OLEH:
B. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Cidera tulang belakang adalah ciderayang mengenai cervicalis, vertebralis
dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga, dan sebagainua yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis, dan lumbalis akubat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Chairudin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal
pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus
diperlakukan secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang,
dan sumsum tulang belakang (Arif, 2008).
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001)
Spinal cord injury (SCI) merupakan trauma pada medulla spinalis yang
merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat
bervariasi berupa trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olah raga, luka tusuk dan sebagainya yang dapat menyebabkan
paralisis, quadriplegi hingga kematian
2. Etiologi
Penyebab cedera atau trauma pada tulang belakang menurut Bulechek, M
Gloria dkk (2016) adalah:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan karena olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
3. Klasifikasi
Klasifikasi berdarkan tingkat keparahan pada kasus trauma tulang belakang
adalah:
a. Klasifikasi Frankel
Grade A: Motorik (-), Sensoris (-)
Grade B: Motorik (-), Sensoris (+)
Grade C: Motorik (+) dengan ROM 2 atau 3, Sensoris (+)
Grade D: Motorik (+) dengan ROM 4, Sensoris (+)
Grade E : Motorik (+), Sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motorik (-), Sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Motorik (-), Sensoris (+)
Grade C : Motorik (+) dengan kekuatan otot <3
Grade D : Motorik (+) dengan kekuatan otot >3
Grade E : Motorik dan Sensoris normal
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal
terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama
1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid,
anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung
kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih
kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan
otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu
pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. keadaan ini pada
umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. cedera tersebut dapat terjadi pada orang
yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang
sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese
parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas
sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2
mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi,
impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma
dan apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah
manifestasi berdasarkan lokasi trauma menurut Batti (2008) :
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis
kaki.
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
h. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya
nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan
bladder.
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
5. Komplikasi
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas
bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi
hipotensi.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.
d. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislok)
b. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
c. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
d. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
e. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
7. Penatalaksanaan
Tiga fokus utama penanganan awal pasien cedera medula spinalis yaitu
mempertahankan usaha bernafas, mencegah syok dan imobilisasi leher (neck
collar dan long spine board). Selain itu, fokus selanjutnya adalah
mempertahankan tekanan darah dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah
komplikasi ( retensi urin atau alvi, komplikasi kardiovaskuler atau respiratorik,
dan trombosis vena-vena profunda).
Terapi Utama :
a. Farmakologi : Metilprednisolon 30 mg / kg bolus selama 15 menit, lalu 45
menit setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4
mg/kg/jam selama 23 jam.
b. Imobilisasi :
1) Pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien
2) Traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gardner – Wellsbrace pada tengkorak
3) Tirah baring total dan pakaian brace halo untuk pasien dengan fraktur
servikal ringan.
c. Bedah : Untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia
diskus atau fraktur vertebrata yang mungkin menekan medula spinalis; juga
diperlukan untuk menstabilisasi vertebrata untuk mencegah nyeri kronis.
d. Fisioterapi sangat penting dalam memaksimalkan pulihnya fungsi neurologis
e. Tindakan –tindakan untuk mengurangi pembengkakan pada medulla spinalis
dengan menggunakan glukokortikoid steroid intravena.
C. WOC Kecelakaan lalu lintas, Kompresi atau tekanan pada tulang belakang, Kecelakaan karena
olah raga, Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra, Gangguan spinal bawaan atau
cacat sejak kecil
2. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma,
kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan, sensorik dan
motorik
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera,
pengobatan dan namanya imobilitas.
d. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat
gangguan autonomic.
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
f. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
g. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi
h. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
i. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menelan.
j. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap
paralisis.
k. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
3. Intervensi Keperawataan
N Diagnosa Perencanaan
o Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan pasien Airway management
efektif berhubungan menunjukkan keefektifan pola nafas, 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan kelumpuhan dibuktikan dengan kriteria hasil: 2. Pasang mayo bila perlu
otot diafragma, Mendemonstrasikan batuk efektif 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kelemahan dengan dan suara nafas yang bersih, tidak 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
paralisis otot ada sianosis dan dyspneu (mampu 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
abdominal dan mengeluarkan sputum, mampu 6. Berikan bronkodilator :
interkostal serta bernafas dg mudah, tidakada pursed 7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
ketidak mampuan lips) 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
untuk membersihkan Menunjukkan jalan nafas yang 9. Monitor respirasi dan status O2
sekresi paten (klien tidak merasa tercekik, 10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
irama nafas, frekuensi pernafasan 11. Pertahankan jalan nafas yang paten
Do: sesak nafas, dalam rentang normal, tidak ada 12. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
terdapat tarikan suara nafas abnormal) 13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
diafragma, sianosis, Tanda Tanda vital dalam rentang 14. Monitor vital sign
hasil GDA: PaO2 < 80, normal (tekanan darah, nadi, 15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
PaCo2 > 45, RR = 28 pernafasan) relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
x/menit 16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
Ds: pasien mengatakan 17. Monitor pola nafas
kesulitan bernafas
2 Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity Daily Living
fisik berhubungan dng gangguan mobilitas fisik teratasi dengan 1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
kelumpuhan, kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
kerusakan Klien meningkat dalam aktivitas mandiri sesuai kemampuan
muskuloskelettal dan fisik 3. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
neuromuskuler Mengerti tujuan dari peningkatan penuhi kebutuhan ADLs ps.
mobilitas 4. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
Do: ada kontraktur, Memverbalisasikan perasaan 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
kekuatan otot (ROM dalam meningkatkan kekuatan dan bantuan jika diperlukan
menurun), cedera atau kemampuan berpindah 6. Bantu pasien makan dan minum (menyuapi, mendekatkan
lesi pada servikal Memperagakan penggunaan alat alat-alat dan makanan/minuman)
Ds: pasien mengatakan Bantu untuk mobilisasi 7. Pertahankan kesehatan dan kebersihan mulut pasien
tidak dapat melakukan 8. Bantu pasien mamakai pakaiannya
pergerakan pada 9. Libatkan keluarga dan ajarkan cara memakaikan pakaian
tangan dan kaki pada pasien
10. Memandikan pasien
11. Libatkan keluarga untuk membantu memandikan pasien
12. Lakukan perawatan mata, rambut, kaki, mulut, kuku dan
perineum
13. Bantu pasien bak/bab
14. Lakukan perawatan inkontinensia usus
15. Manajemen nutrisi
16. Libatkan keluarga dalam perawatan
3 Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Paint management
nyeri berhubungan Pasien tidak mengalami nyeri, dengan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk
dengan adanya cedera, kriteria hasil: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
pengobatan dan Mampu mengontrol nyeri (tahu presipitasi
namanya imobilitas prnyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
menggunakan tekhnik 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
Do: wajah pasien nonfarmakologi untuk mencari dukungan
meringis, skala nyeri nyeri, mencari bantuan) 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
4-6, luka atau lesi di Melaporkan bahwa nyeri suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
tempat yang berkurang dengan menggunakan 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
mengalami cedera manajemen nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ds: pasien mengeluh Mampu mengenali nyeri (skala, 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam,
nyeri pada daerah yang intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
cedera Menyatakan rasa nyaman setelah 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
nyeri berkurang 9. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah pemberian
Tanda vital dalam rentang normal analgesik pertama kali
Tidak mengalami gangguan tidurAnalgetic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, frekuensi
3. Cek riwayat alergi
Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK- UI,
Jakarta.
Batti caca, Fran sisca B .2008 . Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan system
persyarafan.Jakarta : Salemba Medika
Bulechek, M Gloria dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi bahasa
Indonesia. Elsevier Singapore Pte Ltd.
Doenges, Moorhause & Geisher, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ECG- Kedokteran,
Jakarta.
Moorhead, Sue. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi bahasa Indonesia.
Elsevier Singapore Pte Ltd.
Muttaqim, Arif .2008 .Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem saraf
Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 12. Jakarta : EGC.
Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
ECG-Kedokteran, Jakarta.