Disusun oleh:
Dentiama Jayaprawira
1210221082
FK UPN VETERAN JAKARTA
Dosen Pembimbing:
Letnan Kolonel CKM dr. Agus Sutarman, SpB(K)Onk
Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto
Jakarta
20 Oktober 2014 28 Desember 2014
: Ny. S
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 31 tahun
Tgl. Lahir
: 14 Desember 1983
Pekerjaan
Alamat
Tgl. Masuk RS
: 30 November 2014
1. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 30 November 2014.
Keluhan Utama
Benjolan di leher depan kanan sejak 7 tahun SMRS.
Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien wanita, berusia 31 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya benjolan yang
muncul di leher depan sisi kanan sejak 7 tahun SMRS. Awalnya benjolan dirasakan sebesar
kelereng, tapi seiring berjalannya waktu, benjolan semakin membesar 1 tahun terakhir hingga
berukuran kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Pasien tidak merasakan adanya nyeri di
daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada
mengeluhkan sering berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada
penurunan berat badan. Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan buang air besar,
gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.
Pasien mengaku selalu menggunakan garam beryodium dirumahnya. Pasien mengaku tidak
pernah tinggal didaerah yang penduduknya banyak menderita penyakit gondok. Pasien tidak
pernah berobat sehubungan dengan keluhan yang dialaminya ke dokter.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
Disangkal
Asma
Disangkal
Diabetes mellitus :
Alergi
Disangkal
:
Disangkal
:
:
:
:
:
:
Perkusi
Abdomen
massa (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru depan dan belakang
Auskultasi :Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: Inspeksi :Datar, benjolan (-)
Auskultasi :Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-), massa
(-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Status Lokalis
Regio
: Akral hangat
, edema
, tremor
: Colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas, berukuran +
3 x 3 cm x 2 cm. Warna kulit pada benjolan sama dengan warna
Palpasi
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Nilai Rujukan
13
41
4,5
4800
229.000
200
500
91
30
33
12 - 16 g/dl
37 - 47%
4,3 - 6,0 juta/ul
4800 - 10800/ul
150.000 - 400.000/ul
1 - 3 menit
1 - 6 menit
80 - 96 fl
27 - 32 pg
32 - 36 g/dl
14
23
19
1,0
<40 U/l
<35 U/l
20 - 50 mg/dl
0,5 - 1,5 mg/d
MCH
MCHC
Kimia
SGPT (ALT)
SGOT (AST)
Ureum
Kreatinin
Pemeriksaan Radiologi
Tanggal pemeriksaan : 30 November 2014
Foto Roentgen thorax : Sinus, diafragma, dan cor normal
Kedua hilus normal
Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru
Tak tampak infiltrasi di paru-paru
Kesan: Cor/pulmo normal
4. Resume
Pasien wanita, 31 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya benjolan yang muncul
di leher depan kanan sejak 7 tahun yang lalu. Tidak ada nyeri tekan di daerah leher. Tidak ada
keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering
berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan nafsu makan, gangguan buang air besar,
gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.
Pemeriksaan fisik
Status generalis : Tidak ditemukan kelainan
Status lokalis
: Regio colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas, berukuran + 3 x 3 cm
x 2 cm. Warna kulit pada benjolan sama dengan warna kulit sekitar.
Palpasi
Kesan
5. Diagnosis Kerja
Struma nodosa non-toksik (SNNT)
6. Diagnosis Banding
Karsinoma tiroid
Tiroiditis
Graves disease
7. Penatalaksanaan
Isthmus lobektomi
Laporan Pembedahan
Tanggal
: 1 Desember 2014
Ahli anestesi : dr. Andrianto, SpAn
Ahli bedah : dr. Kristin, SpB
Preoperatif
8. Prognosis
Quo ad vitam
:
bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmeticum : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
STRUMA
Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan. Kelenjar tyroid
mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama
kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan
kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk
sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten
duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan
membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid,
merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid
janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan
syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea
2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan
dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar
tyroid atau tidak. 2
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.2
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl.
Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.2
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 m. Dinding folikel terdiri
dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya
menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000).2
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG)
atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen
(5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3,5 triiodotironin) yang
tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler. 2
Pengaturan faal tiroid : 2
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH
(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi
hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek
hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : 2
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol
dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid
kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester
dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati,
anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma.3,4
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan).
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis
kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih
kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium.
Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen :
Etiologi :
1. Defisiensi Iodium.
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan
pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi.
7. Penyakit deposisi.
8. Resistensi hormon tiroid.
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
10. Silent thyroiditis.
11. Agen-agen infeksi.
12. Suppuratif Akut : bacterial.
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
14. Keganasan Tiroid.
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.
2. Aktivasi reseptor TSH.
Mengenai 1 lobus
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
Batas Jelas
Berdenyut
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan
karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita
usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi.
Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto
Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan
sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan
nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Hampir semua pasien struma nodusa non toksis tidak memiliki keluhan. Pada umumnya
pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan.
Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala
mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Jika ada pasien
yang datang dengan keluhan kelumpuhan nervus rekuren laringeal seperti suara parau sebaiknya
dicurigai kearah keganasan.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening,
sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena
benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium.
Diagnosis
Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan
banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita
pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis
kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma
tiroid tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah
hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o
lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
konsistensi
mobilitas
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang
multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih
keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Pemeriksaan sidik tiroid.
Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per
technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta pemeriksaan in
vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA).
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah mengetahui fungsi bagianbagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara
fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil
sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
o
Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
kista
adenoma
kemungkinan karsinoma
tiroiditis
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah:
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya
satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal
tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi
kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya
ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi
baik (TSH dependence). Terapi supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak
resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet dengan dosis : 3x75 Ug/hari p.o
STRUMA TOKSIK5,6
Struma difus toksik (Graves Disease)
Graves disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Graves terjadi akibat
antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu
sendiri.
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat,
palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi.
Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang
mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan
ekstraokuler.
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan pasien
usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis
hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada
kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis.
Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone
sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat
Penatalaksanaan
Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol
30-60
5-20
Metimazol
30-60
5-20
300-600
5-200
Propiltourasil
3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar.
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif.
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya
tidak ditemukan.
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapat mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti
penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini membutuhkan dosis
radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi
pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi
dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta.
2. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :
Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.
3.
Lee,
Stephanie
L.,
2004.,
Goiter,
Non
Toxic.,
eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
4. Mulinda,
James
R.,
2005.,
Goiter.,
eMedicine.,
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
5. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid.,
In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork.
6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta Kedokteran.,
Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta