Pembimbing :
Dr. Djaja Sutisna, SpB
Disusun oleh :
Hardiyanti Kumala
1102009129
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul PENANGANAN GIGITAN
ULAR. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian
Bedah.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Djaja Sutisna, SpB selaku
pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik bagian Bedah atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan
yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....
KATA PENGANTAR .. .. ii
DAFTAR ISI .. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
ANATOMI 1
DEFINISI ............. 4
EPIDEMIOLOGI .. 4
ETIOLOGI 4
PATOGENESIS ...
MANIFESTASI KLINIS .. 10
DIAGNOSIS ..................... 13
DIAGNOSIS BANDING .
PENATALAKSANAAN .. 14
14
10 KOMPLIKASI .. 20
11 PROGNOSIS ..... 21
12 PENCEGAHAN 21
DAFTAR PUSTAKA ... 23
BAB I
PENDAHULUAN
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan
atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang
dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada
beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering
terjadi di daerah tropis dan subtropis.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk
menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular terdiri atas 20 atau lebih komponen
terutama protein (90%), yang memiliki aktivitas enzimatik.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase-A yang bertanggung
jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vascular. Enzim hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun. Polipeptida lain yaitu, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase,
protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim- enzim tersebut menyebabkan
destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau zat
zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat sehingga timbul
reaksi anafilaksis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kulit
Anatomi Kulit manusia terdiri atas tiga lapisan struktur yaitu lapisan Epidermis,lapisan
Dermis dan lapisan hypodermis.
Lapisan Epidermis
Lapisan ini adalah struktur anatomi lapisan paling luar dari kulit lapisan ini tidak mempunyai
pembuluh darah dan sel saraf. Struktur anatomi Lapisan kulit Epidermis tersusun atas empat
lapisan sel, yaitu:
2
Gambar struktur
epidermis
anatomi
lapisan
dari
lapisan
epidermis.
Lapisan dermis memiliki ketebalan sekitar 0,25 sampai 2,55 mm. Struktur lapisan yang
paling tebal terletak pada bagian telapak tangan dan telapak kaki. Sedangkan struktur lapisan
dermis yang paling tipis terletak di bagian kulit kelopak mata, kulit alat kelamin, dan kulit
skrotum. Struktur Lapisan dermis tersusun dari jaringan penyokong atau penyangga yang
terdiri atas serat yang berwarna putih dan serat yang berwarna kuning. Serat kuning tersebut
bersifat
elastis
atau
lentur
sehingga
kulit
dapat
mengembang.
Struktur lapisan dermis ini juga terdapat kelenjar keringat dan akar rambut. Akar rambut
berhubungan dengan pembuluh darah yang membawakan makanan dan oksigen, selain itu
juga berhubungan dengan serabut saraf. Pada struktur anatomi di bagian dalam dermis
terdapat timbunan lemak yang berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi bagian dalam
tubuh dari kerusakan karena kontak mekanik. Pada bagian dermis inilah terdapat reseptorreseptor saraf yang dapat merasakan panas, sakit, sentuhan yaitu Reseptor sentuhan,
Reseptor suhu atau termoreseptor, Reseptor tekanan dan Reseptor rasa sakit. Struktur
anatomi lapisan dermis juga mengandung kelenjar-kelenjar yang berfungsi sebagai sistem
ekskresi tubuh yaitu terdapat kelenjar keringat dan Kelenjar sebum.
3
2.3 Epidemiologi
Umumnya ular menggigit pada saat aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa
terancam atau diganggu. Diseluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang
meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 gigitan ular
berbisa setiap tahunnya dengan 98 % gigitan terjadi didaerah ekstremitas dan 70 %
disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun
waktu 1996 1998 dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD
dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus
gigitan ular berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan
menunjukan hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit setelah
koma atau apnoe. Estimasi global menunjukan 30.000 40.000 kematian akibat gigitan ular
berbisa.
2.4 Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dan lain-lain)
Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper, dan lain-lain).
Biologi Ular:
a. Penampang melintang tubuh membulat dan memanjang
b. Tubuhnya tertutup oleh sisik
c. Ukuran panjang tubuhnya dari 10 mm 9000 mm
d. Memiliki tulang belakang dan sepasang tulang rusuk pada setiap ruas tulang belakang
(sampai cloaca)
4
e. Suhu tubuhnya poikilotermik, suhu ideal 23,9 29,4C. Namun ular masih dapat bertahan
pada suhu yang ekstrem 7.2C atau 37.8C, bila lebih dari suhu ini akan berakibat fatal
bagi ular.
f. Ular melata dengan menggunakan otot pada bagian perutnya secara bergantian sehingga
dapat bergerak menuju ke tempat lain.
g. Mata pada ular tidak memiliki kelopak mata, tapi dilindungi oleh selaput transparan.
Penglihatan ular tidak sejelas penglihatan manusia. Sensor yang ditangkap adalah
bayangan dan sensitif terhadap cahaya.
h. Tidak seperti manusia, hidung pada ular hanya berfungsi sebagai alat untuk bernafas,
sedangkan alat penciumannya adalah lidahnya dengan dibantu organ Jacobson.
i. Indera panas, terletak diantara mata dan hidung, berfungsi untuk mendeteksi panas yang
dikeluarkan oleh makhluk lain yang berdarah panas (endotermik), Namun tidak semua
ular memiliki organ ini
j. Ular tidak memiliki lubang telinga, tapi memiliki membran tympani yang dapat
mendeteksi getaran. Ular yang menari mengikuti irama suling sebenarnya bergerak
bukan karena suaranya, namun karena mengkuti gerakan sulingnya.
k. Pewarnaan tubuh ular sangat beragam, menyesuaikan dengan lingkungan dimana dia
tinggal. Pewarnaan berfungsi sebagai penyamaran ular dalam mencari mangsa dan
menghindari musuh. Tidak semua warna menyala menandakan tingkat bisa ular.
l. Cara mendapatkan makanan
memburu mangsanya
menghadang mangsanya
memancing mangsanya
m. Gigi ular berjumlah banyak dan condong ke dalam sehingga ular tidak mengunyah
mangsanya melainkan menelan mangsanya. Berdasarkan tipe giginya, ular dibedakan
menjadi :
1. Aglypha : Tidak memiliki taring bisa. Contoh : Ptyas korros (Ular kayu),
Python reticulatus (Ular sanca batik). Ular ini tidak berbisa
2. Ophistoglypha : Memiliki taring bisa pendek dan terletak agak ke belakang pada
rahang atas. Contoh : Boiga dendrophila. (ular cincin emas). Ular ini berbisa
menengah.
4. Solenoglypha : Memiliki taring bisa sangat panjang di bagian depan dan dapat
dilipat. Contoh : Agkistrodon rhodhostoma (Ular tanah) Ular ini berbisa tinggi.
n. Ular dapat memangsa mangsanya yang berukuran 10 kali lipat besar kepalanya, karena
pada rahang bagian belakang dari mulutnya dihubungkan oleh sendi yang berbentuk
segiempat, sehingga mulut ular dapat menganga 180 dan didukung oleh rahang bawah
yang hanya dihubungkan oleh ligamen (otot) yang sangat elastis.
b. Membelit
c. Menyuntikkan bisa
o. Semua jenis ular adalah binatang Karnivora. Jenis makanan yang mereka makan antara
lain : insekta, ikan, amphibi, unggas, mamalia kecil sampai mamalia besar; bahkan ada
beberapa jenis ular yang memakan ular juga (kanibal). Jenis makanan ini tergantung dari
jenis ular dan habitatnya.
p. Organ reproduksi pada ular jantan adalah hemipenis yang terletak pada cloaca dan yang
betina dengan cloaca. Ular luar negeri biasanya kawin pada bulan-bulan yang bersuhu
hangat, karena pada musim dingin mereka akan hibernasi (tidur panjang). Ular ada yang
bertelur (ovipar) dan mengerami telurnya yang diletakkan diantara tumpukan daun daun
kering selama 2-3 bulan dan menetas; namun ada pula yang di simpan didalam tubuhnya
selama 2-3 bulan dan melahirkan (ovovivipar).
q. Menurut habitatnya, ular dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
- Ular Air (Aquatik)
Ular air adalah ular yang seluruh hidupnya (melakukan segala aktifitasnya) di dalam air.
Contoh : Ular laut (Laticauda laticauda). Ular air yang sesungguhnya hanyalah
ular laut.
- Ular Setengah Perairan (Semi Aquatik)
Ular ini terkadang melakukan aktifitasnya di darat dan di air. Contohnya : Homalopsis
buccata (ular Kadut)
- Ular Darat (Terresterial)
Ular ini hidup di darat, dan melakukan seluruh aktifitasnya di darat. Contoh : Ptyas
mucosus (Ular bandotan macan)dan Elaphe flavolineata (Ular Kopi)
- Ular Pohon (Arboreal)
Ular jenis ini melakukan seluruh aktifitasnya di pohon (arboreal). Biasanya ular pohon
ekornya prehensil (dapat untuk berpegangan / bergelantungan) Contoh : Boiga
dendrophila (cincin emas) dan Dryophis prasinus (Ular pucuk)
- Ular Gurun
Ular jenis ini melakukan seluruh aktifitasnya di gurun. Ular gurun biasanya
menyembunyikan diri di bawah pasir untuk menghindari sengatan matahari. Contoh
: Crotalus artox, ular derik, rattle
Tambahan
o Ular sangat senang tinggal di tempat yang lembab
o Kadang ditemukan berjemur di panas matahari, tetapi kebanyakan waktunya
digunakan untuk bersembunyi menunggu mangsa sesuai dengan habitatnya.
o Ular juga senang berpindah-pindah tergantung dimana ia bisa mendapatkan
mangsanya
7
Kelenjar bisa ini sama dengan kelenjar ludah pada manusia. Bisa pada ular berfungsi selain
sebagai senjata untuk membunuh musuhnya, juga membantu sistem pencernaan.
Jenis Bisa dibagi berdasarkan lokasi organ tubuh yang menjadi sasaran racun ular :
a. Neurotoxin
Menyerang dan mematikan jaringan syaraf
Terjadi kelumpuhan pada alat pernafasan
Kerusakan pada pusat otak
Efek gigitan yang langsung terasa adalah korban merasa ngantuk
b. Haemotoxin
Menyerang darah dan sistem sirkulasinya
Terjadi haemolysis
Transport O2 ke tubuh terganggu, terutama metabolisme sel
Organ organ lain yang akan terganggu sistem kerjanya oleh bisa ular antara lain: jantung,
ginjal, otot, sel-sel darah dan jaringan-jaringan yang lain.
2.5 Patogenesis
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular
dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap
gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang
dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan
mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
8
pernafasan.
Cardiotoxin berefek buruk langsung pada jantung dan mengarah pada kegagalan
sirkulasi dan syok.
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24
jam)
Venerasi
Luka
gigit
Nyeri
Udem/ Eritem
Tanda sistemik
+/-
<3cm/12>
+/-
II
+++
+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok
III
++
+++
++
Syok,
ekimosis
11
petekia,
IV
+++
+++
>ekstrimitas
++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit
ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan
ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat,
melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam
bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga
menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut.
Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas,
tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen
12
seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitan (lubang dan luka yang dibuat
taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi
akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul
memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang
kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan
pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan
perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini
penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada
daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk
memberian poli valen crotalidae antivenin
1. Anamnesis lengkap
berupa riwayat gigitan ular, antara lain : letak gigitan ular, kapan digigit ular, jenis
ular yang menggigit
2. Pemeriksaan fisik
Perkembangannya dilihat setiap 12 jam
a. Status lokalis : adanya nyeri tekan edema, penyebaran ke limfonodi regional,
gambaran trombosis intravaskuler (edema, dingin, imobil, pulsasi arterial tidak
terpalpasi), gambaran nekrosis (kulit gelap dengan batas jelas, penurunan
sensasi, dan bau daging yang membusuk)
b. Pengukuran tekanan darah respirasi. Pemeriksaan kulit dan membran mukosa
untuk melihat petekhia, purpura, ekimosis. Pemeriksaan sulcus gingivalis
menunjukkan perdarahan spontan. Nyeri perut mungkin iskemia renalis akut.
Perdarahan intrakranial ditandai dengan lateralisasi gejala neurologis, konvulsi,
penurunan kesadaran)
3. Pemeriksaan penunjang
EKG
Foto dada
Anafilasis
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis.
Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada
luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga
dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan
jarak cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan
tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri.
Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam
12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau
didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau
intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari
darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam
keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih
besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
15
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian
vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi
tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk
mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal.
Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan
dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam
karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan
infeksi.
Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah
Sebagai tindakan pertama kita sebaiknya mengetahui prinsip dasar penanganan gawat
darurat dengan Metode DR CAB (Danger Response Circulation Airways Breath) :
Danger (Bahaya)
Pastikan bahwa posisi penolong dan korban tidak dalam keadaan bahaya.
Singkirkan ular dari sekitar kita, agar mencegah ada gigitan yang kedua atau ketiga.
Posisikan penolong dan korban dalam posisi yang tidak membahayakan dari berbagai
ancaman.
Response (Respon)
Ajak bicara sang korban untuk mendapatkan respon, sehingga kita tahu bahwa
dia dalam keadaan sadar dan dapat merespon apa yang kita lontarkan. Setelah itu
mintalah pertolongan dengan berteriak Tolong!!!, dan juga menghubungi Unit
Gawat Darurat 118 dan 119, jika dari telpon selular (GSM) bisa menghubungi 112.
Circulation (Sirkulasi)
16
ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna
jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk
menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
18
Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, Ddimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,
elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5%
dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka
tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Beratnya
evenomasi
Taring atau
gigi
Ukuran
zona
edema/
eritemato
kulit (cm)
Gejala
sistemik
Jumlah vial
venom
Tidak ada
<>
Minimal
2-15
II
Sedang
15-30
10
III
Berat
>30
++
15
20
IV
Berat
<>
+++
15
Terapi profilaksis
2.10 Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena
ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari
envenomasi ular koral. Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III).
Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel
mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian
umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam,
sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2
minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G
(IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.
13 Prognosis
22
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa
mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10
kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan
dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di
AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa,
korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang
tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak membawa atau
mentransmisikan rabies. Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa.
Pada lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa
yang disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang
diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular
tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit lain tidak
akan mentolerir jumlah yang sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan
medis darurat dan, yang paling penting, antivenin dapat mempengaruhi bagaimana keadaan
korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang sesaat
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda
2.12 Pencegahan
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai
sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi
pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
kejadian semacam itu.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical
Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
24
3. Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka,
Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei
1997.
4. Depkes. 2007. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas. Depkes RI. Jakarta
5. Supriyatna Jatna Drs.,1981, Ular Berbisa di Indonesia, Penerbit Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.p75
6. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, DitJen Binfar & Alkes, Jakarta, 2002.
7. Warrel, A David. 2010. Guideline for the management of snake bites. WHO regional
office of South-East Asian.
25