CIDERA KEPALA
3. Etiologi
Beberapa etiologi cedera kepala (Yessie dan Andra, 2019):
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan local meliputi contusion serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi):
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk, yaitu cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak atau kedua-duanya.
Akibat cedera tergantung pada (Yessie dan Andra, 2019) :
a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
b. Akselerasi dan deselerasi.
c. Cup dan kontra cup
1) Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.
2) Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.
d. Lokasi benturan
e. Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak. Depresi fraktur: kekuatan yang
mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS
mengalir keluar ke hidung, kuman masuk ke telinga kemudian terkontaminasi CSS
lalu terjadi infeksi dan mengakibatkan kejang.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari cedera kepala (Yessie dan Andra, 2019) :
a.Cedera kepala ringan-sedang
1) Disoerientasi ringan
Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana seseorang yang
mengalami ini tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu,
bahkan bisa saja tidak mengenal dirinya sendiri.
2) Amnesia post traumatik
Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera otak traumatis
ketika seseorang muncul kehilangan kesadaran atau koma.
3) Sakit kepala
Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap atau
mendadak.
4) Mual dan muntah
Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut,
sedangkan muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol sehingga
menyebabkan perut mengeluarkanisinya secara paksa melalui mulut.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang umumnya
disebabkan oleh factor usia atau sering terpapar suara yang nyaring atau keras.
b. Cedera kepala sedang-berat
1) Oedema pulmonal
Edema paru adalah suatu kondisi saat terjadi penumpukan cairan diparu-paru
yang dapat mengganggu fungsi paru-paru. Biasanya ditandai dengan gejala
sulit bernafas.
2) Kejang infeksi
Kejang infeksi adalah kejang yang disebabkan oleh infeksi kumandi dalam
saraf pusat.
3) Tanda herniasi otak
Herniasi otak adalah kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak bergeser dari
posisi normalnya. Kondisi ini dipicu oleh pembengkakan otak akibat cedera
kepala, stroke, atau tumor otak.
4) Hemiparase
Hemiparase adalah kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan
yang dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan otot wajah sehingga sulit untuk
digerakkan.
5) Gangguan akibat saraf kranial
5. Patofisiologi
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau kecelakaan dapat
menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah cedera otak yang terjadi segera
setelah trauma. Cedera kepala primer dapat menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera
kepala ini dapat berlanjut menjadi cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan
kerusakan sel otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah
ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis menyebabkan
peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah. Penurunan
tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan peningkatan tekanan
hidrolistik sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan
odeme dan hematoma pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial. Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala
(Padila, 2015).
6. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari cedera kepala (Andra dan Yessie, 2019):
a. Epilepsi pasca cedera
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru
terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-obat anti kejang
misalnya: fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang
pasca trauma.
b. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian kepala yang mengendalikan fungsi bahasa adala
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan
pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau
infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
c. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan
atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh
kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada
penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
d. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi
normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu
dikenalinya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),
meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan
akan benda-benda penting fungsinya disimpan. Agnosis seringkali terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara
spontan.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa
menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum
terjadinya kecelakaan (amnesia retrograde) atau peristiwa yang terjadi segera
setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung
beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya cedar) dan akan
hilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat
menetap. Mekanisme otak untuk menerima informasi dang mengingatnya kembali
dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, parietalis, dan temporalis.
f. Fistel karotis-kavernosus
Ditandai dengan trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan briit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera.
g. Diabetes insipidus
Disebabkan karena kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar
volume urin encer, menimbulkan hipernatremia, dan deplesi volume.
h. Kejang pasca trauma
Dapat terjadi (dalam 24 jm pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu
minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut, kejang
dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulasan.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic dari cedera (Yessi dan Andra, 2019) :
a. Pemeriksaan diagnostik
b. X ray/CT Scan
1) Hematom serebral
2) Edema serebral
3) Perdarahan intrakranial
4) Fraktur tulang tengkorak
c. MRI: dengan atau tanpa menggunakan kontras
d. Angiografi cerebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
e. EEG: mermperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
Pemeriksaan laboratorium
a. AGD: PO2, PH, HCO2, : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan
AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau
untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
b. Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na berakhir beberapa hari, diikuti dengan dieresis Na, peningkatan
letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c. Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
d. CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan).
e. Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f. Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
mengatasi kejang.
Perubahan
protoregulasi
Perdarahan Gangguan Risiko
dan suplai darah Infeksi
hematoma Kejang
Penurunan
Peningakatan Iskemia kesadaran
TIK
Hipoksia
Bedrest Akumulasi
Peregangan Kompresi total cairan
doramen dan batang otak
Risiko Perfusi
pembuluh
Serebral tidak Bersihan Jalan
darah
Efektif Napas Tidak Efektif
Nyeri akut
Gangguan Gangguan
Integritas Kulit mobilitas
fisik
2. Secondary Survey
a. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan apakah pasien pernah mengalami trauma kepala
sebelumnya atau tidak , dan riwayat pengobatan.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Menanyakan keluhaan pasien saat ini, dan penyebab terjadinya
trauma.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan apakah pasien punya riwayat penyakit keturunan
seperti DM, Hipertensi, Asma.
4) Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
a. kepala : Seluruh kepala diperiksa, cukup sering terjadi bahwa
penderita yang tampaknya cidera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari tetesan luka belakang kepala.
b. Wajah : Apabila ada cedera di sekitar mata jangan lupa untuk
memeriksa mata, karena pembengkakan dimata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
c. Mata : pemeriksaan kornea ada cidera atau tidak, pupil
mengenai isokor serta refleks cahaya, acies virus dan acies
campus
d. Hidung : apabila ada pembengkakan, lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur
e. Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membran
timpani atau ketidakmampuan
f. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
g. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur, perhatikan
adanya tanda fraktur basis
h. Crania : hasil hematom atau raccoon eyes (mata panda), blody
rinorhea(peradangan hidung), bloody otorhe (pendarahan
telinga) dan battle sig(lebam di belakang telinga)
i. Leher : Pada pemeriksaan leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan
seseorang untuk melakukan fiksi pada kepala. Untuk leher
daerah belakang, jika akan dilakukan inspeksi, penderita harus
dimiringkan dengan “log roll”. Inspeksi- palpasi deformitas
(perubahan bentuk), contusio (memar), abrasi (babras),
penetrasi (tusukan), burn (luka bakar), laserasi (robek),
swelling (bengkak), tendernes, instability (tidak stabil) tidak
boleh ditekan,crepitasi, juguler, vena, distensi
j. Thoraks : Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi-palpasi
untuk menemukan deforitas, contusio, abrasi, penetrasi,
paradoksal, burn, laserasi, swelling
k. Abdomen : Inspeksi deformitas, contusio, abrasio, penetrasi,
burn, laserasi, swelling. Palpasi pada 4 kuadran : Apabila perut
seperti papan, tanda adanya pendarahan internal
l. Pelvis : Inspeksi-palpasi untuk menemukan deforitas, contusio,
abrasi, penetrasi, paradoksal, burn, laserasi, swelling,
tenderness, instability (tidak stabil) ditekan pada dua sias, dan
crepitasi. Jika pada primary survey sudah ditemukan nyeri pada
pelvis maka TIC tidak diperiksa lagi
m. Genetalia: Inspeksi pada daerah meatus uretra atau paling luar,
adanya pendarahan, pembengkakan dan memar.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan benda
asing dalam jalan napas
2. Risiko Perfusi Serebral tidak Efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi dab suplai oksigen ke otak
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik
D. Intervensi Keperawatan
Tgl/Jam Dx. Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Tindakan
6-12-2021 Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan benda asing keperawatan 1x8 jam oksigenasi dan/atau
Observasi:
dalam jalan napas eliminasi karbondioksida pada membran
alveolus-kapiler Normal. 1. Monitor pola nafas
2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
Dengan kriteria hasil:
upaya napas
1. Batuk Efektif meningkat (5) 3. Monitor saturasi oksigen, monitor nilai
2. Produksi Sputum menurun (5) AGD
3. Wheezing menurun (5) 4. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
4. Sianosis menurun (5) 5. Monitor produksi sputum
5. Gelisah menurun (5)
6. Pola Napas membaik (5) Terapeutik
7. Frekuensi napas membaik (5)
1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
6-12-2021 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan TIK
berhubungan dengan penurunan keperawatan 1x8 jam diharapkan tidak
konsentrasi dan suplai oksigen ke otak Observasi
terjadi risiko perfusi serebral tidak
efektif.kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran meningkat (5) 3. Monitor MAP
2. Tekanan intrakranial menurun (5) Terapeutik
3. Sakit kepala menurun (5) 1. Berikan posisi semi fowler
4. Kecemasan menurun (5) 2. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
5. Tekanan darah sistolik membaik (5) 3. Cegah terjadinya kejang
6. Tekanan darah diastolik membaik (5) Kolaborasi
7. Reflex saraf membaik membaik (5) 1. Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
6-12-2021 Nyeri akut b.d dengan agen injuri fisik Setelah dilakukan intervensi selama 1x3 Manajemen Nyeri
jam diharapkan tingkat nyeri menurun,
Observasi
dengan kriteria hasil :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri menurun (5)
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Meringis menurun (5)
2. Identifikasi skala nyeri
3. Gelisah menurun (5)
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Kesulitan tidur menurun (5)
5. Frekuensi nadi membaik (5)
6. Tekanan darah membaik (5) Terapeutik
7. Pola napas membaik (5)
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Edukasi
1. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian
Analgesik
Daftar Pustaka