Anda di halaman 1dari 80

CASE REPORT SESSION

EPISTAKSIS ANTERIOR PADA ACUTE MYELOID


LEUKIMIA (AML)

Disusun Oleh :
dr. Verra Anindya Sistha Rossellyn

Dokter Penanggung Jawab Pasien :


dr. Rio Zakaria, Sp.PD

Dokter Pendamping :
dr. Yanti Dana

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2019
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan……………………………………………………..................3
BAB II Ilustrasi Kasus……………………………………………………………..5
BAB III Tinjauan Pustaka………………………………………………………….7
BAB IV Analisis Masalah………………………………………………………..63
BAB V Kesimpulan………………………………………………………………67
Daftar Pustaka……………………………………………………………………68

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat

irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari sel itu berasal. Sel-

sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus

Leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan.

Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari

sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah

sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal

sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini akan menunjukkan beberapa

gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan.1,2

Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada

satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan

tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan

gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang

disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik

sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum

tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. 1,2

Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri

myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain -

lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh

kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada

anak (15%). 3

3
Salah satu gejala dari AML adalah epistaksis, epistaksis merupakan

perdarahan yang terjadi dari hidung, yang biasanya 90% dapat berhenti sendiri.

Namun pada kasus tertentu, seperti leukimia, epistaksis tersebut akan sulit

dihentikan.

4
BAB 2
ILUSTRASI KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Tn. C
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Usia : 34 tahun
Alamat : Dusun Munjul Wilanegara
Suku : Sunda
Status Marital : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 18 Agustus 2019, pukul 07.40
Tanggal Pemeriksaan : 19 Agustus 2019, pukul 08.00

2.2 ANAMNESIS
I. Keluhan Utama
Mimisan

II. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD 45 Kuningan tanggal 18 Agustus 2019 pukul
07.40 WIB. Pasien mengeluhkan keluar darah pada lubang hidung sebelah kanan
sejak 3 jam SMRS. Mimisan dirasakan terus menerus dan sulit berhenti, pasien
sudah berusaha untuk memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu. Pasien
juga mengeluhkan lemas dan pusing, yang sering dirasakan dalam 1 bulan ini. Dua
hari sebelumnya pasien mengeluhkan terdapat gusi berdarah, namun sudah
berhenti. Tidak ada mual maupun muntah. BAB dan BAK dalam batas normal.
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Riwaya mimisan : 1 x saat pasien masih kecil
Riwayat Trauma : Disangkal

5
Riwayat penyakit kelainan darah : Disangkal

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal terdapat keluarga yang memiliki keluhan sama

V. Riwayat Pengobatan
Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan
belum pernah diobati ke dokter

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 162 cm
IMT : 19
Status Gizi : Underweight

b. Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
SaO2 : 98%

c. Pemeriksaan Sistem
 Kepala : normocephal
o Konjungitiva anemis
o Sklera tidak ikterik
o Pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+
o Mulut : oral hygiene baik, gusi berdarah (-), hipertrofi
gingiva (+)

6
o Hidung : Bentuk hidung normal, hiperemi (-), nyeri tekan (-
), deformitas (-), perdarahan (+) pada lubang hidung sebelah
kanan, lendir (+)
o Faring : uvula tampak simetris
 Telinga : tidak ditemukan adanya sekret, pemeriksaan
membran timpani tidak dilakukan
 Leher : pembesaran KGB tidak teraba
 Toraks : bentuk dan gerak dada simetris, retraksi tidak ada
o Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : tidak teraba iktus kordis
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler,
murmur (-), gallop (-)
o Paru – paru
Inspeksi : bentuk dan gerak simetris, irama nafas reguler
Palpasi : pergerakan simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
 Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : soepel, hati dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usung (+)
 Ekstremitas atas dan bawah
Bentuk : simetris
Akral : tidak ada sianosis, pucat, tidak ada edema,
CRT <2 detik

7
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (18/08/2019)
Parameter Hasil Nilai rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 5,5 14-18 g/dL
Hematokrit 14,4 40-54%
Leukosit 2.760 4.000-10.000 /uL
Trombosit 33.000 150.000-450.000 /uL
Eritrosit 1.79 4.5-5.9 juta/uL
Indeks Eritrosit
-MCV 80.3 80-96 fL
-MCH 30.8 28-33 pg/mL
-MCHC 38.3 33-36 g/dL

Hitung Jenis Leukosit


-Basofil 0,0 0,0-1,0 %
-Eosinofil 0,0 1,0-6,0 %
-Neutrofil Batang 1,0 2,0-6,0 %
-Neutrofil Segmen 15 50,0-70,0 %
-Limfosit 12 20,0-40,0 %
-Monosit 2,0 2,0-9,0 %

Blast 70
Golongan Darah O
Kimia Rutin
Glukosa Darah Sewaktu 98 70-120 mg/dL
SGOT 47 5-40 U/L
SGPT 37 <=45 U/L
Ureum 105 10-50 mg/dL
Kreatinin 1.91 0,6-1,5 mg/dL

Elektrolit Darah
Natrium 132 135-145 mmol/L
Kalium 4,0 3,5-5,1 mmol/L
Klorida 94 95-110 mmol/L

8
b. Pemeriksaan Sediaan Apusan Darah Tepi/SADT (19/08/2019)
Eritrosit Normoblast (+) , Hipokrom anisositosis
Leukosit Jumlah kurang, ditemukan tersangka sel muda/blast
(Myeloblast) kromatin halus dengan anak inti ≥ 1,
sitoplasma banyak dan biru
Trombosit Jumlah kurang, kelompok trombosit (-), Cresent
trombosit (-)
Hitung jenis (%) Basofil = (-)
Eosinofil = (-)
Stab = 1
Segmen = 15
Limfosit = 12
Monosit = 2
Blast = 70
Kesan Suspek AML, bagaimana klinis ?
Saran BMP, Sitokimia, Imunophenotyping

2.5 RESUME
Seorang laki-laki, 34 tahun datang dengan keluhan mimisan dari lubang
hidung sebelah kanan + 3 jam SMRS. Mimisan dirasakan terus menerus dan
sulit berhenti, pasien sudah berusaha untuk memencet hidung dan
menyumpalnya dengan tisu. Pasien juga mengeluhkan lemas, dan pusing yang
dirasakan dalam 1 bulan ini.. Dua hari sebelumnya pasien mengeluhkan
terdapat gusi berdarah, namun sudah berhenti.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapati kelainan berupa konjungtiva mata
anemis, perdarahan dari lubang hidung kanan. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan pansitopenia, dan hasil SADT berupa suspek AML.

9
2.6 DIAGNOSIS BANDING

- Acute Myeloid Lekimia (AML)

- Epistaksis Anterior

- Epistaksis Poserior

2.7 USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Darah lengkap

- GDS

- Ureum, kreatinin

- SGOT, SGPT

- CT/BT

- SADT

- BNP, sitokimia, Imunophenotyping

2.8 DIAGNOSIS KERJA

- Acute Myeloid Leukimia (AML)

2.9 PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
- Pasang tampon anterior
- Posis Kepala ditinggikan 45ᵒ

b. Medikamentosa
Konsul dr. Rio, Sp.PD
- IVFD RL / 8 jam
- Vitamin K 3x1 ampul IV

10
- Kalnex 3x1 ampul IV
- Transufsi PRC 2 labu perhari sampai Hb 10 mg/dL

2.10 PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.11 FOLLOW UP

Tanggal Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Instruksi Dokter


Pelayanan
19/08/2019 S : Mimisan (-), lendir (+)

O: Kesadaran : CM
TD : 120/80 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37o C
Mata: CA+/+, SI -/-
Hidung : tampon (+)
Lab tgl 18/08/2019 pukul 08.08
Hb : 5,5
L : 2,760
Ht : 14,4 %
Tr : 33.000

Lab tgl 19/08/2019 jam 05.53 post


transfusi 2 labu
Hb : 6,7
L : 3.450
Ht : 19 %
Tr : 114.000

A: AML + epistaksis on therapy

P:- RL / 8 jam
- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x1 IV

2
- Transfusi darah 2 labu/hari (yang
ke 3 dan 4)  target Hb >=10.

20/08/2019 S : Mimisan (-), lemas (+), pucat (+), Dr. Rio, Sp.PD
nyeri dada kiri jika bersin - Cek asam urat

O: Kesadaran : CM
TD : 140/90 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37o C
Mata: CA+/+, SI -/-
Hidung : tampon (+)

Lab 20/08/2019 pukul 05.51 post


transfusi total 4 labu:
Hb : 7,5
L : 2.500
Ht : 21,3 %
Tr : 23.000

Lab 20/08/2019 pukul 10.58 (setelah


visit dr. Rio)
Asam urat : 11,8

A: AML + epistaksis on therapy

P:- NaCL 0,9% / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x1 IV
- Transfusi darah 2 labu/hari (yang
ke 5 dan 6)  target Hb >=10.

21/08/2019 S : Mimisan (-), lemas (+), nyeri kepala Konsul Dr. Rio, Sp.PD
Pagi (+) via telepon oleh dr.
Devi:
O: Kesadaran : CM - R/ aff tampon di
TD : 130/90 mmHg poli THT, Acc
HR : 90 x/menit rajal jika tidak
RR : 22 x/menit ada keluhan
o
Suhu : 36 C - Allopuronol
Mata: CA+/+, SI -/- 1x300 mg po
Hidung : tampon (+)

3
Lab 21/08/2019 pukul 07.19 post
transfusi total 6 labu:
Hb : 10,6
L : 2.950
Ht : 31.1 %
Tr : 15.000
LED : 20
MCH : 85,4
MCH : 29,1
MCHC : 34,1
Basofil : 0,0
Eosinofil : 0,0
Neutrofil batang : 1,0 (n:2-6)
Neutrofil segmen : 32 (n: 50-70)
Limfosit : 61 (n: 20-40)
Monosit: 6 (n: 2-9)

A: AML + epistaksis on therapy

P:- Hydromal / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x1 IV
- PCT k/p
- Transfusi darah 2 labu/hari
sampai Hb >= 10  stop

Sore Lab 21/09/2019 pukul 17.37 :


Hb : 9,9
L : 2.970
Ht : 28,7 %
Tr : 17.000

22/08/2019 S : Mimisan (+), lemas (+) Dr. Rio, Sp.PD


- Kalnex  3x2
O: Kesadaran : CM IV
TD : 110/70 mmHg
HR : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5o C
Mata: CA+/+ <<, SI -/-
Hidung : tampon (+)

4
A: AML + epistaksis on therapy

P:- Hydromal / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x2 IV
- PCT k/p
23/08/2019 S : Gusi berdarah (+), mimisan (-), nyeri Dr. Yonki, sp.THT-
dada, pusing (+) KL
- Aff tampon di
O: Kesadaran : CM poli THT
TD : 110/70 mmHg - Cefixime 2x1 po
HR : 84 x/menit - Cetirizine 1x1
RR : 20 x/menit po
Suhu : 36,6o C
Mata: CA+/+ <<, SI -/-
Hidung : tampon (+), perdarahan
tidak aktif
Lab 23/08/2019 pukul 06.18:
Hb : 9,3
L : 3.550
Ht : 26 %
Tr : 18.000
MCV : 84,1
MCH : 30,2
MCHC : 35,9

A: AML + epistaksis on therapy

P:- Hydromal / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x2 IV
- PCT k/p
- Allopurinol 1x300 po
24/08/2019 S : Gusi berdarah (<), mimisan (<)

O: Kesadaran : CM
TD : 110/80 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8o C
Mata: CA+/+ <<, SI -/-
Hidung : tampon (+)
Lab 24/08/2019 :

5
Hb : 8,6
L : 3.510
Ht : 22,9 %
Tr : 34.000

A: AML + epistaksis on therapy

P:- Hydromal / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x2 IV
- PCT 3x1 k/p
- Cefixime 2x1 po
- Cetirizine 1x1 po
- Allopurinol 1x300 po
- Transfusi 2 labu perhari 
target Hb >=10
26/08/2019 S : Mimisan (-), gusi berdarahah (<) Rencana pulang:
kontrol ke poli dalam
O: Kesadaran : CM dan THT-KL
TD : 120/70 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 21 x/menit
Suhu : 36,5o C
Mata: CA+/+ <<, SI -/-
Hidung : tampon (+)
Lab 26/08/2019 :
Hb : 11
L : 3.500
Ht : 27,5 %
Tr : 19.000

A: AML + epistaksis on therapy

P:- Hydromal / 8 jam


- Vit K 3x1 IV
- Kalnex 3x2 IV
- PCT k/p
- Cefixime 2x1 po
- Cetirizine 1x1 po
- Allopurinol 1x300 po

Sore: Pasien rajal

6
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi4,5

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:


pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi,
kolumela, lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os
nasal), 2.prosesus frontalis os maksila dan 3.prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor dan 3.tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis,
2.vomer, 3.krista nasalis os maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawannya adalah 1.kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter.

7
Gambar 1. Anatomi Cavum Nasi

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid an terior. Meatus superior terletak diantara konka
superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi Hidung

8
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri
sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi
septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis
posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang
menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

9
Gambar 2. A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral nasal.

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal

10
dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari
nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit
di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
FISIOLOGI4,5
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang
canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi
penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat
torak semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan
hidung, terutama pada konka inferior dan media mengandung lamia propia
bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang konka dan
dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok aliran balik
vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.
Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

11
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra
pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam
bahan.

Gambar 3. Bagian Rongga Hidung.

Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia
yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan
tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia
oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip,
tumor, benda asing) yang menyumbat.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pancreas.

3.2 Epistaksis6,7,8

3.2.1 Definisi

12
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang
berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan
puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada
pelanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit
atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat
self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab
yang mendasarinya. 6

3.2.2 Etiologi7

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput


mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi
bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan
umum atau kelainan sistemik.
1) Lokal
a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,


benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas.
Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi
akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior
septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara
pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta
yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital.

13
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan
kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi
sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang
banyak.

Gambar 4. Epistaksis

a) Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak
mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
b) Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan


intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada
tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah
yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan.

14
Gambar 5. Epistaksis pada neoplasma
c) Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan


telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).
Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic
hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler
yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.

Gambar 6. Osler’s Disease


Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di
bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan
darah yang normal.

15
Gambar 7a. Pembekuan darah Gambar 7b. Pembekuan darah tidak
normal normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran
darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang
menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain
didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat
trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi
trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan
tempat terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah
yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan
trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor
Von Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut
cascade.

16
Gambar 8b. cascade koagulasi
Gambar 8a. cascade koagulasi normal
hemophilia

Von Willebrand (VWD) dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses
pembekuan darah, yaitu :
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup
Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak
berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai
perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang
mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh
darah.
2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu
protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa
adanya faktor VIII dalam dalam jumlah yang normal maka proses
pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF
tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar
daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.

d) Pengaruh lingkungan

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.


Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-
zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa
sehingga pembuluh darah gampang pecah.
e) Deviasi septum

17
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat
menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta.
Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti
mengosok-gosok hidung.

2) Sistemik8
a) Kelainan darah

Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah


trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan
serotonin dan tromboksan A₂ (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos
dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang
hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada
serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug
trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko
terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat
terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan
VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak
dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah
berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih
yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone
marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel

18
darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah
(berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan
pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit.
Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah
terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu
dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan
mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah
menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat
menyebabkan epistaksis.

b) Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis


hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis
sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh
darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis
terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari
pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis

19
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis
fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk
pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan.
Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi
dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil
glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak
glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan
basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh
darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi
perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes
mellitus.

c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena
itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.

20
d) Gangguan hormonal

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis.
e) Alkoholisme

Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga


menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah
sehingga dapat terjadi epistaksis.

3.2.3 Patofisiologi

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang


sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal
dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan
dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Gambar 9. Epistaksis anterior

21
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

Gambar 10. Epistaksis posterior

3.2.4 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan9,10

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma
terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus
dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin
merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan
atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan
bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol
merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.

22
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah
membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk . Sesudah
10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa.
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar 11. Rhinoskopi Anterior


b) Rinoskopi posterior

23
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.

Gambar 12. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.

3.2.5 Penatalaksanaan11,12

24
Penanganan pertama pada pasien epistaksis adalah kompresi hidung dan
menutup lubang hidung yang bermasalah dengan kasa atau kapas yang telah di
rendam pada topical dekongestan terlebih dahulu. Penekanan langsung sebaiknya
dilakukan terus-menerus setidaknya 5 menit atau sampai 20 menit. Miringkan
kepala kedepan agar mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini
untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan nafas. Penelitian lain mengatakan
bahwa pemakaian topikal oxymetazoline spray dapat menghentikan perdarahan
pada 65% pasien epistaksis di ruang emergensi.

Gambar 13. Diagram penangan epistaksis

Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical


vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan
hidung untuk di anastesi dan pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical
cautery) dengan mengunakan silver nitrate dapat dikerjakan. Hanya satu sisi septum

25
yang di kauterisasi pada satu waktu agar menurunkan resiko perforasi septum
iatrogenic. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan perdarahan
ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan sumber
perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral,
penanganannya harus di lakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan
mukosa terlebih dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon dengan kauterisasi
kimia memerluka kauterisasi elektrikal.

26
Apabila perdarahan masih berlanjut walaupun setelah dilakukan tindakan
diatas, diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior.
Produk packing tradisional mengandung
materi yang non-degradasi seperti kasa
yang dilapisi jeli petroleum, spons yang
terbuat dari hydroxylated polyvinyl
acetate yang akan mengembang apabila
basah (Merocel, Medtronic), dan
inflatable pack dilapisi hydrocolloid yang
masih kontak dengan mukosa setelah
bagian tengah pack yang telah mengempis
dan dibuang (Rapid Rhino, ArthroCare).
Tampon-tampon ini dipakai selama 1-3
hari sebelum dilepas.
Pemansangan anterior nasal
packing / tampon hidung anterior harus
dilakukan dengan hati-hati dan dengan
teknik khusus. Forceps bayonet dan
speculum nasal digunakan untuk melipat
lembaran kasa sedalam mungkin pada
kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan
sebelum lembaran baru tambahkan
diatasnya. Setalah cavun nasi tersisi
dengan kasa, ujung kasa dapat
Gambar 14. Anterior Nasal Packing / ditempelkan diatas lubang hidung dan di
Tampon Hidung Anterior ganti berkala.
Selain mengunakan kasa untuk
anterior nasal packing, dapat juga di
gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati
pada dasar cavum nasi karena akan mengembang apabila terkena darah atau cairan
lain. Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon mempermudah pemasangan.
Setelah tampon terpasang, tetesi tampon dengan sedikit cairan vasokonstriktor

27
untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi saline kedalam lubang hidung
agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari
terpasang dengan memastikan telah terjadi formasi pembekuan darah yang adekuat.
Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum
dan abses dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic selama pemasangan,
dan nekrosis jaringan karena penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya
kemungkinan terjadi sindrom syok toksik pada pemasangan tampon yang lama,
pemberian salep antibiotik topikal pada tampon diperlukan.
Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan
biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon
posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung
atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan
diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari
hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran
rogga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan.
Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan oleh dokter
spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus dilakukan monitoring di
rumah sakit.

28
Gambar 15. Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior
Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan
menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan prosedur
packing. Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara atau cairan kedalam
balon, balon akan mengembang dan memberikan penekanan pada dinding lateral
hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal adalah double balloon, gabungan
dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di
tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat
memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya.
Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada
pemasangan posterior nasal packing yang salah maupun pada pemasangan balon
yang dikembangkan berlebihan.

Gambar 16a. Double Balloon terpasang Gambar 16b. Perbandingan Double Balloon
sebelum dan sesudah di kembangkan

Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan,


embolisasi atau ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat
melakukan embolisasi pada cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri
sphenopalatina untuk epistaksis posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor
seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan
administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti
hematoma terjadi 10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakkan
kasus adalah 80-90%.

29
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan
ligasi arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan
embolisasi. Ligasi dapat dilakukan 30-60 menit dengan mengunakan teknik
endoskopik modern. Ligasi endoskopik arteri sphenopalatina dapat mencegah
terjadiya resiko-resiko diatas tetapi membutuhkan anastesi umum.
Epistaksis anterior yang gagal pada kausterisasi ataupun packing jarang
terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri
etmoidalis anterior dan posterior jarang dilakukan karena adanya resiko kanulasi
dari arteri karotis interna yangmana meningkatkan resiko terjadinya stroke, atau
pada arteri ophtalmika yangmana meningkatkan resiko terjadinya kebutaan.
Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri ethmoidalis
anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan kauter
bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar
dari foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan
kebutaan dapat di minimalisir.
Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting
untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topical, lotion, dan
salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.

3.2.6 Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha


penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena
darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum,
serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui
mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan
darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner
dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus
atau transfusi darah.

30
3.2.7 Diagnosis Banding8

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan
di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba
eustachius.

3.2.8 Pencegahan11,12

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya


epistaksis antara lain:
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat
tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas,
didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi.

3.2.9 Progosis

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.

31
3.3 Leukimia

3.3.1 Definisi Leukimia13

Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai “darah putih”
pada tahun 1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoetik.
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada
satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan
tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan
gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang
disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik
sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum
tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan,
dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya
meninggi.

3.3.2 Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih13

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu
berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah
putih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm3.
Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah
putih digolongkan menjadi 2 yaitu : granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan
agranulosit (leukosit mononuklear).

3.3.2.1 Granulosit
Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma.
Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis
granulosit yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil.

a. Neutrofil

32
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh
bakteri, sangat fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi
untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi
lainnya. Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti
terpisah- pisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula
neutrofil mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna
biru atau merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah
muda.
Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai 60%
dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek dengan waktu
paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat,
setelah itu neutrofil mati.

b. Eosinofil
Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat saat
terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang
kasar dan besar. Sel granulanya berwarna merah sampai merah jingga.
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam
sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-
12 hari dari jangka hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari
neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel darah putih.

c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang
dari 1% dari jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplasma
yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai hitam
Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk
meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu
mencegah pembekuan darah intravaskular.
3.3.2.2 Agranulosit

33
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit
terdiri dari limfosit dan monosit.

a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil,
berkisar 20-35% dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas.
Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran
sitoplasma yang sempit berwarna biru.
Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T
bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak
bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening. Limfosit T
bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui pembentukan sel yang
reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang dengan semestinya,
berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel
ini bertanggung jawab atas respons kekebalan hormonal.

b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel
darah putih, memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah. Intinya terlipat atau
berlekuk dan terlihat berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang
mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan.
Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel
cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme.

Gambar 17(a). Sel Darah Putih, (b) Leukimia

34
Gambar 18. Granulosit, (a). Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil

Gambar 19. Agranulosit, (a). Limfosit, (b) Monosit

3.3.3 Patofisiologi13

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih
pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel
darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi memblok produksi
sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemi juga
merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah
dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah

35
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan
mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang
normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati,
limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.

3.3.4 Klasifikasi Leukimia14,15,16

Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi sel


dan tipe sel asal yaitu :
a. Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat
terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit)
yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki
perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata
dalam 4-6 bulan.
 Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya
proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang
mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan
organ. LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur
dewasa (18%). Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7
tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah
terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum tulang.

36
Gambar 20. Leukimia Limfositik Akut

 Leukemia Mielositik Akut (LMA)


LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik
yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering
ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%).
Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan
dengan durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3
sampai 6 bulan.

Gambar 21. Leukimia Mielositik Akut

b. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi
neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan
hematologi.
 Leukemia Limfositik Kronis (LLK)

37
LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T).
Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang
berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur panjang.
LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang
individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-
laki.

Gambar 22.Leukimia Limfositik Kronik

 Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)


LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan
produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang
dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita
LGK/LMK.
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah
memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit,
disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel darah merah yang amat kurang.

Ga,bar 24. Leukimia Granulositik/Mielositik Kronik

3.3.5 Epidemiologi Leukimia14,15

Distribusi Frekuensi Leukimia

38
 Berdasarkan Orang
a. Umur
Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009) di
Amerika Serikat, leukemia menyerang semua umur. Pada tahun 2008,
penderita leukemia 44.270 orang dewasa dan 4.220 pada anak-anak.
Biasanya jenis leukemia yang menyerang orang dewasa yaitu LMA dan
LLK sedangkan LLA paling sering dijumpai pada anak-anak.
Menurut penelitian Kartiningsih L.dkk (2001), melaporkan bahwa
di RSUD Dr. Soetomo LLA menduduki peringkat pertama kanker pada
anak.
selama tahun 1991-2000. Ada 524 kasus atau 50% dari seluruh
keganasan pada anak yang tercatat di RSUD Dr. Soetomo, 430 anak (82%)
adalah LLA, 50 anak (10%) menderita nonlimfoblastik leukemia, dan 42
kasus merupakan leukemia mielositik kronik. Penelitian Simamora di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun2004-2007 menunjukkan bahwa
leukemia lebih banyak diderita oleh anak-anak usia <15 tahun khususnya
LLA yaitu 87%. Pada usia 15-20 tahun 7,4%, usia 20-60 tahun 20,4%, dan
pada usia >60 tahun 1,8%.

(b) Jenis Kelamin


Insiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan. Pada tahun 2009, diperkirakan lebih dari 57% kasus
baru leukemia pada laki-laki. Berdasarkan laporan dari Surveillance
Epidemiology And End Result (SEER) di Amerika tahun 2009, kejadian
leukemia lebih besar pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 57,22%:42,77%.
Menurut penelitian Simamora (2009) di RSUP H. Adam Malik
Medan, proporsi penderita leukemia berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (58%:42%).

(c) Ras

39
IR di negara barat adalah 4 per 100.000 anak-anak di bawah usia 15
tahun. Angka kejadian terendah terdapat di Afrika (1,18-1,61/100.000) dan
tertinggi di antara anak-anak Hispanik (Costa Rica 5,94/100.000 dan Los
Angeles 5,02/100.000). IR ini lebih umum pada ras kulit putih (42,1 per
100.000 per tahun) daripada ras kulit berwarna (24,3 per 100.000 per tahun).
Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009), leukemia
merupakan salah satu dari 15 penyakit kanker yang sering terjadi dalam
semua ras atau etnis. Insiden leukemia paling tinggi terjadi pada ras kulit
putih (12,8 per 100.000) dan paling rendah pada suku Indian
Amerika/penduduk asli Alaska (7,0 per 100.000).
(d) Berdasarkan Tempat dan Waktu
Menurut U.S. Cancer Statistics (2005) terdapat 32.616 kasus
leukemia di Amerika Serikat, 18.059 kasus diantaranya pada laki-laki
(55,37%) dan 14.557 kasus lainnya pada perempuan (44,63%). Pada tahun
yang sama 21.716 orang meninggal karena leukemia (CFR 66,58%).
Berdasarkan laporan kasus dari F. Tumiwa dan AMC. Kaparang
(2008) menyebutkan bahwa IR tertinggi LMK terdapat di Swiss dan
Amerika (2 per 100.000) sedangkan IR terendah berada di Swedia dan Cina
(0,7 per 100.000).
LMK merupakan leukemia kronis yang paling sering dijumpai di
Indonesia yaitu 25-20% dari leukemia. IR LMK di negara barat adalah 1-
1,4 per 100.000 per tahun.
Berdasarkan data dari International Pharmaceutical Manufacturers
Group (IPMG) penderita leukemia pada anak-anak di RSK Dharmais terus
bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2007 terdapat 6 kasus leukemia pada
anak dan pada tahun 2008 bertambah menjadi 16 kasus.
Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2004 terdapat 30
penderita (18,52%), tahun 2005 terdapat 39 penderita (24,07%), tahun 2006
terdapat 35 penderita (21,61%) dan pada tahun 2007 terdapat 58 penderita
(35,8%).
 Determinan Penyakit Leukimia

40
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.
Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih
meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia.

a. Host
a.1. Umur, jenis kelamin, ras

Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. LLA


merupakan leukemia paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan
puncak insiden antara usia 2-4 tahun, LMA terdapat pada umur 15-39 tahun,
sedangkan LMK banyak ditemukan antara umur 30-50 tahun. LLK
merupakan kelainan pada orang tua (umur rata-rata 60 tahun). Insiden
leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Tingkat insiden
yang lebih tinggi terlihat di antara Kaukasia (kulit putih) dibandingkan
dengan kelompok kulit hitam.
Leukemia menyumbang sekitar 2% dari semua jenis kanker.
Menyerang 9 dari setiap 100.000 orang di Amerika Serikat setiap tahun.
Orang dewasa 10 kali kemungkinan terserang leukemia daripada anak-anak.
Leukemia terjadi paling sering pada orang tua. Ketika leukemia terjadi pada
anak-anak, hal itu terjadi paling sering sebelum usia 4 tahun.
Penelitian Lee at all (2009) dengan desain kohort di The Los
Angeles County-University of Southern California (LAC+USC) Medical
Centre melaporkan bahwa penderita leukemia menurut etnis terbanyak yaitu
hispanik (60,9%) yang mencerminkan keseluruhan populasi yang dilayani
oleh LCA + USA Medical Center. Dari pasien non-hispanik yang umum
berikutnya yaitu Asia (23,0%), Amerika Afrika (11,5%), dan Kaukasia
(4,6%).

a.2. Faktor Genetik


Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20
kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat
menyebabkan leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada
penderita dengan kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital,

41
sindrom Ellis Van Creveld, penyakit seliak, sindrom Bloom, anemia
Fanconi, sindrom Wiskott Aldrich, sindrom Kleinefelter dan sindrom
trisomi D.
Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia
meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada
saudara kandung penderita naik 2-4 kali.19 Selain itu, leukemia juga dapat
terjadi pada kembar identik.
Berdasarkan penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain case
control menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga positif
leukemia berisiko untuk menderita LLA (OR=3,75 ; CI=1,32-10,99) artinya
orang yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali memiliki riwayat
keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
leukemia.
b. Agent

b.1. Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia
pada binatang. Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus
sebagai salah satu penyebab leukemia yaitu enzyme reserve transcriptase
ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini
ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis
RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.
Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi
terjadinya leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis
cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien
dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T yang umum pada propinsi
tertentu di Jepang dan sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro
Karibia dan Amerika Serikat.

b.2. Sinar Radioaktif


Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia. Angka kejadian LMA dan LGK jelas sekali

42
meningkat setelah sinar radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap
sinar radioaktif rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita
leukemia 10 kali lebih besar dibandingkan yang tidak bekerja di bagian
tersebut. Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup setelah ledakan bom
atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LGK sampai 20 kali lebih
banyak. Leukemia timbul terbanyak 5 sampai 7 tahun setelah ledakan
tersebut terjadi. Begitu juga dengan penderita ankylosing spondylitis yang
diobati dengan sinar lebih dari 2000 rads mempunyai insidens 14 kali lebih
banyak.

b.3. Zat Kimia

Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol,


fenilbutazon) diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia.Sebagian
besar obat-obatan dapat menjadi penyebab leukemia (misalnya Benzene),
pada orang dewasa menjadi leukemia nonlimfoblastik akut.
Penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain case control
menunjukkan bahwa orang yang terpapar benzene dapat meningkatkan
risiko terkena leukemia terutama LMA (OR=2,26 dan CI=1,17-4,37)
artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 2,26 kali terpapar
benzene dibandingkan dengan yang tidak menderita leukemia.

b.4. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk berkembangnya
leukemia. Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk menderita
leukemia terutama LMA.Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
merokok meningkatkan risiko LMA. Penelitian Hadi, et al (2008) di Iran
dengan desain case control memperlihatkan bahwa merokok lebih dari 10
tahun meningkatkan risiko kejadian LMA (OR=3,81; CI=1,37-10,48)
artinya orang yang menderita LMA kemungkinan 3,81 kali merokok lebih
dari 10 tahun dibanding dengan orang yang tidak menderita LMA.
Penelitian di Los Angles (2002), menunjukkan adanya hubungan antara

43
LMA dengan kebiasaan merokok. Penelitian lain di Canada oleh Kasim
menyebutkan bahwa perokok berat dapat meningkatkan risiko LMA. Faktor
risiko terjadinya leukemia pada orang yang merokok tergantung pada
frekuensi, banyaknya, dan lamanya merokok.

c. Lingkungan (pekerjaan)
Banyak penelitian menyatakan adanya hubungan antara pajanan
pekerjaan dengan kejadian leukemia. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan di Jepang, sebagian besar kasus berasal dari rumah tangga dan
kelompok petani. Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain case control
meneliti hubungan ini, pasien termasuk mahasiswa, pegawai, ibu rumah
tangga, petani dan pekerja di bidang lain. Di antara pasien tersebut, 26%
adalah mahasiswa, 19% adalah ibu rumah tangga, dan 17% adalah petani.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang bekerja di
pertanian atau peternakan mempunyai risiko tinggi leukemia (OR = 2,35,
CI = 1,0-5,19), artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 2,35
kali bekerja di pertanian atau peternakan dibanding orang yang tidak
menderita leukemia.

3.3.6 Gejala Klinis16

Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia,


neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
 Leukemia Limfositik Akut
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan
kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia
(mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan.
Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum, tibia
dan femur.
 Leukemia Mielositik Akut
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya

44
terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit
yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya mengalami gangguan
kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga
menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan
hipoglikemia.
 Leukemia Limfositik Kronik
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita
LLK yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati
generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu
hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga.
Demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan
perjalanan penyakitnya.
 Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase
krisis blas. Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat
kenyang akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi
setelah penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan
anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai
infeksi.

3.3.7 Diagnosis17

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%),
hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan
perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang
mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang
disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis
LLK ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati. Anemia, gejala-
gejala hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat)
menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK hampir selalu
ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga didapatkan

45
nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang terdapat
purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan
kadang-kadang priapismus.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah
tepi dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%)
dan kadang-kadang leukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut
ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti
sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30%
dari sel berinti dalam sumsum tulang.20 Pada penderita LLK ditemukan
adanya infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel
yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan
limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan
hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas
granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3.

3.3.8 Penatalaksanaan Medis18

a. Kemoterapi

 Kemoterapi pada penderita LLA

Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang
digunakan untuk semua orang.

a. Tahap 1 (terapi induksi)

46
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian
besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi
kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena
obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel
leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang
bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan
juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan
kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih
rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-
kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki
otak dan sistem saraf pusat.

d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)


Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini
biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik
dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi
penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi
lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai
dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.
 Kemoterapi pada penderita LMA

a. Fase induksi
Fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit.
Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa sel-sel leukemia di dalam

47
tubuh penderita tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi
menyebabkan kekambuhan di masa yang akan datang.

b. Fase konsolidasi
Fase konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari fase induksi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis
yang digunakan pada fase induksi.Dengan pengobatan modern, angka remisi 50-
75%, tetapi angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5
tahun hanya 10%.
 Kemoterapi pada penderita LLK
Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menetukan strategi terapi dan
prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai ialah klasifikasi Rai:
a. Stadium 0 : limfositosis darah tepi dan sumsum tulang

b. Stadium I : limfositosis dan limfadenopati.

c. Stadium II : limfositosis dan splenomegali/ hepatomegali.

d. Stadium III : limfositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl).

e. Stadium IV : limfositosis dan trombositopenia <100.000/mm3


dengan/tanpa gejala pembesaran hati, limpa, kelenjar.Terapi untuk LLK jarang
mencapai kesembuhan karena tujuan terapi bersifat konvensional, terutama untuk
mengendalikan gejala. Pengobatan tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala
karena tidak memperpanjang hidup. Pada stadium I atau II, pengamatan atau
kemoterapi adalah pengobatan biasa. Pada stadium III atau IV diberikan kemoterapi
intensif.
Angka ketahanan hidup rata-rata adalah sekitar 6 tahun dan 25% pasien dapat
hidup lebih dari 10 tahun. Pasien dengan sradium 0 atau 1 dapat bertahan hidup
rata-rata 10 tahun. Sedangkan pada pasien dengan stadium III atau IV rata-rata
dapat bertahan hidup kurang dari 2 tahun.

 Kemoterapi pada penderita LGK/LMK

48
a. Fase Kronik
Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan yag mampu menahan
pasien bebas dari gejala untuk jangka waktu yang lama. Regimen dengan bermacam
obat yang intensif merupakan terapi pilihan fase kronis LMK yang tidak diarahkan
pada tindakan transplantasi sumsum tulang.

b. Fase Akselerasi,
Sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah.

b. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel
leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam
tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau
partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara
ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan
kelenjar getah bening setempat.
c. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang
yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat
disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi
sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena
kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80% angka keberhasilan) dicapai
jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah terdiagnosis dengan donor
Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai. Pada penderita LMA
transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap
pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan
responterhadap pengobatan.
(d) Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan
penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah
untuk penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.

49
3.4 Acute Myeloid Leukimia (AML) 19,20,21

3.4.1 Definisi AML

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering


juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic
Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara
malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan penekanan dan
penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal. Pada kebanyakan
kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut
myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel
darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit
(yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi
ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.

3.4.2 Klasifikasi AML22,23,24

AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi,
diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta
penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu
dalam memberikan terapi yang terbaik.
Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh
French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut
menjadi 7 subtipe yaitu sebagai berikut:

Subtipe Menurut FAB Nama Lazim

(French American British) ( % Kasus)

Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi


MO
Minimal (3%)

Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-


M1
20%)

50
Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi
M2
granulositik (25-30%)

M3 Leukimia Promielositik Akut (5-10%)

M4 Leukimia Mielomonositik Akut (20%)

Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil


M4Eo
abnormal (5-10%)

M5 Leukimia Monositik Akut (2-9%)

M6 Eritroleukimia (3-5%)

M7 Leukimia Megakariositik Akut (3-12%)

Tabel 1. Klasifikasi AML menurut FAB

Gambar 17. Gambaran Hasil BMA pada AML

3.4.3 Epidemiologi AML25

Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini
berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua
kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML
merupakan 20% kasus leukemia pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML
setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada anak berjumlah kira-kira 15% dari
leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat
sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000
penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun

51
menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur,
puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus
leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan
sekitar 38% menderita jenis AML.
Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita
AML subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3
tahun, terutama dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi
adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih
dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t
(8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi 8.

3.4.4 Etiologi AML26

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.


Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan
risiko timbulnya penyakit leukemia. Faktor risiko tersebut adalah:
 Radiasi dosis tinggi: Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom
atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden
penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber
radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen),
dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian
leukemia.
 Pajanan terhadap zat kimia tertentu: benzene, formaldehida, pestisida
 Obat – obatan: golongan alkilasi (sitostatika), kloramfenikol, fenilbutazon,
heksaklorosiklokeksan
 Kemoterapi: Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat
menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating
agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan
dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya.
 Faktor keluarga / genetik: pada kembar identik bila salah satu menderita AML
maka kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden

52
leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya
menderita AML.
 Sindrom Down: Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang
disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.
 Kondisi perinatal: penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen,
asfiksia post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil
dan ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol.
 Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan
leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat
menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline.
 Sindroma mielodisplastik: sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan
pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel
(hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai
pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang
menjadi leukemia.

3.4.5 Patofisiologi AML27

AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon


sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa berkembang
menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis
pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non
limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid
akan berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada
setiap stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang
belum diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga
jumlah sel muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam
sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang
kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan metabolisme sel
dan fungsi organ.
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan
berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel yang
mengalami transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi molekular
tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui progeni sel. Defek

53
kualitatif dan kuantitatif pada semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak
terkontrol dan menggantikan sel normal.
Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan
menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker ini kemudian
dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya, dimana mereka
melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa membentuk tumor kecil
(kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia,
gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.
Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan
sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel
leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.

3.4.6 Gejala Klinis AML28

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan


sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien leukemia
bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel
abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada pasien
AML antara lain:
a. Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata
mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Sekitar 90 %
mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-
rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau
diagnosis AML dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya
gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia.
b. Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya
febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya
demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia.
Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-
tanda infeksi lain.
c. Perdarahan

54
Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana
penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epistaksis,
purpura dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan
beratnya trombositopenia.
d. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan
berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama. Penurunan
berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau
kelemahan badan.
e. Nyeri tulang
Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri
ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang
mengakibatkan terjadi infark tulang.
Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien
AML:
a. Kepucatan, takikardi, murmur
Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah
pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan
simptom kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope
dan angina.
b. Pembesaran organ-organ
Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa
abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita
AML. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali
jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.
c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML tertentu,
misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4).
Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu,
multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat
infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 %

55
M5a dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe AML yang
lain.

3.4.7 Diagnosis AML29

Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan


darah tepi dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan
immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow Aspiration) merupakan syarat
mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan menentukan jenis leukemia akut.
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua
dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenotyping dan analisis sitogenik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi
sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan
Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe
(M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB
(French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA
adalah Sudan Black B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan
sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2,
M3, M4, dan M6.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel darah
yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal. Dalam AML,
tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat
platelet mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel
darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang
mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang,
jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil
dari sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi
sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.

56
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat
apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang
mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum
tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya
(dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia
(menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, diantaranya
adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT or CAT
scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar
puncture.

Pemeriksaan immunophenotypic sangat penting untuk mendiagnosis acute


megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan diferensiasi
minimal dan leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan
genetik pada pasien AML terlihat dalam tabel berikut:

57
Tabel 2. Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe AML

3.4.8 Terapi AML30

Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis


dan kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus
dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan
untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas.
Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah
menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang
dilakukan yaitu kemoterapi.

Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun


1970an. Angka Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun
1970 menjadi 43% sekarang ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan
intensif, gabungan dari transplantasi stem sel sebagai terapi primer dan adanya
perawatan suportif.

Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan


produksi sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali
dilakukan adalah menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan,
leukositosis dan sindrom tumor lisis. Kemajuan terapi juga ditentukan oleh
penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan transfusi trombosit sebagai
profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya survival.

Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat
mengalami angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak
berhasil mengalami remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia
resistan dan separuhnya lagi akan meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut
atau akibat efek samping pengobatan itu sendiri. Terapi AML merupakan
kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya regimen terapi untuk anak
digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan dengan agen lain

58
seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak
digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin. 1 Berbagai penelitian
mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide
(ADE) lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin,
Cytosine arabinase & Thioguanine (DAT).

59
Tabel 3. Dosis Kemoterapi

60
Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk
memperpanjang durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum
tulang. Pada prakteknya, kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi
intensif setelah remisi dicapai karena hanya sebagian subset yang cocok dengan
donor keluarga.

Setelah tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi


konsolidasi) beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi.
Kemoterapi konsolidasi jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis
tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell Transplantation) cukup efektif.
Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan
respon terhadap pengobatan. Pada AML terapi rumatan tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan.
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila
diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable
side effect). Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut:
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu
status penampilan ≤ 2
2. Jumlah lekosit ≥ 3000/ml
3. Jumlah trombosit ≥120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6. Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada
usia diatas 70 tahun.

Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping seperti rambut


rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau sakit menelan
(esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah
terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Penderita
menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga

61
jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan
penderita mudah mengalami infeksi.

3.4.9 Prognosis AML26

Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3


kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable),
menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis
baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal,
infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm3, respon yang
baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak
ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup
2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%.
Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60
tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel
blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap
kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya
leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun
kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%.6 Sedangkan
kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan buruk dan
mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok prognosis baik
maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival
rate) sekitar 40-50% .

62
BAB 4
ANALISIS KASUS

Epistaksis merupakan perdarahan dari hidung yang hampir 90% dapat


berhenti sendiri. Namun, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang serius. Dalam anamnesis didapatkan bahwa pasien
mengeluhkan keluar darah dari lubang hidung sebelah kanan sejak 3 jam SMRS.
Namun, darah yang keluar tidak bisa berhenti spontan dan keluar terus-menerus
serta sulit berhenti, pasien sudah berusaha memencet hidung dan menyumpalnya
dengan tisu. Pasien juga mengeluhkan lemas, pusing dan limbung, dua hari
sebelumnya mengeluhkan gusi berdarah namun sudah berhenti. Tidak ada mual dan
muntah.
Epistaksis paling tersering berasal dari bagian anterior yaitu pleksus
kiesselbach yang terletak di septum nasi bagian anterior, pada kasus ini perdarahan
terjadi pada bagian depan hidung.
Epistaksis dapat disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena dari lokal
maupun kelainan sistemik. Penyebabnya bisa karena trauma atau cedera, infeksi,
neoplasma, efek obat seperti terapi antikoagulan, penyakit kardiovaskular dan juga
penyakit tertentu seperti leukimia. Dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan,
penyebab epistaksis tersebut berasal dari kelainan darah yaitu leukimia.
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan,
dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya
meninggi. Leukemia merupakan keganasan hematologik akibat proses neoplastik
yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel
induk hemopoitik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel
ganas tersebut dalam sumsum tulang,kemudian sel leukemia beredar secara
sistemik. Patogenesis utama pada AML adalah adanya blockade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri myeloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Hal ini akan
menyebabkan gangguan hematopoisis normal dan pada gilirannya akan

63
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan adanya
sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). Selain itu sel-sel blast yang
terbentuk juga mempunyai kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi keorgan-organ lain seperti; kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem
syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya
Etiologi leukimia sendiri belum diketahui secara pasti, faktor risiko tersebut
bisa karena adanya paparan radiasi dosis tinggi, pajanan terhadap zat kimia tertentu
seperti benzene, formaldehida dan pestisida, obat-obatan seperti sitostatiska,
fenilbutazon, dsb. Genetik, virus, sindrom down, dll. Namun pada pasien ini tidak
ditemukan adanya faktor risiko apapun.
Klasifikasi leukimia, secara sederhana bisa diklasifikasikan berdasarkan
maturasi sel dan tipe sel asal, yaitu leukimia akut dan leukimia kronis. Leukimia
akut sendiri terjadi dalam 4-6 bulan. Dan leukimia kronis terjadi lebih dari itu. Pada
kasus ini, gejala dirasakan baru pertama kali, sehingga dicurigai masih dalam
klasifikasi akut.
Berdasaran dari epidemiologi, leukimia jenis AML ssering mengenai orang
dewasa dengan puncak usia pada umur 15-39 tahun, dan insiden leukimia sendiri
lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Pada kasus ini, pasien berusia 34
tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapat pasien mengalami mimisan
yang dirasakan terus menerus dan sulit berhenti, pasien juga mengeluhkan ada gusi
berdarah sebelum masuk rumah sakit dan saat dirawat di rumah sakit, pasien juga
mengeluhkan lemas dan pusing yang sering dirasakan dalam beberapa bulan
terakhir ini, saat dirawat di rumah sakit, pasien sempat mengeluhkan nyeri pada
dadanya. Pasien terlihat pucat. Dari hasil anamnesis, pasien dicurigai mengalami
leukimia tpe AML, secara garis besar, gejala AML dapat digolongkan antara lain:
1. Gejala kegagalan sumsum tulang, yaitu: anemia menimbulkan pucat dan
lelah. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam,
infeksi rongga mulut, tenggorokan, kulit, saluran nafas, dan sepsis
sampai syok septik. Trombositopenia menimbulkan easy bruising,
perdarahan kulit, perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan
epistaksis.

64
2. Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh: kaheksia, keringatmalam,
hiperurisemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal. Pada
kasus ini terdapat peningkatan kadar asam urat yaitu 11,8
3. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain
seperti: nyeri tulang dan nyeri sternum, limfadenopati superfisial,
hipertropigusi dan infiltrasi kulit, sindrom meningeal: sakit kepala, mual
muntah, mata kabur, kaku kuduk.
4. Gejala lain yang dapat dijumpai: leukostasis, koagulopati berupa DIC
atau fibrinolisis primer, sindrom lisis tumor sering dijumpai akibat
kemoterapi.
sedangkan pada LLA, gejala klinis biasanya juga berhubungan dengan
anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, dan nyeri dada), infeksi dan
perdarahan. Selain itu bisa ditemukan anoreksi, nyeri tulang, dan sendi serta
hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum , tibia dan
femur. Pada LLK, gejala berupa limfadenopati generalisata, penurunan berat badan,
dan kelelahan. Serta hilangnya nafsu makan, demam, dan keringat malam. Pada
LMK, gejala berupa merasa cepat kenyang akibat desakan limpa dan lambung,
penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama.
Dari hasil pemeriksaan fisik, biasanya pada LMA ditemui adanya hipertrofi
gusi dan mudah berdarah, kadang-kadang ada gangguan penglihatan karena
perdarahan fundus okuli, kepucatan, takikardi, pembesarana organ namun jarang
dibanding LLA dan kelainan kulit. Pada pasien ini memang terdapat adanya
hipertrofi gusi dan mudah berdarah, dan badan terlihat pucat. Namun tidak
ditemukan adanya pembesaran organ, maupun gangguan pada penglihatan.
Sedangkan pada LLA, 86% terjadi splenomegali. LLK, ditemukan
hepatosplenomegali dan limfadenopati, anemia dan gejala-gejala hipermetaolisme,
karena penyakit sudah berlanjut. Dan LMK juga hampir ditemukan splenomegali,
Sedangkan pada pasien ini tidak teraba adanya pembesaran splen maupun hati
Dari hasil pemeriksaan penunjang, yaitu dengan tes darah, pada AML,
tingkat sel darah merah mungkin rendah yang bisa menyebkan anemia, platelet juga
mungkin rendah sehingga menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel
darah putih yang mungkin rendah sehingga menyebabkan infeksi. Pada kasus ini,

65
didapati seluruh sel darah menurun. Hemoglobin 5,5 g/dL, leukoist 2.760 /uL dan
trombosit berkisar 33.000 /uL. Pasien juga ditemukan adanya sel blast/imatur
bernilai 70.
pemeriksaan darah tepi, biasanya pada LLA ditemukan adanya leukositosis
(60%), dan kadang-kadang leuopenia (25%), sedangkan pada LMA, ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit, pada LLK terjadi limfositosis dan pada LMK
terjadi leukositosis lebih dari 50.000. pada SADT, didapati pada eritrosit hipokrom
anisositosis, leukosit jumlah kurang, dan ditemukan adanya tersangka sel
muda/blast (myeloblast), dengan jumlah kurang, ditemukan adanya blast berkisar
70, dengan kesan suspek AML. Dari hasil pemeriksaan SADT, disarankan untuk
memeriksa BMP, sitokimia dan immunophenotyping, namun, tidak dilakukan
pemeriksaan tersebut.
Terapi pada AML sendiri bisa berupa terapi suportif, simptomatis dan
kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan
menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan
untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas.
Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah
menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang
dilakukan yaitu kemoterapi. Pada kasus ini, tatalaksana nya berupa mengatasi
perdarahan dari hidung dan gusinya. Yakni dengan pemasangan tampon anterior,
pemberian cairan infus RL/8 jam, vitamin k 3x1 ampul, kalnex 3x1 ampul IV dan
pemberian transufis darah PRC 2 labu perhari sampai target Hb 10 mg/dL. Dan
pasien dianjurkan untuk kontrol ke poli untuk melakukan pengobatan lebih lanjut
seperti kemoterapinya.
Untuk prognosisnya, bisa dikelompokan menjadi baik, menengah dan
buruk. Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2
tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar
leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak
resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan
leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate)
bagi kelompok ini adalah 50-85%. Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk

66
meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan
kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3,
respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug
therapy, serta ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder.
Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini
adalah 10-20%.6 Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah
peralihan dari baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk
dalam kelompok prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2
tahun kedepan (2 years survival rate) sekitar 40-50% .
Dari segi usia, dan sel darah putih, pasien termasuk kategori baik. Namun
dari indikator lainnya, masih sulit untuk dinilai, karena pasien belum melakukan
kemoterapi dan tidak diketahui apakah resisten terhadap obat atau tidak.

67
BAB 5
KESIMPULAN

Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering


disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan,
dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya
meninggi. Penyebab nya sendiri, sampai saat ini masih belum diketahui pasti.
Penegakan diagnosis dari leukimia, dapat dinilai berdasarkan dari gejala
klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Seperti pemeriksaan darah, SADT,
maupun pemeriksaan penunjang lainnya seperti BMP, sitokimia dan
immunophenotyphing.

68
REFERENSI

1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. Buku Ajar Hematologi-


Onkologi Anak IDAI. 2012. Hal 236-45.
2. Acute Lymphoblastic Leukemia. Leukemia and Lymphoma Society. 2014.
Hal 6-20.
3. Roboz GJ, et all. Advances in Treatment of Relapsed/Refractory Acute
Lymphoblastic Leukemia. Hematology & Oncology A Peer-Reviewed
Journal. 2014 Hal 8-18.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
5. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
6. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online]
2009 feb 19 [cited 2009 feb 28] Available from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
7. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1]
Available from: http://fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
8. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities
2007 Nov 28 [cited Mar 2] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
9. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4
Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
10. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb
2 [cited 2009 Mar 4] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxi
s.aspx
11. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.

69
12. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis.
American Family Physician Vol 71 No 2.
13. Blood Cancer Acute Lymphoblastic Leukemia. College of American
Pathologists. 2011. Hal 1-2.
14. Acute lymphoblastic leukaemia (ALL) in children. Macmillan Cancer
Support. 2013. Hal 1-5.
15. Pui CH, et all. Acute Lymphoblastic Leukemia. www.thelancet.com Vol
371 March 22, 2008. Hal 1030-9.
16. Sallan SE. Acute Lymphoblastic Leukemia in Adults and Children.
American Society of Hematology. 2006. Hal 128-31.
17. Gokbuget N et all. Acute Lymphoblastic Leukemia. Onkopedia. 2012. Hal
2-14
18. Childhood Leukemia. American Cancer Society. 2015. Hal 1-49.
19. Anonim. Bab II. Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] :
Available from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
20. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
21. Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of
Pediatrics. Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495.
22. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
23. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi
4.Jakarta: EGC, 2005
24. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
25. Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan
Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011
Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/061022022524-
03ie136.pdf.
26. Permono, Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Maria A. Buku
Ajar Hematologi-Onkologi Anak. 2005. Jakarta: IDAI

70
27. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata
K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,
2006.
28. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit
Alumni : Bandung. 1997.
29. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003

71

Anda mungkin juga menyukai