaitu Human
Tetanus Imunoglobulin dan antitoksin yang berasal dari hewan yaitu ATS.
Penggunaan TIG lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan ATS karena
memiliki half-life yang lebih panjang. Namun karena keterbatasan ketersediaan
pasien diberikan ATS.
Selain menetralisir toksin bebas, perlu juga diberikan antibiotik untuk
eliminasi sumber dari toksin tersebut, yaitu bakteri C. tetani. Pemberian antibiotik
diharapkan dapat mengeradikasi bentuk vegetatif dari C. tetani. Secara in vitro C.
tetani peka terhadap penisilin, sefalosporin, imipenem, makrolide, dan tetrasiklin.
Dalam beberapa literatur Penisilin G menjadi antibiotik pilihan yang digunakan
untuk membunuh bakteri penyebab tetanus. Namun, penisilin bersifat GABA
antagonis, sehingga pilihan yang dapat digunakan adalah pemberian
metronidazole 3x500 mg, seperti pada pasien. Selain itu, metronidazole memiliki
efikasi lebih tinggi dibandingkan Penisilin. Terdapat penelitian yang
memandingkan efikasi metronidazole dan penisilin sebagai terapi pada tetanus,
melaporkan penurunan mortalitas pada kelompok pasien yang diterapi dengan
metronidazole.
31
Spasme otot generalisata adalah keadaan mengancam jiwa karena dapat
menyebabkan gagal nafas, dan aspirasi. Beberapa obat dapat digunakan untuk
mengontrol spasme ini. Juga harus diperhatikan lingkungan perawatan pasien
untuk mencegah kejang rangsang.
Benzodiazepin digunakan secara umum untuk mengontrol rigiditas dan
spasme pada tetanus.23 Diazepam adalah yang paling sering dipakai, meskipun
jenis benzodiazepin lain pun sama efektifnya dengan diazepam. Pasien dengan
tetanus sering menunjukkan tolerance terhadap efek sedasi dari benzodiazepin
dan dapat masih terjaga sadar penuh setelah mendapatkan dosis yang pada pasien
lain dapat menyebabkan efek anestesi.22 Dosis awal dapat diberikan 10-30mg IV
dengan dosis maksimal 120mg/kgBB/hari. Pada pasien diberikan diazepam
3x10mg.
Selain itu pasien juga diberika amlodipin 1x10 mg dan irbesartan 1x 300
mg, untuk membantu mengatasi gangguang kardiovaskuler yang terjadi pada
pasien karena tetanus.
32
BAB V
SIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
4. WHO. Tetanus.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/sur
veillance_type/passive/tetanus/en/
34
9. Champoux J, Drew L, Frederick C.N, James J.P. 2004. Sherris Medical
Microbiology : An Introduction to Infectious Diseases Vol.4th. New York:
Mc Graw Hill.
10. Lisboa, Thiago Costa et al. “Guidelines for the management of accidental
tetanus in adult patients.” Revista Brasileira de terapia intensiva 23 4
(2011): 394-409 .
11. Brooks, G. F., Jawetz, E., Melnick, J. L., & Adelberg, E. A. (2010).
Jawetz, Melnick, & Adelberg's medical microbiology. New York, McGraw
Hill Medical.
14. Sidhartha, Peter JV, Subhash HS, Cherian M, Jeyaseelan L, Cherian AM.
A proposed new scoring system for tetanus. Indian J Crit Med . 2004 ; 8(3)
: 168-72
15. Dharanjani P.J and Jonaidel O. 2002. Trismus: aetiology, differential
diagnosis and treatment. Specialist, oral & maxillofacial surgery, Riyadh
dental centre. Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia.
17. Seo D. H., Cho D. K., Kwon H. C., Kim T. U. A case of cephalic tetanus
with unilateral ptosis and facial palsy. Annals of Rehabilitation Medicine.
2012;36(1):167–170. doi: 10.5535/arm.2012.36.1.167.
18. Guyennet E., Guyomard J. L., Barnay E., Jegoux F., Charlin J. F. Cephalic
tetanus from penetrating orbital wound. Case Reports in Medicine.
2009;2009548343.
35