Disusun oleh :
Pembimbing :
TANGERANG
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. I
Usia : 25 tahun
Agama : Islam
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal lantai 5 RSU
Siloam dengan pasien pada tanggal 10 April 2019 pukul 22.00 WIB
Keluhan Utama : lemas yang memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nona I datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan lemas 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit yang dirasakan terus menerus dan memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. lemas dirasakan pada seluruh tubuh. Selain itu
pasien juga mengeluhkan demam naik turun sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit dengan suhu sekitar 38-40oC. pasien juga mengeluhkan adanya
batuk berdahak berwarna putih sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit. gatal dirasakan setiap saat dan pasien sering
menggaruk kulit pasien. Pasien juga mengeluhkan perut dan kaki pasien terasa
membengkak. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan rasa tidak
nyaman pada persendian yang dirasakan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. pasien menyangkal mengalami kerontokan rambut, muntah, maupun
sesak napas. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan meminum
alkohol. Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
maupun asma.
Sebelumnya pada bulan februari 2019 pasien pernah merasakan gejala yang
mirip seperti demam, lemas, gatal dan batuk dan berobat di rumah sakit di
Rangkasbitung yang kemudian di diagnosis mengalami anemia dan penyakit
autoimun systemic lupus erythematous. Kemudian pasien dirujuk ke Rumah
Sakit Ciptomangunkusumo untuk berobat jalan, namun mengatakan keadaan
membaik namun tidak maksimal hingga gejala yang sama muncul kembali dan
berobat ke rumah sakit umum siloam.
Kepala Normosefali
Wajah Normofasialis
Leher Pembesaran KGB (-), tidak ada deviasi trakea, JVP 5 + 2 cm
Mata Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor
3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+.
THT Darah dan sekret dari lubang telinga dan hidung (-), faring hiperemis
(-), atrofi papil lidah (-).
Bibir : Mukosa lembab, sianosis (-)
Lidah : Bercak putih (-), papil atrofi (-)
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-)
Faring : Hiperemis (-/-)
Tonsil : T1/T1
X ray Thorax
Paru : tampak perselubungan pada kedua perihiler dan pericardial kanan
Mediastinum : normal
Trakea dan bronkus : normal
Hilus : melebar
Pleura : normal
Diafragma : normal
Jantung : CTR < 50
Aorta : normal
Vertebra thorakal dan tulang lainnya : normal
Jaringan lunak : normal
Abdomen yang tervisualisasi : normal
Leher yang tervisualisasi : normal
USG abdomen
Hepar : ukuran membesar +/- 16,43 cm. echostruktur parenkim homogeny
normal. Tidak tampak lesi pathologis intraparenkimal. Tidak tampak dilatasi
system bilier maupun vascular intrahepatic. Tampak efusi pleura bilateral.
Organ abdomen lainnya dalam batas normal
Kesan : hepatomegaly, ascites
1.6 Resume
Pasien perempuan 25 tahun datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan
demam naik turun sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan suhu sekitar
38-40oC. pasien juga mengeluhkan adanya lemas dan sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit batuk berdahak berwarna putih sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit yang
dirasakan setiap saat dan pasien sering menggaruk kulit pasien. Pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan dan rasa tidak nyaman pada persendian yang
dirasakan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. pasien menyangkal mengalami
kerontokan rambut, muntah, maupun sesak napas. Pasien menyangkal memiliki
kebiasaan merokok dan meminum alkohol. Pasien menyangkal memiliki riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, maupun asma. Pasien pernah memiliki riwayat rawat di
rumah sakit pada bulan februari 2019 dengan keluhan serupa di Rangkas bitung yang
kemudian di diagnosis mengalami anemia dan penyakit autoimun systemic lupus
erythematous. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, hepatomegaly,
fluid wave (+) lesi pada kulit di tangan, punggung, abdomen, tungkai, didapatkan
edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan USG abdomen terdapat ukuran hepar
membesar +/- 16,43 cm. echostruktur parenkim homogeny normal. Tidak tampak lesi
pathologis intraparenkimal. Tidak tampak dilatasi system bilier maupun vascular
intrahepatic. Tampak efusi pleura bilateral. Hasil lab darah menunjukkan
pansitopenia.
Medikamentosa:
5/4/2019
7/4/2019
8/4/2019
11/4/2019
Transfusi PRC 500ml
13/4/2019
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi,
mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa
yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen. Para penderita lupus sering
disebut dengan odapus (orang dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah drastis
sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola penyakit ini. Lupus
Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, yang tergolong penyakit
kolagen vaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. 1
2.2 Epidemiologi
The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di
amerika dan setidaknya terjadi 5 juta kasus di Indonesia. Setiap tahun diperkirakan
terjadi sekitar 16 ribu kasus baru lupus. Di Indonesia sendiri jumlah penderita lupus
belum diketahui secara tepat, prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di
masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di
Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap total populasi. Kejadian SLE
pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dewasa. Di eropa dan amerika insidensi
SLE pada anak sebesar 6,3 per 100.000 penduduk. Kejadian SLE lebih sering dialami
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 9:1. 2
Pasien dengan SLE dapat memiliki berbagai macam gejala sistemik. Gejala
yang general seperti demam, malaise, arthralgia, myalgia, sakit kepala, berkurangnya
nafsu makan dan turunnya berat badan. Lemas merupakan gejala yang sering
ditemukan pada SLE yang dapat disebabkan oleh SLE aktif, obat-obatan, gaya hidup,
fibromyalgia atau penyakit afektif. Lemas akibat SLE aktif biasanya timbul
bersamaan dengan gejala klinis dan laboratorium. Demam yang merupakan gejala
sering namun tidak spesifik pada dari SLE juga dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab seperti SLE aktif atau infeksi. Penurunan berat badan dapat timbul akibat
SLE aktifm kenaikan berat badan juga dapat timbul akibat penggunaan kortikosteroid
seperti sindrom nefrotik anasarka. Gejala-gejala ini mirip dengan penyakit autoimun
lainnya, infeksi, abnormalitas endokrin, fibromyalgia. 4
2.4.1. Gejala musculoskeletal
Gejala musculoskeletal sangat sering dijumpai pada pasien dengan SLE. Pasien
biasa datang karena nyeri pada persendian terutama pada sendi-sendi kecil seperti
pada tangan dan pergelangan tangan. Arthralgia, arthritis, osteonecrosis dan myopati
sering ditemukan, bahkan arthritis dan arthralgia dapat ditemukan pada 95% kasus
SLE. Biasanya arthralgia dan arthritis pada SLE mengganggu sendi-sendi kecil,
biasanya asimetris, berpindah-pindah dan biasanya ada kaku pagi hari dalam hitungan
menit.
Terdapat empat kriteria diagnostik untuk gejala dermatologi pada SLE. Yang
pertama adanya malar rash yang ditandai dengan adanya lesi eritematous pada pipi
yang bertahan berhari-hari hingga berminggu-minggu yang terkadang nyari atau
gatal. Selain itu yang kedua adalah fotosensitivitas dimana gejala dermatologi timbul
saat terkena eksposur sinar matahari. Yang ketiga adalah lesi discoid setelah terkena
sinar matahari namun berbentuk seperti plaque dengan scarring. Alopecia adalah
gejala yang kurang spesifik dari SLE namun biasa terjadi pada bagian temporal. 5
Ulserasi pada mulut merupakan gejala yang sering ditemukan pada SLE dan
merupakan salah satu dari sebelas kriteria dari the American College of
Rheumatology untuk menentukan SLE. Gejala gastrointestinal yang merupakan
gejala sekunder dari SLE primer dan efek samping dari obat juga sering pada pasien
SLE. Nyeri perut pada SLE merupakan gejala yang signifikan karena dapat
berhubungan langsung dengan lupus aktif seperti peritonitis, pankreatitis, mesenteric
vasculitis dan bowel infarction . namun abnormalitas pada fungsi liver tidak
termasuk dalam kriteria diagnostic SLE karena liver bukanlah target organ utama dari
SLE. Namun begitu lupus hepatitis walaupun jarang akan sedikit meningkatkan
enzim liver seperti aspartate transaminase [AST], alanine transaminase [ALT], lactate
dehydrogenase [LDH], alkaline phosphatase), biasanya pada lupus aktif.
2.5 Patofisiologi
SLE merepresentasikan gejala klinis yang unik dan berbeda dari penyakit
lainnya. SLE memiliki spektrum gejala yang luas dan mencakup banyak sistem
organ. Walaupun gejalanya tidak dapat dikenali secara spesifik, namun yang paling
sering terjadi pada SLE adalah diproduksinya autoantibodi secara abnormal dan
berlebihan serta terjadinya pembentukan imun kompleks. Produksi autoantibodi yang
berlebihan merupakan akibat dari terjadinya hiperaktivitas pada limfosit B.
Hiperaktivitas sel B ini dapat dipicu oleh hilangnya immune self tolerance, tingginya
kadar zat zat yang bersifat antigenik baik yang bersumber dari lingkungan ataupun
self antigen yang dipresentasikan oleh sel B ke sel B lain melalui spesifik antigen
presenting cell, tejadinya perubahan sel T helper tipe 1 menjadi sel T helper tipe 2
yang mendorong sel B untuk memproduksi antibodi, serta terjadinya kerusakan pada
supresor sel B. Selain itu, kerusakan yang terjadi pada proses regulatori imun juga
dapat menyebabkan SLE yang meliputi limfosit T (suppressor T cells), sitokin (e.g.,
interleukins, interferon-γ tumor necrosis factor-α, transforming growth factor-β), dan
natural killer cell.7
2.5 Diagnosis
Klasifikasi SLE mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College
of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997.
Berdasarkan kriteria ACR, manifestasi klinis pasien SLE antara lain seperti lesi pada
kulit, arthritis, gangguan ginjal, kelainan neurologis, perubahan hematologis dan
semua yang masuk dalam kriteria tersebut. Antibody anti-nuclear serum, antibodi anti
ds-DNA dan antibodi anti-Sm merupakan biomarker yang penting untuk penegakkan
diagnosis SLE berdasarkan kriteria ACR. Namun kriteria klasifikasi ACR pada
pasien anak memiliki banyak kelemahan. Kriteria ini telah banyak dikembangkan dan
divalidasi pada pasien dewasa, tetapi tidak demikian pada populasi anak. The
Systemic Lupus Collaborating Clinics mengajukan kriteria SLICC untuk SLE
berdasarkan pemahaman terbaru mengenai autoantibodi dan pentingnya peran
komplemen. Dalam kriteria SLICC, biomarker memegang peran penting dan berguna
untuk membedakan SLE dari penyakit lainnya dan untuk keperluan monitoring
aktivitas penyakit. Pada tahun 2012, Petri dan Magder mempublikasikan validasi
kriteria SLICC untuk klasifikasi SLE. Berdasarkan kriteria SLICC, pasien harus
memenuhi setidaknya 4 dari 17 kriteria, dengan minimal satu kriteria klinis dan satu
kriteria imunologis. Kriteria SLICC dibandingkan dengan kriteria ACR mempunyai
sensitivitas lebih tinggi dan spesifisitas yang setara. Dengan demikian, diharapkan
kriteria SLICC dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis yang lebih baik
dibandingkan kriteria yang dipakai sebelumnya untuk mengidentifikasi pasien anak
dengan SLE. 8
Anemia aplastic adalah anemia akibat kegagalan sumsum tulang belakang yang
ditandai dengan adanya pansitopenia. Penyebab anemia aplastic sebagian besar tidak
diketahui dan bersifat idiopatik . 9
Komplikasi hematologis yang sering terlihat pada SLE, anemia, leukopenia dan
trombositopenia dapat merupakan akibat dari kegagalan sumsum atau kerusakan sel
perifer yang berlebihan, yang semuanya mungkin dimediasi kekebalan. Patogenesis
SLE adalah kompleks, yang meliputi hilangnya toleransi imun, penindasan sel
limfosit B yang cacat, dan respons imun sel limfosit T yang abnormal. Meskipun
patofisiologi anemia aplastik sangat berbeda dengan SLE, Anemia aplastik pada
dasarnya juga merupakan gangguan autoimun. Namun hubungan patogenetik yang
tepat, jika ada, antara kedua penyakit tersebut belum dijelaskan dengan jelas.9
Pasien SLE membutuhkan informasi yang benar serta dukungan orang sekitar
agar pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah
dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari
secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup dan sering melakukan terapi fisik.
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid
Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain
sesuai manifestasi klinis yang dialami.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien ini mengeluhkan adanya demam yang dirasakan naik turun sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam yang pasien rasakan diukur dan
didapatkan suhu sekitar 39-40oc. selain itu pasien juga mengeluhkan adanya rasa
lemas yang dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam
merupakan gejala sistemik sering disertai dengan lemas yang dapat timbul dari
berbagai macam etiologi yang dapat dibagi menjadi demam akibat infeksi atau non
infeksi. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya peningkatan leukosit sehingga
kemungkinan demam akibat infeksi dapat disingkirkan. Selain itu pasien juga
mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman pada persendian namun pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri pada persendian tersebut. Pasien juga tidak dapat
menjelaskan secara rinci mengenai lokasi sendi yang tidak nyaman. Selain itu pasien
juga mengeluhkan adanya gatal pada sekujur tubuh pasien sejak 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit. rasa gatal dirasakan terus menerus dan pasien sering menggaruk
bagian yang gatal.
Dari hasil observasi yang dilakukan pada pasien selama pengobatan di Rumah
Sakit Umum Siloam, pasien mendapatkan transfusi PRC 500ml yang dimana koreksi
hemoglobin tampak signifikan namun belum mencapai target normal. Anemia pada
SLE diakibatkan oleh penyakit kronis. Hal ini dapat ditandai dari nilai MCV, MCH,
MCHC yang pada pasien ini menunjukkan nilai normal.
Pada pasien ini juga ditemukan adanya peningkatan pada SGOT dan SGPT,
serta conjugated hyperbilirubinemia dimana terjadi kenaikan bilirubin total dan direct
dengan kadar bilirubin indirect yang dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga
terdapat pembesaran hepar dimana hepar teraba dua jari dibawah arcus costae. Hal ini
menandakan adanya gangguan fungsi hati dan transpor bilirubin seperti misalnya
inflamasi intrahepatik akibat penyakit autoimun dapat mengganggu transport
bilirubin direct. 14
Pada pasien ini ditemukan adanya pembesaran pada abdomen atau dapat
disebut ascites. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya inflamasi pada membrane
serosa yang pada pasien ini terjadi pada peritoneum yang menyebabkan ascites atau
juga dapat terjadi akibat adanya gagal jantung kanan maupun hypoalbuminemia 15,
namun pada pasien ini kadar albumin tidak diperiksa. Pasien ini juga di diagnosis
dengan TB paru kasus baru berdasarkan hasil Xray thorax dan diberikan obat
rifampicin, isoniazid, dan etambutol.
6. Fayyaz A, Igoe A, Kurien BT, Danda D, James JA, Stafford HA, et al.
Haematological manifestations of lupus. Lupus Sci Med [Internet]. 2015 [cited
2019 May 17];2(1):e000078. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25861458
12. Zuhrial Zubir FA. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia
Aplastik. 2016;1–10.
14. American Academy of Family Physicians. SP, Kobos R. Jaundice in the Adult
Patient. In: American Family Physician [Internet]. American Academy of
Family Physicians; 1970 [cited 2019 May 17]. p. 299–304. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html