Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang akan


meningkat jumlahnya di masa mendatang. Diabetes Melitus sudah merupakan
salah satu ancaman utama bagi kesehatan pada abad 21. WHO memperkirakan
bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap DM diatas umur 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan dalam waktu kurun waktu 25 tahun, jumlah itu akan meningkat
menjadi 300 juta orang. Indonesia diperkirakan WHO akan menempati peringkat
nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap DM sebanyak 12,4 % pada tahun 2025.

Gambar 1. Perkiraan penderita DM pada tahun 2030

Peningkatan insidensi DM terutama di Indonesia, memerlukan perhatian


dari seluruh aspek tidak terkecuali dokter umum. Dalam terapi DM terdapat
banyak kendala, salah satunya adalah komplikasi akut DM. Komplikasi akut DM
yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat meliputi Hipoglikemik,
Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non
Ketotik.

1
KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias
hipoglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut
maupun relatif. Data komunitas di AS menunjukkan bahwa insidensi KAD sebesar 8 per
1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur. Data komunitas di Indonesia
belum ada tetapi insidensi KAD di Indonesia lebih rendah dari di Negara barat.
Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai, perbedaan dari KAD dan ketosis
diabeticum, serta penatalaksanaan awal dalam penanganan kasus tersebut di RSUK
KEMAYORAN.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


Inisial Pasien : Ny.R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 49 tahun
Tanggal Lahir : 16 -03- 1968
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jalan sumur batu, RT 14/01, kelurahan sumur batu
Pembayaran : BPJS Kesehatan
No. Rekam Medis : 03.77.82
Tanggal Masuk : 15-08-2017 (19.15)

Primary Survey
Airway Pasien bicara spontan, airway clear
Breathing Pasien tidak tampak sesak nafas, frekuensi nafas 20 x/menit
Circulation frekuensi nadi 86x/menit, ireguler, teraba kuat
Disability GCS 15
Environment Tidak ada trauma atau luka terbuka

Secondary Survey
1.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Muntah

Keluhan Tambahana
Pusing berputar, demam, mual dan lemas.

3
Riwayat Penyakit Sekarang
Muntah dialami 2 hari SMRS, dalam sehari bisa 8-10x, setiap pasien makan dan
minum pasien selalu merasa ingin muntah, muntah bewarna makanan yang telah
dicerna, bewarna putih kekuningan, setiap muntah bisa setengah aqua gelas kecil
,lebih banyak cairan dibandingkan ampas demam dari pagi ke malam hari sejak 3
hari SMRS, pusing berputar (+), dialami pasien sejak 5 hari SMRS, pusing berputar
awalnya tidak terlalu berat dirasakan pasien, namun semakin hari keluhan pusing
berputar semakin lama semakin berat, dan tidak membaik dengan istirahat, pusing
berputar mulai makin memburuk 2 hari SMRS, pusing berputar berlangsung 5
menit dan membaik bila pasien beristirahat. Mual 5-6x/hari sejak 4 hari SMRS,
lemas dialamin pasien karena setiap makanan yang masuk tidak dapat diserap oleh
tubuh. Pada saat dibawa kerumah sakit, tetangga pasien yang membawa ke rumah
sakit, karena pasien muntah sangat hebat. Keluhan buang air kecil dan buang air
besar dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM (-), Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat Keluarga
Terdapat riwayat hipertensi pada pasien, riwayat diabetes, penyakit kuning, asma,
alergi, riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal.
Riwayat Sosial
Terdapat riwayat hipertensi pada pasien, riwayat diabetes, penyakit ginjal, asma,
alergi, riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit, iregular, teraba kuat, isi cukup, dan equal
Suhu : 38,40 C

4
Pernapasan : 20x/menit, reguler, torakoabdominal
Saturasi : 98%
Status nutrisi : BB= 60 kg, TB= - cm, IMT=tidak dapat dihitung.
Kulit : warna sawo matang, turgor kulit baik, tidak ada ikterus
Kepala : normosefal, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan
Rambut : rambut hitam beruban, persebaran merata dan tidak mudah
tercabut
Mata :konjungtiva pucat tidak ada, sklera ikterik tidak ada, diameter
pupil 3 mm / 3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung
positif
Telinga :normotia, tidak tampak sekret, tidak hiperemis, dan tidak edema
Hidung :tidak ada deviasi septum, tidak tampak sekret, tidak hiperemis,
tidak hipertrofi / edema.
Tenggorok :Arkus faring simetris, uvula di tengah, tidak hiperemis dan tidak
edema; tonsil T1/T1, tidak ada detritus.
Gigi dan mulut :Mulut tampak kering, tak ada karies gigi, tak ada gigi berlubang,
tak tampak oral trush
Leher :JVP 5+0 cmH2O, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
dan tiroid normal; trakea di tengah, tidak ada deviasi, bruit karotis
negatif, tidak ada kaku kuduk.
Jantung :Bunyi jantung 1 dan 2 ireguler, tidak terdapat murmur, tidak ada
gallop
Paru
Inspeksi :Tidak tampak sesak, tidak ada penggunaan otot bantu napas,
bentuk dada normal, tidak terdengar serak, mengi, dan stridor, tidak
ada retraksi interkostal, diameter AP dan lateral 1:2, tidak ada
penyempitan dan pelebaran sela iga, pergerakan dada statis dan
dinamis simetris; RR: 20x/menit, reguler, torakoabdominal.
Palpasi :trakea di tengah, perabaan seluruh dada normal, ekspansi dada
normal, fremitus simetris kanan-kiri pada dada depan dan dada
belakang

5
Perkusi :Dada depan: sonor di kedua lapang paru.
Dada belakang: sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Dada depan dan belakang vesikuler pada kedua lapang paru.
Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, tak tampak jaringan parut, tak tampak venektasi
Palpasi : ada nyeri tekan epigastrium bila ditekan dengan kuat, hati, limpa,
dan ginjal tidak teraba, nyeri ketok CVA negatif.
Perkusi : tidak ada asites.
Auskultasi : terdapat bising usus normal 9x/menit.
Ekstremitas: akral hangat, tidak terdapat pitting edema, CRT < 2 detik.
1.4. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 15,9 12-15 g/dL
Hematokrit 46 38-46%
Eritrosit 5,2 3,8-4,6 x 106/uL
Leukosit 5800 5-10 x 103/uL
Trombosit 177 150-400 x 103/U

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0 %
Eosinofil 1 %
Neutrofil Batang 4 %
Neutrofil Segmen 64 %
Limfosit 24 %
Monosit 6 %

6
Gula darah sewaktu 266 74-106 mg/dL
Hba 1c 7,7

Fungsi Hati
SGOT 36 0-31
SGPT 55 0-32

Faal Ginjal
Ureum 26 < 48 mg/dL
Creatinin 0,8 0,62-1,16 U/L

Px. Elektrolit:
Natrium 133 135,0-145,0
Kalium 3,6 3,5-5,00
Klorida 96 97,8-107,4

KGDH 1 172
KGDH 2 150

Pemeriksaan Urin:
Glukosa 3 positif (+++) Negatif
Protein 2 positif (++) Negatif
Keton 1 positif (+) Negatif
Leukosit Esterase 2 positif (+) Negatif

Sedimen urin
Leukosit 55-60 <5
Epitel 1 positif (+) Negatif

7
Bakteri 3 positif (+++) Negatif
Jamur Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif

Gambar 1. Elektrokardiogram

Sinus aritmia, HR78 x/menit, Axis: normoaxis, ST changes tidak ada, gelombang
T normal, RVH / LVH tidak ada, tidak ada BBB.

Kesan: sinus aritmia

8
1.5. Rumusan Masalah
1. Ketosis DM
2. DM tipe 2
3. ISK
4. Vertigo
1.6. Tatalaksana
1.6.1. Non-farmakologis
Mengatur pola makan diet yang baik
Tidak boleh terlalu banyak pikiran untuk keluhan vertigonya.
Kontrol ke poli penyakit dalam
1.6.2. Farmakologis
Ivfd nacl 0,9% 500 cc/6 jam
Inj. Apidra 3 x 6 unit, sc
KGDH
Injeksi ciprofloxacin 2x400 mg di drip
Paracetamol 3x1
Lansoprazol 30 mg, 1x1
Ondancentron 3x4 mg

1.7. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanactionam : dubia

9
Pemeriksaan Follow-up

15/08/2017 S:
Demam + sejak 3 hari yang lalu, mual dan muntah 3x/hari selama dua
hari yang lalu, pusing berputar bila berubah posisi sejak 3 hari yang lalu,
semua isi makanan dan minuman keluar pada saat muntah. Bab dan bak
dbn.
O:
Ku : baik, Kes: TSS
TD: 150/90 mmhg, N: 82 x/menit kuat angkat R: 18x/menit S: 37,6
Px.fisik :
Kepala :
Normocepali
Mata :
CA-/-, SI -/-,
Thorax :
Pulmo :ves+/+,w-/-,r-/-
Cor : bj 1 , bj2 reguler, m-,g-
Abdomen:
Datar, BU (+) normal,supel, NT (-),
Ekstremitas:
akral hangat, CRT > 2 detik, sianosis-/-,edema-/-
A: Ketosis DM +Vertigo + DM tipe2 + ISK
P:
1. CIV Nacl 0,9 % 500 cc/6 jam
2. Injeksi Apidra 3x6 unit S.C.
3. Ranitidin 1 x 50 mg distop
4. Lansoprazol 1x 30 mg /oral
5. Drip ciprofloxacin 2 x 400 mg / iv

S:
Pusing berputar + sudah berkurang, demam +, mual +, muntah 2x/hari
16/08/2017 berisi cairan, bab dan bak dbn.

O:
Ku : baik, Kes: TSS,
TD: 120/80 mmhg, N: 82 x/menit R: 18x/menit S: 37,0
Px.fisik :

10
Kepala :
Normochepali, ca-/-,si -/-
Thorax :
ves +/+, w-/-,r-/-, BJ 1-11 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Datar, BU (+) normal, supel, NT (-).
Ekstremitas:
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis-/-, edema-/-

A: Ketosis DM + Vertigo + DM tipe 2 + ISK

P:
1. ivfd nacl 0,9 % 500 ml / 6jam
2. Injeksi apidra 3x6 unit sc
3. Lansoprazol 30 mg, 1x1
4. Lexigo tablet 2x1
5. Drip ciprofloxacin 2x400 mg/iv
6. Injeksi Ondancentron 3x4 mg / iv

S: Pusing (-), mual (+)

O:
ku/kes : baik /tss N: 80x/menit R: 20x/menit S: 36,4
Kepala : Normochepali
Mata :
CA-/-, SI -/-
Thorax :
ves +/+, w-/-, r-/-, BJ 1-11 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
17/07/2017 Bu (+), NT (+) di epigastrium, supel dan datar
Extermitas :
Akral hangat +/+, CRT < 2 detik , sianosis -/-, edema -/-.

A: Ketosis DM+ Vertigo + DM tipe 2 + ISK

P:
1. IVFD Nacl 500 cc/6 jam
2. Ciprofloxacin drip 400 mg / 12 jam
3. Ondancentron 4 mg/8 jam (iv)
4. Apidra 6-8-8 sc
5. Lexigo 2x1 tablet peroral
6. Lansoprazol 1x 30 mg peroral
7. Paracetamol 3 x 500 mg peroral

11
8. KGDH

S: Pusing, mual (+)

O:
TD : 110/70 Nadi: 80x/menit, R: 20 x/menit S: 36,4
Kepala :
18/07/2017
Normochepali
Mata :
ca-/-, si -/-
Thorax :
ves +/+, w-/-,R-/-, BJ 1-11 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Bu (+), NT (+) di epigastrium, supel dan datar
Extermitas :
Akral hangat +/+, CRT < 2 detik , sianosis -/-, edema -/-.

A:
Ketosis DM+ Vertigo + DM TIPE 2 + ISK

P:
1. IVFD Nacl 500 cc/6 jam
2. Ciprofloxacin drip 400 mg/12 jam
3. Ondancentron 4 mg/8 jam (iv)
4. Apidra 6-8-8 sc
5. Lexigo 2x1 tablet peroral
6. Lansoprazol 1x 30 mg peroral
7. Paracetamol 3 x 500 mg peroral
8. KGDH
9. Domperidon 3 x 10 mg a.c
10. Metformin 3 x 500 mg

12
1.9 Resume
Ny.R, usia 49 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, mual dan
muntah 5-6x/hari 1 hari smrs, pusing berputar sejak dua hari smrs, batuk -, pilek -, bab:
dbn, dan bak: dbn. Keadaan umum: baik, kesadaran: C.M, TD: 150/90, N: 86x/ menit, R:
20x/menit, S: 38,4, saturasi: 98%. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan keluhan: nyeri
perut epigastrium (+), ditemukan gula darah sewaktu: 266, Hba1c:7,7, SGOT: 36, SGOT:
55, Natrium : 133, pemeriksaan urin ditemukan glukosa : +3, protein : +2 dan keton :+1,
leukosit esterase: +2, pemeriksaan sedimen: Leukosit 55-60, epitel: +1, bakteri 3
(+++).pemeriksaan ekg: dbn.

13
BAB III
LANDASAN TEORI

III.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.2
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan
fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber
makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidrat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya
kadar glukosa dalam plasma darah.

Klasifikasi Diabetes Melitus


DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa
darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain.2,4,5

1. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun). Sel
pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang
berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel
pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel
ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita
DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil non
autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut sebagai type
1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa adanya pertanda
imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75%

14
kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar
5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada.3,4,5

2. DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin
dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai yang
dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin.3,4 Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.
Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi
pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin.3 Walaupun demikian pada kelompok
diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler.4

Diagnosis diabetes mellitus


Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa
poliuria, polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada
pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas,
ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa
darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM .

Kriteria Diabetes Melitus


1. Gejala klasik dengan kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol).
2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa
sedikitnya 8 jam, atau
3. Dua jam setelah pemberian, glukosa darah 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat
TTGO.

15
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan konsentrasi
glukosa darah yang rendah. Batas konsentrasi glukosa darah untuk mendiagnosis
hipoglikemia tidak sama setiap orang. Gejala umum hipoglikemia adala lapar,
gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi
gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila tidak segera ditolong akan terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.

16
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami
1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian
pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia.
2. Hiperglikemia,
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba tiba.
Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah,
dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang
menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetic
(KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
Ketoasidosis diabetik diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya
mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh
terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan
terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah
darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tidak sadarkan diri dan mengalami
koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi, dan syok.
Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga
penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan
kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat
tidak berubah menjadi karbohidrat. Akibatnya kadar asam laktat dalam darah
meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.
b. Komplikasi kronis
1. Komplikasi makrovaskuler,
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan
komplikasi makrovaskuler sangat penting dilakukan, maka penderita harus
dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal,
diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress.

17
2. Komplikasi mikrovaskuler,
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi.
PENATALAKSANAAN DM:
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan inter vensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan:

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

18
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan Sehari hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas malasan Terapi farmakologis diberikan bersama
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).

19
4. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPPIV inhibitor
Suntikan
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat,
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis, Ketoasidosis diabetik, Hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik , Hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,
stroke), Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, Gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO, Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

20
21
HIPERGLIKEMIA
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD),
status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen
kedua keadaan diatas.
KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan
hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi
dari KAD murni1,2

EPIDEMIOLOGI
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas
pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan
33% pada kelompok usia > 79 tahun .Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara
10% pada mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-
84 tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun.2,3 40 % pasien yang tua
yang mengalami krisis hiperglikemik sebelumnya tidak didiagnosis sebagai
diabetes.2

DEFINISI
Hiperglikemia menurut definisi berdasarkan kriteria diabetes melitus yang
dikeluarkan oleh International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes
(ISPAD) adalah KGD sewaktu 11.1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan
gejala diabetes atau KGD puasa (tidak mendapatkan masukan kalori setidaknya
10
dalam 8 jam sebelumnya) 7.0 mmol/L (126 mg/dL).

22
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
mengandung triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia.
Konsensus diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk
KAD adalah

PH arterial < 7,35,


kadar bikarbonat < 15 mEq/L,
anion gap yang tinggi
dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria
moderate.2,3
PATOFISIOLOGI
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan
produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada
jaringan perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal)
dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk
hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon
kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan

23
lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan
asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan
substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam
lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi mnmacetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A
carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas.
Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim
untuk transesterfikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang
mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan
untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak
teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada KAD
mengakibatkan peningkatan ketongenesis.
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupresi ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya
dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin
sehingga hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin berkurang,
hormon-hormon kontraregulator (glucagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan) menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar
dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hiperglikemia dan
perubahan osmolaritas ektrasellular3. Kombinasi kekurangan hormon insulin dan
meningkatnya hormon kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan
penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam
aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (-
hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga
mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik.

24
Patogenesis KAD

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal.Pasien
KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam kussmaul, berbagai derajat dehidrasi
(turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai
hipovolemia serta syok, derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos
mentis, delirium atau depresi sampai koma. Infeksi merupakan pencetus paling
sering di RS.Ciptomangunkusumo yaitu sekitar 80%. Infeksi yang paling sering
ditemukan adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor
pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tidak mengalami demam. Kriteria
diagnosis KAD: pH arterial < 7,35, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, anion gap yang
tinggi dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria
moderate.

25
Hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada pasien KAD
Glukosa 250-600 mg/dl
Natrium 125-135 mEq/L
Kalium Normal atau peningkatan
Magnesium Normal
Klorin Normal
Fosfat Turun
Kreatinin Sedikit naik
Osmolalitas 300-320 mOsm/ml
Keton plasma ++++
Bikarbonat serum <15 mEq/L
pH arteri 6,8-7,3
PCO2 20-30 mmHg
Anion gap Peningkatan

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis diferensial utama adalah hiperglikemia hiperosmolar.
Diagnosis banding lain yang menyebabkan ketosis yaitu alkoholisme dan
kelaparan, asidosis laktat dan konsumsi obat-obatan seperti salisilat dan methanol.

PENATALAKSANAAN
Prinsip pengelolaan KAD adalah:
1. penggantian cairan tubuh yang hilang
cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100ml/kgbb maka pada jam
pertama diberikan 1-2 L,jam kedua 1 L.Ada dua keuntungan rehidrasi
pada pasien KAD yaitu memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan
hormone kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg
% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dextrose 5% atau
10%)

26
2. menekan lipolisis lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin.
insulin juga digunakan untuk mengatasi keadaan ketonemia. Jika tidak
terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15
u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 -7 u/jam). Jika
kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah
perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia
jantung.6,12 Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 5 -75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada
jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi,
infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
penurunan gula darah konstan antara 50 -75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula
darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 -0,1
u/kgBB/jam (3- 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 -10%.6,7
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus
disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 - 0,6 iu)/ kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena.12Perbaikan
ketonemia memerlukan waktu lebih lama daripada hiperglikemia.
Pengukuran langsung -OHB (beta hidroksi butirat) pada darah
merupakan metode yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama
terapi -OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa
ketosis memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit,
glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena
setiap 2 - 4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa adar glukosa kapiler
diperiksa tiap 1 -2 jam.6 Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan

27
secara subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang
sama dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang rendah dan
keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan
intramuskular dan subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih
mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus
mendapatkan priming dose insulin regular 0,4 -0,6 u/kgBB, setengah
dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi
intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular
0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l.
Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan
gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat
ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien dapat
makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi
dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting
insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah
untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum
makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 - 2
jam setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin
plasma yang adekuat. Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan
pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol
yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian insulin
intravena dan subkutan. Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat
diberikan insulin dengan dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD
dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM yang baru,
insulin awal hendaknya 0,5 -1,0 u/ kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi
sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting
insulin sampai dosis optimal tercapai, dua pertiga dosis harian ini
diberikan pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-

28
mixed dose.6,7 Akhirnya pasien DM tipe 2 dapat keluar rumah sakit dengan
antidiabetik oral dan terapi diet.
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum
yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600
mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka level natrium yang
sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan
koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl
0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki
kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular
sehingga akan meningkatkan kadar natrium.8 Serum natrium yang lebih
tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% nm.7

4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3
- 5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal
ini terjadi karena shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh karena
asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi insulin,
koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan
konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian
kalium dimulai setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain
menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 - 30 mEq kalium (2/3 KCl
dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar
kalium serum dalam range normal 4 - 5 mEq/l. Kadang kadang pasien
KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus tersebut,

29
penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi
insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.6,7 Terapi
kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika
tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6
mEq/l.16
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki
ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Studi random prospektif telah
gagal menunjukkan baik keuntungan atau kerugian pada perubahan
morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD
dengan pH antara 6,9 -7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang
mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9.
Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vascular
yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa
pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 -7,0, 50 mmol natrium
bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0-
7,15 Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium
serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi
setiap 2 jam jika perlu.

30
6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan
hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau
meningkat. Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi acak
prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian
fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat
menyebabkan hipokalemia berat tanpa bukti adanya tetanus.
Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta
depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat
secara hati-hati mungkin kadang kadang diindikasikan pada pasien dengan
kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka
dengan kadar serum fosfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 -30 mEq/l
kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan.
Untuk itu diperlukan pemantauan secara kontinu.7 Beberapa peneliti
menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena mereka percaya akan
dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan membatasi
pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan hipokalsemia
simtomatis pada beberapa pasien.9

7. Magnesium
Biasanya terdapat deposit magnesium sebesar 1 -2 mEq/l pada pasien
KAD. Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti
diuretik yang dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala
kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih
dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala
yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor, spame karpopedal,
agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala
pada kadar 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala, maka
pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.7

31
8. Hiperkloremik asidosis selama terapi
Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine
selama fase awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan
menurun. Sebagian deposit bikarbonat akan diganti dengan infus ion
klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada
kebanyakan pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik
dengan bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan
ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya dalam
waktu 12 -24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu
lama.3
9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai
Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap
faktor pencetus terjadinya KAD.3 Jika faktor pencetus infeksi belum dapat
ditemukan, maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum
luas.5

10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)


Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan
risiko tinggi, terutama terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi,
orang tua, dan hiperosmolar berat. Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8
jam secara subkutan.11

Komplikasi Terapi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic

32
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium
dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara
dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau
oliguria ekstrem.7
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa.
Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema
serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,
letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal
ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat
mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi
KAD. Oleh karena terbatasnya informasi tentang edema serebri pada orang
dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada penanganannya, antara lain
penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan bukti klinis. Pencegahan yang
tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko tinggi,
diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien yang
hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam), dan
penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl.7
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan
koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan
penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient
oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.

33
PROGNOSIS
Prognosis KAD tergantung pada :
l. Ada tidaknya komplikasi seperti infark miokard akut,
pankreatitis hemorargis, nekrosis tubuler akut. Jika terdapat komplikasi maka
prognosisnya jelek.
2. Derajat asidemia.
3. Lama dan derajat koma ketoasidosis.
II. KETOSIS DIABETES MELLITUS
Benda keton adalah asam organic yang terdapat didalam tubuh manusia yang
terdiri dari asam asetoasetat, asam betahidroksilbutirat dan aseton. Peningkatan benda
keton mengakibatkan penumpukan benda keton dalam darah yang disebut dengan ketosis.
Ketosis merupakan salah satu komplikasi pada diabetes mellitus akibat tingginya tingkat
glukosa darah dalam plasma.
Kadar insulin yang sangat menurun pada diabetes mellitus menyebabkan
penderita mengalami hiperglikemia disertai dengan pembentukan keton. Keton
merupakan asam organic yang dapat tertimbun didalam sirkulasi karena kecepatan
penggunaannya melebihi produksinya, maka benda keton tersebut akan terakumulasi dan
tertumpuk didalam darah maka akan menyebabkan ketosis.
I. Pembentukan Keton

34
Dalam kondisi metabolik dengan laju oksidasi asam lemak yang tinggi, hati
menghasilkan banyak aseto asetat dan b-hidroksibutirat. Kemudian asetoasetat
mengalami dekarboksilasi spontan untuk menghasilkan aseton. Ketiga zat ini disebut
sebagai benda keton. Badan keton berfungsi sebagai bahan bakar bagi jaringan
ekstrahepatik seperti otot.
Pada keadaan puasa atau kelaparan juga pada keadaan dimana terjadi peningkatan
kadar asam lemak dalam darah, misalnya pada diet tinggi lemak, kegiatan jasmani yang
berat tanpa di sertai intake KH yang cukup, produksi keton-keton akan meningkat, hal
yang sama terjadi pada keadaan diabetes mellitus. Bila benda-benda keton dalam darah
kadarnya meningkat melebihi 1 mg% disebut ketonemia. Peningkatan kadar benda-benda
keton dalam darah ini pada keadaan normal akan diimbangi dengan bertambahnya proses
oksidasi senyawa-senyawa tersebut oleh jaringan ekstrahepatik.
Bila produksi semakin bertambah sampai kadar didalam darah mencapai 70 mg%,
maka kapasitas oksidasi pada jaringan ekstrahepatik tidak dapat ditingkatkan lagi,
sehingga peningkatan lebih lanjut produksi senyawa tersebut akan sangat meningkatkan
kadar di dalam darah. Pada keadaan normal keton-keton selain di oksidasi oleh otot, otak,
serta otot jantung, sebagian kecil yang jumlahnya tidak melebihi 1 mg% diekskresikan
melalui urin per 24 jam. Ambang ginjal untuk ekskresi benda-benda keton bila kadar
dalam darah dibawah 70 mg% tidak mempengaruhi jumlah ekskresinya, tetapi bila lebih
dari 70 mg%, maka ekskresi lewat ginjal akan sangat meningkat, karena ambang ginjal
dilampaui.
Peningkatan ekskresi benda-benda keton lewat ginjal bersama urine ini di sebut
ketonuria. Keadaan dimana ketonemia dibarengi dengan terjadinya ketonuri disebut
KETOSIS. Oleh karena senyawa-senyawa tersebut bersifat asam maka akan berakibat
terjadinya asidosis metabolik, oleh karena cadangan alkali diturunkan, keadaan ini
disebut ketoasidosis, yang dapat berakibat fatal.
Pada DM yang tak terkendalikan, ketosis dapat terjadi sangat berat, karena pada
DM disamping produksi benda-benda keton meningkat dengan cepat, kapasitas jaringan
ekstra hepatic untuk mengoksidasi benda-benda tersebut malah berkurang, oleh sebab
pengaruh dari hormone insulin. Pada kasus-kasus demikian sering kali dapat tercium bau
aseton karena kadarnya yang tinggi dalam darah.

35
Ketosis secara umum dapat terjadi pada 2 keadaan klinis yakni DM dan kelaparan.
Faktor-faktor yang meningkatkan terjadinya ketosis :
1. Kekurangan KH dengan akibat mobilisasi FFA sehingga FFA meningkat
dalam sirkulasi, dengan sendirinya asetil KoA akan meningkat juga.
2. Pada keadaan kelaparan persedian glikogen terpakai habis, hingga oksidasi
glukosa akan menurun, untuk bahan energi yang akan digunakan adalah
lemak, sehingga sintesis asam lemak menurun.
3. Pengaruh insulin yang menekan proses ketogenesis, dan memacu proses
oksidasi benda keton pada jaringan ekstrahepatik. Pada keadaan kelaparan
atau DM kadar insulin dalam tubuh menurun, hingga proses ketogenesis
meningkat, oksidasi benda-benda keton menurun.
4. Semua factor yang menghambat siklus TCC akan meningkatkan ketogenesis,
karena kapasitas untuk mengoksidasi secara menyeluruh asetil KoA
menurun.
Ketosis pada kelaparan sama dengan keadaan DM. Pada DM terjadi glukosuria
yang terus menerus, hingga glukosa hilang terhambur. Pada kelaparan timbulnya ketosis
semata-mata oleh sebab produksi benda-benda keton yang berlebihan, terjadinya ketosis
memerlukan waktu lama dan tidak akan menyebabkan ketoasidosis yang serius, hal ini
berbeda dengan DM, ketosis pada DM terjadi secara progresif yang akhirnya terjadi
ketoasidosis yang hebat. Perbedaan ini mungkin disebabkan 2 hal :
1. Pengaruh insulin terhadap oksidasi benda keton ekstrahepatik yang pada
kelaparan hal ini tidak mengurangi gangguan yang berarti.
2. Pada DM biasanya glukoneogenesis prosesnya lebih hebat daripada
kelaparan dengan demikian akan mengganggu proses TCC.
Definisi
Ketosis diabetes adalah kelainan yang dicirikan dengan kehadiran keton di darah
dan di urin, dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi dan tidak menyebabkan keadaan asam
di dalam darah, yang disebut ketoasidosis. Pada DM yang tidak terkontrol, ketosis adalah
pertanda bahwa kerja insulin sedang tidak memadai.

36
Faktor resiko pada ketosis DM
Pencetus atau factor resiko paling sering dari ketosis dm adalah Infeksi. Pencetus
lain diantaranya adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke
akut, pankreatitis dan obat-obatan. Penyebab penghentian pemakaian insulin seringkali
menjadi sebab penderita dengan dm tipe 1 masuk ke dalam tahap ketosis. Pada beberapa
pasien dengan dm tipe 2 kadang-kadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan setelah
diberikan insulin dalam jangka waktu yang pendek keadaannya cepat membaik bahkan
tidak membutuhkan medikasi sama sekali.
Etiologi :
Penyebab timbulnya keton pada ketosis diabetes ada banyak faktor: infeksi, infark
miokard, kejadian penyakit jantung, keadaan kelaparan akibat glukosa yang tidak dapat
masuk ke dalam sel akibat resistensi insulin, penggunaan alkohol dalam waktu yang lama
kelainan dari peningkatan hormon epinefrin dan glukagon.12 KAD dan Ketosis Diabetes
dapat terjadi dalam keadaan Diabetes tipe 1, karena pada diabetes tipe 1, terjadi kerusakan
insulin yang permanen. Kejadian pada diabetes tipe 2 bisa saja terjadi KAD dan Ketosis
DM, bila terjadi pada keadaan infeksi akut, trauma, oprasi dan keadaan kehamilan.
Infeksi akut seperti abses hati, abses prostat, infeksi pelvis pada perempuan yang
sulit dilihat karena jarang gejala seperti kesakitan dan pembengkakan yang mudah
terlihat, sehingga untuk melihatnya dapat dilakukan dengan endoskopi saluran atas
pencernaan, barium usus dan ct scan abdomen untuk melihat infeksi khusus pada perut
yang tidak terlihat dengan kasat mata saja.13 Ketidaknormalan dari sistem endocrin dan
kejadian hipertiroid, acromegali dapat membuat pengaturan glikogen menjadi tidak baik
sehingga juga dapat membuat kejadian ketosis dan ketoasidosis berulang kembali.
Gejala :
Rasa Haus berlebihan
Karena hiperglikemik bersifat diuresis sehingga menyebabkan rasa haus yang berlebihan
Sering buang air kecil
Banyaknya air yang diminum oleh pasien dapat menyebabkan pasien sering buang air
kecil, keadaan hiperglikemik juga dapat bersifat menarik air, sehingga dapat pula
merangsang proses buang air kecil.

37
Mudah lelah
Karena tidak adanya karbohidrat yang banyak serta kandungan glukosa yang masuk ke
dalam sel dapat menyebabkan tubuh mudah merasa lelah.
Pusing
Seseorang yang kekurangan intake makananan, sehingga aliran zat zat makanan ke dalam
otak juga berkurang, sehingga dapat menimbulkan pusing.
Mual dan muntah
Akibat jumlah keton yang sudah berlebih, sehingga bersifat toksik, respon dari
pengeluaran toksik itu berupa keluarnya muntah. Pada saat muntah, keluar asam lambung
dalam tubuh, sehingga semakin membuat keadaan semakin asidosis dalam tubuh.
Bau keton
Bisa menimbulkan bau keton seperti bau buah dalam nafas, keringat dan urin. Bila sudah
dalam jumlah keton yang tinggi.
Pemeriksaan analisa gas darah untuk membedakn ketosis dan ketoasidosis.

Ketosis dan asidosis tidak dapat disamakan, oleh karena peningkatan konsentrasi
H+ sebagai akibat dari produksi asam keton awalnya didapar oleh bikarbonat. Seiring
dengan peningkatan H+ yang melebihi kemampuan dapar bikarbonat, cadangan
bikarbonat menjadi menurun dan tidak mampu lagi mengkompensasi peningkatan ion H+
dan terjadilah asidosis. Selama fase kompensasi awal asidosis metabolik, gambaran klinis
yang sering dijumpai adalah kadar bikarbonat rendah dan pH normal, yang dikompensasi
dengan kehilangan bikarbonat. Oleh karena itu pada KAD penting untuk dilakukan
pemeriksaan pH darah, dan sampel vena sudah mencukupi untuk keperluan ini.
Pemeriksaan pH darah dengan sampel vena telah menunjukkan hasil yang baik
dan berkorelasi cukup tinggi dengan gas darah arterial, sebagaimana ditunjukkan oleh
beberapa penelitian klinis terhadap 44 episode KAD pada satu studi dan 246 pasien
dengan berbagai diagnosis pada studi yang lainnya (pH darah vena vs. pH darah arterial,
r=0,92, mean difference -0,4, 95% CI -0,11 sampai +0,04). Hambatan yang dapat
dijumpai pada pengukuran pH sampel vena adalah kesulitan dalam mendeteksi gangguan
asam basa campuran (karena tidak ada ukuran hipoksia) dan masih memerlukan

38
penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar untuk memastikan kegunaan klinis dari
pengukuran ini.
Penatalaksanaan:
Penggunaan insulin untuk mengatasi kerusakan sistem insulin yang berkurang
fungsinya. sehingga pembentukan keton tidak akan bertambah, karena fungsi insulin yang
sudah bekerja dengan baik.

II.2 Vertigo

Vertigo berasal daripada kata vertere, berarti memutar. Ilusi pergerakan


tubuh atau sekitarnya, kadang disertai gejala lain seperti impulse (sensasi seperti
tubuh ditarik kedalam ruangan), oscillopsia (ilusi visual pergerakan back forth)
mual, muntah, dan gait ataxia.

Definisi:14
Vertigo = Ilusi sensasi rotasi
Dizziness = Ilusi gerakan yang tak jelas rotasi
Sinkope = Rasa hilangnya kesadaran
Disekuilibrium = hilangnya keseimbangan tanpa rasa dizziness

Pembagian Vertigo

Setelah memahami kerja dan pembagian daripada alat keseimbangan


tubuh, maka dapat kita lanjutkan dengan pembagian vertigo. Pembagian ini
sebenarnya penting buat memahami masalah sebenar daripada suatu vertigo yang
kita temukan diklinis. Seperti yang kita ketahui, alat keseimbangan tubuh terbagi
antara sentral dan perifer (proprioseptif, visual, vestibulum), jadi vertigo bisa
berlaku apabila adanya ketidakseimbangan antara komponen-komponen ini.14

39
Perifer

Vestibular

Sentral
Vertigo

Proprioseptif
Non Vestibular
Visual

Sinkop,
Pseudovertigo disekuilibrium, ill
defined dizziness

Vertigo Vestibular Perifer Labirin (BPPV, Meniere disease, fistula


perilymph, obatan ototoksik, labirintitis), nervus vestibularis (neuritis
vestibularis, neuroma akustikus) atau gangguan di ganglion vestibular. Fistula
perilymph ialah rupture round/oval window labirin menyebabkan cairan
perilymph keluar. Rupture biasanya didahului dengan riwayat peningatan tekanan
intracranial.

Vertigo Vestibular SentralKelainan di otak, batang otak,


serebellum(Infark batang otak, perdarahan serebellum, neoplasma, multiple
sclerosis, meningitis tuberkulosa, meningitis leutika, epilepsy vestibular, migraine
vertebra basiler, trauma batang otak, trauma servikal.

Vertigo Non VestibularSistem proprioseptif(tabes dorsalis atau


neurosifilis) dan system visual (diplopia, kelainan lensa berat, gerakan
optokinetis)

Dizziness Non VestibularSyncope (arithmia, hipotensi postural, sinkop


vasovagal, hipoglikemia), diskuilibrium (apraksia dari gait, parkinsonisme, atrofi
multisystem), dizziness ill defined (hiperventilasi, neurosis anxietas, neurosis
histerik, agoraphobia, depresi), dan penyakit berat lain (pneumonia, iskemia otak
akibat anemia berat, uremia, gangguan hati).

40
Ada yang mengklasifikasikan dizziness non vestibular sebagai dizziness
non vertigo atau pseudovertigo. Selain itu, ada juga yang disebut sebagai sindrom
vertigo dimana berlakunya hiperaktif dari saraf simpatik, menyebabkan vertigo,
pallor, mual dan penderitaan hebat. Kemudiaannya terjadi vomitus dan rasa takut.
Namun setelah muntah, semua keluhan hilang dan pasien merasa lebih segar.

Vertigo proprioseptif pula motion-dependent, dan disebabkan oleh


kelainan impulse proprioseptif daripada medulla spinalis. Ia juga dapat
diakibatkan oleh neuropathy perifer dan lesi pada kolumna posterior. Pasien
biasanya mempunyai gangguan gait, dan tidak ada nistagmus. Gangguan gait akan
bertambah parah apabila mata ditutup atau didalam gelap karena apabila mata
ditutup, kompensasi daripada visual akan hilang.

Anamnesis

1. Adakah sensasi gerakan? Mual, muntah, berkeringat, gerakan mata


abnormal?
2. Berapa lama vertigo? Berterusan atau hilang timbul? Adakah dicetuskan
perubahan posisi? Adakah pasien mengkonsumsi obat ototoksik? Adakah
riwayat trauma kepala baru? Cedera whiplash?15
3. Adakah gangguan pendengaran, tinnitus dan ketulian?
4. Adakah kelemahan, gangguan visual, penurunan kesadaran, kesulitan
berjalan, gerakan mata abnormal, sulit bicara?15

Keluhan: Arti keluhan: Gangguan:


Saya pusing Seolah-olah berputar Kemungkinan vestibuler
Saya pusing Seolah-olah kepala kosong, lemah, Kemungkinan
cenderung jatuh, syncope cardiovascular
Saya pusing Setiap kali bergerak cenderung jatuh Kemungkinan serebellar
Saya pusing Seolah-olah melayang, enteng di Kemungkinan gangguan
kepala, deskripsi samar psikiatrik

41
Pemeriksaan Fisik

Gejala pada gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral akan
menyebabkan terjadinya:16
1) Vertigo
2) Rasa tidak stabil
3) Kehilangan keseimbangan
4) Nistagmus
5) Salah tunjuk (post pointing)

Manuver Hallpike

Digunakan buat menimbulkan vertigo dan nistagmus posisional pada penderita


dengan gangguan system vestibular.
1) Pasien duduk ditempat.
2) Pasien direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut
30 derajat dibawah horizon dan kepala ditolehkan kekiri.
3) Pasien tetap membuka matanya, dan diobservasi ada atau tidak nistagmus.
4) Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama, dan jenis.
5) Tanyakan pada pasien adakah vertigo yang dialaminya sama dengan yang
sering dialaminya.
6) Ulang tes pada sisi kanan.

42
Berikut ialah ciri-ciri nistagmus posisional:

Lesi Perifer Lesi Sentral


Vertigo Berat Ringan
Masa laten 2-30detik Tidak ada
Jadi capai/lelah Vertigo akan berkurang Tidak ada
apabila posisi kepala
tetap
Habituasi Vertigo akan berkurang Tidak ada
dan menghilang apabila
maneuver diulang-ulang
Contoh kelainan Neuronitis vestibular, Stroke, iskemik batang
BPPV, Motion sickness, otak, Migren basiler,
Trauma, streptomisin, trauma, perdarahan atau
Labirintitis, Meniere lesi di serebellum, lesi
disease, Neuroma lobus temporalis,
akustik. neoplasma.

Nistagmus ialah gerak involunter, rithmik dari bola mata. Gejala obyektif
dari vertigo adalah adanya nistagmus. Jadi, nistagmus perlu diperiksa apabila
adanya keluhan vertigo. Nistagmus perlu diperiksa cirri-cirinya yaitu bidang
gerakannya, arah gerakan, amplitudo, dan lamanya.
Pada nistagmus vestibuler, komponen cepat ke arah kontralateral dari lesi,
past pointing akan menunjukkan ke arah lesi. Ia juga biasanya tidak menetap dan
akan menghilang setelah beberapa waktu. Sifatnya bisa horizontal dan horizontal
rotatoar. Pada nistagmus sentral, nistagmus dapat menetap atau berlalu, dapat
bersifat horizontal, vertical atau rotatoar.

Di buku Neurologi Klinik, dituliskan bahawa nistagmus vertical


menunjukkan adanya lesi di batang otak (mesensefalon, MO). Nistagmus
horizontal dapat ditemukan pada lesi di tegmentum dan pons. Nistagmus
horizontal/rotatoar pula pada lesi di medulla oblongata.

43
Tes Kalori

1) Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30, sehingga kanalis


semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30C) dan air hangat (44C) masing-
masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit.
2) Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai
hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).
3) Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional
preponderance ke kiri atau ke kanan.
4) Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik
setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional
preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus
yang sama di masing-masing telinga.
Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan
directional preponderance menunjukkan lesi sentral.

Tes Keseimbangan dan Koordinasi16

1) Tes Romberg yang dipertajam


i) Penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain.
Tumit kaki bertemu jari kaki dibelakangnya.
ii) Tangan dilipat pada dada, mata ditutup.
iii) Orang normal mampu berdiri dalam sikap ini selama 30detik atau
lebih.

44
2) Tes melangkah di tempat (stepping test)
i) Penderita menutup mata dan disuruh berjalan ditempat sebanyak 50
langkah dengan kecepatan berjalan seperti biasa.
ii) Hasil tes ini abnormal apabila kedudukan akhir penderita berganjak
lebih dari 1 meter dari awalnya, atau badan berputar lebih 30 derajat.

3) Tes Past Pointing


i) Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjukkan menyentuh
telunjuk pemeriksa.
ii) Pasien disuruh mengangkat tangan lurus ke atas, dan turun sehingga
menyentuh telunjuk pemeriksa lagi.
iii) Pasien kemudiaannya disuruh mengulang pergerakan naik turun ini
tetapi dengan mata tertutup.

4) Tes Heel-to-Knee
i) Pasien menyentuh lutut dengan menggunakan tumit kaki sebelahnya,
dan turun menelusuri bagian depan tibia.
ii) Kaki diletak disamping setiap kali habis menelusuri ke bawah, dan
diulang sebanyak 5x.
iii) Prosedur diulang dengan kaki yang sebelahnya lagi

Pemeriksaan Penunjang14

1) Audiometrik
2) ENG (electronystagmografi)
3) MRI atau CT scan kepala
4) Auditory brainstem response (ABR)

Diagnosis Klinis

1) Benign Positional Paroxysmal Vertigo.14


i) Vertigo yang mendadak, singkat
ii) Jika (15-30detik), intens.
iii) Berlaku apabila posisi kepala berubah

2) Labirintitis virus.14
i) Vertigo mendadak, intens, berlangsung beberapa hari sampai satu
minggu.
ii) Sering disertai mual dan muntah
iii) Mungkin disertai hearing loss dan tinitus.

45
3) Neuritis vestibularis
i) Vertigo mendadak, intens.
ii) Tidak disertai hearing loss

4) Penyakit Meniere
i) Vertigo mendadak dan berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam.
ii) Sifat khas ialah ia disertai hearing loss dan tinitus yang mencolok.
5) Insuffisiensi vertebrobasiler
i) Vertigo disertai gangguan visual, kesulitan berbicara, disorientasi dan
gangguan koordinasi
Pengobatan

Farmakologis.14
1) Anthistamin seperti dimenhidrinate, diphenhidramine
2) Anticholinergik seperti scopolamine
3) Phenothiazine seperti chlorpromazine dan prochlorperazine
4) Tranquilizer ringan seperti diazepam, lorazepam.
5) Agen simpatomimetik seperti amphetamine, ephedrine.
6) Histaminergik seperti betahistine.
7) Antagonis kalsium seperti flunarizine.
Non farmakologis.14
1) Berbaring diam dalam ruangan gelap
2) Fiksasi visual
3) Relaksasi mental
4) Memberikan dukungan bahwa penyakitnya tidak berat (jika memang
tidak berat)
5) Latihan vestibular sesuai indikasi

Fisioterapi (sesuai indikasi).14


1) Canalith repositioning procedure.
2) Vestibular habituation training.17
3) Balance coordination training.

46
II.3 ISK (Infeksi Saluran Kemih)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu
keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada
saluran kemih. Infeksi saluran kemih dapat mengenai baik laki-laki maupun perempuan
dari semua umur baik pada anak-anak, remaja, dewasa maupun umur lanjut. Akan tetapi
dari dua jenis kelamin tersebut ternyata wanita lebih sering terkena dari pada pria dengan
angka populasi umur kurang lebih 5-15%. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari
saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama scherichia coli : faktor resiko
dan beratnya meningkat dengan kondiisi seperti refluks vesikouretral, obstruksi saluran
perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, septikemia. (Susan
Martin Tucker, dkk, 1998). Infeksi traktus urinarius pada pria merupakan akibat dari
menyebarnya infeksi yang berasal dari uretra seperti juga pada wanita. Namun demikian,
panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra dari rektum pada pria dan adanya
bakterisidal dalam cairan prostatik melindungi pria dari infeksi traktus urinarius.
Akibatnya UTI pada pria jarang terjadi, namun ketika gangguan ini terjadi kali ini
menunjukkan adanya abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urinarius.

47
1. Patofisiologi dan Penyebab Ifeksi Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus
urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui: kontak langsung dari tempat infeksi
terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan
hematogen. Secara asending yaitu:
1) masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi
dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki
sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi,
kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.

2) Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal


Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga
mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran
hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung
kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.

Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
1) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
2) Mobilitas menurun
3) Nutrisi yang sering kurang baik
4) System imunnitas yng menurun
5) Adanya hambatan pada saluran urin
6) Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.

48
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensi
yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan
resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri
yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan
ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang
menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang
menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut
sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu,
neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60
tahun.
a. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
1) Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
2) Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
3) Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain

b. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:


1) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan
kandung kemih yang kurang efektif.
2) Mobilitas menurun
3) Nutrisi yang sering kurang baik
4) Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
5) Adanya hambatan pada aliran urin
6) Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.

2. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih

a. Gejala gejala dari infeksi saluran kemih secara umum sering meliputi:
1) Gejala yang terlihat, sering timbulnya dorongan untuk berkemih
2) Rasa terbakar dan perih pada saat berkemih
3) Seringnya berkemih, namun urinnya dalam jumlah sedikit (oliguria)
4) Adanya sel darah merah pada urin (hematuria)

49
5) Urin berwarna gelap dan keruh, serta adanya bau yang menyengat dari urin
6) Ketidaknyamanan pada daerah pelvis renalis
7) Rasa sakit pada daerah di atas pubis
8) Perasaan tertekan pada perut bagian bawah
9) Demam
10) Pada wanita yang lebih tua juga menunjukkan gejala yang serupa, yaiu
kelelahan, hilangnya kekuatan, demam
11) Sering berkemih pada malam hari

Jika infeksi dibiarkan saja, infeksi akan meluas dari kandung kemih hingga ginjal. Gejala
gejala dari adanya infeksi pada ginjal berkaitan dengan gejala pada cystitis, yaitu
demam, kedinginan, rasa nyeri pada punggung, mual, dan muntah. Cystitis dan infeksi
ginjal termasuk dalam infeksi saluran kemih. Tidak setiap orang dengan infeksi saluran
kemih dapat dilihat tanda tanda dan gejalanya, namun umumnya terlihat beberapa
gejala, meliputi:

1) Desakan yang kuat untuk berkemih


2) Rasa terbakar pada saat berkemih
3) Frekuensi berkemih yang sering dengan jumlah urin yang sedikit (oliguria)
4) Adanya darah pada urin (hematuria)
b. Gejala gejala dari infeksi saluran kemih secara spesifik sering meliputi :
1) Pyelonephritis akut.
Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah meluasnya infeksi
yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada ginjal dapat menyebabkan rasa
salit pada punggung atas dan panggul, demam tinggi, gemetar akibat
kedinginan, serta mual atau muntah.
2) Cystitis.
Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat menyebabkan rasa
tertekan pada pelvis, ketidaknyamanan pada perut bagian bawah, rasa sakit
pada saat urinasi, dan bau yang mnyengat dari urin.

50
3) Uretritis.
Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat
urinasi. Pada pria, uretritis dapat menyebabkan gangguan pada penis.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis
1) Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemih
2) Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
b. Bakteriologis
1) Mikroskopis
2) Biakan bakteri
c. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
d. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin
tampung aliran tengah atau dari spesimen dalam kateter dianggap sebagai criteria
utama adanya infeksi.
e. Metode tes
1) Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess
untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami
piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
2) Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia
trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
3) Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi
juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari
abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses,
hodronerosis atau hiperplasie prostate.

51
BAB 3
ANALISIS KASUS

Hasil anamnesis dan keluhan pasien:


Ny.R, usia 49 tahun, dari riwayat umurnya sudah hampir memasuki usia lansia,
sehingga pada pasien ini termasuk dalam penyakit diabetes melitus tipe 2, gaya hidup
pasien yang suka minum es teh manis setiap selesai makan, serta jarang melakukan
pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan pasien, pasien tidak mengetahui bahwa pasien
ini memiliki riwayat penyakit diabetes, merupakan kumpulan faktor yang menyebabkan
kadar gula darah pasien menajdi meningkat. Pasien mengeluhkan demam, yang dialami
pasien bisa disebabkan oleh proses infeksi saluran buang air kecil yang dialami pasien,
sehingga merangsang pirogen yang menyebabkan suhu tubuh menjadi demam. Keluhan
pusing berputar yang dialami pasien, dapat merupakan komplikasi dari penyakit diabetes
yang dialami pasien, karena penyakit diabetes yang tidak terkontrol sehingga dapat
menimbulkan komplikasi ke bagian neurologis pasien. Mual dan muntah yang di alami
pasien, dapat disebabkan oleh adanya zat keton di dalam tubuh, sehingga sebagai respon
mengeluarkan zat toksik tersebut, serta ketidakcukupan tubuh dalam memberikan nutrisi
maka terjadilah mual dan muntah. Keadaan mual dan muntah yang dialami pasien terus
menerus dapat menyebabkan keadaan asidosis didalam tubuh, akibat hilangnya
kandungan bikarbonat di dalam tubuh yang dapat merangsang keadaan asam di dalam
tubuh, sehingga mempermudah terjadinya keadaan asidosis metabolik dalam tubuh,
karena kandungan asam yang meningkat di dalam tubuh.

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien:


T/D : 150/90, adalah faktor resiko darah tinggi yang dialami pasien, dapat menambah
tingkat keparahan penyakit diabetes yang dialami pasien. Karena vasokontriksi dari
pembuluh darah disertai hiperglikemia akan menambah siklus keparahan dari penyakit
diabetes.
Tanda dehidrasi yang berat belum ditemukan pada pasien ini, tidak ada penampilan mata
yang sangat cekung dan permukaan kulit tidak terlalu kering, mukosa hanya tampak
sedikit kering saja, sehingga pada pasien ini masih termasuk kedalam keadaan dengan
dehidrasi ringan sedang.
Bau nafas keton tidak tercium pada pasien ini, menandakan tingkat keton dalam pasien
ini, belum mencapai tingkat yang parah, sehingga bau nafas nya masih dalam batas
normal.

52
Dari pemeriksaan penunjang :
Pada pemeriksaan Gula darah sewaktu di dapatkan angka 266, hasil ini dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut sudah merupakan penderita diabetes melitus, pasien
dengan keluhan klasik diabetes ditambah dengan gds > 200 sudah termasuk kriteria
diabetes melitus tipe 2, pasien ini sebelumnya tidak mengetahui bahwa pasien ini
memiliki riwayat gula sebelumnya, sehingga belum melakukan pengobatan untuk
penyakit gulanya.
Pemeriksaan Glikosilasi HB adalah Hemoglobin A1c atau HbA1c adalah
komponen minor dari hemoglobin yang berikatan dengan glukosa. HbA1c juga kadang-
kadang disebut sebagai glikosilasi atau hemoglobin glikosilasi atau glycohemoglobin.
Hemoglobin adalah zat yang berikatan dengan sel darah merah, hb yang berikatan dengan
glukosa dapat melihat seberapa besar kadar gula sesorang. Semakin tinggi nilai HBA1c,
maka akan semakin banyak gula yang menempel pada.HBA1c, dapat melihat dari
berhasil atau tidaknya pengobatan, diet dan keberhasilan terapi, semakin baik kadar gula
terkontrol maka, pemeriksaan ini dapat dilakukan dua tahun dalam sekali saja. Pada
pasien ini nilai HBA1c terdapat angka 7,7, sehingga dalam pengobatan diabetesnya
pasien masih bisa menggunakan kombinasi dua obat, namun karena timbulnya kehadiran
keton dalam urin pasien, menandakan jumlah keton yang sudah meningkat di dalam darah
pasien, sehingga pasien dapat menggunakan insulin untuk mencegah timbulnya
komplikasi yang lebih serius.
Pada hasil natrium mengalami kadar yang sedikit lebih rendah dibandingkan nilai
normal, disebabkan oleh keadaan mual muntah yang dialami pasien, sehingga kandungan
natrium dalam intraseluler ikut terbuang pada saat pasien mengalami muntah.
Dalam pemeriksaan urin didapatkan protein ++2, glukosa +++3, keton + dan
leukosit esterase ++, glukosa dalam urin menandakan terjadinya glikogen yang
berlebihan dalam darah, karena hiperglikemi yang berlebih sehingga menyebabkan
glukosuria yaitu glukosa dalam urin. Keton dalam urin juga menandakan keadaan jumlah
keton yang meningkat dalam darah akibat berkurangnya fungsi kerja insulin yang
mengalami penurunan sehingga glukosa tidak dapat digunakan oleh sel sebagai cadangan
energi, tubuh akhirnya mengkompensasi untuk memecah lemak sebagai bahan bakar
energi, dari hasil akhir pembakaran tersebut, didapatkan zat keton dalam darah, karena
jumlahnya yang berlebih dalam darah, sehingga dikeluarkan melalui urin pada pasien,
karena pada pasien masih bernilai keton 1 (+), sehingga jumlah keton yang dihasilkan
belum terlalu membahayakan tubuh dan belum menimbulkan keadaan asidosis pada
pasien, dalam keadaan asidosis biasanya, jumlah keton dalam urin jumlahnya lebih
banyak. Leukosit esterase ++ (2), menandakan adanya leukosit yang merupakan sistem
pertahanan tubuh yang meningkat bila terjadi proses infeksi dalam tubuh. Pada
pemeriksaan epitel urin di dapatkan jumlah 55-60, serta bakteri +++ (3), semakin
memperkuat bahwa terjadi infeksi saluran kemih pada pasien, hal tersebut juga semakin
memperkuat proses hiperglikemi biasanya disertai dengan terjadinya angka kejadian

53
infeksi saluran kemih pada pasien, karena glukosa yang banyak jumlahnya dapat
merupakan komensal hidup yang baik untuk perkembangbiakan bakteri.
Pada kasus pasien ini, mengambil diagnosis ketosis diabetic disebabkan oleh:
1. Gaya hidup pasien yang gemar mengkonsumsi makanan manis,sehingga faktor
resiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 pada pasien ini yang merupakan awal mula
timbulnya ketosis diabetic 2. Keluhan mual, muntah akibat adanya zat keton yang bersifat
toksik sehingga kompensasi tubuh berupa gejala mual dan muntah untuk mengeluarkan
zat toksis tersebut 3.Keluhan lemas pada pasien disebabkan oleh asupan nutrisi yang tidak
adekuat, karena fungsi insulin yang makin menurun, menyebabkan glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel, sehingga dipecahkan lemak untuk bahan bakar energi, dan timbulnya
zat keton dalam darah, karena akumulasi yang tinggi sehingga keton yang berlebih akan
tampak dalam urin pasien.4.Tidak adanya keluhan nafas kusmaull yang berupa
kompensasi hiperventilasi untuk mengeluarkan kadar asam dalam tubuh, berupa CO2
yang bersifat asam serta tidak terdapatnya bau nafas aseton yang tidak tercium yang
merupakan produk kompensasi dari pembuangan zat keton yang berlebih dalam
tubuh.Dilihat dari gejalanya pasien ini tidak dapat dikategorikan ketoasidosis diabeticum,
namun bila tidak segera ditangani, bisa saja keluhan akan berlanjut menjadi
kegawatdaruratan KAD. Harus dilakukan pemeriksaan ph darah, anion gap serta
osmolalitas sebagai bukti terjadinya keadaan asidosissebagai penyebab diagnosis
KAD.5. Adanya temuan + keton pada urin pasien menandakan jumlah keton yang sudah
berlebih pada pasien, pada pasien ini penemuan zat keton dalam urin pasien menujukan
ke arah ketosis diabetic.

54
BAB IV
KESIMPULAN

Ny.R,usia 49 tahun datang dengan keluhan muntah hebat, disertai demam, mual,
lemas dan pusing berputar, datang dengan diagnosis Ketosis Diabetic, DM tipe 2, ISK
dan Vertigo.Pasien saat ini mendapatkan pengobatan lansoprazol 1x 30 mg, ondancentron
3x4 mg, Rencana kontrol poli penyakit dalam untuk rencana diagnostik dan tatalaksana
lebih lanjut.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes


Association.
Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.
2. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli NAm 88: 1063-1084, 2004.
3. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and
thehyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslins Diabetes
Mellitus.13th ed.Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p.
738770
4. Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM: Diabetic ketoacidosis and
hyperglycaemic non -ketotic coma. In International Textbook of Diabetes
Mellitus. 2nd ed. Alberti KGMM,Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New York, John
Wiley, 1997, p. 12151229.
5. Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus
:Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam,
Elsevier,1997, 827-844
6. Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis.
Diabetes Care 13: 22-23, 1990.
7. Rachmawati, A.M., Bahrun, U., Rusli, B., Hardjoeno. Tes Diabetes Melitus.
Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik.
Cetakan 3. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin. Makasar. 2007. p. 167-
82.
8. . World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group.
World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.
9. Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes.
Available from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-
1.htm. Access : 6 Juli 2008.
10. Report Of The Expert Committee On The Diagnosis And Classification Of
American Diabetes Mellitus. The Expert Committee On The Diagnosis And
Classification Of The Diabetes Mellitus. Diabetes Care. 2012; 22(Suppl. 1) : S5
S20
11. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p.1896-9.
12. Hyperglycaemic crisis in adult patients with diabetes. A consensus statement from
the American Diabetes Association. Diabetes Care 2006; 29 (12): 2739-47.

56
13. Katz JR, Edwards R, Khan M, Conway GS. Acromegaly presenting with diabetic
ketoacidosis. Postgrad Med J 1996; 72: 682-83.
14. Aris Catur Bintoro, Dani Rahmawati, Dodik Tugasworo, Endang K, Yuslam S et
al. Vertigo. Semarang: Badan Penerbit Universitas Deponegoro; 2006.
15. Pusing. Dalam: Priguna Sidharta. Neurologi klinis dalam praktek umum. Cetakan
ke-6. Jakarta: Dian Rakyat; 2008.hal.55-77.
16. SM. Lumbantobing. Neurologi klinik. Cetakan ke-14. Jakarta: FKUI;
2011.hal.69-74.
17. Brandt-Daroff Exercise. Diunduh daripada http://www.webmd.com/brain/brandt-
daroff-exercise-for-vertigo-16844 pada 27 Januari 2014.

57

Anda mungkin juga menyukai