Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

SLE, Pansitopenia Ec Suspek Anemia Aplastik, Tb Paru

Disusun oleh :

Irdza Ghiffary Lutfi / 01073180080

Pembimbing :

dr. Stevent Sumantri, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE APRIL 2019 – JUNI 2019

TANGERANG
1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. I

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 9 januari 1994

Usia : 25 tahun

Agama : Islam

Status Pernikahan : belum Menikah

No. Rekam Medis : 00853966

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal lantai 5 RSU
Siloam dengan pasien pada tanggal 10 April 2019 pukul 22.00 WIB

Keluhan Utama : lemas yang memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nona I datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan lemas 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit yang dirasakan terus menerus dan memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. lemas dirasakan pada seluruh tubuh. Selain itu
pasien juga mengeluhkan demam naik turun sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit dengan suhu sekitar 38-40oC. pasien juga mengeluhkan adanya
batuk berdahak berwarna putih sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit. gatal dirasakan setiap saat dan pasien sering
menggaruk kulit pasien. Pasien juga mengeluhkan perut dan kaki pasien terasa
membengkak. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan rasa tidak
nyaman pada persendian yang dirasakan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. pasien menyangkal mengalami kerontokan rambut, muntah, maupun
sesak napas. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan meminum
alkohol. Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
maupun asma.
Sebelumnya pada bulan februari 2019 pasien pernah merasakan gejala yang
mirip seperti demam, lemas, gatal dan batuk dan berobat di rumah sakit di
Rangkasbitung yang kemudian di diagnosis mengalami anemia dan penyakit
autoimun systemic lupus erythematous. Kemudian pasien dirujuk ke Rumah
Sakit Ciptomangunkusumo untuk berobat jalan, namun mengatakan keadaan
membaik namun tidak maksimal hingga gejala yang sama muncul kembali dan
berobat ke rumah sakit umum siloam.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien menyangkal memiliki asma atau riwayat tuberkulosis sebelumnya


ataupun penyakit jantung. Pasien juga menyangkal adanya riwayat gula darah,
asam urat dan kolesterol. Selain itu pasien juga menyangkal memiliki riwayat
hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Sekitar :

Pasien menyangkal memiliki penyakit keturunan keluarga. Keluarga pasien


juga tidak memiliki riwayat hipertensi maupun diabetes mellitus. Keluarga
pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.

Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi :

Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol.


Pasien menyangkal mengonsumsi obat-obatan terlarang. Pasien berasal dari
status ekonomi menengah
1.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Tingkat kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
 GCS : 15
 Tinggi Badan : 150 cm
 Berat badan : 42 kg
 BMI : 18,6 (normoweight)
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Laju napas : 18x/menit
 Nadi : 121x/menit
 Suhu : 37,1oC

1.4 Pemeriksaan Status Generalis

Kepala Normosefali
Wajah Normofasialis
Leher Pembesaran KGB (-), tidak ada deviasi trakea, JVP 5 + 2 cm
Mata Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor
3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+.
THT  Darah dan sekret dari lubang telinga dan hidung (-), faring hiperemis
(-), atrofi papil lidah (-).
 Bibir : Mukosa lembab, sianosis (-)
 Lidah : Bercak putih (-), papil atrofi (-)
 Mulut : Mukosa basah, sianosis (-)
 Faring : Hiperemis (-/-)
 Tonsil : T1/T1

Paru-paru ● Inspeksi : Bentuk dada normal, ginekomastia (-pergerakan dada


simetris, bekas luka operasi (-), retraksi (-), memar (-).
● Palpasi : Pengembangan dada simetris, taktil fremitus simetris
● Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
● Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Jantung ● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


● Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba adanya thrill atau
heave.
● Perkusi : batas jantung ada pembesaran
● Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen ● Inspeksi: datar, bekas luka (-), massa (-), spider naevi (-), caput
medusa (-), striae (-)
● Auskultasi: Bising usus (+) normal, metallic sound (-) , bruit (-)
● Perkusi: shifting dullness (+)
● Palpasi: Nyeri tekan epigastrik (+) , Hepatomegali (+) teraba 2 jari
dibawah arcus costae, fluid wave (+) splenomegaly (-), ballotement (-)
Ekstremitas ● Look : Deformitas (-), sianosis (-), ruam (+), jaundice (-), needle
track (-)
● Feel : Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi teraba kuat
simetris, edema (+)

1.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (5/4/2019)


Test Result Unit Reference Range
Hemoglobin 8,1 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 17,6 % 35.00 – 47.00
RBC 2,2 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 6,1 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 42,00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 80 fL 80.00 – 100.00
MCH 27,7 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 34,7 g/dL 32.00 – 36.00
SGOT (AST) 271 U/L 0-32
SGPT (ALT) 164 U/L 0-33
Ureum 23 mg/dL <71.0
Creatinine 0,42 mg/dL 0.5-1.1
eGFR 142,5 > 60
Blood Random 95 <200.0
Glucose
Na 123 mmol/L 137 – 145
K 3,5 mmol/L 3.6 – 5.0
Cl 84 mmol/L 98 – 107

Pemeriksaan laboratorium (6/4/19)

Test Result Unit Reference Range


Hemoglobin 8,9 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 25,2 % 35.00 – 47.00
RBC 3,12 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 3,59 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 18,00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 80 fL 80.00 – 100.00
MCH 28,5 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 35,3 g/dL 32.00 – 36.00

Pemeriksaan Laboratorium (10/4/2019)

Test Result Unit Reference Range


Hemoglobin 7,00 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 20,20 % 35.00 – 47.00
RBC 2,43 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 1,66 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 5,00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 83,1 fL 80.00 – 100.00
MCH 28,8 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 34,7 g/dL 32.00 – 36.00

Pemeriksaan Laboratorium (11/4/2019)

Test Result Unit Reference Range


Test Result Unit Reference Range
Hemoglobin 6,70 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 19,60 % 35.00 – 47.00
RBC 2,36 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 1,58 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 4,00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 83,1 fL 80.00 – 100.00
MCHC 34,2 g/dL 32.00 – 36.00

Pemeriksaan darah tepi (11/4/19)

 Eritrosit : normokrom normositer anisopoikilositosis (Target cell). Tidak


dijumpai eritrosit berinti
 Leukosit : kesan jumlah menurun, kesan morfologi dijumpai granulasi
toksik sitoplasma PMN, tidak dijumpai blast atau sel-sel muda
 Trombosit : kesan jumlah menurun, distribusi merata. Kesan morfologi
tidak dijumai giant trombocyt
 Kesimpulan : gambaran darah tepi dijumpai gambaran pansitopenia
suspect anemia aplastic
 Saran : periksa retikulosit, periksa IPF, periksa antibody trombosit, BMP
Pemeriksaan Laboratorium (13/4/2019)

Test Result Unit Reference Range


Hemoglobin 8,30 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 23,7 % 35.00 – 47.00
RBC 2,92 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 1,19 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 8,00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 81,2 fL 80.00 – 100.00
MCHC 28,4 g/dL 32.00 – 36.00
Test Result Unit Reference Range
Total Bilirubin 8,48 g/dL 0,20 – 1,20
Direct bilirubin 8,25 % 0,00 – 0,50
Indirect Bilirubin 0,23 106/uL 0,00 – 0,70
SGOT 276 103/uL 0 – 32
SGPT 103 103/uL 0 – 33

Pemeriksaan Laboratorium (14/4/2019)

Test Result Unit Reference Range


Hemoglobin 8,5 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 24,6 % 35.00 – 47.00
RBC 3,02 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 0,97 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 5,0 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 81,5 fL 80.00 – 100.00
MCH 28,1 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 34,6 g/dL 32.00 – 36.00

Pemeriksaan Laboratorium (15/4/2019)

Test Result Unit Reference Range


Hemoglobin 8,6 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 24,6 % 35.00 – 47.00
RBC 3,04 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 0,98 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 5,0 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 80,9 fL 80.00 – 100.00
MCH 28,3 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 35 g/dL 32.00 – 36.00

Pemeriksaan Autoimun (27/3/2019)

Test Result Unit Reference Range


Kadar C3 191 mg/dL 90,00 – 180,00
Kadar C4 48 Mg/dL 10 – 40
ANA Positif Negative

Pemeriksaan Laboratorium (27/3/2019)

Test Result Unit Reference Range


CRP Hs 346,55 Mg/L 0,0-3,0

X ray Thorax
 Paru : tampak perselubungan pada kedua perihiler dan pericardial kanan
 Mediastinum : normal
 Trakea dan bronkus : normal
 Hilus : melebar
 Pleura : normal
 Diafragma : normal
 Jantung : CTR < 50
 Aorta : normal
 Vertebra thorakal dan tulang lainnya : normal
 Jaringan lunak : normal
 Abdomen yang tervisualisasi : normal
 Leher yang tervisualisasi : normal

Kesan : pneumonia dd/ TB paru.

USG abdomen
 Hepar : ukuran membesar +/- 16,43 cm. echostruktur parenkim homogeny
normal. Tidak tampak lesi pathologis intraparenkimal. Tidak tampak dilatasi
system bilier maupun vascular intrahepatic. Tampak efusi pleura bilateral.
 Organ abdomen lainnya dalam batas normal
 Kesan : hepatomegaly, ascites

1.6 Resume

Pasien perempuan 25 tahun datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan
demam naik turun sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan suhu sekitar
38-40oC. pasien juga mengeluhkan adanya lemas dan sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit batuk berdahak berwarna putih sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit yang
dirasakan setiap saat dan pasien sering menggaruk kulit pasien. Pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan dan rasa tidak nyaman pada persendian yang
dirasakan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. pasien menyangkal mengalami
kerontokan rambut, muntah, maupun sesak napas. Pasien menyangkal memiliki
kebiasaan merokok dan meminum alkohol. Pasien menyangkal memiliki riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, maupun asma. Pasien pernah memiliki riwayat rawat di
rumah sakit pada bulan februari 2019 dengan keluhan serupa di Rangkas bitung yang
kemudian di diagnosis mengalami anemia dan penyakit autoimun systemic lupus
erythematous. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, hepatomegaly,
fluid wave (+) lesi pada kulit di tangan, punggung, abdomen, tungkai, didapatkan
edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan USG abdomen terdapat ukuran hepar
membesar +/- 16,43 cm. echostruktur parenkim homogeny normal. Tidak tampak lesi
pathologis intraparenkimal. Tidak tampak dilatasi system bilier maupun vascular
intrahepatic. Tampak efusi pleura bilateral. Hasil lab darah menunjukkan
pansitopenia.

1.7 Daftar Masalah


1. Pansitopenia et causa suspek anemia aplastic
2. SLE
3. Pneumonia dd/ tb paru
4. Hiponatremia

Medikamentosa:

5/4/2019

Transfusi PRC 500ml 2 bag

1. Ceftriaxone 2gr BD IV No. VI


2. Omeprazole 40mg BD IV no X
3. Curcuma 2 tab TDS PO, No. X
4. Ca lactate 500mg BD, PO, No. X
5. Methylprednisolone 125mg BD, IV, No. X
6. Cetirizine 10mg OD PO no V

7/4/2019

1. Methylprednisolone 125mg BD, IV, No. X


2. Omeprazole 40mg BD IV no X

8/4/2019

1. Acetylcysteine 200mg PO TDS no X


2. Ca lactate 500mg BD, PO, No. X
3. Ceftriaxone 2gr BD IV No. VI
4. Cetirizine 10mg OD PO no V

11/4/2019
Transfusi PRC 500ml

13/4/2019

1. Folic acid 1 PO TDS no X


2. Rifampicin 450mg PO OD no X
3. Isoniazid 300mg PO OD no V
4. Ethambutol 1000mg PO OD no X

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi,
mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa
yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen. Para penderita lupus sering
disebut dengan odapus (orang dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah drastis
sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola penyakit ini. Lupus
Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, yang tergolong penyakit
kolagen vaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. 1

2.2 Epidemiologi

The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di
amerika dan setidaknya terjadi 5 juta kasus di Indonesia. Setiap tahun diperkirakan
terjadi sekitar 16 ribu kasus baru lupus. Di Indonesia sendiri jumlah penderita lupus
belum diketahui secara tepat, prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di
masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di
Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap total populasi. Kejadian SLE
pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dewasa. Di eropa dan amerika insidensi
SLE pada anak sebesar 6,3 per 100.000 penduduk. Kejadian SLE lebih sering dialami
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 9:1. 2

2.3 Faktor risiko

2.3.1 Faktor genetic

Sekitar 7% pasien dengan SLE memiliki keluarga dekat yang mengalami


penyakit yang sama. Dimana pasien dengan saudara/I kandung dengan SLE memiliki
kemungkinan memiliki SLE sebanyak 30 kali lipat. Saat ini telah diketahui sebanyak
30 variasi gen yang dikaitkan dengan kejadian SLE (HLA-DR, PTPN22, STAT4,
IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq,
PXK). 3

2.3.2 Faktor lingkungan

Infeksi, stress, makanan, antibiotic, ultraviolet dan penggunaan obat-obat


tertentu merupakan faktor pemicu timbulnya SLE

2.3.3 Faktor hormonal

SLE lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki


hingga saat ini belum diketahui pasti hormone yang berperan dalam terjadinya SLE
namun meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum periode menstruasi
atau selama kehamilan mendukung hormone estrogen menjadi pencetus SLE.

2.4 Manifestasi klinis

Pasien dengan SLE dapat memiliki berbagai macam gejala sistemik. Gejala
yang general seperti demam, malaise, arthralgia, myalgia, sakit kepala, berkurangnya
nafsu makan dan turunnya berat badan. Lemas merupakan gejala yang sering
ditemukan pada SLE yang dapat disebabkan oleh SLE aktif, obat-obatan, gaya hidup,
fibromyalgia atau penyakit afektif. Lemas akibat SLE aktif biasanya timbul
bersamaan dengan gejala klinis dan laboratorium. Demam yang merupakan gejala
sering namun tidak spesifik pada dari SLE juga dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab seperti SLE aktif atau infeksi. Penurunan berat badan dapat timbul akibat
SLE aktifm kenaikan berat badan juga dapat timbul akibat penggunaan kortikosteroid
seperti sindrom nefrotik anasarka. Gejala-gejala ini mirip dengan penyakit autoimun
lainnya, infeksi, abnormalitas endokrin, fibromyalgia. 4
2.4.1. Gejala musculoskeletal

Gejala musculoskeletal sangat sering dijumpai pada pasien dengan SLE. Pasien
biasa datang karena nyeri pada persendian terutama pada sendi-sendi kecil seperti
pada tangan dan pergelangan tangan. Arthralgia, arthritis, osteonecrosis dan myopati
sering ditemukan, bahkan arthritis dan arthralgia dapat ditemukan pada 95% kasus
SLE. Biasanya arthralgia dan arthritis pada SLE mengganggu sendi-sendi kecil,
biasanya asimetris, berpindah-pindah dan biasanya ada kaku pagi hari dalam hitungan
menit.

2.4.2. Gejala dermatologi

Terdapat empat kriteria diagnostik untuk gejala dermatologi pada SLE. Yang
pertama adanya malar rash yang ditandai dengan adanya lesi eritematous pada pipi
yang bertahan berhari-hari hingga berminggu-minggu yang terkadang nyari atau
gatal. Selain itu yang kedua adalah fotosensitivitas dimana gejala dermatologi timbul
saat terkena eksposur sinar matahari. Yang ketiga adalah lesi discoid setelah terkena
sinar matahari namun berbentuk seperti plaque dengan scarring. Alopecia adalah
gejala yang kurang spesifik dari SLE namun biasa terjadi pada bagian temporal. 5

2.4.3. Gejala renal

Walaupun deposit immunoglobulin biasa ditemukan di glomeruli, hanya satu


setengah yang memiliki nefritis dengan gejala klinis. Analisis urin pada pasien
asimtomatik sering menunjukkan hematuria dan proteinuria. Gagal ginjal dan sepsis
adalah dua penyebab kematian utama pada pasien SLE. Walaupun hanya 50% pasien
dengan SLE menunjukkan bukti adanya gangguan ginjal, biopsy menunjukkan hanya
sedikit hubungan pada hampir semua pasien. Gangguan glomerular biasa terjai pada
beberapa tahun pertama dari terjadinya SLE dan biasanya asimtomatik. Gaga ginjal
akut maupun kronik dapat menyebabkan gejala yang berhubungan dengan uremia dan
fluid overload. Penyakit nefritik akut bisa menunjukkan gejala hipetensi dan
hematuria. Sindrom nefrotik dapat menunjukkan edema, kenaikan berat badan dan
hyperlipidemia. Lupus nefritis terjadi pada hampir setennhaj pengidap SLE yang
disebabkan oleh deposisi dari kompleks imun. Klasifikasi lupus nefritis dapat dilihat
berdasarkan biopsy renal. Jika memungkinkan biopsy perlu dilakukan pada pasien
dengan suspek gangguan ginjal, namun tidak perlu dilakukan rutin pada pasien
dengan nilai kreatinin dan analisis urin yang normal.4

2.4.4. Gejala gastrointestinal

Ulserasi pada mulut merupakan gejala yang sering ditemukan pada SLE dan
merupakan salah satu dari sebelas kriteria dari the American College of
Rheumatology untuk menentukan SLE. Gejala gastrointestinal yang merupakan
gejala sekunder dari SLE primer dan efek samping dari obat juga sering pada pasien
SLE. Nyeri perut pada SLE merupakan gejala yang signifikan karena dapat
berhubungan langsung dengan lupus aktif seperti peritonitis, pankreatitis, mesenteric
vasculitis dan bowel infarction . namun abnormalitas pada fungsi liver tidak
termasuk dalam kriteria diagnostic SLE karena liver bukanlah target organ utama dari
SLE. Namun begitu lupus hepatitis walaupun jarang akan sedikit meningkatkan
enzim liver seperti aspartate transaminase [AST], alanine transaminase [ALT], lactate
dehydrogenase [LDH], alkaline phosphatase), biasanya pada lupus aktif.

2.4.5. Gejala hematologi

Pasien dengan SLE memiliki abnormalitas pada system imunnya. Adanya


cytopenia multiple, seperti leukopenia, limfopenia, anemia atau trombositopenia
dapat menunjukkan SLE. Leukopenia terutama limfopenia merupakan gejala SLE
yang sering. Limfopenia dan hipokomplementemia dapat menunjukkan gejala SLE
yang sering terjadi infeksi. Anemia hemolitik dapat terjadi dan trombositopenia dapat
terjadi ringan atau bagian dari thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)–like
syndrome atau antiphospholipid antibody syndrome (APS).
Autoantibodi di SLE akan berhubungan dengan self antigen yang berbagai
jenis. Autoantibodi yang berhubungan dengan nuclear self antigen adalah
karakteristik dari SLE. Targer nuclear antigen yang ditemukan di SLE antara lain
native DNA, denaturated DNA, histone, Smith, U1-RNP, SSA, SSB, and ribosomal.
Walaupun pasien dengan SLE datang dengan ANA posistif, kondisi lain dapat
menunjukkan ANA yang positif sehingga enzim-enzim ini dapat berguna untuk
mendiagnostik SLE karena merupakan autoantibodi yang lebih spesifik. 6

2.5 Patofisiologi

SLE merepresentasikan gejala klinis yang unik dan berbeda dari penyakit
lainnya. SLE memiliki spektrum gejala yang luas dan mencakup banyak sistem
organ. Walaupun gejalanya tidak dapat dikenali secara spesifik, namun yang paling
sering terjadi pada SLE adalah diproduksinya autoantibodi secara abnormal dan
berlebihan serta terjadinya pembentukan imun kompleks. Produksi autoantibodi yang
berlebihan merupakan akibat dari terjadinya hiperaktivitas pada limfosit B.
Hiperaktivitas sel B ini dapat dipicu oleh hilangnya immune self tolerance, tingginya
kadar zat zat yang bersifat antigenik baik yang bersumber dari lingkungan ataupun
self antigen yang dipresentasikan oleh sel B ke sel B lain melalui spesifik antigen
presenting cell, tejadinya perubahan sel T helper tipe 1 menjadi sel T helper tipe 2
yang mendorong sel B untuk memproduksi antibodi, serta terjadinya kerusakan pada
supresor sel B. Selain itu, kerusakan yang terjadi pada proses regulatori imun juga
dapat menyebabkan SLE yang meliputi limfosit T (suppressor T cells), sitokin (e.g.,
interleukins, interferon-γ tumor necrosis factor-α, transforming growth factor-β), dan
natural killer cell.7

2.5 Diagnosis

Klasifikasi SLE mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College
of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997.
Berdasarkan kriteria ACR, manifestasi klinis pasien SLE antara lain seperti lesi pada
kulit, arthritis, gangguan ginjal, kelainan neurologis, perubahan hematologis dan
semua yang masuk dalam kriteria tersebut. Antibody anti-nuclear serum, antibodi anti
ds-DNA dan antibodi anti-Sm merupakan biomarker yang penting untuk penegakkan
diagnosis SLE berdasarkan kriteria ACR. Namun kriteria klasifikasi ACR pada
pasien anak memiliki banyak kelemahan. Kriteria ini telah banyak dikembangkan dan
divalidasi pada pasien dewasa, tetapi tidak demikian pada populasi anak. The
Systemic Lupus Collaborating Clinics mengajukan kriteria SLICC untuk SLE
berdasarkan pemahaman terbaru mengenai autoantibodi dan pentingnya peran
komplemen. Dalam kriteria SLICC, biomarker memegang peran penting dan berguna
untuk membedakan SLE dari penyakit lainnya dan untuk keperluan monitoring
aktivitas penyakit. Pada tahun 2012, Petri dan Magder mempublikasikan validasi
kriteria SLICC untuk klasifikasi SLE. Berdasarkan kriteria SLICC, pasien harus
memenuhi setidaknya 4 dari 17 kriteria, dengan minimal satu kriteria klinis dan satu
kriteria imunologis. Kriteria SLICC dibandingkan dengan kriteria ACR mempunyai
sensitivitas lebih tinggi dan spesifisitas yang setara. Dengan demikian, diharapkan
kriteria SLICC dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis yang lebih baik
dibandingkan kriteria yang dipakai sebelumnya untuk mengidentifikasi pasien anak
dengan SLE. 8

2.6 Anemia aplastic pada SLE

Anemia aplastic adalah anemia akibat kegagalan sumsum tulang belakang yang
ditandai dengan adanya pansitopenia. Penyebab anemia aplastic sebagian besar tidak
diketahui dan bersifat idiopatik . 9

Komplikasi hematologis yang sering terlihat pada SLE, anemia, leukopenia dan
trombositopenia dapat merupakan akibat dari kegagalan sumsum atau kerusakan sel
perifer yang berlebihan, yang semuanya mungkin dimediasi kekebalan. Patogenesis
SLE adalah kompleks, yang meliputi hilangnya toleransi imun, penindasan sel
limfosit B yang cacat, dan respons imun sel limfosit T yang abnormal. Meskipun
patofisiologi anemia aplastik sangat berbeda dengan SLE, Anemia aplastik pada
dasarnya juga merupakan gangguan autoimun. Namun hubungan patogenetik yang
tepat, jika ada, antara kedua penyakit tersebut belum dijelaskan dengan jelas.9

Sitopenia peripheral merupakan kejadian yang cukup sering pada pengidap


Systemic lupus erythematous. Banyak kasus telah didokumentasikan dimana masalah
pada sumsum tulang seperti myelofibrosis, anemia aplastic, pure red cell aplasia dan
gejala sindrom myelodysplastic menunjukkan bahwa sumsum tulang merupakan
salah satu target organ dari SLE. Anemia aplastic merupakan kegagalan susmsum
tulang yang jika tidak ditangani memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. 10
Pada pansitopenia, eritorsit menurun dan akan menimbulkan sindrom anemia.
Leukosit menurun akan menyebabkan tubuh mudah infeksi dan trombosit turun
menyebabkan mudah terjadi pendarahan. 11
Pada kasus SLE jarang terjadi supresi sumsum tulang yang menyebabkan
anemia aplastik, banyak laporan penelitian dan kasus yang mendukung bahwa
kemungkinan terjadinya anemia aplastik karena mediasi dari T cell yang
menginhibisi sel hemopoetik yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Diduga
keberadaan limfosit autoreaktif pada sumsum tulang pasien dengan SLE dapat
mempengaruhi kapasitas hemopoietik dari stroma sumsum tulang dan juga merusak
hemopoetik stem cell melalui direct cytotoxic destruction. Sel CD 34+ meningkatkan
produksi sitokin inhibisi seperti Tumor Necrosis Factor α (TNF α) dan interferon γ
(IFN γ), oleh lymfosit T cytotoksik sumsum tulang.12

2.7 Tatalaksana SLE13

Terapi untuk pasien SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan


berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai
2.7.1 Edukasi dan Konseling

Pasien SLE membutuhkan informasi yang benar serta dukungan orang sekitar
agar pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah
dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari
secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.

2.7.2 Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup dan sering melakukan terapi fisik.

2.7.3 Terapi Medikamentosa

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid
Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain
sesuai manifestasi klinis yang dialami.

 NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs) NSAID dapat digunakan


untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti
menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain.
Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut
dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung
 Obat-obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah dapat
digunakan untuk menangani lupus diskoid dan SLE. Secara luas, manifestasi
SLE yang ditangani dengan obat antimalaria adalah manifestasi pada kulit,
arthralgia, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia.
 Kortikosteroid merupakan pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid
tetap merupakan obat yang sering dipakai sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi.

BAB III

PEMBAHASAN
Pasien ini mengeluhkan adanya demam yang dirasakan naik turun sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam yang pasien rasakan diukur dan
didapatkan suhu sekitar 39-40oc. selain itu pasien juga mengeluhkan adanya rasa
lemas yang dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam
merupakan gejala sistemik sering disertai dengan lemas yang dapat timbul dari
berbagai macam etiologi yang dapat dibagi menjadi demam akibat infeksi atau non
infeksi. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya peningkatan leukosit sehingga
kemungkinan demam akibat infeksi dapat disingkirkan. Selain itu pasien juga
mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman pada persendian namun pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri pada persendian tersebut. Pasien juga tidak dapat
menjelaskan secara rinci mengenai lokasi sendi yang tidak nyaman. Selain itu pasien
juga mengeluhkan adanya gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit. rasa gatal dirasakan terus menerus dan pasien sering menggaruk
bagian yang gatal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva yang anemis,


hepatomegaly, lesi pada kulit pada bagian tangan, punggung, abdomen, dan tungkai.
Pada abdomen ditemukan adanya fluid wave positif yang menunjukkan tanda adanya
ascites. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien memiliki penurunan pada
hemoglobin, hematocrit, leukosit, dan trombosit. Yang artinya pasien mengalami
pansitopenia. Pada pemeriksaan serologi di RSCM didapatkan pasien

Berdasarkan SLICC criteria dibutuhkan setidaknya empat kriteria dengan


masing-masing minimal satu kriteria klinis dan kriteria laboratorium atau adanya
lupus nefritis yang telah terbukti dengan biopsy dengan ANA atau Anti-DNA yang
positif.
Dari hasil anamnesis pasien, pasien mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman
pada daerah persendian yaitu arthritis, dimana arthritis merupakan salah satu kriteria
klinis dari SLE. Selain itu pasien juga terdapat adanya rasa gatal di kulit dengan lesi
pada sekujur tubuh terutama pada bagian abdomen, tangan dan kaki. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien mengalami leukopenia dan
trombositopenia.

Dari kriteria immunologi, pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan


laboratorium di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo dan didapatkan hasil Anti Nuclear
Antibody (ANA) yang positif. Dari hasil anamnesis dan laboratorium diagnosis SLE
dapat ditegakkan.

Dari hasil observasi yang dilakukan pada pasien selama pengobatan di Rumah
Sakit Umum Siloam, pasien mendapatkan transfusi PRC 500ml yang dimana koreksi
hemoglobin tampak signifikan namun belum mencapai target normal. Anemia pada
SLE diakibatkan oleh penyakit kronis. Hal ini dapat ditandai dari nilai MCV, MCH,
MCHC yang pada pasien ini menunjukkan nilai normal.

Seiring dengan berjalannya pengobatan pasien di rumah sakit umum silaom


telah dilakukan beberapa kali pemeriksaan laboratorium darah. Pada pemeriksaan
laboratorium di awal masuk rumah sakit umum siloam pada tanggal terjadi penurunan
nilai hemoglobin, sel darah merah, dan trombositopenia. Namun seiring berjalannya
waktu hasil laboratorium menunjukkan penurunan pada hemoglobin, hematocrit, sel
darah merah, sel darah putih dan trombosit yang menandakan adanya pansitopenia.

Pada pasien ini juga ditemukan adanya peningkatan pada SGOT dan SGPT,
serta conjugated hyperbilirubinemia dimana terjadi kenaikan bilirubin total dan direct
dengan kadar bilirubin indirect yang dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga
terdapat pembesaran hepar dimana hepar teraba dua jari dibawah arcus costae. Hal ini
menandakan adanya gangguan fungsi hati dan transpor bilirubin seperti misalnya
inflamasi intrahepatik akibat penyakit autoimun dapat mengganggu transport
bilirubin direct. 14

Pada pasien ini ditemukan adanya pembesaran pada abdomen atau dapat
disebut ascites. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya inflamasi pada membrane
serosa yang pada pasien ini terjadi pada peritoneum yang menyebabkan ascites atau
juga dapat terjadi akibat adanya gagal jantung kanan maupun hypoalbuminemia 15,
namun pada pasien ini kadar albumin tidak diperiksa. Pasien ini juga di diagnosis
dengan TB paru kasus baru berdasarkan hasil Xray thorax dan diberikan obat
rifampicin, isoniazid, dan etambutol.

Setelah itu pasien di rujuk ke RSCM dengan diagnosis pansitopenia et causa


suspect anemia aplastik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Putu N, Purnama W, Keperawatan F, Katolik U, Mandala W, Telp S. Faktor


Pencetus Gejala Dan Perilaku Pencegahan Systemic Lupus Erythematosus.
2014;11(2):213–9.

2. Handono Kalim. Situasi Lupus di Indonesia [Internet]. pusdatin. Jakarta; 2017


[cited 2019 May 17]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-
Lupus-2017.pdf

3. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. EULAR Textbook on Rheumatic


Diseases. Syst Lupus Erythematosus Pathog Clin Featur [Internet]. 2012;(Cap.
20):476–505. Available from: http://libweb.anglia.ac.uk/

4. Cojocaru M, Cojocaru IM, Silosi I, Vrabie CD. Manifestations of systemic


lupus erythematosus. Maedica (Buchar) [Internet]. 2011 Oct [cited 2019 May
16];6(4):330–6.

5. Kole AK, Ghosh A. Cutaneous manifestations of systemic lupus


erythematosus in a tertiary referral center. Indian J Dermatol [Internet]. 2009
[cited 2019 May 17];54(2):132–6.

6. Fayyaz A, Igoe A, Kurien BT, Danda D, James JA, Stafford HA, et al.
Haematological manifestations of lupus. Lupus Sci Med [Internet]. 2015 [cited
2019 May 17];2(1):e000078. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25861458

7. Choi J, Kim ST, Craft J. The pathogenesis of systemic lupus erythematosus-an


update. Curr Opin Immunol [Internet]. 2012 Dec [cited 2019 May
17];24(6):651–7.

8. Karuniawaty TP, Sumadiono S, Satria CD. Perbandingan Diagnosis Systemic


Lupus Erythematosus Menggunakan Kriteria American College of
Rheumatologi dan Systemic Lupus International Collaborating Clinics. Sari
Pediatr. 2017;18(4):299.

9. Liu W, Hu Z, Lin S, He J, Zhou Y. Systemic lupus erythematosis with severe


aplastic anemia successfully treated with rituximab and antithymocyte
globulin. Pakistan J Med Sci [Internet]. 2014 Mar [cited 2019 May
17];30(2):449–51.

10. Chalayer É, Ffrench M, Cathébras P. Aplastic anemia as a feature of systemic


lupus erythematosus: a case report and literature review. Rheumatol Int
[Internet]. 2015 Jun 30 [cited 2019 May 16];35(6):1073–82.

11. Thaha, AA Wiradewi Lestari IWPSY. iagnosis, Diagnosis Differensial dan


Penatalaksanaan Immunosupresif danTerapi Sumsum Tulang pada Pasien
Anemia Aplastik. ahasiswa Progr Stud Pendidik Dokter, Fak
Kedokteran,Universitas Udayana [Internet]. 2013 [cited 2019 May 17];

12. Zuhrial Zubir FA. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia
Aplastik. 2016;1–10.

13. Yildirim-Toruner C, Diamond B. Current and novel therapeutics in the


treatment of systemic lupus erythematosus. J Allergy Clin Immunol [Internet].
2011 Feb [cited 2019 May 17];127(2):303-12; quiz 313-4.

14. American Academy of Family Physicians. SP, Kobos R. Jaundice in the Adult
Patient. In: American Family Physician [Internet]. American Academy of
Family Physicians; 1970 [cited 2019 May 17]. p. 299–304. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html

15. B.L. M, C.C. M. Serositis related to systemic lupus erythematosus: Prevalence


and outcome. Lupus [Internet]. 2005;14(10):822–6.

Anda mungkin juga menyukai