Oleh :
dr. Ulinnuha Fitrianingrum
Pembimbing :
dr. Suharto, SpPD
dr. Saryana
dr. Rizky
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I. ILUSTRASI KASUS....................................................................................................1
1.1. Identitas Pasien...................................................................................................................1
1.2. Anamnesis...........................................................................................................................1
1.3. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................2
1.4. Pemeriksaan Penunjang......................................................................................................4
1.5. Diagnosis............................................................................................................................6
1.6. Tatalaksana.........................................................................................................................7
1.7. Prognosis............................................................................................................................7
1.8. Follow Up Harian...............................................................................................................8
ii
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Nama : Ny. A
No. RM : 999404
Usia : 64 tahun
Tanggal lahir : 01 Juli 1954
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal masuk : 28 September 2018
Unit : IGD/ Bangsal Ali Bin Abi Thalib 5B
1.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
1
Keluhan nyeri dada saat ini maupun riwayat pernah nyeri dada disangkal. BAB tidak ada
keluhan.
2
3) Telinga
Tidak terdapat deformitas bentuk luar, tidak ada nyeri tekan tragus, liang telinga
lapang, serumen +/+
4) Hidung
Tidak terdapat deformitas bentuk luar, tidak ada deviasi septum, tidak ada krepitasi,
konka tidak hipeeremis, konka tidak edema
5) Tenggorokan
Arkus faring simetris, uvula letak di tengah, dinding faring posterior tidak
hiperemis, tonsil T1/T1
6) Mulut
Bibir tidak sianosis, mukosa mulut lembab
b. Pemeriksaan leher
Distensi vena jugularis, JVP 5+3 cmH2O, kelenjar getah bening leher tidak membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba
c. Pemeriksaan paru
1) Inspeksi
Tidak ada kelainan bentuk dada, dinding dada simetris statis dan dinamis, tidak ada
retraksi, tidak ada pelebaran dan penyempitan sela iga
2) Palpasi
Tidak teraba benjolan, ekspansi dada simetris, vocal fremitus dinding dada kanan =
dada kiri
3) Perkusi
Sonor di seluruh lapang paru
4) Auskultasi
Vesikular di seluruh lapang paru, ronkhi basah halus (+/+) basal, tidak ada
wheezing
d. Pemeriksaan jantung
Bunyi jantung S1/S2 reguler, gallop S3 (+), tidak ada murmur
e. Pemeriksaan abdomen
1) Inspeksi : Buncit, simetris, tidak ada bendungan vena, terdapat striae dan
jaringan fibrosis bekas operasi SC pada hipogastrium
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Perkusi : Redup di seluruh lapang abdomen, ascites (+)
4) Palpasi : Tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai
3
f. Pemeriksaan ekstremitas
Edema tungkai +/+, akral hangat, CRT < 2 detik
4
Pemeriksaan Laboratorium (30 September 2018)
Interpretasi : Sinus ritme, normoaksis, laju 102x/menit, p wave normal, low voltage QRS pada
sadapan ekstremitas, poor R wave progression, tidak ada ST-T changes, tidak ada LVH/RVH,
tidak ada LBBB/RBBB.
5
Rontgen thorax (08 September 2018)
1.5. Diagnosis
1) ADHF (Acute Decompensated Heart Failure), Wet and Warm, pada CHF Fc III-IV
2) DM tipe II, gula darah tidak terkontrol
3) CKD stage IV
4) Ascites masif
5) Hipoalbuminemia
6) Leukositosis reaktif
6
1.6. Tatalaksana
Rencana Diagnosis :
- EKG
- Cek KGDH
- Cek darah rutin, Ur/Cr, urin rutin, albumin
- USG abdomen
- Biomarker jantung (troponin)
- Rontgen thorax
- Cek ulang urin rutin
- Cek profil lipid
Rencana Tatalaksana :
- Tirah baring
- Posisi semifowler
- Diet DM 1700 kkal/hari dengan pembatasan asupan cairan, garam, dan protein
- Oksigen 3-4 lpm nasal kanul
- Infus Ringer Laktat 16 tpm mikro
- Furosemid Intravena 40 mg
- Novorapid 12 U Sliding scale/ 4 jam
- ISDN 3 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Asam folat 1 x 15 mg
- CaCO3 1 x 1
- Punksi ascites bila tidak membaik dengan diuretik
1.7. Prognosis
7
1.8. Follow Up Harian
8
10. Asam folat 1 x 1
11. CaCO3 1 x 1
01/10/2018 S: 1) ADHF (Acute Terapi:
DPH 2 Sesak berkurang Decompensated 1. Cek ulang darah
O: Heart Failure), Wet rutin, albumin
KU: Tampak sakit sedang
and Warm, pada CHF 2. O2 3 lpm nasal
VS:
TD: 120/80 mmHg Fc III-IV kanul
HR: 86 x/menit 2) DM tipe II, gula 3. Diet DM dengan
RR: 22 x/menit darah tidak terkontrol restriksi cairan,
T : 36,5o C 3) CKD stage IV garam, dan
SpO2: 97% 4) Ascites masif protein
Cor: BJ I-II reguler, gallop S3 5) Hipoalbuminemia 4. Infus Ringer
(+), murmur (-)
6) Leukositosis reaktif Laktat 16 tpm
Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi
basal paru berkurang mikro
Abdomen: ascites (+), hepar dan 5. Furosemid
lien sulit dinilai intravena 20
Extremitas: mg/8 jam
Pitting oedem tungkai +/+, 6. Spironolacton 1
hiperemis x 25 mg
GDS : 217
7. Novorapid 6-6-6
U post prandial
8. ISDN 3 x 5 mg
9. Atorvastatin 1 x
20 mg
10. Asam folat 1 x 1
11. CaCO3 1 x 1
02/10/2018 S: 1. CHF Fc III-IV Terapi:
DPH 3 Sesak berkurang 2. DM tipe II, gula 1. Rawat jalan
O: darah tidak terkontrol 2. Furosemid 1 x 1
KU: Tampak sakit sedang
3. CKD stage IV 3. Spironolactone 2 x
VS:
TD: 120/80 mmHg 4. Ascites masif 1
HR: 86 x/menit 5. Hipoalbuminemia 4. Glimepiride 1 x 1
RR: 22 x/menit 6. Leukositosis reaktif 5. Metformin 2 x 1
T : 36,5o C 6. Antasid 3 x 10 cc
SpO2: 97% 7. Prorenal 2 x 1
Cor: BJ I-II reguler, gallop S3 8. Ambroxol 3 x 1
(+), murmur (-)
9. Orbumin 2 x 1
Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi
basal paru berkurang
Abdomen: ascites (+), tidak ada Usul : pemberian
pembesaran hepar maupun lien Metformin 1 x 500
Extremitas: mg/hari
Pitting oedem tungkai +/+,
hiperemis
GDS : 142
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sesak merupakan kesulitan bernapas, napas pendek-pendek, atau sensasi subjektif pada
pernapasan mulai dari rasa tidak nyaman ringan saat bernapas hingga sulit bernapas. Etiologi
sesak dibagi menjadi lima kategori secara umum, meliputi: respirasi, kardiovaskular,
neuromuskular, sistemik, dan psikosomatis. Berikut ini tabel yang menunjukkan diagnosis
banding dari keluhan sesak berdasarkan lima kategori tersebut.
Heart Failure (HF) atau gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks, yang didasari
oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara
10
adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan gagal
jantung harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala-gejala dari gagal jantung berupa sesak napas yang spesifik pada saat istirahat atau
saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga
Tanda-tanda dari gagal jantung berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai
Bukti objektif abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung
2.2.1. Etiologi
Sindrom gagal jantung akut ini dapat disebabkan karena disfungsi jantung primer atau
dicetukan oleh faktor ekstrinsik pada gagal jantung kronik. Disfungsi miokardial akut (iskemik,
inflamasi, atau toksik), insufisiensi katup akut atau tamponade jantung menjadi penyebab
tersering penyebab jantung primer dari gagal jantung akut. Gagal jantung kronik atau
dekompensasi dapat terjadi tanpa diketahui faktor pencetusnya, tetapi dapat juga disebabkan
oleh satu faktor atau lebih, seperti infeksi, hipertensi tidak terkontrol, gangguan ritme jantung
(aritmia), dan gagal obat atau diet.
Tabel 2.2. Etiologi dan faktor pencetus gagal jantung akut menurut PERKI
11
Penyebab dan faktor pencetus gagal jantung akut juga dikelompokkan dengan lebih ringkas
yaitu:1,2,5
Pengobatan: tidak cocok atau resistensi regimen pengobatan, gagal restriksi natrium
dan/atau restriksi cairan; penambahan regimen obat inotropik negatif terakhir (contoh
verapamil, nifedipine, diltiazem, beta blockers); inisiasi penggunaan obat yang
meningkatkan retensi garam (contoh: steroid, thiazolidinediones, NSAID)
Penyakit jantung iskemik: sindrom koroner akut, komplikasi mekanik dari infark miokard
akut, infark ventrikel kanan
Penyakit katup: stenosis katup, regurgitasi katup, endocarditis, diseksi aorta
Miopati: kardiomiopati post partum, miokarditis akut
Hipertensi tidak terkontrol
Aritmia akut
Gagal sirkulasi: sepsis, tirotoksikosis, anemia, shunt, tamponade, emboli paru
Dekompensasi dari gagal jantung kronik sebelumnya: overload volume, emboli paru,
infeksi seperti pneumonia atau infeksi virus, resistensi obat, gangguan serebrovaskular,
pembedahan, disfungsi renal, asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyalahgunaan obat
dan alkohol.
Abnormalitas endokrin: diabetes mellitus, hipertiorid, hipotiroid
2.2.2. Patofisiologi
Jantung pada kondisi normal akan menerima darah pada fase diastolik dengan tekanan yang
lebih rendah dan akan memompakan darah ke seluruh tubuh pada fase sistolik dengan tekanan
yang lebih tinggi. Pada kondisi gagal jantung, jantung tidak mampu memompa darah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau hanya mampu jika tekanan saat
pengisian sangat tinggi. Keadaan ini dapat terjadi karena masalah di luar jantung, seperti
kurangnya perfusi jaringan (misalnya pada perdarahan hebat) atau peningkatan kebutuhan
metabolik (misalnya pada hipertiroid). Masalah jantung yang akhirnya dapat menyebabkan
gagal jantung antara lain aterosklerosis koroner, infark miokard, penyakit katup, hipertensi,
penyakit jantung bawaan, dan kardiomiopati.6
12
Gambar 2.1. Curah jantung dan faktor yang mempengaruhi
Pada jantung yang normal, curah jantung dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Curah jantung (cardiac output) ditentukan oleh volume sekuncup, yaitu volume darah yang
dikeluarkan dari jantung pada satu kali kontraksi, dan detak jantung. Volume sekuncup
ditentukan oleh preload, afterload, dan kontraktilitas. Volume akhir diastolik ventrikel
merepresentasikan preload dan dipengaruhi oleh kemampuan penyesuaian ruang ventrikel
(compliance). Volume akhir sistolik ventrikel bergantung pada afterload dan kontraktilitas.
Semakin besar preload, misalnya pada pemberian cairan intravena yang masif (overload) maka
volume sekuncup akan meningkat dan curah jantung juga akan meningkat. Bertambahnya
kontraktilitas juga akan meningkatkan volume sekuncup. Apabila preload dan kontraktilitas
tetap sama sedangkan terjadi peningkatan afterload, misalnya pada keadaan hipertensi atau
stenosis aorta, maka tekanan sistolik ventrikel dan volume akhir sistolik ventrikel kiri akan
lebih besar, sehingga volume sekuncup menjadi berkurang.1
13
Berdasarkan etiologinya, gagal jantung dapat disebabkan karena gangguan kontraktilitas
ventrikel, peningkatan afterload, serta gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. Gangguan
kontraktilitas dan peningkatan afterload dapat mengganggu pengosongan ventrikel sehingga
menyebabkan disfungsi sistolik. Gangguan kontraktilitas dapat disebabkan oleh kerusakan
miosit, gangguan fungsi miosit, atau fibrosis. Penurunan kontraktilitas menyebabkan
pengosongan sistolik terganggu sehingga volume akhir sistolik lebih tinggi dari normal dan
volume sekuncup berkurang. Aliran darah dari vena pulmonalis yang normal akan menambah
volume akhir sistolik yang masih tersisa pada ventrikel. Hal ini menyebabkan volume diastolik
akhir meningkat dan memicu mekanisme kompensasi berupa peningkatan volume sekuncup
melalui mekanisme Frank-Starling. Gangguan kontraktilitas dengan volume akhir sistolik yang
tinggi ini menyebabkan penurunan fraksi ejeksi. Pada fase diastolik, tekanan ventrikel kiri yang
tetap tinggi ditransmisikan ke atrium kiri, vena pulmonal, dan kapiler paru. Tekanan hidrostatik
kapiler paru yang cukup tinggi (umumnya di atas 20mmHg) menyebabkan transudasi cairan
ke interstisial paru sehingga menyebabkan gejala kongesti paru.1
Gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel menyebabkan disfungsi diastolik. Relaksasi pada
fase diastolik merupakan proses yang membutuhkan energi. Kurangnya sumber energi seperti
pada keadaan iskemia miokard akut dapat menyebabkan gangguan relaksasi. Pada kondisi
hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, kardiomiopati restriktif menyebabkan dinding ventrikel kiri
kaku sehingga pengisian ventrikel terganggu.
Pada kondisi gagal jantung, tubuh akan melakukan mekanisme kompensasi untuk
mengimbangi berkurangnya curah jantung dan berusaha mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi organ. Mekanisme kompensasi ini dapat berupa mekanisme Frank –
Starling, perubahan neurohormonal, serta hipertrofi dan remodeling ventrikel.
Mekanisme Frank-Starling
Pada gangguan kontraktilitas ventrikel kiri akan terjadi penurunan volume sekuncup
dibandingkan kondisi normal. Penurunan volume sekuncup ini menyebabkan pengosongan
14
ventrikel terhambat sehingga darah terakumulasi pada ventrikel. Akumulasi darah
menyebabkan peningkatan regangan miosit, kemudian melalui mekanisme Frank-Starling
memicu volume sekuncup yang lebih besar. Hal ini membantu untuk mengosongkan ventrikel
kiri dan mempertahankan curah jantung yang cukup. Mekanisme kompensasi ini memiliki
batas tertentu, sehingga pada kondisi yang lebih lanjut menyebabkan kongesti paru dan edema.
Mekanisme Neurohormonal
Penurunan curah jantung dideteksi oleh baroreseptor pada sinus karotis dan arkus aorta. Sinyal
dari reseptor ini kemudian ditransmisikan ke medulla sebagai pusat pengatur sistem
kardiovaskular. Hal ini mengakibatkan peningkatan aktivitas simpatis dan parasimpatis
berkurang. Aktivitas simpatis menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas
melalui reseptor beta-1 untuk menambah curah jantung.2 Vasokonstriksi vena meningkatkan
aliran darah ke jantung untuk meningkatkan preload dan volume sekuncup. Vasokonstriksi
15
arteriol meningkatkan resistensi vaskular perifer untuk mempertahankan tekanan darah. Pada
stimulasi simpatis, distribusi aliran darah akan diprioritaskan pada organ vital seperti jantung
dan otak, dibandingkan perfusi ke kulit dan ginjal.6
Aktivasi saraf simpatis dapat menguntungkan pada jangka pendek akan tetapi dapat bersifat
maladaptif pada jangka panjang. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas menambah
kebutuhan energi sehingga dapat memperparah kondisi iskemia ketika penghantaran oksigen
terganggu. Peningkatan aktivitas adrenergik juga dapat memicu terjadinya takikardi ventrikel
dan kematian mendadak, terutama jika terjadi iskemia.1 Pada jangka panjang, semakin lama
produksi neurotransmiter adrenergik akan berkurang sehingga aktivitas aferen jantung ke sistem
saraf pusat dan respon eferen berkurang. Refleks vasokonstriksi dan denyut jantung akan
berkurang.7
Aktivasi RAAS terjadi karena peningkatan renin dari sel jukstaglomerular di ginjal.
Peningkatan renin disebabkan karena berkurangnya perfusi ke ginjal yang bersifat sekunder
karena penurunan curah jantung dan stimulasi langsung reseptor beta di sel jukstaglomerular
karena aktivasi saraf simpatis. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin
I yang kemudian oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II dapat bekerja pada reseptor tipe 1 dan tipe 2 yang memiliki
efek berlawanan. Reseptor dominan pada pembuluh darah adalah tipe 1 sedangkan pada
miokardium adalah tipe 2. Aktivasi reseptor 1 menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan
sel (hipertrofi), sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin.2 Vasokonstriksi arteriol ini
kemudian akan meningkatkan resistensi perifer untuk mempertahankan tekanan darah.
Angiotensin II juga berperan meningkatkan volume intravaskular dengan menstimulasi rasa
haus pada hipotalamus dan meningkatkan sekresi aldosteron di korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon yang berperan dalam reabsorpsi sodium dari tubulus distal ginjal.6
Peningkatan angiotensin II pada jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis pada organ.
Aldosteron juga dapat menyebabkan fibrosis, hipertrofi, disfungsi endotel, disfungsi
baroreseptor, dan peningkatan stres oksidatif yang memperburuk kondisi gagal jantung.1
Sekresi hormon antidiuretik atau vasopresin oleh hipofisis posterior meningkat akibat
peningkatan kadar angiotensin II dan aktivasi baroreseptor. Peningkatan ADH
16
menyebabkan retensi air pada nefron distal (tubulus kolektivus) sehingga volume
intravaskular bertambah. Penambahan volume intravaskular kemudian akan meningkatkan
preload dan curah jantung.6,7 Selain itu, ADH juga menyebabkan vasokonstriksi, agregasi
platelet, dan stimulasi growth factor miokardium.1
Peptida natriuretik
Peptida natriuretik merupakan hormon yang disekresikan pada kondisi gagal jantung
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan intrakardiak. Atrial natriuretic peptide (ANP)
yang disimpan di sel atrium akan dilepaskan jika terdapat distensi atrium. B-type natriuretic
peptide (BNP) tidak terdeteksi pada jantung yang normal. BNP akan diproduksi ketika
miokardium ventrikel mengalami stres hemodinamik seperti pada gagal jantung atau pada
infark miokard. Peptida natriuretik berperan dalam ekskresi sodium dan air, vasodilatasi,
inhibisi sekresi renin, dan bersifat antagonis terhadap angitoensin II.6
Peptida lain
Peptida lain yang juga berperan sebagai vasokonstriktor dalam upaya mempertahankan
homeostasis adalah endothelin, neuropeptida Y, urotensin II, dan tromboksan A2.
17
Hipertrofi dan remodeling ventrikel
Hipertrofi dan remodeling ventrikel merupakan bentuk kompensasi karena adanya beban
hemodinamik. Stres pada dinding akan meningkat karena dilatasi ventrikel kiri atau kebutuhan
untuk meningkatkan tekanan sistolik untuk mengimbangi afterload. Peningkatan stres pada
dinding ini bersama dengan mekanisme neurohormonal dan sitokin akan menstimulasi
hipertrofi miokardium dan deposisi matriks ekstraseluler. Peningkatan massa otot berguna
untuk mempertahankan kontraktilitas dan mengimbangi peningkatan dinding ventrikel. Akan
tetapi, dinding yang kaku akibat hipertrofi ini meningkatkan tekanan diastolik, yang kemudian
ditransmisikan ke atrium dan paru. Overload volume secara kronik (misalnya pada regurgitasi
kronik katup mitral atau aorta) akan menyebabkan dilatasi dan sintesis sarkomer baru akan
tersusun secara seri sehingga miosit akan memanjang. Radius ruang ventrikel akan bertambah
besar. Hal ini disebut hipertrofi eksentrik. Overload tekanan secara kronik (misalnya pada
hipertensi atau stenosis aorta) menyebabkan sintesis sarkomer baru tersusun secara paralel
sehingga ketebalan dinding akan bertambah tanpa diiringi dilatasi ruang ventrikel. Hal ini
disebut hipertrofi konsentrik. Hipertrofi dan remodeling ini berguna untuk mengurangi stres
pada dinding dan mempertahankan kemampuan kontraksi.
Gangguan fungsi ventrikel pada gagal jantung dapat disebabkan karena berkurangnya miosit
atau gangguan fungsi miosit. Berkurangnya jumlah miosit dapat disebabkan oleh nekrosis,
seperti pada infark miokard, atau apoptosis yang dapat dipicu oleh peningkatan katekolamin,
angiotensin II, sitokin inflamasi dan regangan mekanik. Hal tersebut juga dapat mengubah
ekspresi genetik dari protein kontraktil, kanal ion, enzim, dan reseptor pada miosit sehingga
fungsi miosit terganggu.1,6,7
Selain berpengaruh pada miosit, stres mekanik dan aktivasi neurohormonal juga
mempengaruhi komponen lain seperti fibroblas. Fibroblas akan mengalami perubahan fenotip
menjadi miofibroblas yang memicu sekresi kolagen dalam pembentukan jaringan parut pada
daerah yang mengalami kerusakan. Selain itu, sel mast yang terdapat di sekitar pembuluh darah
dan miosit dapat melepaskan sitokin profibrotik dan faktor pertumbuhan yang mempengaruhi
remodeling matriks ekstraselular. Sitokin dan faktor pertumbuhan juga dapat mengaktivasi
matriks metalloproteinase yang mendegradasi kolagen sehingga dinding ventrikel semakin
tipis.1
18
Tabel 2.3. Mekanisme kompensasi curah jantung yang rendah
Pada awalnya gagal jantung dapat tidak menimbulkan gejala ketika tubuh masih dapat
melakukan kompensasi terhadap kerusakan dan curah jantung yang menurun. Ketika tubuh
tidak dapat melakukan kompensasi maka kondisi gagal jantung akan mulai menimbulkan
gejala, umumnya terjadi ketika terdapat faktor pencetus yang meningkatkan kerja jantung dan
mengubah keadaan yang seimbang menjadi dekompensasi.6
- Mekanisme amplifikasi
Terlepas dari kondisi struktur maupun fungsi jantung dan adanya faktor pencetus,
mekanisme amplifikasi seperti aktivasi neurohormonal, mediator inflamasi, proses
19
kerusakan miokardium yang sedang berlangsung, dan penurunan fungsi ginjal dapat
menyebabkan dan memperburuk keadaan gagal jantung akut.1
Kongesti paru dan sistemik merupakan gejala yang paling banyak ditemui pada pasien gagal
jantung akut. Hal ini terkait dengan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi. Peningkatan
volume intravaskular yang meningkat akan menimbulkan gejala kongesti. Kongesti atau
penumpukan cairan pada interstisial dan alveolus disebabkan karena peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru atau tekanan diastolik ventrikel kiri yang melebihi 20-25 mmHg.
Kondisi ini seringkali disertai dengan hipoksemia karena hipoventilasi paru.1
2.2.6. Klasifikasi
Pendekatan lain yang digunakan untuk mengklasifikasikan pasien berdasarkan ada atau
tidaknya faktor pencetus atau penyebab terjadinya kondisi dekompensasi yang memerlukan
tatalaksana atau koreksi secara cepat dan tepat. Kondisi urgent tersebut antara lain: sindrom
20
koroner akut, hipertensi emergensi, aritmia cepat atau bradikardia berat, gangguan konduksi,
penyebab mekanik akut lain yang menyebabkan gagal jantung akut atau emboli paru akut.3
Klasifikasi klinis berdasarkan pemeriksaan klinik secara bedside yang digunakan untuk
mendeteksi ada tidaknya gejala atau tanda kongesti (status ‘wet’ untuk adanya tanda kongesti
dan ‘dry’ bila tidak ada tanda kongesti), serta ada tidaknya tanda hipoperfusi perifer (status
‘cold’ untuk adanya tanda hipoperfusi, sedangkan status ‘warm’ menentukan tidak adanya
tanda hipoperfusi perifer). Kombinasi dari kedua status ini dibagi menjadi empat kelompok,
seperti pada Gambar 5, yaitu warm dan wet (perfusi baik tetapi ada tanda kongesti) paling
banyak ditemukan; cold dan wet (hipoperfusi dan terdapat adanya tanda kongesti); cold dan
dry (hiperfusi dengan tidak adanya tanda kongesti); serta warm dan dry (terkompensasi, perfusi
baik dan tidak adanya tanda kongesti). Klasifikasi ini membantu penentuan panduan terapi
pada fase inisial dan menunjukkan pula informasi prognostik.3
Gambar 2.6. Profil klinis pasien dengan gagal jantung akut berdasarkan ada/tidaknya
kongesti dan/atau hipoperfusi
21
Pasien dengan gagal jantung akut yang disebabkan karena infark miokard akut perlu
diklasifikasikan pula berdasarkan Killip and Kimball, yaitu kelas I, tanpa adanya tanda klinis
gagal jantung; kelas II gagal jantung dengan gallop S3 dan ronki halus (rales), kelas III dengan
edema paru akut; dan kelas IV dengan syok kardiogenik, hipotensi (tekanan darah sistolik <90
mmHg), dan bukti adanya vasokonstriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaforesis.3
2.2.7. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
yang diperlukan pada kondisi gagal jantung akut berupa tanda dan gejala yang dialami pasien,
riwayat kelainan/penyakit jantung sebelumnya, dan kondisi yang mungkin mencetuskan
kondisi gagal jantung akut. Keluhan yang umumnya dikemukakan pasien berupa sesak atau
napas pendek. Hal ini perlu digali sejak kapan keluhan mulai timbul dan progresivitasnya.
Penilaian terhadap kapasitas pasien dalam beraktivitas dapat diklasifikasikan berdasarkan
klasifikasi New York Heart Association (NYHA), yang dapat mempengaruhi terapi dan
prognosis pasien. Riwayat kesehatan pasien juga perlu dievaluasi seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes, yang dapat menjadi faktor risiko terhadap gagal jantung, serta
komorbid seperti anemia dan hipertiroidisme. Selain itu, perlu diketahui pula riwayat penyakit
keluarga seperti riwayat gagal jantung atau kematian mendadak pada keluarga dan paparan
terhadap toksin, alkohol, obat-obatan, dan rokok.1
Pada pemeriksaan fisik dilakukan penilaian terhadap keadaan umum pasien, kesadaran, dan
kondisi pasien apakah tampak sesak, kesakitan, dan sebagainya. Pada pasien gagal jantung
diperlukan pengukuran status volume dan tanda vital termasuk berat badan, tekanan vena
jugularis, dan adanya edema perifer.2,5 Pemeriksaan jantung sendiri dapat dilakukan dengan
inspeksi dan palpasi apeks jantung serta perkusi batas kiri jantung untuk menentukan besar
jantung. Pada pemeriksaan dengan auskultasi, murmur pansistolik dapat ditemukan pada
pasien dengan insufisiensi mitral dan trikuspid. Murmur akibat insufisiensi trikuspid dapat
dibedakan berdasarkan lokasi murmur yang didengar paling keras yaitu pada garis sternal kiri.
Bunyi tambahan berupa gallop S3 menunjukkan adanya peningkatan volume pengisian
ventrikel atau berkurangnya relaksasi, sedangkan gallop S4 menunjukkan adanya kekakuan
ventrikel.1 Pada pemeriksaan paru, perkusi yang redup dan menurunnya suara napas dapat
menandakan terjadi efusi pleura.1
22
Gejala dan tanda yang dapat ditemui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien
gagal jantung akut:4
- Volume overload akibat tekanan pengisian ventrikel kiri yang tinggi, dengan manifestasi
berupa: Sesak, takipnea, batuk, distensi vena jugularis, ronki basah halus, edema pada
ekstremitas bawah.
- Penurunan curah jantung dengan penurunan perfusi jaringan, dengan manifestasi berupa:
takikardi, ekstremitas dingin dan pucat, peningkatan tekanan nadi. Hal ini terjadi karena
peningkatan aktivitas simpatis berupa vasokonstriksi perifer.
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
Sesak napas Peningkatan jugular vein pressure (JVP)
Ortopneu Refluks hepatojugular
Paroxysmal nocturnal dyspnoe Suara jantung S3 (gallop)
Toleransi aktivitas berkurang Apeks jantung bergeser ke lateral
Cepat lelah, membutuhkan waktu
pemulihan setelah beraktivitas
Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang Spesifik
Batuk pada malam/dini hari Berat badan bertambah > 2 kg/minggu
Wheezing Berat badan turun (gagal jantung stadium
Perasaan kembung atau begah lanjut)
Nafsu makan menurun Bising/murmur jantung
Perasaan bingung/confusion (terutama Edema perifer (ankle, sacrum, skrotum)
pasien usia lanjut) Krepitasi pulmonal
Depresi Suara pekak di basal paru pada perkusi
Berdebar/palpitasi (efusi pleura)
Pingsan Takikardia
Dizziness Nadi ireguler
Bendopneu Napas cepat/takipneu
Pola pernapasan Cheyne Stokes
Akral dingin
Oligouria
Hepatomegali
Asites
Narrow pulse pressure
23
Tabel 2.5. Kriteria Framingham
Tabel 2.6. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural dan fungsional
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi berkembang menjadi Tidak terdapat batasan dalam melakukan
gagal jantung. Tidak terdapat gangguan aktvitas fisik sehari-hari. Aktivitas fisik
struktural atau fungsional jantung, tidak sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
terdapat tanda atau gejala palpitasi, atau sesak napas
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan dalam melakukan aktivitas
yang berhubungan dengan perkembangan fisik sehari-hari. Tidak terdapat keluhan saat
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari
gejala sering menimbulkan kelelahan, palpitasi, dan
sesak napas
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna saat keluhan, terdapat gejala saat istirahat,
keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.
24
istirahat walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal (refrakter)
- Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi pada gagal jantung akut sebagian besar abnormal. Hal ini
berguna untuk mengidentifikasi kelainan yang mendasari dan faktor presipitasi (fibrilasi
atrium, iskemia miokard akut).2
- Ekokardiografi
Ekokardiografi perlu dilakukan segera pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil (terutama pada syok kardiogenik) dan pada pasien dengan abnormalitas struktur
atau fungsi jantung yang mengancam nyawa. Ekokardiografi juga diperlukan pada gagal
jantung akut de novo atau pada pasien yang tidak diketahui fungsi jantungnya.5 Evaluasi
dengan ekokardiografi berguna untuk mengukur struktural jantung berupa volume dan
25
dimensi ventrikel, ketebalan dinding, pergerakan dinding, dan fraksi ejeksi.4 Diagnosis
gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal harus memenuhi adanyanya tanda dan/atau gejala
gagal jantung, fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi
ejeksi >45-50%), dan terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel
abnormal/kekakuan diastolik). Ekokardiografi transesofagus direkomendasikan apabila
ekokardiografi transtorakal tidak adekuat, terdapat kelainan katup, pasien endokarditis,
penyakit jantung bawaan, atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendage pada
pasien fibrilasi atrium.4
- Pemeriksaan radiologi lainnya seperti MRI kardiak dan CT kardiak dapat dilakukan dengan
indikasi. MRI kardiak merupakan baku emas dalam mengukur volume, massa, dan fraksi
ejeksi. Pemeriksaan ini dipilih apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui
ekokardiografi atau pada pasien dengan penyakit jantung bawaan yang kompleks.5 MRI
kardiak dan CT kardiak dapat digunakan untuk membedakan penyebab iskemik dan non
iskemik.2,5
26
Gambar 2.8. Algoritma diagnostik lanjutan untuk memastikan diagnosis gagal jantung
2.2.7. Tatalaksana
Keadaan gagal jantung akut merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, sehingga perlu
transfer ke rumah sakit terdekat secepatnya dan lebih baik jika terdapat unit perawatan intensif
kardiovaskular. Beberapa hal yang penting untuk dipantau dalam penanganan pasien gagal
jantung adalah pulse oximetry, tekanan darah, laju respirasi, luaran urin dan Elektrokardiogram
(EKG) yang berlanjut.
Gagal jantung akut merupakan keadaan yang mengancam nyawa sehingga dibutuhkan
tatalaksana awal yang adekuat untuk menentukan prognosis. Menurut guideline ESC, salah
satu manajemen awal gagal jantung akut adalah identifikasi faktor presipitasi atau pencetus
terjadinya dekompensasi yang membutuhna manajemen urgen. Faktor presipitasi atau pencetus
ini dapat berupa:2
- Sindrom koroner akut
27
- Hipertensi emergensi
- Takiaritmia atau bradiaritmia/Gangguan konduksi
- Etiologi mekanik akut
- Emboli paru akut
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk pasien mencakup terapi oksigen, tatalaksana
farmakologi dan non-farmakologi.
B. Terapi Farmakologis
Untuk tatalaksana farmakologis, pendekatan yang umum dilakukan pada pasien gagal
jantung aku adalah dengan satu atau lebih strategi berikut: diuretik intravena untuk
menurunkan volume cairan ekstraseluler yang berlebih, vasodilator intravena untuk
menurunkan tekanan pengisian ventrikel dan resistensi vascular sistemik, dan agen inotropic
intravena untuk meningkatkan curah jantung dalam keadaan aliran yang rendah. Terapi
tambahan lainnya seperti morfin, oksigen, dan ventilasi juga digunakan untuk menunjang
terapi tadi. Berikut adalah algoritma penanganan untuk pasien dengan gagal jantung akut
berdasarkan profil klinis selama fase awal:2
Diuretik
Diuretik adalah suatu terapi dasar dari pasien gagal jantung akut dan tanda kongesti dan
kelebihan cairan. Diuretik bekerja dangan meningkatkan garam ginjal dan ekskresi air
dan beberapa memiliki efek vasodilator. Pada pasien gagal jantung dengan hipoperfusi,
pemberian diuretic harus diperhatikan sampai perfusi yang adekuat tercapai.
Tatalaksana awal yang diberikan adalah diuretic intravena dengan tambahan
28
vasodilator untuk memperbaiki dyspneau. Diuretik yang menjadi pilihan adalah loop
diuretic seperti furosemide atau torasemide karena memiliki efek paling potensial.
Pemberian diuretic secara infus berlanjut lebih direkomendasikan daripada bolus. Jika
kongesti gagal respon terhadap terapi diuretic, dapat dilakukan peningkatan dosis, atau
penambahan diuretik jenis lain. Untuk perbaikan gejala lebih cepat, kombinasi dengan
vasodilator intravena dapat dipertimbangkan.2,7
Gambar 2.9. Manajemen pasien gagal jantung akut berdasarkan profil klinis
selama fase awal
Vasodilator
Vasodilator intravena adalah agen kedua tersering digunakan untuk meringankan gejala
gagal jantung akut. Obat ini memiliki dua keuntungan, yaitu dengan mengurangi tonus
29
vena (mengoptimalkan preload), dan tonus arteri (menurunkan afterload). Vasodilator
terutama berguna bagi pasien gagal jantung yang hipertensi, dan harus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau hipotensi simtomatik. Dosis harus
sangat diperhatikan untuk menghindari penurunan tekanan darah berlebihan.
Penggunaannya harus diperhatikan juga pada pasien yang memiliki stenosis mitral atau
aorta. Berikut adalah vasodilator intravena yang digunakan pada pasien gagal jantung
akut: 2
Tabel 2.7. Vasodilator untuk gagal jantung akut
Sediaan nitrat yang digunakan adalah dosis tinggi agar memiliki efek terhadap preload
dan afterload. Tidak ada agen lain yang terbukti dapat memperbaiki gejala kongesti
secepat nitrat. Nitrat dapat bekerja dalam 5 menit jika diberikan secara sublingual.
Dosis tunggal 0.4 mg atau 0.6 mg dapat diulang setiap 5-10 menit jika tekanan darah
pasien stabil. Dalam kondisi di rumah sakit, infus berkelanjutan dapat lebih nyaman,
dosis nitrogliserin dimulai pada 0.3-0.5 mcg/kgBB/menit dan dinaikkan hingga
keadaan pasien membaik dan tekanan darah sistolik pasien setidaknya 95-100 mmHg.
Jika pasien dengan hipertensi sistemik, regurgitasi mitral atau aorta berat, atau edema
paru yang tidak respon dengan terapi nitrat biasa, dapat digunakan nitroprusside. Obat
ini bekerja cepat untuk mengurangi resistensi pembuluh. Dosis dimulai dari 0.1-0.2
mcg/kgBB/min dan dititrasi hingga perbaikan klinis dan status hemodinamik, dengan
tekanan darah sistolik dapat dijaga dalam rentang 85-90 mmHg paling rendah. Peptide
natriuretic adalah golongan hormone endogen yang memiliki aksi pada kardiovaskular,
ginjal, dan homeostasis endokrin. Obat ini memiliki efek reduksi tekanan kapiler paru
yang lebih signifikan dibandingkan nitrogliserin. Terbukti dapat mengurangi resistensi
vaskuler sistemik dan meningkatkan indeks kardiak pada 1 jam pertama dan
mengurangi dyspneau dalam 3 jam pertama pasca inisiasi terapi.2,7
Inotropik
Penggunaan inotrtopik dapat digunakan pada pasien gagal jantung yang memiliki
penurunan curah jantung berat hingga menyebabkan perfusi organ vital yang buruk,
30
yaitu pada pasien gagal jantung akut dengan hipotensi. Akan tetapi, pada pasien dengan
hipotensi akibat hipovolemia atau faktor yang lain yang dapat dibenahi sebelumnya,
penggunaan agen inotropik tidak direkomendasikan. Penggunaan inotropik jangka
pendek terbukti menghasilkan perbaikin performa kontraktilitas dan dapat berguna
ketika curah jantung cenderung rendah. Pilihan terapi yang diberikan dapat berupa beta-
agonis (dobutamine atau dopamine) atau fosfodiesterasi inhibitor (milrinone,
enoximone). Golongan fosfodiesterasi inhibitor lebih dipilih pada pasien dengan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel, karena efeknya juga menurunkan pre-load dan
afterload. Fosfodiesterase inhibitor juga lebih dipilih pada pasien yang sudah
tersensitisasi reseptor beta-nya dan pasien yang telah diterapi dengan beta-blocker
sebelumnya. Sediaan dobutamine adalah yang paling sering digunakan, tetapi efek
penyekat beta nya dapat berkontribusi dengan kejadian hipoperfusi. Sediaan lain yang
digunakan adalah levosimendan, efeknya sebagai vasodilator tetapi tidak sesuai dengan
pasien dengan hipotensi (TDS <85 mmHg) atau syok kardiogenik kecuali
dikombinasikan dengan inotropic lain atau vasopressor. Agen inotropic dapat
menyebabkan sinus takikardi, dan menginduksi kejadian iskemia miokardium dan
iskemia, oleh karena itu, diperlukan pemantauan dengan EKG.2,7
Vasopressor
Obat dengan aksi vasokonstriksi arteri perifer seperti norepinefrin atau dopamine dosis
tinggi (>5 ug/kgBB/min) dapat diberikan pada pasien hipotensi. Agen ini diberikan
untuk meningkatkan tekanna darah dan redistribusinya kepada organ vital. Akan tetapi,
obat ini memberikan efek terhadap peningkatan kerja ventrikel kiri. NE dinilai memiliki
efek samping dan mortalitas lebih rendah dari dopamine.2,7
Profilaksis tromboembolisme
Heparin atau antikoagulan lain direkomendasikan.2
Digoxin
Digoxin paling diindikasikan pada pasien dengan fibrilasi atrium atau laju ventrikel
cepat (>110x/min) dan diberikan secara bolus (0.25-0.5 mg IV) jika belum digunakan
sebelumnya. Dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan komorbid dan/atau
orang tua yang dapat mempengaruhi metabolisme digoxin di dalam darah agar
mencapai konsentrasi yang tepat di darah perifer.2
31
Opiate
Obat-obatan opiate dapat memperbaiki dyspneau dan anxietas. Pada pasien gagal
jantung akut, penggunaan opiate tidak direkomendasikan untuk digunakan secara rutin,
terutama pada pasien dyspneau berat dengan edema paru. Hal ini karena efek
sampingnya yang bergantung dosis menyebabkan mual, hipotensi, bradikardi, dan
depresi napas.2
C. Terapi Non-Farmakologis
Terapi non-farmakologis yang direkomendasikan adalah penggunaan ultrafiltrasi pada
pasien kongesti refrakter yang gagal dengan pengobatan diuretic sesuai strategi yang
direkomendasikan. Terapi pengganti ginjal juga dapat dipertimbangkan pad apasien dengan
kelebihan volume refrakter dan gagal ginjal akut. Ultrafiltrasi mencakup pembuangan dari
air plasma melalui membrane semipermeable melalui perbedaan gradient tekanan
transmembran. Inisiasi dari terapi ini dilakukan jika pasien mengalami oliguria
unresponsive terhadap resusitasi cairan, hyperkalemia berat (K>6.5 mmol/L), asidemia
berat (pH<7.2), level urea serum >25 mmol/L (150 mg/dL), dan kreatinin serum
>300umol/L (>3,4 mg/dL).2,7
Terapi non-farmakologis lain dapat menggunakan alat asistensi seperti pompa balon intra-
aorta (IABP) dan alat pembantu ventrikel. IABP digunakan untuk membantu sirkulasi
sebelum dilakukan koreksi secara operasi dari masalah mekanik yang ada pada miokarditis
akut berat dan pasien dengan iskemia atau infark miokardium. Bukti terhadap efektivitas
IABP belum jelas. Alat pembantu ventrikel adalah bentuk lain dari bantuan sirkulasi
mekanik.2,7
Intervensi lain seperti pleurosentesis pada efusi pleura dengan evakuasi cairan dapat
dipertimbangkan untuk memperbaiki gejala dyspneau. Paracentesis pada asites juka dapat
dilakukan.2,7
Pemantauan terapi yang dilakukan adalah pemantauan dari laju jantung, rhythm, laju napas,
saturasi oksigen, dan tekanan darah. Pasien direkomendasikan untuk ditimbang setiap hari
untuk mendapat keseimbangan cairan yang terukur tepat. Perhatikan juga gejala dan tanda
berhubungan dengan gagal jantung seperti dispneau, ronki pada paru, edema perifer, berat
badan, yang dikerjakan setap hari selama koreksi kelebihan cairan. Pengukuran fungsi ginjal
32
melalui ureum dan kreatinin serum, serta elektrolit diperlukan pada pasien yang mendapat
terapi intravena.2
Pasien dengan gagal jantung akut dapat dipulangkan dari rumah sakit ketika keadaan
hemodinamiknya stabil, euvolemik, mendapat terapi medis oral sesuai rekomendasi dan
fungsi ginjal stabil setidaknya selama 24 jam. Pasien harus diedukasi mengenai perawatan
diri. Pasien juga diberikan jadwal untuk melakukan follow-up, diperiksa ulang oleh dokter
umum dalam 1 minggu setelah pulang atau dengan tim ahli kardiologi dalam 2 minggu
setelah pulang jika mampu. Berikut adalah daftar tujuan yang harus tercapai dalam
tatalaksana gagal jantung akut.
Tabel 2.8. Daftar tujuan yang harus dicapai pada gagal jantung
2.2.9. Prognosis
Faktor yang dapat memperburuk prognosis yaitu jenis kelamin laki-laki, usia tua, gejala dan
tanda yang lebih buruk (kelas NYHA yang lebih tinggi), penyakit arteri koroner akut, hipotensi,
fungsi ginjal terganggu, hiponatremia, dan peningkatan konsentrasi BNP plasma. Dari studi
Framingham Heart Study didapatkan bukti adanya peningkatan prognosis pada 30 tahun
33
terakhir (NEJM 2002). Tingkat mortalitas paling tinggi yaitu 3 bulan setelah ditegakkan
diagnosis.7
Gambar 2.10. Insiden survival kasus gagal jantung baru menurut Framingham Heart Study
34
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
berdasarkan LFG yang dihitung dengan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140 − 𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
𝐿𝐹𝐺 = 𝑚𝑔
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝑙
*Pada perempuan dikalikan 0,85
Berikut ini tabel yang menunjukkan klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat
penyakit.9
Tabel 2.9. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit9
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Tabel 2.10. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi9
Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non-diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
35
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(Pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
36
2.3.3. Pendekatan Diagnostik
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: 1) sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurisemia, lupus erimatosus sistemik (LES), dan lain sebagainya; 2) sindrom uremia, yang
terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nocturia, kelebihan volume cairan
(overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang hingga koma;
3) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).9,11-13
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya; penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
dan penurunan LFG; kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik; kelainan urinalisis meliputi proteinuria,
hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.9
2.3.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, menghambat perburukan fungsi ginjal,
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.9,10 Tabel berikut
menunjukkan perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya.
Tabel 2.11. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya9
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit
ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
37
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.9-12
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan asupan protein
dan terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pembatasan asupan
protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/menit. Protein diberikan 0,6-0,8/kg berat
badan/hari. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam
tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat,
dan ion unorganik lain juga diekresikan oleh ginjal. Oleh karena itu pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen
dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan demkian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Selain itu asupan protein berlebih juga akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration) yang akan meningkatkan progresivitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan
asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena keduanya biasanya
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.9,13
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara
umum yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
38
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan untuk menghindari
terjadinya malnutrisi.9
Pemberian pengikat fosfat juga dilakukan, seperti garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat.9
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadiya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke
dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insesible water
loss. Dengan asumsi bahwa air yang keluar melalui insesible water loss antara 500-800 ml/hari
(sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah
jumlah urin.9,14
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti
buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. Pembatasan
natriun dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.9
39
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Anamnesis
Pada kasus, dikatakan pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak muncul saat pasien dalam posisi tertidur dan tidak sedang
beraktivitas. Pasien tidur dengan 3-4 bantal dikarenakan posisi tersebut membuat pasien
merasa lebih nyaman. Terbangun pada malam hari karena sesak ada. Sesak saat beraktivitas
ada, seperti berjalan ke kamar mandi. Pasien juga mengeluh sering batuk di malam hari dan
mengalami pembesaran perut dan pembengkakan pada kedua tungkai. Dari keluhan sesak
tersebut, dipikirkan sesak disebabkan oleh karena penyebab kardiak (jantung). Demam
disangkal. Sesak yang dipengaruhi oleh cuaca dan debu, bunyi ngik-ngik disangkal. Penyebab
sesak karena alergi atau asma disangkal. Penyebab non kardiak lain telah disingkirkan.
Dari keluhan yang dialami pasien, sesak napas memberat dalam 3 hari terakhir, sehingga
kondisi ini masih dikatakan kondisi akut. Terdapat gejala ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, toleransi aktivitas juga berkurang. Ketiga gejala tersebut merupakan gejala spesifik
dari gagal jantung. Paroxysmal nocturnal dyspnea tergolong kriteria Framingham mayor,
sementara itu edema ekstremitas, batuk malam hari, dan dyspnea on effort tergolong kriteria
Framingham minor. Gagal jantung yang dialami pasien lebih pada kondisi presentasi gagal
jantung dekompensasi akut atau dikenal dengan acute decompensated heart failure (ADHF),
karena sebelumnya gejala gagal jantung berupa sesak sejak sekitar 1 tahun SMRS, namun
gejala memberat sejak 3 hari SMRS, sehingga dipikirkan pasien saat ini dalam keadaan
dekompensasi akut pada gagal jantung kronik.
Pada pasien ditemukan faktor risiko berupa diabetes mellitus, serta belum dapat disingkirkan
kemungkinan adanya old miokard infark oleh sebab gangguan vaskular sebagai komplikasi
diabetes mellitus. Diabetes mellitus pada pasien yang ditandai dengan gejala poliuri telah lama
diderita oleh pasien dan baru terdeteksi saat pasien telah mengalami komplikasi jantung dan
ginjal pada 1 bulan SMRS. Gangguan ginjal pada pasien sekarang ini ditandai dengan
berkurangnya volume kencing. Dipikirkan pasien mengalami gangguan jantung dan ginjal
yang saling berhubungan timbal balik, atau disebut sindrom kardiorenal. Gangguan fungsi
ginjal pada pasien mengakibatkan peningkatan preload dan old miokard infark pada pasien
mengakibatkan penurunan kontraktilitas. Keduanya dapat menyebabkan perburukan gagal
40
jantung. Sementara itu kontraktilitas jantung yang menurun mengakibatkan penurunan cardiac
output, selanjutnya dapat menyebabkan hipoperfusi dan disfungsi organ, termasuk ginjal.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan distensi vena leher, peningkatan JVP (5+3 cmH2O), ronki
basah halus pada basal paru, asites masif, dan pitting edema kedua tungkai. Distensi vena leher,
peningkatan JVP, dan ronki basah halus pada basal paru merupakan kriteria Framingham
Mayor, sedangkan pitting edema kedua tungkai merupakan kriteria Framingham minor.
Temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ini pada pasien memenuhi kriteria Framingham
untuk gagal jantung dengan 4 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Ronki basah halus pada basal
paru, asites masif, dan edema kedua tungkai merupakan tanda kongesti. Akral hangat
menunjukkan perfusi pada pasien adekuat. Pada gagal jantung akut, terdapat klasifikasi
berdasarkan ada./tidaknya kongesti dan adekuasi perfusi, sehingga pada pasien termasuk
kedalam klasifikasi wet and warm. Pada kedua tungkai pasien, juga dijumpai hiperemis, nyeri,
dan teraba hangat dibanding kulit sekitar, sehingga selain terdapat edema tungkai karena
penyebab jantung dipikirkan pula pasien mengalami gangguan vaskular kronik oleh karena
diabetes mellitus dengan kadar gula yang tidak terkontrol.
Pada pemeriksaan elektrokardiogram didapatkan adanya low voltage QRS pada sadapan
ekstremitas yang menunjukkan penurunan kontraktilitas jantung yang dapat berkontribusi
terhadap gagal jantung pada pasien, serta adanya poor R wave progression yang kemungkinan
dapat disebabkan oleh gangguan miokardium yang mempengaruhi kontraktilitas jantung.
Kemungkinan adanya gangguan miokardium ini diperkuat dengan riwayat diabetes mellitus
41
pada pasien yang dapat mengakibatkan disfungsi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah
koroner yang memfasilitasi asupan oksigen dan nutrisi ke miokardium.
3.4. Tatalaksana
Terapi yang didapat oleh pasien sudah sesuai dengan panduan guideline, yaitu mendapat
diuretik intravena (furosemide) ditambah dengan antagonis reseptor aldosteron (spironolakton)
dengan pertimbangan pasien mengalami gagal jantung Fc III-IV. Pasien ini juga mendapatkan
ISDN. ISDN berperan sebagai vasodilator, untuk mengurangi preload (dengan meningkatkan
kapasitas vena dan menurunkan venous return) dan mengurangi afterload (mengurangi
resistensi vaskular sistemik). Untuk menurunkan morbiditas pasien, diberikan statin. Pasien ini
tidak dianjurkan mendapatkan ACE-inhibitor atau ARB. Pemakaian ACE-inhibitor atau ARB
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik stage IV-V masih kontroversial. Pemakaian obat ini
dapat meningkatkan risiko hiperkalemia, asidosis metabolik, dan penurunan LFG. Pemakaian
beta blocker juga tidak dianjurkan karena pasien disertai diabetes mellitus.
Pasien mendapatkan insulin (novorapid) selama perawatan untuk mengontrol gula darah
pasien. Berdasarkan guideline, pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronik stage IV terapi
oral metformin dan glimepiride dapat diberikan dengan adjustment dosis. Namun demikian,
perlu dipertimbangkan golongan sulfonilurea yang aman diberikan untuk pasien diabetes
dengan penyakit ginjal kronik adalah glikuidon. Golongan lain yang dianjurkan dan bersifat
renoprotektif adalah SGLT-2 inhibitor atau DPP-IV inhibitor.
Tatalaksana penyakit ginjal kronik pada pasien meliputi pembatasan asupan protein, fosfat, dan
cairan, serta menghindari diet yang dapat meningkatkan kadar kalium. Pasien juga
mendapatkan pengikat fosfat (CaCO3) untuk mengatasi hiperfosfatemia. Asam folat diberikan
pada pasien untuk menurunkan kadar homosistein yang dapat menyebabkan perburukan
penyakit ginjal maupun jantung pada pasien.
42
Gambar 3.1. Rekomendasi obat diabetes mellitus pada pasien dengan gagal ginjal kronik
43
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pasien Ny.A, berusia 64 tahun, dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, didiagnosis ADHF (Acute Decompensated Heart Failure), Wet
and Warm, pada CHF (chronic heart failure) Fc III-IV, DM tipe II, gula darah tidak terkontrol,
CKD (chronic kidney disease) stage IV, ascites, dan hipoalbuminemia. Pasien direncanakan
untuk EKG, cek darah rutin, Ur/Cr, urin rutin, albumin, dan USG abdomen, serta diusulkan
untuk dilakukan pemeriksaan biomarker jantung (troponin), rontgen thorax, cek ulang urin
rutin, dan cek profil lipid. Pasien mendapat tatalaksana di IGD meliputi tirah baring, posisi
semifowler, diet DM 1700 kkal/hari dengan pembatasan asupan cairan, garam, dan protein,
oksigen 3-4 lpm nasal kanul, infus Ringer Laktat 16 tpm mikro, furosemid intravena 40 mg,
novorapid 12 U Sliding scale/ 4 jam dilanjutkan dengan novorapid 6-6-6 U post prandial,
ISDN 3 x 5 mg, atorvastatin 1 x 20 mg, asam folat 1 x 15 mg, dan CaCO3 1 x 1. Tambahan
tatalaksana di bangsal adalah pemberian spironolakton 1 x 1. Pasien rawat jalan pada hari
perawatan ke-3 dan mendapat tatalaksana untuk rawat jalan meliputi Furosemid 1 x 1,
Spironolactone 2 x 1, Glimepiride 1 x 1, Metformin 2 x 1, Antasid 3 x 10 cc, Prorenal 2 x 1,
Ambroxol 3 x 1, Orbumin 2 x 1. Dengan mempertimbangkan kondisi ginjal pasien, diusulkan
pemberian Metformin 1 x 500 mg.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Disease. 9th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2012.
2. Ponikowski P, et al. 2016 ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. European Heart Journal; 2016. DOI: 10.1093/eurheartj/ehw128
3. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke. In: Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI; 2013. p. 92-3.
4. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, Lubis AC.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 1st ed. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2015. p. 1-28.
5. Yancy CW, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure.
Circulation; 2013. DOI: 10.1161/CIR.0b013e31829e8776
6. Miranda D, Lewis GD, Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS. Patophysiology of Heart
Disease. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016. p. 220-48.
7. Dar O, Cowie MR. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster V, Walsh
RA, Harrington RA, et al. Hurst’s The Heart. 13th ed. New York: McGraw Hill; 2011. p.
738-46.
8. Anter E, Jessup M, Callans D. Atrial fibrillation and heart failure: treatment considerations
for a dual epidemic. Circulation. 2009;119:2516-2525. DOI: 10.1161/
CIRCULATIONAHA.108.821306.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2147-92.
10. Clinical practice guideline for chronic kidney disease: evaluation, classification, and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
11. Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic manifestation. In:
Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia:
WB Saunders; 1999. p. 463-73
12. Skorecki K, Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure. Harrison’s principle of
internal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et al, editors. 16th ed. Vol 1. New York:
McGraw-Hill; 2005. p. 1551-61
45
13. Wei wang, Chan L. Chronic renal failure: manifestation and pathogenesis. In: Schier RW,
editors. Renal and electrolyte disorders. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2003. p. 456-97
46