Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN FRAKTUR TIBIA DI RUANG IGD RSUP DR. KARIADI


SEMARANG

Disusun Oleh :
Dita Rosita
G3A018085

PROGRAM STUDI PROFFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR TIBIA

A. Definisi
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk
from within (dari dalam), atau from without (dari luar).
Fraktur Compound (terbuka) adalah fraktur yang menyebabkan
robeknya kulit (Corwin,2012).
Fraktur terbuka karena itegritas kulit robek atau terbuka dan ujung
tulang menonjol sampai menembus kulit ( Reeves,2012).

B. Etiologi
Penyebab fraktur adalah: trauma, karena kecelakaan dari
kendaraan, jatuh, olahraga dan sekunder dari penyakit; osteogenis
imperfekta dan kanker (Suriadi, 2012). Pada orang tua, perempuan lebih
sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan
hormone pada menopause (Reeves, 2012)

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah Nyeri(pain), hilangnya nyeri
(Fungsiolesa), deformitas, pemendekan ekstermitas, kripitasi,
pembengkakan local, dan perubahan warna (Smeltzer,2012)
Gejala umum fraktur adalah rasa sakit, pembengkakan dan
kelainan bentuk ( Reeves,2012).

D. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung dan tak langsung serta
kondisi patologis, setelah terjadi fraktur dapat mengakibatkan
diskontinuitas tulang dan pergeseran fragmen tulang. Pergeseran fragmen
tulang otomatis menimbulkan adanya nyeri. Diskontinuitas tulang dapat
berakibat perubahan jaringan sekitar lalu terjadi pergeseran fragmen tulang
kemudian terjadi deformitas dan gangguan fungsi yang berujung gangguan
imobilitas fisik. Perubahan jaringan sekitar juga dapat menyebabkan
laserasi kulit dimana terjadi kerusakan integritas kulit jika sampai
menyebabkan putus vena/arteri akan terjadi perdarahan lalu kehilangan
volume cairan yang berujung syok hipovolemik. Selain laserasi kulit juga
berakibat ke spasme otot yang meningkatkan tekanan kapiler terjadi
pelepasan histamin, protein plasma hilang maka terjadi edema yang
menyebabkan penekanan pembuluh darah dan dapat terjadi penurunan
perfusi jaringan. Diskotinuitas akibat terjadinya fraktur dapat
mengakibatkan terjadi kerusakan fragmen tulang yang selanjutnya dapat
mengakibatkan tekanan sesama tulang lebih tinggi daripada kapiler
kemudian terjadi reaksi stres pasien dimana terjadi pelepasan katekolamin
yang memobilisasi asam lemak bergabung dengan trombosit maka
terjadilah emboli yang akan menyumbat pembuluh darah.
E. Pathways
F. Klasifikasi Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka terdapat klasifikasi berdasarkan derajat luka antara
lain :
Derajat I:
- Luka < 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, tranversal, atau kominutif ringan
- Kontaminasi minimal
Derajat II :
- Luka > 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat
ukuran luka
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar
kontaminasi massif
- Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2012), pemeriksaan diagnostik untuk fraktur terbuka,
yaitu:
1. Pemeriksaan rontgen: menetukan lokasi/luasnya fraktur trauma
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI :memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun, pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ respon
stress normal setelah trauma
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliners
ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfuse multiple, atau cedera hati.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut mansjoer (2012), fraktur biasanya menyertai trauma. Itu
sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas
(airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) apakah
terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu
terjadinya kecelakaan penting dinyatakan untuk mengetahui berapa lama
sampai di RS, meningkat golden, period 1-6 jam, bila lebih dari 6 jam,
komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara cepat, singkat dan lengkap, kemudian lakukan foto radiologi.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih pada jaringan lunak selain memudahkan
proses pembuatan foto.
Tindakan pada foto fraktur terbuka harus dilakukan secepat
mungkin, penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi,
waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period).
Berikan antibiotic untuk kuman gram positif dan negative dengan dosis
tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka
fraktur terbuka. Teknik debrimen adalah sebagai berikut:
1. Lakukan narcosis umum atau anastesi lokal bila luka ringan atau kecil.
2. Bila luka cukup luas, pasang dulu torniket (pompa atau esmard)
3. Cuci seluruh esktremitas selama 5-10 menit, kemudian lakukan
pencukuran, lalu diirigasi dengan cairan NaCl steril atau air matang 5-
10 menit sampai bersih.
4. Lakukan tidakan desinfeksi dan pemasangan dulu.

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
2. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
4. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi)
2) Cape au lait spot (birth mark)
3) Fistulae.
4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi
5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit
2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal)
4) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c. Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
J. Diagnosa Keperawatan
Risiko cedera berhubungan dengan gangguan integritas tulang
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Pertahankan tirah baring dan Meningkatkan stabilitas,
imobilisasi sesuai indikasi. meminimalkan gangguan akibat
perubahan posisi.
2. Bila terpasang gips/bebat, sokong Mencegah gerakan yang tak perlu
fraktur dengan bantal atau akibat perubahan posisi.
gulungan selimut untuk
mempertahankan posisi yang
netral.
3. Evaluasi pembebat terhadap Penilaian kembali pembebat perlu
resolusi edema. dilakukan seiring dengan
berkurangnya edema
4. Bila terpasang traksi, Traksi memungkinkan tarikan pada
pertahankan posisi traksi (Buck, aksis panjang fraktur tulang dan
Dunlop, Pearson, Russel) mengatasi tegangan otot untuk
mempercepat reunifikasi fragmen
tulang
5. Yakinkan semua klem, katrol dan Menghindari iterupsi penyambungan
tali berfungsi baik. fraktur.
6. Pertahankan integritas fiksasi Keketatan kurang atau berlebihan
eksternal. dari traksi eksternal (Hoffman)
mengubah tegangan traksi dan
mengakibatkan kesalahan posisi.
7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol Menilai proses penyembuhan tulang.
foto.

Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas Meningkatkan aliran balik vena,
yang terkena. mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif. meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi) kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan teknik Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri yang mungkin berlangsung
dipersional) lama
6. Lakukan kompres dingin selama Menurunkan edema dan mengurangi
fase akut (24-48 jam pertama) rasa nyeri.
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui
sesuai indikasi. mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, Menilai erkembangan masalah klien.
petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)

Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran


darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan
melakukan latihan mencegah kekakuan sendi.
menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi Mencegah stasis vena dan sebagai
akibat tekanan bebat/spalk yang petunjuk perlunya penyesuaian
terlalu ketat. keketatan bebat/spalk.
3. Pertahankan letak tinggi Meningkatkan drainase vena dan
ekstremitas yang cedera kecuali menurunkan edema kecuali pada
ada kontraindikasi adanya adanya keadaan hambatan aliran
sindroma kompartemen. arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
4. Berikan obat antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya
(warfarin) bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
5. Pantau kualitas nadi perifer, Mengevaluasi perkembangan
aliran kapiler, warna kulit dan masalah klien dan perlunya intervensi
kehangatan kulit distal cedera, sesuai keadaan klien.
bandingkan dengan sisi yang
normal.

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan


membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan
dalam dan latihan batuk efektif. perfusi.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi meningkatkan drainase
posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti
klien. paru.
3. Kolaborasi pemberian obat Mencegah terjadinya pembekuan
antikoagulan (warvarin, heparin) darah pada keadaan tromboemboli.
dan kortikosteroid sesuai Kortikosteroid telah menunjukkan
indikasi. keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Penurunan PaO2 dan peningkatan
Hb, kalsium, LED, lemak dan PCO2 menunjukkan gangguan
trombosit pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan
kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering
berhubungan dengan emboli lemak.
5. Evaluasi frekuensi pernapasan Adanya takipnea, dispnea dan
dan upaya bernapas, perhatikan perubahan mental merupakan tanda
adanya stridor, penggunaan otot dini insufisiensi pernapasan, mungkin
aksesori pernapasan, retraksi sela menunjukkan terjadinya emboli paru
iga dan sianosis sentral. tahap awal.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian,
rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga diri, membantu
keadaan klien. menurunkan isolasi sosial.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif Meningkatkan sirkulasi darah
aktif pada ekstremitas yang sakit muskuloskeletal, mempertahankan
maupun yang sehat sesuai tonus otot, mempertahakan gerak
keadaan klien. sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional
gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien
(kebersihan/eliminasi) sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien. keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik Menurunkan insiden komplikasi
sesuai keadaan klien. kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
6. Dorong/pertahankan asupan Mempertahankan hidrasi adekuat,
cairan 2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
7. Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan
fungsi fisiologis tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan Kerjasama dengan fisioterapis perlu
fisioterapi sesuai indikasi. untuk menyusun program aktivitas
fisik secara individual.
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai perkembangan masalah
klien dan program imobilisasi. klien.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan


traksi (pen, kawat, sekrup)
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi
nyaman dan aman (kering, kulit yang lebih luas.
bersih, alat tenun kencang,
bantalan bawah siku, tumit).
2. Masase kulit terutama daerah Meningkatkan sirkulasi perifer dan
penonjolan tulang dan area distal meningkatkan kelemasan kulit dan
bebat/gips. otot terhadap tekanan yang relatif
konstan pada imobilisasi.
3. Lindungi kulit dan gips pada Mencegah gangguan integritas kulit
daerah perianal dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.
4. Observasi keadaan kulit, Menilai perkembangan masalah klien.
penekanan gips/bebat terhadap
kulit, insersi pen/traksi.

Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer


(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan
perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.
2. Ajarkan klien untuk Meminimalkan kontaminasi.
mempertahankan sterilitas insersi
pen.
3. Kolaborasi pemberian antibiotika Antibiotika spektrum luas atau
dan toksoid tetanus sesuai spesifik dapat digunakan secara
indikasi. profilaksis, mencegah atau mengatasi
infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.
4. Analisa hasil pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada
laboratorium (Hitung darah proses infeksi, anemia dan
lengkap, LED, Kultur dan peningkatan LED dapat terjadi pada
sensitivitas luka/serum/tulang) osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi.
5. Observasi tanda-tanda vital dan Mengevaluasi perkembangan
tanda-tanda peradangan lokal masalah klien.
pada luka.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada.
Intervensi Keperawatan Rasional
1. Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran
program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti
program pembelajaran.
2. Diskusikan metode mobilitas dan Meningkatkan partisipasi dan
ambulasi sesuai program terapi kemandirian klien dalam perencanaan
fisik. dan pelaksanaan program terapi fisik.
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien
memerluka evaluasi medik untuk mengenali tanda/gejala dini
(nyeri berat, demam, perubahan yang memerulukan intervensi lebih
sensasi kulit distal cedera) lanjut.
4. Persiapkan klien untuk Upaya pembedahan mungkin
mengikuti terapi pembedahan diperlukan untuk mengatasi maslaha
bila diperlukan. sesuai kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin. Elizabeth j, 2012, Buku Saku Patofiologi, Jakarta: EGC,


Carpenito (2012), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Doenges. Marliyn E, 2012. Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, ed.3, Jakarta: EGC,
Dudley (2012), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica,
Jakarta.
Judith M. Wilkinson, 2017, Buku saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 7, Jakarta :
EGC
Lukman, Nurna Ningsih, 2019, Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
system Muskuloskeletal, edisi 1 Jakarta : Salemba Medika,
Mansjoer. Arif, 2012, kapita selekta kedokteran, ed.3, jilid 2, Jakarta: Media
Aesculapius,
Price & Wilson (2012), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai