Anda di halaman 1dari 27

STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN SNACK BITE


DI IGD RSUD BANTUL YOGYAKARTA

Disusun Oleh
Yeny Tutut Puspitasari
3217126

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN SNACK BITE


DI IGD RSUD BANTUL YOGYAKARTA

Telah Disetujui pada dan Oleh:


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik Mahasiswa

(.................................................) (..........................................) ( )
A. Pengertian
Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek
fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan,
terutama neurologik, kardiovaskuler sistem pernapasan. (Suzanne Smaltzer
dan Brenda G. Bare, 2001: 2490).

B. Klasifikasi Jenis Ular


Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk
diketahui. Bisa dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-
cirinya atau dari manifestasi klinis yang muncul (Warrell, David A. 2010). Dari
2500–3000 spesies ular yang tersebar di dunia kira-kira ada 500 ular yang
beracun (Prihatini, dkk. 2007). Famili Viperidae (vipers, adders, pit vipers, and
mocassins), Elapidae (cobras, mambas, kraits, coral snakes, Australasian
venomous snakes, and sea snakes), Atractaspididae (burrowing asps) —
memiliki kemampuan untuk menyuntikkan bisa menggunakan gigi yang telah
termodifikasi (taring) (Warrel, David A. 2010).

Viperidae Elapidae Atractaspididae


Gambar 1 : Jenis-jenis ular berbisa

Gambar 2 : Spesies Ular berbisa di Indonesia

Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka


kesakitan, kecacatan dan kematian yang tinggi

Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan


kematian yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi
jarang terjadi karena habitat dan perilaku ular yang jauh dari
populasi manusia.

Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata
dan dihubungkan ke taring oleh Saluran racun menghubungkan kelenjar
penghasil racun sampai dasar taring (fang).
Gambar 3 : Anatomi kantong bisa ular dan saluran bisa

Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa
atau tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular
beracun begitu pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun
dalam beberapa hal ular berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan
bentuk tubuhnya, pola kulitnya, perilaku dan suara jika dalam keadaan
terancam (Warrell, David A. 2010). Sebagai contoh ular jenis kobra sudah
dikenal luas akan menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan secara
agresif mematuk lawannya jika dalam kondisi terancam.

Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang


dikeluarkannya 90% merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti
protein nontoksis yang mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut
mengandung lebih dari 20 macam enzim yang berbeda termasuk
phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases (asam sampai alkalis),
proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase, hyaluronidase,
phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA &
RNA).3
C. Bisa Ular
Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :

 Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular,


mengakibatkan perdarahan.
 Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim
prokoagulan yang merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan
faktor koagulan yang menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk
benang fibrin pada aliran darah. Ironisnya proses ini membuat darah
menjadi sukar membeku karena hampir semua fibrin rusak dan faktor-
faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam waktu sekitar 30
menit setelah gigitan ular.
 Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah,
leukosit, platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-
membran lain, menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan
memicu pelepasan histamin dan antikoagulan.
 Acetylcholinesterase
 Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
 Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
menybabkan edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat
gigitan. 1
Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post
sinaps yaitu α-bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-
74 asam aminio dan subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada
saraf tepi di neuromuscular junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.

Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus menerus akan


mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat
menyebabkan kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang
menyebabkan kelumpuhan (paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta
pengaruh kardiotoksik menyebabkan denyut jantung berhenti juga
berpengaruh kepada terjadinya miotoksik (Warrel, David A. 2010)
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah
:

1. Tanda-tanda bekas taring, laserasi


2. Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
3. Sakit kepala, mual, muntah
4. Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
5. Demam
6. Keringat dingin

E. Patogenesis
1. Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease,
metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau
menghambat faktor koagulan atau platelet dan merusak endotel vaskular.
Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan reseptor platelet menginduksi
atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan
mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen.
Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan
fungsi platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat
perdarahan yang hebat pada pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang
berkaitan dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah
protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan
plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler menyebabkan DIC atau
tekanan di otot jantung (Warrel, David A. 2010).
2. Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi
neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang
paling sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada
kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait dengan molekul kecil non
protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir sebagian besar
neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin,
sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal,
midriasis, dan depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada
pasien dengan Myastenia Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens
yang sulit dijelaskan secara patofisiologinya.

Gambar 4 : Neuromuscular junction dan protein neurotoksik bisa ular

3. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak
hal terkait bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi
permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke
jaringan interstisiel. Selain itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek
langsung maupun tidak langsung terhadap otot jantung, otot polos dan
jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating peptide, efek hipotensif dari
bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya peptidyl
peptidase yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi ini merupakan
awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.

F. Diagnosis
1. Anamnesa
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna,
ukuran, bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan,
namun seringkali pasien tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu
kejadian yang dapat mempengaruhi terapi dan prognosis pasien, gejala yang
pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi, pengobatan (antikoagulan) dan
penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).5

2. Manifestasi Klinis
 Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular
biasanya akan muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan
kerakutan yang biasa sehingga dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas
ataupun vasovagal shock. Tekanan darah dan nadi akan meningkat disertai
menggigil dan berkeringat.
 Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
o Tanda dan gejala awal
Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang
kemudian berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan
bertambah hebat dan akan meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang
tergigit. Pembesaran kelenjar getah bening regional sering dijumpai (KGB
ingunalis jika yang tergigit adalah ekstremitas inferior dan KGB axila jika
yang tergigit adalah ekstremitas superior.
3. Pemeriksaan Fisik
1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)
2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular
3. Status generalis :
a. lemas, mual, muntah, nyeri perut
b. hipotensi
c. penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)
d. pengeluaran keringat dan hipersalivasi
e. Aritmia, edema paru, shock
f. Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)
g. Parestesia
4. Status lokalis :
a. Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda
luka,
b. Bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda
inflamasi) yang muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian
c. Daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula
d. Mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-
denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.

Gambar 5 : Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular


Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara
lain (Warrell, David A. 2010) :

1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa
ular yang hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu
2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan
memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan
alternatif atau masalah pada transportasi
3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok
hemoragik atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas

G. PATWAY
H. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap
meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit.
Faal Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time,
International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal
(BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas
darah
 Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
 Lain-lain
Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen
.
I. Diagnosis Banding (Daley, Brian James. 2011)
1. Anafilaksis
2. Deep vein thrombosis (DVT)
3. Gigitan kalajengking
4. Syok septik
5. Sengatan lebah
6. Luka terinfeksi

J. Klasifikasi
Derajat gigitan ular :
1. Derajat 0
 Bekas gigitan 2 taring -
 Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
 Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I (Minimal)
 Bekas gigitan 2 taring
 Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi
 Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
 Nyeri sedang sampai berat
3. Derajat II (Moderate)
 Bekas gigitan 2 taring
 Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12 inchi
dalam 12 jam
 Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
 Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran kelenjar
getah bening)
4. Derajat III (Severe)
 Bekas gigitan 2 taring
 Nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
 Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat. Ditemukan
tanda-tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah, takikardi,
hipotermia, ekimosis, petekia menyeluruh).
 Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
 Sangat cepat memburuk
 Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan,
muncul ekimosis, nekrosis dan bulla
 Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran
darah vena atau arteri
 Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan
meninggal

K. Penatalaksanaan
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah
untuk menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah
komplikasi. Alur yang harus dilakukan adalah :
1. Pertolongan pertama
 Rujukan ke rumah sakit
 Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
 Mengenali spesies ular jika memungkinkan
 Melakukan pemeriksaan penunjang
 Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
 Observasi respon terhadap pemberian SABU
 Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
 Rehabilitasi serta terapi komplikasi

Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara


tradisional untuk penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut
tidak dilakukan :
 Menyedot bisa ular dengan mulut
 Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa
mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke
ekstremitas perifer
 Melakukan kompres panas, dingin atau penyayatan luka
 Pemberian ramuan herbal atau kompres es

Tindakan yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada


korban gigitan ular sebelum ke rumah sakit (pre hospital) :
 Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan,
Tekanan Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid
sekitar 500- 1000 cc.
 Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
 Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
 Jangan berikan SABU terlebih dahulu
2. Rumah sakit
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous
system Exposure (hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok
(takipnea, takikardia, hipotensi, perubahan status mental). Pemberian
SABU berdasarkan derajat gigitan ular (Warrell, David A. 2010)
Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda
syok dari
- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan,
pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer
- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan
- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis

 Serum Anti Bisa Ular (SABU)


Terapi anti bisa ular pertama kali diperkenalkan oleh Albert Calmette
dari Institut Pasteur di Saigon pada 1890.1 Terdapat dua jenis antiracun ular
yaitu yang pertama terbuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan
dosis racun ular subletal. Antiracun ini kemudian diproses dan dimurnikan
tetapi masih mengandung protein serum yang mungkin masih memiliki sifat
antigenik. Jenis kedua adalah yang direkomendasikan FDA tahun 2000
yaitu fragmen imunoglobulin monovalen dari domba yang dimurnikan
untuk menghindari protein antigenik. 5
SABU harus diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika
memberikan keuntungan lebih besar. Indikasi pemberian SABU :
- Adanya abnormalitas hemostatis
Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati (dilihat dari faal
hemostasis),
- Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)
- Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal)
- Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum ureum dan atau
creatinin)
- Hemoglobin/myoglobinuria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat
gelap dan adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan
hiperkalemia)

Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas
dan digunakan sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular
adalah hyperimmune globulin dari binatang yang telah diimunisasi dengan
bisa ular dan memproduksi antibodi. Pada pasien gigitan ular yang
emngalami gangguan pembekuan darah atau telah terbentuk clot maka
pemberian SABU akan memperbaiki d\an menghilangkan clot dalam waktu
2-28 jam. Dalam suatu penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang
diberikan SABU akan membaik dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda
perdarahan masih didapatkan hingga 88 jam kemudian.
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi
mulai dari yang ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat
(syok anafilaksis). Berdasarkan dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU,
resiko-resiko tersebut akan muncul pada 3-30% dan hanya 5-10%
diantaranya merupakan gejala sistemik yang berat. Hampir semua reaksi
alergi yang muncul dapat diatasi dengan pemberian epinefrin. Pencegahan
timbulnya reaksi alergi meliputi premedikasi dengan antihistamin atau
kortikosteroid sebelum pemberian SABU dan memperhatikan kepekatan
konsentrasi SABU yang akan diberikan.

Dua cara pemberian anti bisa ular :


- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan
keuntungan karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau
ditangani.
- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik
5-10 ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam
- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena
bioavailibiltasnya rendah dan sulit untuk mencapai kadar yang
diinginkan dalam darah, serta resiko hematom pada tempat injeksi pada
pasien dengan abnormalitas hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke
tempat layanan kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses
intravena sulit.
Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan
epinefrin intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa
atau 0,01 mg/kg untuk anak-anak dan dapat diulang 5-10 menit.

Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan


kompartemen sindrom yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor, paresthesia,
paralysis, pulselesness. Jika ditemukan tanda-tanda tersebut dicurgai ada
komparten sindrom sehingga dilakukan fasciotomi (diindikasikan pada
pasien yang terbukti mengalami peningkatan tekanan intrakompartemen) 5

 Antibiotik
Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu
cephalosporin generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif
(Ceftriaxone) akan menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan
infeksi sekunder.

 Analgesik
Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid :
petidin dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau
morfin dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg

L. Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom
kompartemen. Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen
atau amputasi karena kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian
hari dapat saja timbul osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular
sempat terjadi paralisis otot pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan
bisa mengakibatkan defisit neurologis menetap.

M. Monitoring
Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau
bagging manual dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga
diberikan anticholinesterase. Tirah baring dan pembatasan gerak untuk
menghindari trauma diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis,
dapat diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate
dengan konsentrat platelet, namun jika tidak ada dapat diebrikan Whole Blood.
Kadang diperlukan vasopressor sejenis dopamin atau norepinefrin pada pasien
dengan syok atau kerusakan miokardium dan dialisi jika terjadi AKI. Adanya
rhabdomyolisis mengakibatkan asidosis metabolik seperti pada crush injury
dapat dikoreksi dengan natrium bicarbonat sesuai dosis
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Primary survey
Nilai tingkat kesadaran
Lakukan penilaian ABC :
1) A – airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
2) B – breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-
otot pernafasan
3) C – circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan,
Hematuria, Hematemesis/hemoptysis

Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data


pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. SirkulasiTanda:
Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan,
menyangkal, menarik diri.
d. Eliminasi
Gejala: Diare.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot
(malnutrisi).
f. Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama
sembuh.
i. Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j. Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.
k. Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit
jantung, kanker, DM, keadaan klien sudah membaik.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan


sepsis. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000), yaitu:

a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.


b. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga
oral, respon fisik, proses infeksi
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
RENCANA KEPERAWATAN

DIAGNOSA NOC NIC

Gangguan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan Airway suction
berhubungan dengan reaksi endotoksin. a) Auskultasi suara nafas sebelum dan
selama ….X 24 jam masalah klien teratasi
sesudah suctioning.
dengan kriteria hasil: b) Berikan O2 dengan menggunakan
nasal untuk memfasilitasi suksion
Respiratory status : Ventilation nasotrakeal
c) Anjurkan pasien untuk istirahat dan
Respiratory status : Airway patency napas dalam setelah kateter
Aspiration Control dikeluarkan dari nasotrakeal
d) Monitor status oksigen pasien
a) Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih, tidak ada
Airway Management
sianosis dan dyspneu (mampu a) Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
mengeluarkan sputum, mampu
b) Posisikan pasien untuk
bernafas dengan mudah, tidak ada memaksimalkan ventilasi
pursed lips) c) Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan
b) Menunjukkan jalan nafas yang paten d) Auskultasi suara nafas, catat adanya
(klien tidak merasa tercekik, irama suara tambahan
e) Kolaborasikan pemberian
nafas, frekuensi pernafasan dalam
bronkodilator bila perlu
rentang normal, tidak ada suara nafas f) Monitor respirasi dan status O2
abnormal)
c) Mampu mengidentifikasikan dan
mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas

Nyeri akut berhubungan dengan luka Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pain Management
bakar kimia pada mukosa gaster, rongga selama….x24 jam diharapkan masalah a) Monitor keadaan umum
oral, respon fisik, proses infeksi
nyeri klien dapat teratasi dengan criteria b) Observasi tanda non verbal dari
hasil: ketidaknyamanan
Comfort Level c) Kaji vital sign klien (HR,RR,T)

a) Klien melaporkan keadaan fisik d) Kaji penyebab, kualitas, lokasi, skala


nyaman dan waktu nyeri.

Pain level e) Ajarkan manajemen nyeri non


farmakologi
a) Nyeri berkurang
f) Anjurkan klien beristirahat
Vital sign
g) Kolaborasi dengan dokter pemberian
a) Tanda-tanda vital dalam rentang analgesik
normal
- BP : 120/80 mmHg
- HR : 60-100x/menit
- RR : 12-24x/menit
- T : 36,5-37,50C
Hipertermia berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Fever treatment
peningkatan tingkat metabolisme, selama ….X 24 jam masalah klien teratasi a) Monitor suhu sesering mungkin
penyakit, dehidrasi, efek langsung dari
dengan kriteria hasil: b) Monitor warna dan suhu kulit
sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada regulasi temperatur, c) Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Thermoregulation
proses infeksi. d) Monitor penurunan tingkat kesadaran
a) Suhu tubuh dalam rentang normal
e) Monitor WBC, Hb, dan Hct
b) Nadi dan RR dalam rentang normal
f) Berikan anti piretik
c) Tidak ada perubahan warna kulit dan
g) Berikan pengobatan untuk mengatasi
tidak ada pusing, merasa nyaman
penyebab demam
h) Berikan cairan intravena

Temperature regulation
a) Monitor suhu minimal tiap 2 jam
b) Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
c) Monitor TD, nadi, dan RR
d) Monitor warna dan suhu kulit
e) Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
f) Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
 Berikan anti piretik jika perlu
Ketakutan/ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Anxiety Reduction
krisis situasi, perawatan di rumah selama ….X 24 jam masalah klien teratasi a) Indentifikasi tingkat kecemasan
sakit/prosedur isolasi, mengingat
dengan kriteria hasil: b) Bantu klien mengenal situasi yang
pengalaman trauma, ancaman kematian
atau kecacatan. menimbulkan cemas
Anxiaty Level
c) Ajarkan klien teknik relaksasi: tarik
a) Tanda-tanda vital dalam rentang nafas dalam
normal d) Kolaborasi dengan dokter untuk
HR: 60 – 100 x/menit pemberian terapi selanjutnya
TD: 90-120 / 60-80 mmHg
RR: 12 – 24 x/ment
S: 36,5°C – 37,5°C
b) Tidak gelisah
Resiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Infection control
penurunan sistem imun, kegagalan untuk selama ….X 24 jam masalah klien teratasi a) Monitor keadaan luka
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
dengan kriteria hasil: b) Pertahankan kesterilan luka.
c) Ajarkan pasien untuk menghindari
Infection severity
infeksi.
a) Tidak ada demam d) Kolaborasi dengan dokter untuk
b) Tidak ada peningkatan leukosit pemebrian antibiotic.
c) Tidak ada kolonisasi bakteri pada luka.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. Et All. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth


Edition. USA : Elsevier Mosby.

Cribari, Cris. 2004. Management of Poisonous Snakebites. American College of


Surgeons Committee on Trauma.

Herdman, T. Heather., Dkk. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan


Klasifikasi NANDA 2012-2014. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Moorhead, Sue. Et All. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition.


USA : Elsevier Mosby

Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, U.N. Rachman. 2007. Penyebaran gumpalan


dalam pembuluh darah (disseminated intravascular coagulation) akibat
racun gigitan ular. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, Vol. 14, No. 1, November 2007.

Snake Bite. Daley, Brian James. 2011

.http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview

Warrell, David A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. WHO


Regional Office for South-East Asia

Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical Medicine, University


of Oxford,

Anda mungkin juga menyukai