Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

PENANGANAN GIGITAN ULAR

Pembimbing :
Dr. Djaja Sutisna, SpB

Disusun oleh :
Hardiyanti Kumala
1102009129

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul PENANGANAN GIGITAN
ULAR. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian
Bedah.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Djaja Sutisna, SpB selaku
pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik bagian Bedah atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan
yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Subang, Agustus 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....

KATA PENGANTAR .. .. ii
DAFTAR ISI .. iii
BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1


1

ANATOMI 1

DEFINISI ............. 4

EPIDEMIOLOGI .. 4

ETIOLOGI 4

PATOGENESIS ...

MANIFESTASI KLINIS .. 10

DIAGNOSIS ..................... 13

DIAGNOSIS BANDING .

PENATALAKSANAAN .. 14

14

10 KOMPLIKASI .. 20
11 PROGNOSIS ..... 21
12 PENCEGAHAN 21
DAFTAR PUSTAKA ... 23

BAB I
PENDAHULUAN

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan
atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang
dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada
beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering
terjadi di daerah tropis dan subtropis.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk
menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular terdiri atas 20 atau lebih komponen
terutama protein (90%), yang memiliki aktivitas enzimatik.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase-A yang bertanggung
jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vascular. Enzim hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun. Polipeptida lain yaitu, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase,
protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim- enzim tersebut menyebabkan
destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau zat
zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat sehingga timbul
reaksi anafilaksis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kulit
Anatomi Kulit manusia terdiri atas tiga lapisan struktur yaitu lapisan Epidermis,lapisan
Dermis dan lapisan hypodermis.

Lapisan Epidermis
Lapisan ini adalah struktur anatomi lapisan paling luar dari kulit lapisan ini tidak mempunyai
pembuluh darah dan sel saraf. Struktur anatomi Lapisan kulit Epidermis tersusun atas empat
lapisan sel, yaitu:
2

Stratum Germinativum yang berfungsi untuk membentuk lapisan di sebelah atasnya.


Stratum Granulosum,pada struktur lapisan ini terdapat sedikit keratin. Keratin inilah
yang menyebabkan kulit menjadi kering dan keras. Selain itu, sel sel dari lapisan ini
menghasilkan pigmen hitam (melanin). Melanin atau disebut zat warna kulit inilah
yang menentukan warna kulit dari seseorang apakah putih, kehitaman, atau
kecokelatan.
Stratum Lusdium, pada stuktur lapisan ini adalah merupakan struktur epidermis yang
bersifat transparan.
Stratum Korneum, adalah Lapisan pada bagian epidermis kulit yang merupakan
lapisan terluar dari epidermis. Lapisan ini disebut juga dengan lapisan tanduk.

Gambar struktur
epidermis

anatomi

lapisan

Struktur anatomi Lapisan Dermis


(Lapisan Dalam)
Struktur anatomi selanjutnya dari
lapisan kulit adalah lapisan Dermis yang
merupakan lapisan kedua dari kulit.
Lapisan pada kulit ini berfungsi sebagai
penyokong

dari

lapisan

epidermis.

Lapisan dermis memiliki ketebalan sekitar 0,25 sampai 2,55 mm. Struktur lapisan yang
paling tebal terletak pada bagian telapak tangan dan telapak kaki. Sedangkan struktur lapisan
dermis yang paling tipis terletak di bagian kulit kelopak mata, kulit alat kelamin, dan kulit
skrotum. Struktur Lapisan dermis tersusun dari jaringan penyokong atau penyangga yang
terdiri atas serat yang berwarna putih dan serat yang berwarna kuning. Serat kuning tersebut
bersifat

elastis

atau

lentur

sehingga

kulit

dapat

mengembang.

Struktur lapisan dermis ini juga terdapat kelenjar keringat dan akar rambut. Akar rambut
berhubungan dengan pembuluh darah yang membawakan makanan dan oksigen, selain itu
juga berhubungan dengan serabut saraf. Pada struktur anatomi di bagian dalam dermis
terdapat timbunan lemak yang berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi bagian dalam
tubuh dari kerusakan karena kontak mekanik. Pada bagian dermis inilah terdapat reseptorreseptor saraf yang dapat merasakan panas, sakit, sentuhan yaitu Reseptor sentuhan,
Reseptor suhu atau termoreseptor, Reseptor tekanan dan Reseptor rasa sakit. Struktur
anatomi lapisan dermis juga mengandung kelenjar-kelenjar yang berfungsi sebagai sistem
ekskresi tubuh yaitu terdapat kelenjar keringat dan Kelenjar sebum.
3

Struktur anatomi Lapisan ketiga yaitu Lapisan Hypodermis


Hypodermis terdiri atas sel lemak, berguna sebagai bantalan yang dapat mengurangi
dari benturan keras. Pada struktur bagian ini juga berfungsi sebagai penyedia cadangan
makanan bagi lapisan kulit yang berbeda di atasnya serta di sekitarnya. Di Bagian ini
terdapat susunan kulit, pembuluh darah dan pembuluh saraf. Fungsi lain dari struktur
hipodermis adalah untuk menempelkan kulit ke tulang dan otot yang mendasarinya serta
menyuplai dengan pembuluh darah dan saraf.

2.2 Definisi Gigitan Ular:


Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.

2.3 Epidemiologi
Umumnya ular menggigit pada saat aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa
terancam atau diganggu. Diseluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang
meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 gigitan ular
berbisa setiap tahunnya dengan 98 % gigitan terjadi didaerah ekstremitas dan 70 %
disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun
waktu 1996 1998 dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD
dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus
gigitan ular berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan
menunjukan hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit setelah
koma atau apnoe. Estimasi global menunjukan 30.000 40.000 kematian akibat gigitan ular
berbisa.
2.4 Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dan lain-lain)
Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper, dan lain-lain).
Biologi Ular:
a. Penampang melintang tubuh membulat dan memanjang
b. Tubuhnya tertutup oleh sisik
c. Ukuran panjang tubuhnya dari 10 mm 9000 mm
d. Memiliki tulang belakang dan sepasang tulang rusuk pada setiap ruas tulang belakang
(sampai cloaca)
4

e. Suhu tubuhnya poikilotermik, suhu ideal 23,9 29,4C. Namun ular masih dapat bertahan
pada suhu yang ekstrem 7.2C atau 37.8C, bila lebih dari suhu ini akan berakibat fatal
bagi ular.

f. Ular melata dengan menggunakan otot pada bagian perutnya secara bergantian sehingga
dapat bergerak menuju ke tempat lain.
g. Mata pada ular tidak memiliki kelopak mata, tapi dilindungi oleh selaput transparan.
Penglihatan ular tidak sejelas penglihatan manusia. Sensor yang ditangkap adalah
bayangan dan sensitif terhadap cahaya.
h. Tidak seperti manusia, hidung pada ular hanya berfungsi sebagai alat untuk bernafas,
sedangkan alat penciumannya adalah lidahnya dengan dibantu organ Jacobson.
i. Indera panas, terletak diantara mata dan hidung, berfungsi untuk mendeteksi panas yang
dikeluarkan oleh makhluk lain yang berdarah panas (endotermik), Namun tidak semua
ular memiliki organ ini
j. Ular tidak memiliki lubang telinga, tapi memiliki membran tympani yang dapat
mendeteksi getaran. Ular yang menari mengikuti irama suling sebenarnya bergerak
bukan karena suaranya, namun karena mengkuti gerakan sulingnya.
k. Pewarnaan tubuh ular sangat beragam, menyesuaikan dengan lingkungan dimana dia
tinggal. Pewarnaan berfungsi sebagai penyamaran ular dalam mencari mangsa dan
menghindari musuh. Tidak semua warna menyala menandakan tingkat bisa ular.
l. Cara mendapatkan makanan
memburu mangsanya
menghadang mangsanya
memancing mangsanya
m. Gigi ular berjumlah banyak dan condong ke dalam sehingga ular tidak mengunyah
mangsanya melainkan menelan mangsanya. Berdasarkan tipe giginya, ular dibedakan
menjadi :
1. Aglypha : Tidak memiliki taring bisa. Contoh : Ptyas korros (Ular kayu),
Python reticulatus (Ular sanca batik). Ular ini tidak berbisa

2. Ophistoglypha : Memiliki taring bisa pendek dan terletak agak ke belakang pada
rahang atas. Contoh : Boiga dendrophila. (ular cincin emas). Ular ini berbisa
menengah.

3. Proteroglypha : Memiliki taring bisa panjang dan terletak di bagian depan.


Contoh : Naja naja sputatrix (ular kobra), Ophiophagus hannah(ular king
kobra) Ular ini berbisa tinggi

4. Solenoglypha : Memiliki taring bisa sangat panjang di bagian depan dan dapat
dilipat. Contoh : Agkistrodon rhodhostoma (Ular tanah) Ular ini berbisa tinggi.

n. Ular dapat memangsa mangsanya yang berukuran 10 kali lipat besar kepalanya, karena
pada rahang bagian belakang dari mulutnya dihubungkan oleh sendi yang berbentuk
segiempat, sehingga mulut ular dapat menganga 180 dan didukung oleh rahang bawah
yang hanya dihubungkan oleh ligamen (otot) yang sangat elastis.

Berikut ini beberapa cara ular memangsa :


a. Menelan langsung

b. Membelit

c. Menyuntikkan bisa

o. Semua jenis ular adalah binatang Karnivora. Jenis makanan yang mereka makan antara
lain : insekta, ikan, amphibi, unggas, mamalia kecil sampai mamalia besar; bahkan ada
beberapa jenis ular yang memakan ular juga (kanibal). Jenis makanan ini tergantung dari
jenis ular dan habitatnya.
p. Organ reproduksi pada ular jantan adalah hemipenis yang terletak pada cloaca dan yang
betina dengan cloaca. Ular luar negeri biasanya kawin pada bulan-bulan yang bersuhu
hangat, karena pada musim dingin mereka akan hibernasi (tidur panjang). Ular ada yang
bertelur (ovipar) dan mengerami telurnya yang diletakkan diantara tumpukan daun daun
kering selama 2-3 bulan dan menetas; namun ada pula yang di simpan didalam tubuhnya
selama 2-3 bulan dan melahirkan (ovovivipar).
q. Menurut habitatnya, ular dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
- Ular Air (Aquatik)
Ular air adalah ular yang seluruh hidupnya (melakukan segala aktifitasnya) di dalam air.
Contoh : Ular laut (Laticauda laticauda). Ular air yang sesungguhnya hanyalah
ular laut.
- Ular Setengah Perairan (Semi Aquatik)
Ular ini terkadang melakukan aktifitasnya di darat dan di air. Contohnya : Homalopsis
buccata (ular Kadut)
- Ular Darat (Terresterial)
Ular ini hidup di darat, dan melakukan seluruh aktifitasnya di darat. Contoh : Ptyas
mucosus (Ular bandotan macan)dan Elaphe flavolineata (Ular Kopi)
- Ular Pohon (Arboreal)
Ular jenis ini melakukan seluruh aktifitasnya di pohon (arboreal). Biasanya ular pohon
ekornya prehensil (dapat untuk berpegangan / bergelantungan) Contoh : Boiga
dendrophila (cincin emas) dan Dryophis prasinus (Ular pucuk)
- Ular Gurun
Ular jenis ini melakukan seluruh aktifitasnya di gurun. Ular gurun biasanya
menyembunyikan diri di bawah pasir untuk menghindari sengatan matahari. Contoh
: Crotalus artox, ular derik, rattle
Tambahan
o Ular sangat senang tinggal di tempat yang lembab
o Kadang ditemukan berjemur di panas matahari, tetapi kebanyakan waktunya
digunakan untuk bersembunyi menunggu mangsa sesuai dengan habitatnya.
o Ular juga senang berpindah-pindah tergantung dimana ia bisa mendapatkan
mangsanya
7

o Ular juga senang tinggal di daerah dekat air yang tenang.


o Ular adalah perenang dan pemanjat yang ulung.
r. Bisa sebenarnya merupakan protein yang di produksi oleh kelenjar bisa yang berada di
dalam kepala. Pada kelenjar bisa terdapat saluran yang menghubungkan ke taring bisa yang
memiliki lubang pada ujung bawahnya. Khusus pada jenis Naja naja (ular Kobra) lubang
saluran bisanya berada di ujung bagian depan gigi taring, sehingga ular-ular jenis ini dapat
menyemburkan/menyemprotkan bisanya.

Kelenjar bisa ini sama dengan kelenjar ludah pada manusia. Bisa pada ular berfungsi selain
sebagai senjata untuk membunuh musuhnya, juga membantu sistem pencernaan.
Jenis Bisa dibagi berdasarkan lokasi organ tubuh yang menjadi sasaran racun ular :
a. Neurotoxin
Menyerang dan mematikan jaringan syaraf
Terjadi kelumpuhan pada alat pernafasan
Kerusakan pada pusat otak
Efek gigitan yang langsung terasa adalah korban merasa ngantuk
b. Haemotoxin
Menyerang darah dan sistem sirkulasinya
Terjadi haemolysis
Transport O2 ke tubuh terganggu, terutama metabolisme sel
Organ organ lain yang akan terganggu sistem kerjanya oleh bisa ular antara lain: jantung,
ginjal, otot, sel-sel darah dan jaringan-jaringan yang lain.

2.5 Patogenesis
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular
dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap
gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang
dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan
mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
8

menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan


hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Protease, kolagenase,
dan arginin ester hydrolase telah diidentifikasi pada bisa ular viper. Neurotoxin merupakan
mayoritas bisa pada ular koral. Detail spesifik diketahui beberapa enzim seperti berikut ini:
1. Hyaluronidase memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan subkutan
dengan merusak mukopolisakarida;
2. Phospholipase A2 memainkan peranan penting pada hemolisis sekunder dari efek
esterolitik pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot
3. Enzim trombogenik menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin yang lemah, dimana,
pada waktunya mengaktivasi plasmin dan menyebabkan koagulopati konsumtif dan
konsekuensi hemoragiknya.
Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat berguna untuk membunuh
mangsa. Selama envenomasi (gigitan yang menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular
melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular, dan akhirnya menuju
mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai substansi dengan efek yang bervariasi.
Dalam istilah sederhana, protein-protein ini dapat dibagi menjadi 4 kategori :

Cytotoxin menyebabkan kerusakan jaringan lokal.


Hemotoxin, bisa yang menghancurkan eritrosit, atau mempengaruhi kemampuan

darah untuk berkoagulasi, menyebabkan perdarahan internal.


Neurotoxin menyerang sistem syaraf, menyebabkan paralisis transmisi saraf ke
otot dan pada kasus terburuk paralisis melibatkan otot-otot menelan dan

pernafasan.
Cardiotoxin berefek buruk langsung pada jantung dan mengarah pada kegagalan
sirkulasi dan syok.

Skema 1. Patofisiologi snake bite

2.6 Manifestasi Klinis


- Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air dan hanya memerlukan tata laksana
sederhana. Namun bila jenis ular tidak diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya
pencegahan dengan Serum Anti Bisa Ular Polivalen.
- Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular.
- Penderita mungkin:
Tampak kebiruan
Pingsan
Lumpuh
Sesak nafas
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24
jam)

Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,


hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
10

Gejala khusus gigitan ular berbisa :


o

Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,


otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),
hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)

Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis


oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma

Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,


paresthesia, paralysis pulselesness)

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:


Derajat

Venerasi

Luka
gigit

Nyeri

Udem/ Eritem

Tanda sistemik

+/-

<3cm/12>

+/-

3-12 cm/12 jam

II

+++

>12-25 cm/12 jam

+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III

++

+++

>25 cm/12 jam

++
Syok,
ekimosis

11

petekia,

IV

+++

+++

>ekstrimitas

++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :

Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya.

Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:


Gigitan Elapidae

Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit
ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan
ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat,
melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.

Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.

Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam
bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga
menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut.
Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas,
tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen

12

seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae:

Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitan (lubang dan luka yang dibuat
taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi
akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul
memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang
kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan
pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan
perdarahan hebat.

Gigitan Hidropiidae:

Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini
penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:

Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada
daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk
memberian poli valen crotalidae antivenin

Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting


13

Gigitan Coral Snake:


Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin)
2.7 Diagnosis
Adanya riwayat gigitan disertai gejala/tanda gigitan ular berbisa baik berupa efek lokal (tempat
gigitan) maupun efek sistemik dan efek sistemik spesifik.

1. Anamnesis lengkap
berupa riwayat gigitan ular, antara lain : letak gigitan ular, kapan digigit ular, jenis
ular yang menggigit
2. Pemeriksaan fisik
Perkembangannya dilihat setiap 12 jam
a. Status lokalis : adanya nyeri tekan edema, penyebaran ke limfonodi regional,
gambaran trombosis intravaskuler (edema, dingin, imobil, pulsasi arterial tidak
terpalpasi), gambaran nekrosis (kulit gelap dengan batas jelas, penurunan
sensasi, dan bau daging yang membusuk)
b. Pengukuran tekanan darah respirasi. Pemeriksaan kulit dan membran mukosa
untuk melihat petekhia, purpura, ekimosis. Pemeriksaan sulcus gingivalis
menunjukkan perdarahan spontan. Nyeri perut mungkin iskemia renalis akut.
Perdarahan intrakranial ditandai dengan lateralisasi gejala neurologis, konvulsi,
penurunan kesadaran)
3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu


perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal
hepar, golongan darah dan uji cocok silang

Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

EKG

Foto dada

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :

Anafilasis

Trombosis vena bagian dalam


14

Trauma vaskular ekstrimitas

Scorpion Sting

Syok septik

Luka infeksi

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah

Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik


Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas

masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis.
Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada
luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga
dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan
jarak cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan
tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri.
Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam
12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau
didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau
intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari
darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam
keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih
besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
15

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian
vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi
tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk
mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal.
Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan
dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam
karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan
infeksi.
Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah

Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

Sebagai tindakan pertama kita sebaiknya mengetahui prinsip dasar penanganan gawat
darurat dengan Metode DR CAB (Danger Response Circulation Airways Breath) :
Danger (Bahaya)
Pastikan bahwa posisi penolong dan korban tidak dalam keadaan bahaya.
Singkirkan ular dari sekitar kita, agar mencegah ada gigitan yang kedua atau ketiga.
Posisikan penolong dan korban dalam posisi yang tidak membahayakan dari berbagai
ancaman.
Response (Respon)
Ajak bicara sang korban untuk mendapatkan respon, sehingga kita tahu bahwa
dia dalam keadaan sadar dan dapat merespon apa yang kita lontarkan. Setelah itu
mintalah pertolongan dengan berteriak Tolong!!!, dan juga menghubungi Unit
Gawat Darurat 118 dan 119, jika dari telpon selular (GSM) bisa menghubungi 112.
Circulation (Sirkulasi)

16

Memastikan sirkulasi darah lancar dengan memastikan ada tidaknya denyut


jantung pada korban. Denyut jantung bisa ditentukan dengan meraba arteri karotis
didaerah leher korban, caranya dengan meletakkan 23 jari (telunjuk dan jari tengah)
ditengahtengah leher korban hingga teraba trachea lalu geser ke kiri/kanan kirakira
23 cm tekan dengan lembut 510 detik. Jika denyutan nadi terasa, maka lanjutkan ke
langkah berikutnya yaitu airways. Tapi jika tidak ada denyutan nadi maka lakukan
bantuan sirkulasi dengan cara :
Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri
sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas.
Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi.
Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan
di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jarijari tangan menyentuh dinding dada
korban, jarijari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali (dalam 15 detik =
30 kali kompresi) dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 2 inci (3,8 5
cm).
Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada
dibiarkanmengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi
dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama
dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada
saat melepaskan kompresi.
Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 (Tiap 15 detik = 30
kompresi dan 2 kali tiupan nafas), dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong.
Airways (Jalur Nafas)
Pastikan bahwa sang korban tidak terganggu jalur pernafasannya, jika terjadi
gangguan maka harus dibebaskan jalur nafasnya. Perhatikan posisi leher! Posisi leher
harus tetap lurus agar tidak menganggu jalur pernafasan.
Breath (Pernafasan)
Setelah memastikan jalur pernafasannya tidak terganggu, maka selanjutnya
kita harus memastikan bahwa sang korban bernafas dengan normal. Normalnya
manusia akan bernafas 1230 kali dalam satu menit. Jika korban tidak bernafas
dengan normal, atau sama sekali tidak bernafas, maka harus diberikan nafas bantuan
atau CPR (Cardiopulmonary Resuscitation).
Langkahlangkah CPR :
Pastikan korban pada berbaring lurus telentang, buka saluran napasnya dengan
menempatkan satu tangan di dahinya dan mendongakkan kepalanya perlahanlahan ke
belakang.
Singkirkan halangan apa pun dari mulut dan angkat dagunya.
Jepit lubang hidung korban hingga tertutup. Tarik napas penuh, tempatkan bibir
Anda di sekliling mulutnya agar tidak ada celah.
Hembuskan napas ke dalam mulut korban sampai Anda melihat dadanya naik. Perlu
waktu dua detik agar dada mengembang penuh.
Lepaskan mulut Anda dari mulutnya dan biarkan dadanya turun sepenuhnya, ini
memerlukan waktu sekitar empat detik. Ulangi prosedur sekali lagi dan kemudian
17

periksa tanda peredaran darah.


Jika tidak ada tandatanda pemulihan, misalnya kembalinya warna kulit menjadi
normal kembali atau pergerakan apa pun, cobalah lakukan resusitasi jantung paru.
Tetapi jika terdapat tandatanda pemulihan, namun korban belum bernapas, berikan
10 napas bantuan permenit dan periksa tanda peredaran darah setiap 10 napas. Jika
korban

Kembali bernapas spontan, tempatkan dia dalam posisi pemulihan.

Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang


mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,

ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna
jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk
menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:

Penatalaksanaan jalan napas

Penatalaksanaan fungsi pernapasan

Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)

18

Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, Ddimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,
elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati

Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection

Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:

10-50 LD50 bisa Ankystrodon

25-50 LD50 bisa Bungarus


19

25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5%
dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka
tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Pedoman terapi SABU menurut Luck


Derajat

Beratnya
evenomasi

Taring atau
gigi

Ukuran
zona
edema/
eritemato
kulit (cm)

Gejala
sistemik

Jumlah vial
venom

Tidak ada

<>

Minimal

2-15

II

Sedang

15-30

10

III

Berat

>30

++

15

20

IV

Berat

<>

+++

15

Pedoman terapi SABU menurut Luck

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom

Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu


pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.

Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan


menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi
kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan
Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan

Terapi suportif lainnya pada keadaan :

Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan


antivenin)

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,


fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau


anggota badan
21

Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase),


diawali dengan sulfas atropin

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein,


hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan

Terapi profilaksis

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang


dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp,
B.fragilis

Beri toksoid tetanus

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

2.10 Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena
ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari
envenomasi ular koral. Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III).
Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel
mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian
umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam,
sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2
minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G
(IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.
13 Prognosis

22

Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa
mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10
kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan
dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di
AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa,
korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang
tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak membawa atau
mentransmisikan rabies. Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa.
Pada lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa
yang disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang
diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular
tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit lain tidak
akan mentolerir jumlah yang sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan
medis darurat dan, yang paling penting, antivenin dapat mempengaruhi bagaimana keadaan
korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang sesaat
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda
2.12 Pencegahan
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai
sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi
pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
kejadian semacam itu.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical
Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
24

3. Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka,
Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei
1997.
4. Depkes. 2007. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas. Depkes RI. Jakarta
5. Supriyatna Jatna Drs.,1981, Ular Berbisa di Indonesia, Penerbit Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.p75
6. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, DitJen Binfar & Alkes, Jakarta, 2002.
7. Warrel, A David. 2010. Guideline for the management of snake bites. WHO regional
office of South-East Asian.

25

Anda mungkin juga menyukai