Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SNAKE BITE

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Komprehensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Adinda 22010117220192
Nadira Deanda Putri 22010117220178

Pembimbing :
dr. Siti Munawaroh
dr. Yeni Setyowati

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO


RSUD RAA SOEWONDO PATI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Adinda
Nadira Deanda P
Bagian : Ilmu Bedah
Judul :Seorang Laki-Laki 22 Tahun Dengan Snake Bite
Pembimbing : dr. Siti Munawaroh

Telah Disetuji dan Disahkan,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr.Siti Munawaroh dr.Yeni Setyowati


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Laporan Kasus yang berjudul
“Seorang Laki-laki 22 tahun dengan Snake Bite” ini dapat penulis selesaikan.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan komprehensif di RSUD RAA Soewondo Pati.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Siti Munawaroh dan dr. Yeni Setyowati selaku pembimbing.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus
ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukan.

Semarang, 15 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gigitan ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang terkait
lingkungan, pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi di berbagai belahan
dunia khususnya di daerah pedesaan. Pekerja di bidang pertanian dan anak-anak
merupakan golongan yang sering tergigit.
Pada tahun 2009, pertama kali dikenalkan WHO sebagai neglected tropical
disease. Insidens gigitan ular ini terutama yang menyebabkan kematian masih
cukup tinggi di dunia. Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar
125.000 dari 5 juta kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus
di Asia dengan jumlah kecacatan menetap yang tidak terhitung karena masih
sulitnya ketersediaan dan akses Serum Anti Bisa Ular (SABU). Begitu pula di
daerah Asia Tenggara. Namun untuk jumlah pastinya masih belum diketahui
karena angka kesakitan baik akut maupun kronik masih tidak jelas dan tidak
adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan di berbagai daerah. Di Indonesia
sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per
tahun.
Pada laporan ini akan disajikan kasus seorang laki-laki dengan snake bite
yang mendapatkan perawatan rawat inap di Bangsal Bougenville RSUD RAA
Soewondo Pati karena Snake Bite ( gigitan ular ) merupakan suatu keadaan gawat
darurat yang apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko
infeksi gigitan lebih besar dari luka biasa karena toksik / racun mengakibatkan
infeksi yang lebih.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis
dan mengelola pasien secara komprehensif dan holistik berdasarkan data yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta
kepustakaan pada pasien dengan snake bite (gigitan ular) untuk mengetahui
komplikasi dan prognosis penyakit pasien.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar agar
dapat mendiagnosis dan mengelola pasien dengan tepat dan komprehensif, serta
mengetahui komplikasi dan prognosis dari snake bite (gigitan ular).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ular


2.1.1. Venomous Snake
Terdapat tiga family ular berbisa di Asia Tenggara, yaitu Elapidae,
Viperidae dan Colubridae.
Elapidae: memiliki taring depan yang relative pendek.Termasuk dalam
family ini adalah cobras, king cobra, kraits, coral snakes, Australasian
snakesand sea snakes. Elapidae relative panjang, kurus, berwarna seragam
dengan bagian atas kepala lebar, simetris, lembut.

Gambar 1. Ular Elapidae


Viperidae: memiliki taring yang relative panjang yang secara normal
terlipat datar terhadap rahang atas tetapi ketika menyerang taring tersebut
akan berdiri. Terdapat 2 subfamili, typical vipers (Viperinae) dan pit-
vipers (Crotalinae). Viperidae relative pendek, berbadan tebal dengan
banyak sisik kecil yang kasar di atas kepala dan pola khas berwarna pada
permukaan dorsal. . Beberapa spesies penting secara medis Colubridae
(sensu lato) telah diidentifikasi di wilayah Asia Tenggara.
Gambar 2. Ular Viperidae

2.1.2. Non-venomous snake


Banyak spesies ular tak berbisa atau hanya berbisa minimal menjadi
penyebab gigitan ular, terutama mereka yang agresif, atau cenderung
menyerang manusia yang mendekati atau yang tinggal di daerah taman
perkotaan dan pedesaan. Selain yang telah disebutkan di atas, yang
termasuk ular tak berbisa, paradise or flying snakes (Chrysopelea species),
stripedkeelbacks (Amphiesma species), kukri snakes (Oligodon
species),checkered keelbacks or Asian water snake(Xenochrophis species),
wolfsnakes (Lycodon or Dinodon species), bridle snakes
(Dryocalamus)and rat snakes (Ptyas, Elaphe,Coelognathus, Goniosoma
etc.)
Gambar 3. Ular tak berbisa

2.2 Bisa Ular


Lebih dari 90% bisa ular adalah protein yang terdiri dari ratusan
protein berbeda: enzim (80-90 % bisa viperid dan 25- 70 % bisa elapid),
non-enzymatic polypeptide toxins, dan non-toxic proteins seperti nerve
growth factor. Bahan-bahan non protein termasuk karbohidrat dan logam
(sering bagian dari glikoprotein metalloprotein enzim), lipid, asam amino,
nukleosida, dan amin biogenik seperti serotonin dan asetilkolin.
Enzim Bisa Ular
Enzim pada bisa ular termasuk hidrolase pencernaan (proteinases,
exopeptidase, endopeptidases, phosphodiesterases,metalloproteinases, dan
phospholipases), hyaluronidase, dan aktivator atau inactivators proses
fisiologis, seperti kininogenases. Kebanyakan bisa ular mengandung
oksidase asam amino (mengandung riboflavin 5'-fosfat prosthetic yang
membuat warna kuning pada banyak bisa ular), phospho mono- dan di-
esterases, 5'-nucleotidase, DNAase, NAD-nucleosidase, phospholipase A2,
dan peptidases.
 Zinc metalloproteinases/ metalloproteases: Merusak endotel vaskular,
mengakibatkan perdarahan.
 Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim
prokoagulan yang merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan
faktor koagulan yang menstimulasi pembekuan darah dengan
membentuk benang fibrin pada aliran darah. Ironisnya proses ini
membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua fibrin
rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang
dalam waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
 Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah
merah, leukosit, platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan
membran-membran lain, menghasilkan aktifitas neurotoksik di
presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan antikoagulan.
 Acetylcholinesterases: meskipun ditemukan pada kebanyakan bisa
elapid, dapat menyebabkan fasikulasi.
 Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
 Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
menyebabkan edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada
tempat gigitan.

2.3 Patofisiologi
1. Daerah lokal
Pembengkakan dan memar diakibatkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang disebabkan oleh racun endopeptidase,
hemoragin metaloproteinase, racun polipeptida yang merusak membran,
fosfolipase, dan autacoid endogen yang dikeluarkan oleh racun, seperti
histamin, 5-HT, dan kinin. Nekrosis jaringan lokal terjadi akibat aksi
langsung miotoksin dan sitotoksin, dan iskemia yang disebabkan oleh
trombosis; kompresi pembuluh darah dengan metode pertolongan pertama
seperti tourniquets ketat; atau otot bengkak dalam kompartemen fasia yang
ketat. Myotoxins merusak membran plasma sel otot secara langsung.
Sebagian besar adalah PLA2s, baik aktif secara enzimatik (aspartat-49)
atau tidak aktif secara enzimatik (lisin-49). Cobra cardiotoxins adalah
polipeptida dengan berat molekul rendah dengan aksi sitotoksik.
2. Hipotensi dan syok
Setelah gigitan ular berbisa, kebocoran plasma atau darah ke
anggota tubuh yang tergigit dan di tempat lain, atau pendarahan
gastrointestinal masif, dapat menyebabkan hipovolemia. Vasodilatasi,
terutama pembuluh splanknik, dan efek langsung pada miokardium dapat
berkontribusi terhadap hipotensi. Hipotensi berat adalah bagian dari
sindrom autofarmakologis yang terjadi dalam beberapa menit setelah
gigitan oleh D. siamensis, D. russelii, dan Elapid australasia, yang
disebabkan oligopeptida (inhibitor ACE dan BPP) dan autocoid
vasodilatasi. Dalam beberapa kasus, efek miokard langsung dari racun
dapat dilihat oleh perubahan elektrokardiografi (EKG) dan temuan otopsi
dari perdarahan epikardial atau endokardial dan bukti histopatologis
mionekrosis jantung.
3. Gangguan pendarahan dan pembekuan darah
Bisa ular mempengaruhi hemostasis dalam beberapa cara. Enzim
prokoagulan mengaktifkan koagulasi intravaskular, menghasilkan
koagulopati dan darah yang tidak dapat dikoagulasi. Procoagulan dari
spesies Colubridae, Australasian Elapidae, Echis, dan Daboia
mengaktifkan protrombin, sedangkan yang ada di dalam racun Daboia
Russelii dan D. siamensis juga mengaktifkan faktor V dan X. Enzim yang
mirip thrombin di dalam mulut viper memiliki aksi langsung pada
fibrinogen. Beberapa racun menyebabkan defibrinogenasi dengan
mengaktifkan sistem fibrinolitik endogen (plasmin). Aktivitas
antikoagulan disebabkan oleh racun fosfolipase.Aktivasi atau
penghambatan trombosit mengakibatkan trombositopenia pada korban
spesies Trimeresurus dan Viridovipera, Calloselasma rhodostoma,
Deinagkistrodon acutus, dan Daboia siamensis. Perdarahan spontan yang
berpotensi mematikan disebabkan oleh racun haemorrhagins (Zn
metalloproteases).
4. Aktivasi Komplemen
Elapid dan beberapa racun colubroid mengaktifkan komplemen
melalui jalur alternatif ("faktor racun kobra" adalah C3b ular), sedangkan
beberapa racun viperid mengaktifkan jalur klasik. Aktivasi komplemen
mempengaruhi trombosit, sistem pembekuan darah, dan mediator humoral
lainnya.
5. Neurotoksisitas
Polipeptida neurotoksik dan PLA2 dari ular dapat menyebabkan
kelumpuhan dengan memblok transmisi pada persimpangan
neuromuskuler. Pasien dengan kelumpuhan otot bulbar dapat meninggal
karena obstruksi jalan nafas atas atau aspirasi, tetapi cara kematian yang
paling umum setelah neurotoksik envenoming adalah kelumpuhan
pernapasan. Dengan memperpanjang aktivitas ACh di persimpangan
neuromuskuler, obat antikolinesterase dapat meningkatkan gejala lumpuh
pada pasien yang digigit ular dengan neurotoksin yang sebagian besar
bersifat postsinaptik dalam aksinya (mis. Kobra dan Australasia death
adders [genus Acanthophis]). Beberapa pasien yang digigit elapid atau ular
berbisa mengantuk karena tidak adanya kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Ini tidak mungkin merupakan efek dari polipeptida neurotoksik,
yang tidak melewati sawar darah-otak.
6. Myotoxicity
Myotoxins dan metaloproteinase PLA pada prinsipnya
bertanggung jawab. Mereka terdapat dalam racun sebagian besar spesies
ular laut, banyak elapid Australasia terestrial, beberapa spesies krait
(Bungarus), dan Viperidae, seperti ular viper Russell Sri Lanka
(D.russelii). Dilepaskan ke dalam aliran darah mioglobin, enzim otot,
asam urat, kalium, dan konstituen otot lainnya merupakan efek pada
manusia dari neurotoksin presinaptik. Pasien mungkin meninggal karena
kelemahan otot pernapasan dan bulbar, hiperkalemia akut, atau cedera
ginjal akut.

2.4 Tanda dan Gejala


2.4.1. Ketika racun tidak masuk
Beberapa orang yang digigit ular mungkin akan timbul gejala dan
tanda, bahkan ketika tidak ada racun yang masuk. Hal ini timbul akibat
adanya rasa takut setelah digigit ular. Orang yang cemas akan bernafas
lebih cepat sehingga akan muncul parestesi dari ekstremitas, kekakuan
atau tetani tangan dan kaki serta pusing. Orang lain mungkin muncul
shock vasovagal setelah gigitan dan pingsan dengan perlambatan nadi
yang dalam. Orang lain mungkin menjadi sangat gelisah dan tidak
rasional. Tekanan darah dan denyut nadi mungkin meningkat dan mungkin
ada keringat dan gemetar. Yang lain mungkin mengalami muntah dan
menderita diare.
2.4.2. Ketika racun masuk
a) Gejala dan tanda awal
Setelah rasa sakit dari penetrasi taring ular ke kulit, dan ketakutan akibat
gigitan ular dapat terjadi adanya peningkatan nyeri lokal (terbakar,
berdenyut) di lokasi gigitan, pembengkakan lokal tersebut secara bertahap
menjalar hingga ke bagian proksimal pada ekstremitas yang digigit dan
nyeri, pembesaran kelenjar getah bening regional yang nyeri (di pangkal
paha - femoralis atau inguinal, pada gigitan di tungkai bawah; di siku -
epitrochlear - atau di aksila pada gigitan di tungkai atas). Namun, gigitan
ular, ular laut dan Kobra Filipina mungkin hampir tidak sakit dan dapat
menyebabkan pembengkakan lokal yang dapat diabaikan.
b) Gejala dan tanda lokal di bagian yang digigit
 Fang marks
 Nyeri lokal
 Perdarahan lokal
 Memar
 Penyebaran pembengkakan lokal
 Limfangitis
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Peradangan (pembengkakan, kemerahan, panas)
 Blistering
 Infeksi lokal, pembentukan abses
 Nekrosis
c) Gejala dan tanda umum (sistemik)
 Umum
Ketakutan, kecemasan, mual, muntah, malaise, sakit perut,
kelemahan, kantuk, membungkuk.
 Kardiovaskular (Viperidae)
Gangguan visual, pusing, pingsan, kolaps, syok, hipotensi, jantung
aritmia, kerusakan miokard (berkurang fraksi ejeksi).
 Peningkatan permeabilitas kapiler secara umum ("sindrom
kebocoran kapiler")
Edema wajah dan konjungtiva (chemosis), pembesaran parotis
bilateral, efusi pleura dan perikardial, edema paru, albuminuria
masif, hemokonsentrasi.
 Gangguan pendarahan dan pembekuan (Viperidae)
Perdarahan traumatis dari luka baru (termasuk pendarahan yang
berkepanjangan dari taring dan dari luka lama yang sebagian telah
sembuh - perdarahan sistemik spontan - dari gusi, epistaksis,
perdarahan ke dalam air mata, perdarahan intrakranial (meningisme
dari perdarahan subaraknoid, tanda-tanda lateralisasi dan / atau
koma dari perdarahan otak, hemoptisis, hematemesis), perdarahan
dubur atau melaena, hematuria, perdarahan vagina, perdarahandi
dalam mukosa (misalnya konjungtiva), kulit (petechiae, purpura,
discoid perdarahan) dan ecchymoses.
 Trombosis arteri serebral (Ular berbisa Daboia russelii dan D.
siamensis)
Stroke trombotik, dikonfirmasi oleh angiografi atau pencitraan,
telah disetujui disebabkan oleh D. russelii di India, Sri Lanka dan
Taiwan.
 Neurologis (Elapidae, Viperidae misalnya viper D. russelii Russell,
Spesies Gloydius)
Mengantuk, paraesthesiae, kelainan rasa dan bau, kelopak mata
"berat", ptosis, ophthalmoplegia eksternal, kelumpuhan otot wajah
dan otot lainnya yang dipersarafi oleh saraf kranial, suara hidung
atau aphonia, regurgitasi melalui hidung, kesulitan menelan,
pernapasan dan kelumpuhan secara umum.
 Kerusakan otot rangka (ular laut, beberapa spesies krait –
Bungarus niger dan B. candidus, Daboia russelii)
Nyeri umum, kekakuan dan nyeri otot, nyeri peregangan pasif,
trismus, mioglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, cedera ginjal
akut.
2.4.3. Sindrom klinis pada gigitan ular di Asia Tenggara
 SINDROM 1: Lingkungan setempat (pembengkakan dan lain-lain)
dengan perdarahan / gangguan pembekuan = Viperidae (semua
spesies)
 SINDROM 2: Lingkungan setempat (pembengkakan dan lain-lain)
dengan perdarahan / gangguan pembekuan, syok atau cedera ginjal
akut = Russell viper; dengan edema konjungtiva (kemosis) = ular
Russell, Myanmar dan India Selatan; dengan ptosis,
ophthalmoplegia eksternal, kelumpuhan wajah dan lain-lain, dan
urin berwarna coklat tua = Russell viper, Sri Lanka dan India
Selatan
 SINDROM 3: Lingkungan setempat (pembengkakan dan lain-lain)
dengan kelumpuhan = kobra atau raja kobra
 SINDROM 4: Kelumpuhan dengan minimal atau tidak ada
envenoming lokal: Digigit di darat saat tidur di atas tanah dengan /
tanpa sakit perut = krait. Digigit di laut, muara dan beberapa danau
air tawar = ular laut. Digigit di Indonesia, Maluku atau Barat Papua
dengan / tanpa perdarahan / gangguan pembekuan = elapid
Australasian
 SINDROM 5: Kelumpuhan dengan urin coklat gelap dan cedera
ginjal akut: Digigit di darat (dengan pendarahan / gangguan
pembekuan) = viper Russell, Sri Lanka atau India Selatan. Digigit
di darat saat tidur di dalam ruangan = krait (B. niger, B. candidus,
B. multicinctus), Bangladesh, Thailand. Digigit di laut, muara dan
beberapa danau air tawar (tidak ada perdarahan / gangguan
pembekuan) = ular laut

2.5 MANAGEMENT
Tahapan manajemen
 Perawatan pertolongan pertama
 Transportasi ke rumah sakit
 Penilaian klinis yang cepat dan resusitasi
 Penilaian klinis terperinci dan diagnosis spesies
 Investigasi / tes laboratorium
 Perawatan antivenom
 Mengamati respons terhadap antivenom
 Memutuskan apakah dosis antivenom selanjutnya diperlukan
 Perawatan suportif / tambahan
 Perawatan bagian yang digigit
 Rehabilitasi
 Perawatan komplikasi kronis
 Memberikan saran bagaimana menghindari gigitan di masa depan

a) Metode pertolongan pertama yang direkomendasikan


 Tenangkan korban yang mungkin sangat gelisah. Pastikan mereka tidak
ketakutan, turunkan detak jantung korban dan lambatkan penyebaran
racun. Envenoming membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
pengobatan.
 Baringkan tubuh korban pada posisi nyaman dan aman, idealnya dalam
posisi pemulihan (tengkurap sampai berbaring ke kiri untuk
menghindari muntah yang dapat menyebabkan aspirasi), dan
imobilisasi anggota badan yang digigit dengan bidai atau sling. Gerakan
atau kontraksi otot, bahkan membuka baju atau berjalan, akan
meningkatkan penyerapan dan penyebaran racun.
 Jika gigitan elapid dapat dipastikan dikecualikan, lakukan imobilisasi
dengan pad, atau, jika peralatan dan keterampilan yang dibutuhkan
tersedia, imobilisasi dengan perban. Di Myanmar, metode bantalan
tekanan telah terbukti efektif dalam mengurangi penyebaran racun pada
korban ular Russell. Metode imobilisasi ini belum banyak digunakan di
wilayah ini, karena hal yang diperlukan seperti peralatan (perban yang
elastis, panjang dan lebar), pelatihan dan keterampilan yang dibutuhkan
untuk menerapkannya dengan aman dan andal masih sulit untuk
dicapai. Sehingga metode immobilisasi pressure-pad lebih disukai dan
direkomendasikan karena lebih sederhana dan praktis.
 Hindari gangguan apa pun pada luka gigitan (sayatan, gosokan,
pembersihan yang kuat, pijatan, aplikasi obat herbal atau kimia) karena
dapat menyebabkan infeksi, meningkatkan penyerapan racun dan
meningkatkan perdarahan lokal.
b) Transportasi ke rumah sakit
Pasien harus dipindahkan ke tempat di mana mereka dapat
menerima perawatan medis secepatnya, dengan aman dan nyaman.
Gerakan apa pun, terutama gerakan anggota tubuh yang tergigit, harus
dikurangi seminimal mungkin untuk menghindari peningkatan
penyerapan racun. Kontraksi otot akan meningkatkan penyebaran racun
dari tempat gigitan pada vena dan limfatik. Jika memungkinkan, pasien
harus ditempatkan pada posisi pemulihan selama transit, jika mereka
muntah.
c) Perawatan di rumah sakit
Snakebite adalah darurat medis: riwayat, gejala, dan tanda harus
diperoleh dengan cepat sehingga manajemen kegawatdaruratan dapat
diberikan dengan sesuai. Resusitasi jantung paru mungkin dibutuhkan,
termasuk terapi oksigen dan akses intravena.
Penilaian klinis primer cepat dan resusitasi: pendekatan ABCDE
 Airway
 Breathing (breathing movements)
 Circulation (pulse)
 Nerve system disability (level awareness)
 Environmental exposure and control (protect from cold, risk of
drowning etc)
Patensi jalan napas, gerakan pernapasan,denyut nadi dan tingkat
kesadaranharus segera diperiksa. Periksa tanda-tanda vital.Glasgow Coma
Scale tidak dapat digunakanuntuk menilai tingkat kesadaranpasien lumpuh
oleh racun neurotoksik.
Situasi klinis di mana korban gigitan ular mungkin membutuhkan
resusitasi mendesak:
 Hipotensi dan syok yang dalam: dihasilkan dari efek langsung
maupun sekunder dari racun pada kardiovaskular, seperti
hipovolemia, pelepasan mediator inflamasi, syok hemoragik atau
primer anafilaksis disebabkan oleh racun itu sendiri.
 Gagal napas terminal: dari envenoming neurotoksik progresif yang
telah menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan; atau obstruksi
saluran pernapasan.
 Gangguan pernapasan: dari peningkatan permeabilitas pembuluh
darah secara umum (korban gigitan ular Russell)
 Penurunan kondisi tiba-tiba: atau perkembangan envenoming yang
cepat setelah pelepasan tourniquet atau perban kompresi
 Hasil akhir dari envenoming parah: pada seseorang yang tiba
beberapa hari / minggu setelah gigitan: dengan pendarahan hebat /
gangguan pembekuan darah, cedera ginjal akut atau septikemia.
d) Penilaian klinis terperinci
Anamnesis
Anamnesis yang tepat dari keadaan gigitan tersebut dan
perkembangan local, gejala dan tanda sistemik sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat:
 “Di mana (di bagian mana dari tubuh Anda) Anda digigit? tunjukkan”
Amati tanda-tanda lokal - tanda fang, bengkak, memar, pendarahan
persisten, perawatan tradisional pra-rumah sakit.
 “Kapan Anda digigit dan apa yang Anda lakukan ketika Anda digigit?”
Jika gigitan itu sangat baru, mungkin belum ada tanda-tanda envenoming.
Jika pasien digigit malam saat tidur, krait mungkin terlibat; jika di sawah,
kobra atau Russell's viper; jika saat merawat pohon buah-buahan, ular
pitak hijau; jika saat berenang atau di dalam air, seekor kobra (air tawar)
atau ular laut (laut atau muara).
 "Di mana ular itu menggigitmu?" atau "Seperti apa bentuknya; apakah ada
yang mengambil fotonya?” Jika ular itu dibunuh dan dibawa, atau gambar
foto tersedia (mis. Diambil melalui ponsel di tempat kejadian), identifikasi
dengan benar bisa sangat membantu. Jika itu jelas spesies yang tidak
berbahaya (atau bukan ular sama sekali), pasien dapat diedukasi dan
dipulangkan.
 "Bagaimana perasaanmu sekarang?" Apakah terdapat gejala envenoming?
Gejala awal sistemik yang umum adalah muntah, pingsan dan kolaps
(kadang-kadang menyebabkan cedera) dengan ketidaksadaran sementara
dan anafilaksis (angioedema dan lain - lain). Pasien harus ditanya
bagaimana BAK sejak gigitan dan apakah warnanya normal atau sangat
gelap (menyiratkan hemoglobin / mioglobin - uria). Pasien yang mengeluh
kantuk, kelopak mata berat atau penglihatan kabur atau ganda mungkin
mengalami neurotoksik envenoming. Gejala awal penting dari ular laut
yang mungkin berkembang 30 menit setelah gigitan adalah nyeri umum,
nyeri tekan dan kekakuan otot dan trismus.
Petunjuk awal bahwa pasien telah mengalami envenoming parah:
 Ular diidentifikasi sebagai spesies yang sangat berbahaya
 Tusukan taring dengan jarak yang lebar
 Penyebaran awal yang cepat dari pembengkakan local dari tempat
gigitan
 Pembesaran di daerah kelenjar getah bening, menunjukkan
penyebaran racun di dalam sistem limfatik
 Gejala sistemik dini: kolaps (hipotensi, syok), mual, muntah, diare,
sakit kepala parah, kelopak mata berat, mengantuk atau ptosis /
ophthalmoplegia
 Perdarahan sistemik spontan
 Tidak ada urin yang keluar sejak gigitan
 Urin berwarna coklat tua / hitam
e) Pemeriksaan fisik
Ini harus dimulai dengan penilaian yang cermat dari tempat gigitan
dan tanda-tanda local envenoming.Pemeriksaan bagian yang digigit:
tingkat pembengkakan, juga tingkat nyeripada palpasi (mulai dari
proksimal dan tekan dengan lembut sambil melihat ekspresi pasien).
Kelenjar getah bening anggota gerak tubuh harus diraba dan ekimosis di
atasnya. Mungkin anggota tubuh yang tergigit edema, dingin, tidak
bergerak, nyeri pada gerakan pasif dan dengan denyut nadi arteri yang
tidak bisa diraba. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya thrombosis
intravaskular, yang jarang terjadi setelah gigitan ular, atau kompartemen
sindrom, yang jarang terjadi. Jika mungkin, tekanan intrakompartemen
harus diukur dan aliran darah dan patensi arteri dan vena dinilai (mis. oleh
Doppler USG). Tanda-tanda awal nekrosis mungkin termasuk blistering,
penggelapan (mudah bingung dengan memar) atau pucat pada kulit, hilang
sensasi dan bau busuk (daging yang membusuk).
Pemeriksaan umum: Ukur tekanan darah (duduk dan berbaring
untuk mendeteksi penurunan postural yang mengindikasikan
hypovolemia) dan heart rate. Periksa kulit dan membrane mukosa untuk
melihat adanya petekie, purpura, perdarahan diskoid dan ekimosis,
konjungtiva, untuk perdarahan dan, kemosis dan fundus optic untuk
perdarahan retina. Memeriksa gingiva secara menyeluruh, menggunakan
spatula lidah, yang dapat memunjukkan perdarahan sistemik spontan.
Memeriksa hidung untuk epistaksis. Tegangan pada perutyang dapat
menunjukkan adanya kemungkinan perdarahangastrointestinal atau
retroperitoneal. Loin (rendah menyarankan nyeri dan kelembutan iskemia
ginjal akut (viper Russell gigitan).
f) Pemeriksaan laboratorium
20 menit Whole Blood Clotting Test (20WBCT)
Tes ini sangat berguna dan informative, hanya membutuhkan
sedikit keterampilan dan hanya satu alat - gelas baru, bersih, kering, wadah
biasa (tabung, botol atau jarum suntik). 20 menit pembekuan darah
lengkap tes (20WBCT)
• Tempatkan 2 ml sampel baru darah vena dalam wadah kaca kecil, baru,
kering
• Biarkan tidak terganggu selama 20 menit pada suhu kamar
• Tip wadah sekali
• Jika darah masih cair (tidak tertutup) dan habis, pasien mengalami
hipofibrinogenaemia akibat racun yang menginduksi koagulopati
• Di Wilayah Asia Tenggara, darah yang tidak dapat diagulasi bersifat
diagnostic dari gigitan ular berbisa dan menyingkirkan gigitan elapid
• Peringatan! Jika wadah digunakan untuk tes tidak terbuat dari gelas
biasa, atau jika ada telah dibersihkan dengan deterjen, dindingnya
mungkin tidak merangsang pembekuan sampel darah(aktivasi
permukaan faktor XII - faktor Hageman) dan uji akan tidak valid
• Jika ada keraguan, ulangi tes dalam rangkap dua, termasuk "kontrol"
yang sehat (darah dari orang sehat)
g) Tes laboratorium lainnya
Konsentrasi hemoglobin / hematokrit: peningkatan sementara
menunjukkan konsentrasi darah yang dihasilkan dari peningkatan
permeabilitas kapiler secara umum (mis. pada gigitan ular Russell). Lebih
sering, ada penurunan yang mencerminkan kehilangan darah.
Jumlah trombosit: ini mungkin menurun pada korban envenoming oleh
viper dan Elapids Australasia.
Jumlah sel darah putih: leukositosis neutrophil awal adalah bukti
envenoming sistemik oleh berbagai spesies.
Lapisan darah: sel darah merah terfragmentasi ("helmet cell",
schistocytes) terlihat ketika ada mikroangiopati hemolisis atau trombotik
mikroangiopati (TMA). HemoliticUraemic Syndrome (HUS) terdiri dari
trombositopenia, anemia hemolitik mikroangiopatik (sel merah
terfragmentasi, "sel helm", atau schistocytes) dan cedera ginjal akut. Hal
tersebut terkait dengan envenoming oleh ular berbisa Russell dan Elapidae
Australia. Patofisiologi TMA tidak diketahui, tetapi pada penyakit lain,
seperti trombotik purpura trombositopenik (TPP), yaitu dianggap karena
kekurangan metaloproteinase ADAMTS 13 yang memotong multimer von
Willebrand. Multimer ini memulai aktivasi trombosit dan pembentukan
mikrotrombi yang merupakanfaktor kunci dalam pengembangan cedera
ginjal akut.
Kelainan biokimia: plasma kreatinin, urea / nitrogen urea darah dan
Konsentrasi kalium meningkatkan cedera ginjal akut oleh ular Russell, ular
pit-nosed dan ular laut. Aminotransferase dan enzim otot (creatine kinase,
aldolase dan lain-lain.) akan meningkat jika ada kerusakan lokal yang
berat atau, khususnya, jika ada kerusakan otot umum (ular laut, beberapa
kraits, beberapa Elapidae Australasia). Disfungsi hati ringan tercermin
pada peningkatan minimal enzim serum lainnya. Bilirubin meningkat
setelah ekstravasasi darah yang masif. Bikarbonat akan rendah pada
asidosis metabolik (mis. cedera ginjal akut). Dapat menunjukkan gas dan
pH darah arteri yang memperlihatkan kegagalan pernapasan (neurotoksik
envenoming) dan asidemia (asidosis metabolic atau respiratorik).
Desaturasi: saturasi oksigen arteri dapat dinilai secara non-invasif pada
pasien dengan gagal napas atau syok menggunakan oksimeter pulse jari.
Pemeriksaan urin: urin harus diuji oleh dipsticks untuk darah atau
hemoglobin atau mioglobin. Dipsticks standar tidak membedakan darah,
hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin dan mioglobin bisa dipisahkan
oleh immunoassays tetapi tidak ada tes yang mudah atau reliabel.
Pemeriksaan mikroskopikakan mengkonfirmasi apakah ada eritrosit di
urin. Proteinuria masif adalah suatu tanda awal dari peningkatan umum
permeabilitas kapiler pada viper Russell envenoming dan indikator awal
cedera ginjal akut. Eosinofilia urin menunjukkan nefritis interstitial akut,
tetapi ini hanya dapat dikonfirmasikan dengan biopsi ginjal.
h) Investigasi lainnya
Radiografi: X-foto thoraks berguna untuk mendeteksi edema paru (mis.
setelah gigitan oleh Vipera dan Daboia spesies), pendarahan paru dan
infark, efusi pleura, dan sekunder bronkopneumonia.
Ultrasonografi: ultrasonografi ditemukan berguna untuk menilai daerah
lokal, termasuk deep vein thrombosisdan untuk mendeteksi efusi pleural
dan pericardial dan perdarahan ke dalam rongga serosa.
Ekokardiografi: telah terbukti bermanfaat dalam mendeteksi fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang berkurang pada pasien hipotensi dan syok.
Pencitraan: Pencitraan CT dan MRI dapat mendeteksi perdarahan dan
infark iskemik di otak (subarachnoid, subdural, otak, otak kecil, batang
otak), sumsum tulang belakang, peritoneum. Pencitraan otak menunjukkan
penyusutan hipofisis pada kasus panhypopituitarism kronis dan perdarahan
yang tidak dijelaskan dan demielinasi leucoencephalopathies. Pencitraan
dapat menunjukkan edema dan perdarahan di kompartemen fasia otot dan
derajat osteomiletis dan perubahan jaringan lunak secara kronis luka
gigitan ular yang telah mengalami perubahan ganas ke sel skuamosa
karsinoma (Marjolin ulcer).
Elektrokardiografi: Kelainan EKG dilaporkan pada korban gigitan ular
termasuk tachyarrhythmias, sinus bradycardia, perubahan gelombang ST-
T, hiperkalemia.
i) Terapi Antivenom
Antivenom adalah imunoglobulin [biasanya pepsin refined F (ab
’)2 fragmen IgG] dimurnikan dari plasma kuda, atau keledai (equine) atau
domba (ovine) yang telah diimunisasi dengan racun dari satu atau lebih
spesies ular. "Spesifik" antivenom diharapkan mengandung antibodi
spesifik yang akan menetralisir racun tertentu. Monovalen (monospesifik)
antivenom menetralkan racun hanya satu spesies ular. Polivalen
(polispesifik) antivenom menetralkan racun dari beberapa spesies yang
berbeda, biasanya spesies yang paling penting, dari sudut pandang medis,
dalam wilayah geografis tertentu. Di Indonesia, Biofarma menghasilkan
polivalen antivenom untuk racun neurotoksik Naja sputatix, Bungarus
fasciatus dan Calloselasma rhodostoma, tetapi, mengabaikan spesies
penting seperti Bungarus candidus, Daboia siamensis, spesies
Trimeresurus dan semua Elapidae Australasian Indonesia Timur.
Indikasi terapi antivenom
Terapi antivenom direkomendasikan jika dan ketika seorang pasien
dengan terbukti atau diduga terkena gigitan ular memiliki satu atau lebih
dari tanda-tanda berikut:
Envenoming sistemik:
• Kelainan hemostatik: perdarahan sistemik spontan jauh dari lokasi
gigitan (klinis), koagulopati [+ (non-pembekuan) 20WBCT atau tes
laboratorium lainnya seperti INR> 1,2 atau waktu protrombin> 4-5
detik lebih lama dari nilai kontrol laboratorium] atau
trombositopenia [<100 x 109 / liter, atau <100.000 / cu mm]
(laboratorium)
• Tanda neurotoksik: ptosis, eksternal opthalmoplegia, kelumpuhan
dan lain – lain (klinis)
• Kelainan kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia jantung (klinis),
EKG abnormal
• Cidera ginjal akut (gagal ginjal): oliguria / anuria (klinis),
peningkatan kreatinin / urea darah (laboratorium)
• Haemoglobin- / mioglobin-uria: urin coklat gelap (klinis), urin
dipsticks, bukti lain dari hemolisis intravaskular atau
rhabdomyolysis (otot sakit, nyeri peregangan pasif terus menerus
(hiperkalemia) (klinis, laboratorium)
• Bukti laboratorium yang mendukung sistemik envenoming
Lokal envenoming:
• Pembengkakan lokal melibatkan lebih dari setengah anggota tubuh
yang tergigit (tanpa adanya tourniquet) dalam waktu 48 jam setelah
gigitan. Bengkak setelah gigitan pada jari (jari kaki) dan terutama
jari-jari
• Penjalaran pembengkakan yang cepat (untuk contoh di luar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki dalam beberapa jam dari
gigitan pada tangan atau kaki)
• Pembesaran kelenjar getah bening
Administrasi antivenom
Antivenom beku-kering (lyophilised) dilarutkan, biasanya dengan 10 ml air
steril untuk injeksi per ampul. Jika protein beku-kering sulit dilarutkan,
mungkin telah didenaturasi oleh teknik pengeringan beku yang salah selama
pembuatan (WHO, 2010). Dua metode administrasi yang
direkomendasikan:
 Injeksi “push” intravena: antivenom kering beku yang direkondisi
atau antivenom cair diberikan dengan injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 ml / menit). Metode ini memiliki keuntungan bahwa
dokter, perawat, atau petugas kesehatan yang memberikan antivenom
harus tetap bersama pasien selama saat beberapa reaksi awal mungkin
terjadi. Metode ini ekonomis, hemat penggunaan cairan intravena,
kanula dan lain-lain.
 Infus intravena: antivenom beku-kering atau cair diencerkan dalam
sekitar 5 ml cairan isotonic per kg berat badan (mis. sekitar 250 ml
saline isotonik atau 5% dekstrosa dalam kasus pasien dewasa) dan
diinfuskan selama sekitar 30-60 menit.
 Injeksi antivenom intramuskular: antivenoms adalah molekul besar,
[F(ab ')2fragmen atau terkadang seluruh IgG] yang setelah injeksi
intramuskular, diserap perlahan melalui limfatik. Tingkat antivenom
dalam darah tidak pernah mencapai dengan cepat seperti jika melalui
intravena. Kerugian lainnya adalah rasa sakit injeksi antivenom dan
risiko pembentukan hematoma pada pasien dengan kelainan
hemostatik. Meski berisiko terjadi reaksi antivenom berkurang dengan
intramuskular daripada pemberian intravena, epinefrin (adrenalin)
harus tersedia. Dalam keadaan ini, dosis antivenom harus dibagi
antara sejumlah tempat di bagian atas wilayah anterolateral kedua
paha. Maksimal 5-10 ml harus diberikan pada setiap tempat dengan
injeksi intramuskular dalam diikuti oleh pijatan untuk membantu
penyerapan. Pendarahan lokal dan pembentukan hematomamerupakan
masalah pada pasien yang tidak dapat koagulasi.
Dosis antivenom

Gambar 4. Dosis antivenom


Pengamatan respon terhadap antivenom: Jika dosis antivenom yang sesuai
telah diberikan, respons berikut mungkin terlihat.
• Umum: pasien merasa lebih baik. Mual, sakit kepala, dan rasa sakit dan
nyeri bisa hilang segera. Sebagian mungkin disebabkan oleh efek
plasebo.
• Perdarahan sistemik spontan (mis. dari gusi) biasanya berhenti dalam 15-
30 menit.
• Koagulabilitas darah (diukur oleh 20WBCT) biasanya kembali dalam 3-9
jam. Perdarahan baru maupun pada luka yang sembuh sebagian biasanya
berhenti lebih cepat.
• Pada pasien yang terkejut, tekanan darah dapat meningkat dalam 30-60
pertama menit dan aritmia seperti sinus bradikardia dapat teratasi.
• Hemolisis aktif dan rhabdomyolysis dapat berhenti dalam beberapa jam
dan warna urine kembali ke normal.
Kriteria untuk mengulangi inisial dosis antivenom
Jika darah tetap tidak dapat diagregasi (diukur dengan 20WBCT)
enam jam setelah dosis awal antivenom, dosis yangsama harus diulang. Ini
adalah berdasarkan pengamatan, jika besar dosis awal antivenom (lebih dari
cukup untuk menetralisir enzim prokoagulan pada racun) diberikan, waktu
yang dibutuhkan hepar untuk mengembalikan kadar fibrinogen terkoagulasi
dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam. Pada pasien yang terus
berdarah cepat, dosis antivenom seharusnya diulang dalam 1-2 jam.
Dalam kasus kerusakan neurotoksisitas atau tanda-tanda
kardiovaskular. Tidak ada bukti untuk memandu waktu yang tepat untuk
mengulang dosis antivenom padakelumpuhan atau syok, tetapi tampaknya
masuk akal untuk mengulang dosis awal setelah 1 jam jika kondisi pasien
memburuk.
Perawatan konservatif ketika tidak ada antivenom tersedia
Hal ini akan terjadi di banyak daerah di mana persediaan antivenom
habis atau jika gigitan tersebut disebabkan oleh spesies yang tidak tersedia
antivenom spesifik untuk racunnya. Langkah-langkah konservatif yang
disarankan adalah sebagai berikut:
• Envenoming neurotoksik dengan paralisa pernapasan: ventilasi.
Ini terbukti efektif, dan telah diikuti oleh pemulihan penuh, bahkan
setelah dirawat lebih dari satu bulan. Manualventilasi (ambu bag)
secara bergantian olehdokter, mahasiswa kedokteran, kerabat dan
perawat telah efektif jika ventilator mekanik tidak tersedia.
Antikolinesterase harus selalu dicoba.
• Kelainan hemostatik–istirahat (bed rest)untuk menghindari bahkan
trauma kecil termasuk suntikan intramuskular; transfusi dari faktor
pembekuan dan trombosit; idealnya fresh frozen plasma (FFP) atau
cryoprecipitate dengan konsentrat trombosit atau, jika ini tidak
tersedia, darah lengkap segar.
• Shock, kerusakan miokard: hipovolemia harus diperbaiki dengan
koloid / kristaloid, dikendalikan oleh pengamatan tekanan vena
sentral. Obat penekan tambahan (dopamin atau epinefrin-adrenalin)
juga bisa dibutuhkan. Penderita hipotensi harus dikaitkan dengan
bradikardia,diobati dengan atropin.
• Cedera ginjal akut: pengobatan konservatif atau dialysis.
• Urin berwarna coklat tua (mioglobinuria atau
haemoglobinuria): memperbaiki hypovolemia dengan cairan
intravena, memperbaiki asidosis dengan infus intravena lambat 50-
100 mmol natrium bikarbonat.
• Envenoming lokal yang parah: local nekrosis, sindrom
intrakompartemen dan bahkan trombosis pembuluh darah besar lebih
mungkin terjadi pada pasien yang tidak dapat diobati dengan
antivenom. Intervensi bedah mungkin diperlukan tetapi risikooperasi
pada pasien dengan konsumsi koagulopati, trombositopenia dan
peningkatan fibrinolisis seimbang dengan komplikasi yang
mengancam jiwa dari envenoming lokal. Antimikroba profilaksis
spectrum luas dibenarkan.
j) Perawatan bagian yang digigit
Anggota tubuh yang tergigit, yang mungkin nyeri dan bengkak, harus
dirawat pada posisi paling nyaman, tetapi tidak terlalu tinggi karena dapat
mengurangi tekanan perfusi arteri pada anggota badan yang bengkak dan
meningkatkan risiko terjadinya intrakompartemen iskemia.
Manajemen luka
Lepuh / bula / "bleb" mungkin besar dan tegang tetapi mereka tidak harus
dipecah dan membutuhkan aspirasi hanya jika mereka terancam pecah. Abses
harus diaspirasi dengan jarum dan dikultur. Jika kulitnya terdeteksi nekrosis
(berbatas tegas, hipo / daerah hiperpigmentasi dengan bau busuk), debridement
merupakan indikasi untuk menghilangkan risiko terjadinya sepsis anaerob.
Selama debridement, semua jaringan tidak sehat harus dipotong sampai batas
jaringan sehat tercapai. Namun, otot yang memar mungkin tampak mati tetapi
seharusnya tidak dipotong karena serabut otot dapat beregenerasi. Amputasi
dapat diindikasikan dalam kasus gangren jari kaki atau anggota badan.
Infeksi bakteri
Flora mulut ular liar termasuk bakteri aerob dan anaerob, terutama batang
gram negatif dari feses mangsanya yang dapat buang air besar saat dicerna oleh
ular. Kultur oral dan racun dari ular Amerika Enterobacteriaceae yang
dihasilkan termasuk Morganella spp., Escherichia coli, Group D streptococci,
Aeromonas spp., dan anaerob seperti Clostridium spp. Di Asia, infeksi luka
gigitan lokal disebabkan oleh bakteri tunggal atau banyak termasuk aerob gram
positif (Staph. aureus, Staphylococcus coagulase-negatifdan Enterococcus),
aerob gram negative (E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,Enterobacter,
Morganella morganii), bakteri anaerob (Peptostreptococcus dan Bacteroides
fragilis). Infeksi pada saat gigitan dengan organisme dari racun ular dan rongga
bukal adalah masalah pada beberapa spesies seperti ular beludak Malaya
(Calloselasma rhodostoma) dan tetanus yang parah telah dilaporkan. Namun,
antibiotik profilaksis tidak efektif dalam studi terkontrol di Brasil.
Sindrom kompartemen dan fasiotomi
Penampilan anggota badan yang tergigit ular yang imobile, tegang, dingin
dan tampaknya tidak berdenyut perlu dikonsultasikan ke ahli bedahadanya
kemungkinan peningkatantekanan intracompartmental, khususnya jika ruang
pulpa digital atau anterior kompartemen tibialis terlibat. Pembengkakan otot
envenomed dalam kompartemen fasiadapat menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan di atas tekanan vena, menyebabkan terjadinya iskemia. Namun, tanda-
tanda klasik sebuah sindrom tekanan intrakompartemen mungkin sulit dinilai
padakorban gigitan ular dan banyak fasiotomi yang berbahaya dan tidak
diperlukan dilakukan, terutama jika ahli bedah yang memiliki tanggung jawab
utama untuk mengelola kasus gigitan ular. Fasciotomy umumnya tidak disukai
untuk perawatan anggota badan yang tergigit ular.Deteksi denyut nadi melalui
palpasiatau probe USG doppler, tidakmenyingkirkan iskemia
intrakompartemen.Tes yang paling dapat diandalkan adalah mengukurtekanan
intracompartmental secara langsungmelalui kanula dimasukkan ke
dalamkompartemen dan terhubung ke transduser tekananatau manometer.
Dipraktik ortopedi, tekanan intrakompartemen melebihi 40 mmHg dapat
membawa risiko nekrosis iskemik (misalnya iskemia atausindrom
kompartemen tibialis anterior).Namun, otot envenomed mungkin
tidakterselamatkan dengan fasciotomy. Bagaimanapun, fasciotomy harus
dilakukan, jangan ditunggu sampai kelainan hemostatic telah diperbaiki, jika
tidak, pasien bisa mati kehabisan darah.
Kriteria untuk fasciotomi pada anggota badan yang tergigit ular:
• bukti klinis suatu sindrom intrakompartemen
• tekanan intra-kompartemen> 40 mmHg (pada orang dewasa)
k) Rehabilitasi
Pada pasien dengan daerah lokal yang parah, anggota badan harus dijaga
dalam posisi fungsional. Misalnya, padakaki, kelainan equinus pergelangan
kaki harus dicegah dengan penerapan back slab. Efek fungsional envenoming
local berkisar dari kekakuan danindurasi karena sklerosis pembuluh
darah,limfatik racunyang telah menyebar, hingga kelainan bentuk yang
parah, artrodesis, kontraktur, kehilangan jaringan, terutama dermonekrosis
dan ulserasi kronis yang membutuhkan pencangkokan kulit, dan gangren
yang membutuhkan debridementdan amputasi. Pemulihan normal fungsi di
bagian yang digigit harus dimulai dengan latihan sederhana sementara pasien
masih di rumah sakit. Setelah pasien telah keluar dari rumah sakit rehabilitasi
jarang diawasi tetapi kerabat dapat diperintahkan dan diberi tabel waktu
kegiatan rehabilitasi. Fisioterapi konvensional dapat mempercepat pemulihan
fungsional anggota tubuh yang tergigit.
l) Penilaian Pasien Dipulangkan
Sebelum pasien meninggalkan rumah sakit, diskusikan topik berikut
dengan mereka dan anggota keluarga.
• Implikasi memiliki gigitan ular: kebanyakan pasien dapat dipastikan
pulih penuh.
• Latihan rehabilitasi: anjurkan untuk melanjutkan rehabilitasi hingga
fungsi normal dikembalikan.
• Follow-up: anjurkan pasien kembali setelah interval 1-2 minggu untuk
memeriksa kemajuan mereka dan keadaan selanjutnya.
• Late serum sickness-type reactions: peringatkan mereka akan gejala dan
meyakinkan mereka bahwa ini komplikasi antivenom yang dapat
diobati.
• Mengurangi risiko gigitan lebih lanjut: memberikan saran, idealnya
dalam bentukselebaran, menjelaskan prinsip-prinsip pencegahan gigitan
ular, untuk dibagikan dengan keluarga mereka dan tetangga.
m) Manajemen gigitan ular pada tingkat pelayanan kesehatan yang
berbeda
1. Di tingkat masyarakat atau desa
• Nilai: periksa riwayat gigitan ular dan mencari bukti nyata dari gigitan
(Tanda tusukan taring, pembengkakan bagian yang digigit).
• Pastikan
• Pertolongan pertama: imobilisasi korbandengan membaringkannya / dia
turun dalam posisi santai tapi aman (mis. posisi pemulihan), imobilisasi
anggota badan yang digigit dengan splint dan gunakan pressure-pad.
• Transportasi: Bawapasien ke perawatan medis secepatnya, secara aman
dengan kendaraan, perahu, sepeda, sepeda motor, tandu dan lain - lain.
Idealnya pasien harus berbaring di posisi pemulihan (tengkurap, di sebelah
kiri) dengan jalan napas dilindungi untuk meminimalkan risiko syok dan
aspirasidari muntah.
• Snake: jika ular yang menggigitsudah tertangkap atau terbunuh, ambil
(aman dalam tas atau wadah) atau mengambil gambar di ponsel, tetapi
pastikan keamanan dengan menghindari kontak langsung.
• Perawatan tradisional: membuang-buang waktu dan berpotensi berbahaya
perawatan tradisional seperti tourniquets, sayatan, hisap dan aplikasi
bumbu, es, bahan kimia, "snakestone" dan lain - lain.
2. Di Klinik Pedesaan, Apotik,Pos Kesehatan, atau Pusat Kesehatan Utama
• Menilai tanda-tanda lokal dan envenoming sistemik: melaksanakan
penilaian medis sederhana termasuk riwayat dan pemeriksaan fisik
sederhana - pembengkakan lokal, nyeri, kelenjar getah bening lokal
membesar, pendarahan persisten dari luka gigitan, tekanan darah, denyut
nadi, perdarahan (gusi, hidung, muntah, tinja atau urin), tingkat kesadaran,
kelopak mata terkulai (ptosis) dan tanda-tanda kelumpuhan lainnya.
Monitor tanda-tanda ini setiap jam.
• Periksa: 20 menit whole blood clotting time (20WBCT), urin
(penampilan, pengujian stickuntuk darah dan lain-lain). Identifikasi ular
atau foto (jika dibawa).
• Analgesia: berikan analgesia per oral jika diperlukan: parasetamol
(asetaminofen) (dosis dewasa maksimum 500 mg hingga 1 g 4 g dalam 24
jam; anak-anak 10-15 mg / kg maksimal 100mg / kg / hari) atau kodein
fosfat (dosis dewasa 30-60 mg maksimal 240 mg dalam 24 jam; anak-anak
lebih dari 2 tahun, 0,5 mg / kg, maksimal 2 mg / kg / hari) bisa diberikan
setiap 4-6 jam peroral(bukan aspirin atau obat antiinflamasi non steroid
yang bisa menyebabkan pendarahan).
• Antivenom: jika pasien memenuhi kriteria untuk pengobatan antivenom
dan jika tersedia keterampilan, peralatan, antivenom, adrenalin dan obat –
obatan lain yang diperlukan, berikanantivenom. Keterampilan ini termasuk
kemampuan untuk mendiagnosis lokal dan sistemik envenoming,
mengatur infus intravena atau injeksi intravena, mengidentifikasi tanda-
tanda awal anafilaksisdan mengobatinya dengan intramuskuler adrenalin.
Menilai kembali untuk diulang dosis antivenom. Jika tidak ada antivenom
tersedia, transfer ke rumah sakit.
• Jika pasien syok / hipotensi: berikan cairan intravena (dewasa) 250-500 ml
saline 0,9%) untuk memperbaiki syok hipovolemik.
• Jika pasien memiliki bukti paralisa pernapasan: berikan oksigen dengan
masker, pertimbangkan atropin dan neostigmin, dan transfer ke rumah
sakit.
• Jika pasien oliguria: mulai manajemen konservatif.
• Luka gigitan: jika nekrotik, rusak dengan (sayatan dan lain-lain) atau jelas
septik, berikan antibiotik dan tetanusprofilaksis.
• Menilai kebutuhan dan kelayakan membawa pasien ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi, terutama dalam hal:
o Pendarahan substansial, 20WBCT masih positif (non-pembekuan)
6 jam kemudian setelah dosis antivenom awal
o Paralisis progresif (kelemahan otot) atau kesulitan pernapasan
o Penurunan output urin
o Anafilaksis - tidak responsif terhadap adrenalin
o Syok / hipotensi- tidak responsif terhadap cairan
o Nekrosis lokal yang parah atau tanda-tanda sugestif sindrom
kompartemen
• Mencegah penggunaan yang tidak efektif dan obat-obatan yang berpotensi
berbahaya (mis. kortikosteroid, antihistamin, dan heparin).
3. Di Rumah Sakit Distrik
Lanjutkan seperti pada B di atas plus:
• Penilaian: lakukan lebih banyak penilaian klinik dan laboratorium
terperinci termasuk biokimia danpengukuran hematologis, EKG atau
radiografi.
• Antivenom: jika tidak ada antivenomtersedia, transfer ke rumah sakit
yang memilikiantivenom atau mengobati secara konservatif;
inimungkin memerlukan transfusi darah atauplasma beku segar.
• Analgesia: dan, jikadiperlukan, pertimbangkan obat opioid parenteral
seperti yang dipersyaratkan denganhati-hati (mis.
subkutan,intramuskuler atau bahkan intravenapethidine, dosis dewasa
awal 50-100 mg; anak-anak 1-1,5 mg / kg; ataumorfin, dosis dewasa
awal 5-10 mg;anak-anak 0,03-0,05 mg / kg,). 4. Jika pasien memiliki
bukti local nekrosis (gangrene): berikan tetanustoksoid booster,
antibiotik dan lakukan debridement jaringan mati.
• Jika pasien memiliki bukti bulbaratau kelumpuhan pernapasan:
masukkantabung endotrakeal, laryngeal masker airway atau i-gel
ariway. Jika adabukti kegagalan pernafasan, bantu ventilasi secara
manual dengan ambu bag atau ventilator mekanik.
• Jika pasien memiliki bukti cedera ginjal akut: obati dengan dialysis
peritoneum. Jika ini tidak tersedia, transferke rumah sakit khusus.
• Jika pasien mengalami perdarahan hebat atau sedanganemia berat:
cross-matchdan transfusi.
• Rehabilitasi: exercise anggota tubuh yang tergigit.
4. Di Rumah Sakit Rujukan (Khusus)
Lanjutkan seperti pada B dan C di atas plus:
• Manajemen bedah nekrosis local yang lebih maju(mis. pencangkokan
kulit split).
• Investigasi yang lebih maju termasukkultur bakteri dan pencitraan (CT
scan) seperti yang diindikasikan.
• Jika pasien memiliki bukti gagal ginjal akut, peritoneal atau
hemodialysis atau hemofiltrasi.
• Melaksanakan rehabilitasi oleh ahli fisioterapi
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : Tn. SM
Tanggal lahir : 14 Mei 1997
Umur : 22 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Winong, Pati, Jawa Tengah
Agama : Islam
No.CM : 248897
Bangsal : Bougenville
Masuk Bangsal : 8 Oktober 2019

3.2 Data Dasar


Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 8 Oktober 2019 pukul 10.00
WIB di Bangsal Bougenville RSUD RAA Soewondo.
Keluhan Utama: Digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang
± 2 jam SMRS, pasien mengeluh telah digigit ular di sekitar mata kaki
kaki kiri saat setelah membersihkan kandang ayam. Pasien mengatakan ular
berukuran kecil dan berwarna cokelat kehitaman belang-belang dengan panjang
kurang dari 2 jengkal tangan dewasa. Pasien mengeluh nyeri pada daerah gigitan,
nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri semakin bertambah apabila pasien berjalan.
Pasien juga mengeluh kaki terasa tebal, kesemutan dan pergerakan terbatas.
Demam (-), mual (-), muntah (-), kejang (-), nyeri kepala (-), BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Saat ini pasien masih merasa nyeri pada kaki kirinya di daerah gigitan
dan kaki masih bengkak. Rasa kesemutan (+), baal (+) berkurang dan pergerakan
masih terbatas.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat sakit gula disangkal
 Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat sakit gula disangkal
 Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai peternak ayam, istri sebagai ibu rumah
tangga, sudah menikah selama 1 tahun. Pasien tinggal bersama istri dan
ibu pasien. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS PBI.
Kesan: sosial ekonomi kurang

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 8 Oktober 2019 pukul 10.30 WIB
di bangsal Bougenville RS RAA Soewondo
Keadaan umum : Tampak sakit
Kesadaran : E4M6V5, Composmentis
Tanda vital
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 70 x / menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 20 x / menit
Suhu : 37,5 °C VAS :5
BB : 60 kg TB : 168 cm
IMT : 21,27 (normoweight)
Kepala : Mesosefal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),pupil
isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya +/+ normal
Telinga : Discharge -/-
Hidung : Discharge (-), nafas cuping (-), epistaksis (-)
Mulut :Mukosa kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah tremor
(-)
Tenggorok : Faringhiperemis(-), T1-1hiperemis (-)
Leher :Simetris, deviasi trakhea (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru.
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi-/-
Jantung
Inspeksi :Iktus kordis tidak tampak
Palpasi :Iktus kordis teraba di SIC V midclavicula sinistra
Perkusi :Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I -II normal, irama reguler, gallop (-),bising (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) meningkat, metallic sound (+)
Palpasi : nyeri tekan (+) di seluruh region abdomen, hepar dan lien
tidak teraba, defans muskular (-), massa (-)
Perkusi : hipertimpani, pekak sisi (+), pekak alih (-)
Ekstremitas :
superior inferior
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/+
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Status lokalis :
Look : dorsalis pedis sinistra tampak edema (+), hiperemis (-), tampak
bekas gigitan (+)
Feel : peningkatan suhu (-), nyeri tekan (+), baal (+) berkurang
Move : ROM terbatas pada regio dorsalis pedis
Genital : Laki-laki, tidak ada kelainan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Hematologi (7 Oktober 2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan


Hematologi Paket
Hemoglobin 14.9 g/dL 13.2 -17.3
Hematokrit 41.1 % 40-52
Eritrosit 5.06 106/Ul 4.7-6.1
MCH 29.4 Pg 26-34
MCV 81.2 Fl 80-100
MCHC 36.3 g/dL 32-36 H
Leukosit 9.8 103/uL 3.8 -10.6
Trombosit 246 103/Ul 150-400
Hitung Jenis
Eosinofil 0.6 % 2-4 L
Basofil 0.2 % 0-1
Neutrofil 70.9 % 50-70 H
Limfosit 22 % 25-40 L
Monosit 7.5 % 2-8
Kimia Klinik
GDS 104 mg/dL 70-160
Ureum 36 mg/Dl 10-50
Kreatinin 0.92 mg/Dl 0.6-1.2
Elektrolit
Natrium 138.6 mmol/L 135-155
Kalium 3.78 mmol/L 3.6-5.5
Chlorida 104.6 mmol/L 95-108
2.5 Daftar Masalah

No. Masalah Aktif Tgl No Masalah Pasif


1. Nyeri kaki kiri 07-10-2019
2. Parastesia kaki kiri 07-10-2019
3. Hipoestesia kaki kiri setinggi 07-10-2019
mata kaki
4. Edema kaki kiri 07-10-2019
5. Nyeri tekan kaki kiri 07-10-2019
6. ROM terbatas pada regio 07-10-2019
dorsalis pedis
7. Limfositopenia 07-10-2019
8. Eosinopenia 07-10-2019
9. Neutrofilia 07-10-2019

2.6 Diagnosis
Diagnosis Kerja
Snake bite (gigitan ular) regio dorsalis pedis

2.7 Rencana Pemecahan Masalah (Initial Plan)


Snake Bite regio dorsalis pedis
Diagnosis : S : -
O : -
Terapi : Inf.RL 20 tpm
Inj.ceftriaxone 1 g/12 jam
Inj. Anti Bisa Ular 1 vial
Inj. Ranitidin 50mg / 8jam
Inj. Ketorolac 30mg /8 jam
Monitoring : KU, TTV, keluhan nyeri, baal, kesemutan dan pergerakan
Edukasi :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien terkena
gigitan ular yang mengandung bisa
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai terapi
yang diberikan
2.9 Catatan Kemajuan

Tanggal Keadaan Klinis Program Terapi / Tindakan


Inf.RL 20 tpm
09/10/2019 S: Nyeri berkurang, rasa baal (+)
Inj.ceftriaxone 1 g/12 jam
berkurang, kaki masih bengkak, nyeri
Inj. Ranitidin 50mg / 8jam
tekan (+), BAB dan BAK tidak ada
Inj. Ketorolac 30mg /8 jam
keluhan.
Program :
O: -
- Evaluasi KU, TV, nyeri,
KU: sadar
sensorik regio dorsalis pedis
Kesadaran: compos mentis
Tanda vital:
TD : 120/80 mmHg
Nadi: 80x/menit, isi dan tegangan
cukup
RR: 20x/menit
T: 36,4oC
VAS : 3
A: Snake bite regio dorsalis pedis
Inf.RL 20 tpm
10/10/2019 S: Nyeri berkurang, rasa baal (-), kaki
Inj.ceftriaxone 1 g/12 jam
masih bengkak, nyeri tekan (+)
Inj. Ranitidin 50mg / 8jam
berkurang, BAB dan BAK tidak ada
Inj. Ketorolac 30mg /8 jam
keluhan
O: -
Program :
KU: sadar
- Evaluasi KU, TV, nyeri,
Kesadaran: compos mentis
Tanda vital: sensorik regio dorsalis pedis
TD : 120/80 mmHg
Nadi: 72x/menit, isi dan tegangan
cukup
RR: 20x/menit
T: 36,9oC
VAS : 3
A: Snake bite regio dorsalis pedis
DAFTAR PUSTAKA

1. Warrell, David A. Guidelines for the management of snake-bites. New


Delhi: WHO Regional Office for South-East Asia; 2016.
2. Warrel, David A. Snake Bite. Oxford: Department of Clinical Medicine,
University of Oxford; 2010.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai