Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA TULANG BELAKANG


(SPINAL CORD INJURI)
DI RUANG SERUNI RSD dr. SOEBANDI JEMBER
PERIODE 19 – 24 APRIL 2021

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di Stase


Keperawatan Medikal Bedah

OLEH:

Bambang Triono, S.Kep


NIM. 2001031045

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA TULANG BELAKANG
(SPINAL CORD INJURI)

A. ANATOMI TULANG BEKALANG


Tulang Belakang (Spinal cord injuri) secara medis dikenal sebagai columna
vertebralis (Malcolm, 2002). Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang
belakang. Diantara setiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan.
Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa mencapai 57 sampai 67
sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang
terpisah dan 9 ruas sisanya dikemudian hari menyatu menjadi sakrum 5 buah dan
koksigius 4 buah (Pearce, 2006).
Tulang vertebra merupakan struktur komplek yang secara garis besar terbagi
atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis
(sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale anterior dan
posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis
vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot
penyokong dan pelindung kolumna vertebrae. Bagian posterior vertebra antara satu
dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (faset). Stabilitas vertebra tergantung
pada integritas korpus vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan
penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan otot (aktif) (Pearce, 2006).

Vertebra dikelompokan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya,


yaitu:
1. Vertebra Servikal
Vertebra servikal terdiri dari tujuh tulang atau ruas tulang leher, ruas tulang leher
adalah yang paling kecil. Ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri
badanya kecil dan persegi panjang, lebih panjang ke samping daripada ke depan
atau ke belakang. Lengkungnya besar, prosesus spinosus atau taju duri ujungnya
dua atau bivida. Prosesus transverses atau taju sayap berlubang-lubang karena
banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis (Pearce, 2006).
2. Vertebra Torakalis
Vertebra torakalis terdiri dari dua belas tulang atau nama lainnya ruas tulang
punggung lebih besar dari pada yang servikal dan disebelah bawah menjadi lebih
besar. Ciri khasnya adalah badannya berbentuk lebar lonjong dengan faset atau
lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil, taju
duri panjang dan mengarah kebawah, sedangkan taju sayap yang membantu
mendukung iga adalah tebal dan kuat serta memuat faset persendian untuk iga
(Pearce, 2006).
3. Vertebra Lumbalis
Vetebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah ruas
tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah yang terbesar. Taju durinya lebar
dan berbentuk seperti kapak kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing. Ruas
kelima membentuk sendi dan sakrum pada sendi lumbo sacral (Pearce, 2006).
4. Vertebra Sakralis
Vertebra sakralis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah tulang
kelangkang. Tulang kelangkang berbentuk segi tiga dan terletak pada bagian
bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata. Dasar dari
sakrum terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan
membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis sakrum
membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah kanalis
vertebra. Dinding kanalis sakralis berlubang-lubang untuk dilalui saraf sakral.
Taju duri dapat dilihat pada pandangan posterior dan sakrum.
5. Vertebra Kosigeus
Vertebra Kosigeus nama lainnya adalah tulang tungging. Tulang tungging terdiri
dari empat atau lima vertebra yang rudimenter yang bergabung menjadi satu
(Pearce, 2006). Fungsi dari kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang
adalah bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh sekaligus juga bekerja
sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis
yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan membengkok
tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi
bila menggerakan berat seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian
otak dan sumsum tulang belakang terlindung terhadap goncangan. Gelang
panggul adalah penghubung antara badan dan anggota bawah. Sebagian dari
kerangka axial, atau tulang sakrum dan tulang koksigeus, yang letaknya terjepit
antara dua tulang koxa, turut membentuk tulang ini. Dua tulang koxa itu bersendi
satu dengan lainnya di tempat simfisis pubis (Pearce, 2006).

B. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Cidera tulang belakang adalah ciderayang mengenai cervicalis, vertebralis
dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga, dan sebagainua yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis, dan lumbalis akubat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Chairudin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal
pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus
diperlakukan secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang,
dan sumsum tulang belakang (Arif, 2008).
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001)
Spinal cord injury (SCI) merupakan trauma pada medulla spinalis yang
merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat
bervariasi berupa trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olah raga, luka tusuk dan sebagainya yang dapat menyebabkan
paralisis, quadriplegi hingga kematian
2. Etiologi
Penyebab cedera atau trauma pada tulang belakang menurut Bulechek, M
Gloria dkk (2016) adalah:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan karena olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
3. Klasifikasi
Klasifikasi berdarkan tingkat keparahan pada kasus trauma tulang belakang
adalah:
a. Klasifikasi Frankel
Grade A: Motorik (-), Sensoris (-)
Grade B: Motorik (-), Sensoris (+)
Grade C: Motorik (+) dengan ROM 2 atau 3, Sensoris (+)
Grade D: Motorik (+) dengan ROM 4, Sensoris (+)
Grade E : Motorik (+), Sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motorik (-), Sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Motorik (-), Sensoris (+)
Grade C : Motorik (+) dengan kekuatan otot <3
Grade D : Motorik (+) dengan kekuatan otot >3
Grade E : Motorik dan Sensoris normal
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal
terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama
1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid,
anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung
kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih
kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan
otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu
pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. keadaan ini pada
umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. cedera tersebut dapat terjadi pada orang
yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang
sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese
parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas
sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2
mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi,
impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa
Manifestasi  klinis  bergantung  pada  lokasi  yang  mengalami  trauma 
dan apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah
manifestasi berdasarkan lokasi trauma menurut Batti (2008) :
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis
kaki.
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
h. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya
nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan
bladder.
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
5. Komplikasi
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas
bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi
hipotensi.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.
d. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislok)
b. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
c. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
d. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
e. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
7. Penatalaksanaan
Tiga fokus utama penanganan awal pasien cedera medula spinalis yaitu
mempertahankan usaha bernafas, mencegah syok dan imobilisasi leher (neck
collar dan long spine board). Selain itu, fokus selanjutnya adalah
mempertahankan tekanan darah dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah
komplikasi ( retensi urin atau alvi, komplikasi kardiovaskuler atau respiratorik,
dan trombosis vena-vena profunda).
Terapi Utama :
a. Farmakologi : Metilprednisolon 30 mg / kg bolus selama 15 menit, lalu 45
menit setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4
mg/kg/jam selama 23 jam.
b. Imobilisasi :
1) Pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien
2) Traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gardner – Wellsbrace pada tengkorak
3) Tirah baring total dan pakaian brace halo untuk pasien dengan fraktur
servikal ringan.
c. Bedah : Untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia
diskus atau fraktur vertebrata yang mungkin menekan medula spinalis; juga
diperlukan untuk menstabilisasi vertebrata untuk mencegah nyeri kronis.
d. Fisioterapi sangat penting dalam memaksimalkan pulihnya fungsi neurologis
e. Tindakan –tindakan untuk mengurangi pembengkakan pada medulla spinalis
dengan menggunakan glukokortikoid steroid intravena.
C. WOC Kecelakaan lalu lintas, Kompresi atau tekanan pada tulang belakang, Kecelakaan karena
olah raga, Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra, Gangguan spinal bawaan atau
cacat sejak kecil

Trauma tulang belakang

Cedera Columba vertebralis


Cedera medulla Spinalis

Kerusakan jalur simpatik desenden Peradangan mikroskopik Blok saraf parasimpatis

Terputus jaringan saraf di Reaksi Peradangan Kelumpuhan otot


medulla spinalis pernapasan
Syok spinal Edema / Reaksi Anastetik
Paralisis dan Paraplegia Pembengkakan
Iskemia dan Hipoksemia
Reaksi nyeri Ileus paralitik,
Penekanan saraf gangguan fungsi
Hambatan mobilitas
Nyeri dan Pembuluh rectum dan Gangguan pertukaran
fisik
Akut darah kandung kemih gas

Kelemahan Fisik Perfusi jaringan Gangguan


Penekanan jaringan tidak efektif eliminasi Urine
Kemampuan batuk
setempat dan Alvi
menurun
Defisit Perawatan Diri

Resiko kerusakan Resiko


integritas kulit ketidakefektifan
bersihan jalan napas
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Konsep asuhan keperawaatan pada klien dengan trauma tulang belakang adalah
sebagai berikut:
1. Pengkajian
a. Data Demografi
Tauma tulang belakang dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin
b. Keluhan Utama
1) Kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas
2) Nyeri Tekan otot
3) Hiperparestesi tepat di atas daerah trauma
4) Mengalami deformitas pada daerah trauma
c. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti
jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, atau luka tembak
2) Pengkajian yang didapat yaitu hilangnya sensibilitas, paralisis ( dimulai
dari paralisis layu disertai hilangnya sensiblitas yang total dan
melemah/menghilangnya reflex profunda, Ileus paralitik, Retensi urin,
Hilangnya reflex-reflex
d. Riwayat Penyakit Terdahulu
1) Adanya riwayat hipertensi
2) Riwayat cedera tulang belakang sebelumnya
3) DM
4) Penyakit Jantung
5) Anemia
6) Penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif
dan
7) konsumsi alkohol berlebihan
e. Riwayat Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
DM
f. Pengkajian Psikososiospiritual
1) Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta rspon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
2) Apakah ada dampak yang timbul pada klien yang timbul seperti ketakutan
atau kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image)
3) Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan
manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang mengalami cedera tulang
belakang
4) Cedera tulang belakang memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan
dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor
biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan
keluarga
5) Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
g. Pemeriksaan Fisik
1) B1 ( Breathing )
a) Inspeksi Umum
- Klien batuk
- Peningkatan produksi sputum
- Sesak nafas
- Penggunaan otot bantu nafas
- Peningkatan frekuensi pernafasan
- Terdapat retraksi interkostalis
- Pengembangan paru tidak simetris
- Ekspansi dada : dinilai penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi
pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga dan
pneumotoraks.
- Pada observasi ekspansi dada juga dinilai : retraksi dari otot-otot
interkostal, subsernal, pernafasan abdomen, dan respirasi paradoks.
Pola nafas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis
b) Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thorax
c) Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
torax/hemotoraks
d) Auskultasi
Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronki, pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang dengan
penurunan tingkat kesadaran koma
2) B2 ( Blood )
- Syok hipovolemik
- TD menurun
- Nadi brakikardi
- Berdebar-debar
- Pusing saat melakukan perubahan posisi
- Brakikardi ekstremitas dingin atau pucat
3) B3 ( Brain )
- Pengkajian Tingkat Kesadaran (Letargi, Stupor, Semikomatosa, Koma)
- Pengkajian Fungsi Serebral
Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah dan aktifitas motorik klien. Pada klien yang telah lama
menderita cedera tulang belakang biasanya status mental klien mengalami
perubahan
4) B5 ( Bowel )
- Ileus paralitik ( hilangnya bising usus, kembung, dan defekasi tidak ada )
- Pemeriksaan reflek bulbokavernosa didapatkan positif
- Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi yang
kurang
- Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi.
5) B6 ( Bone )
- Disfungsi motorik ( kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh ekstremitas
bawah )
- Kaji warna kulit : warna kebiruan
- Adanya kesulitan untuk beraktifitas karena kelemahan, kehilangan sensori
dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktifitas dan istirahat

Sedangkan menurut sember lain dari (Carpenito (2000), Doenges at al


(2000)) pengkajiannya adalah sebagai berikut:
1) Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal
2) Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
hipotensi, brakikardi, ekstremitas dingin atau pucat
3) Eliminasi : inkontensia defekasi dan berkemih, retensi urin, distensi perut,
peristaltik hilang
4) Intgritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
5) Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
6) Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
7) Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki paralisis
flasid, hilangnya sensasin dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil
8) Kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan
mengalami deformitas pada daerah trauma
9) Pernafasan : nafas pendek, ada ronki, pucat, sianosis
10) Keamanan : suhu yang naik turun

2. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma,
kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan, sensorik dan
motorik
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera,
pengobatan dan namanya imobilitas.
d. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat
gangguan autonomic.
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
f. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
g. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi
h. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
i. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menelan.
j. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap
paralisis.
k. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
3. Intervensi Keperawataan

N Diagnosa Perencanaan
o Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan pasien Airway management
efektif berhubungan menunjukkan keefektifan pola nafas, 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan kelumpuhan dibuktikan dengan kriteria hasil: 2. Pasang mayo bila perlu
otot diafragma,  Mendemonstrasikan batuk efektif 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kelemahan dengan dan suara nafas yang bersih, tidak 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
paralisis otot ada sianosis dan dyspneu (mampu 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
abdominal dan mengeluarkan sputum, mampu 6. Berikan bronkodilator :
interkostal serta bernafas dg mudah, tidakada pursed 7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
ketidak mampuan lips) 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
untuk membersihkan  Menunjukkan jalan nafas yang 9. Monitor respirasi dan status O2
sekresi paten (klien tidak merasa tercekik, 10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
irama nafas, frekuensi pernafasan 11. Pertahankan jalan nafas yang paten
Do: sesak nafas, dalam rentang normal, tidak ada 12. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
terdapat tarikan suara nafas abnormal) 13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
diafragma, sianosis,  Tanda Tanda vital dalam rentang 14. Monitor  vital sign
hasil GDA: PaO2 < 80, normal (tekanan darah, nadi, 15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
PaCo2 > 45, RR = 28 pernafasan) relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
x/menit 16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
Ds: pasien mengatakan 17. Monitor pola nafas     
kesulitan bernafas
2 Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity Daily Living
fisik berhubungan dng gangguan mobilitas fisik teratasi dengan 1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
kelumpuhan, kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
kerusakan  Klien meningkat dalam aktivitas mandiri sesuai kemampuan
muskuloskelettal dan fisik 3. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
neuromuskuler  Mengerti tujuan dari peningkatan penuhi kebutuhan ADLs ps.
mobilitas 4. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
Do: ada kontraktur,  Memverbalisasikan perasaan 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
kekuatan otot (ROM dalam meningkatkan kekuatan dan bantuan jika diperlukan
menurun), cedera atau kemampuan berpindah 6. Bantu pasien makan dan minum (menyuapi, mendekatkan
lesi pada servikal  Memperagakan penggunaan alat alat-alat dan makanan/minuman)
Ds: pasien mengatakan Bantu untuk mobilisasi 7. Pertahankan kesehatan dan kebersihan mulut pasien
tidak dapat melakukan 8. Bantu pasien mamakai pakaiannya
pergerakan pada 9. Libatkan keluarga dan ajarkan cara memakaikan pakaian
tangan dan kaki pada pasien
10. Memandikan pasien
11. Libatkan keluarga untuk membantu memandikan pasien
12. Lakukan perawatan mata, rambut, kaki, mulut, kuku dan
perineum
13. Bantu pasien bak/bab
14. Lakukan perawatan inkontinensia usus
15. Manajemen nutrisi
16. Libatkan keluarga dalam perawatan
3 Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Paint management
nyeri berhubungan Pasien tidak mengalami nyeri, dengan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk
dengan adanya cedera, kriteria hasil: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
pengobatan dan  Mampu mengontrol nyeri (tahu presipitasi
namanya imobilitas prnyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
menggunakan tekhnik 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
Do: wajah pasien nonfarmakologi untuk mencari dukungan 
meringis, skala nyeri nyeri, mencari bantuan) 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
4-6, luka atau lesi di  Melaporkan bahwa nyeri suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
tempat yang berkurang dengan menggunakan 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
mengalami cedera manajemen nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ds: pasien mengeluh  Mampu mengenali nyeri (skala, 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam,
nyeri pada daerah yang intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
cedera  Menyatakan rasa nyaman setelah 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
nyeri berkurang 9. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah pemberian
 Tanda vital dalam rentang normal analgesik pertama kali
 Tidak mengalami gangguan tidurAnalgetic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, frekuensi
3. Cek riwayat alergi
Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK- UI,
Jakarta.

Batti caca, Fran sisca B .2008 . Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan system
persyarafan.Jakarta : Salemba Medika

Bulechek, M Gloria dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi bahasa
Indonesia. Elsevier Singapore Pte Ltd.

Bruner & Suddarth, 2005, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECGKedokteran,


Jakarta.

Doenges, Moorhause & Geisher, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ECG- Kedokteran,
Jakarta.

Herdman, Heather T & Kamitsuru, Shigemi. NANDA-I. Diagnosis Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi 2018-2020. Penerbit Buku Kedokteran. EGC

Moorhead, Sue. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi bahasa Indonesia.
Elsevier Singapore Pte Ltd.

Muttaqim, Arif .2008 .Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem saraf
Jakarta : Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 12. Jakarta : EGC.

Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
ECG-Kedokteran, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai